Hei, mau
mendengar sebuah cerita dariku? Cerita biasa menurutku, tapi entah kenapa aku
tergerak untuk menulis cerita ini. Ini bukan sebuah fiksi, melainkan nyata.
Maksudku, ini diambil berdasarkan kisah yang pernah kualami sendiri. Jadi
maaf-maaf saja jika kesannya datar dan minim konflik. Karena kita hidup di
dunia nyata, kan?
Oke, ini
kisahku.
***
Pernah kita sama-sama susah
Terjerumus dalam lubang jalanan
Dulu, saung
itu adalah tempat favorit kita menghabiskan sore bersama. Saung yang berada di
tengah-tengah padang ilalang dengan pohon jambu tepat berada di depan saung
mungil itu. Dulu, kau bahkan rela memanjat pohon jambu jika aku sudah
merengek-rengek kepadamu. Tak peduli seberapa lelahnya dirimu dengan setumpuk
tugas sekolah, ataupun setelah seharian membantu ibu panti di sawah, kau tetap
mengabulkan permintaan konyolku. Dan aku dengan girangnya akan menyambut senang
buah jambu yang kau sodorkan di depanku. Jambu air merah kesukaanku.
Dulu, kau
akan selalu berada di depan rumahku setiap jam enam lewat tiga puluh tiga
menit. Dengan sepeda gunungmu kau berdiri tegak, seolah menantang sinar mentari
yang tanpa ragu menumpahkan sinarnya di tubuh tegapmu. Tas ransel lusuhmu
tergantung kaku di pundakmu, lengkap dengan jahitan di sana-sini. Lantas
sepuluh menit kemudian kau akan berteriak memanggil namaku hingga aku keluar
menghampirimu dengan sepeda merah mudaku. Aku akan memasang wajah super polos
dan kau akan mencubit kedua pipi chubbyku hingga aku menjerit kesakitan. Dan
kau akan tertawa sampai mata sipitmu semakin tenggelam.
Dulu setiap
Minggu pagi kau akan mengetuk pintu kamarku dengan semangat, menyeretku masuk
ke kamar mandi –bahkan mengguyurku dengan air– jika aku masih terlelap di balik
selimut. Dengan muka menggerutu aku mengayunkan sepeda menyusul sepeda gunungmu
yang sudah melesat jauh di depanku. Kau akan membawaku ke sawah milik panti
asuhan tempatmu bernaung, menghabiskan hari disana. Lantas malam harinya kau
akan mengajakku ke pasar malam di ujung desa.
Dulu, akan
selalu ada kalimat “Hidup ini perlu perjuangan, Ay. Ngga selamanya apa yang
kita mau bisa dengan mudah kita dapetin. Perlu usaha buat dapetin yang kita
mau,” ketika aku mulai malas dalam mengerjakan sesuatu. Dan aku akan membalas
“Tapi Aya capek, Egaaa!” Atau, kalimat “Jangan nyerah, bayangin aja apa yang lo
mau tiba-tiba ada depan mata lo. Jangan sia-siain usaha lo selama ini,” ketika
aku mulai merasa lelah mengerjakan sesuatu. Lagi-lagi aku hanya akan mengatakan
“Aya capek, Ga!” padamu dengan ekspresi kesal dan lelah yang tak pernah
kututup-tutupi. Kau hanya akan tersenyum dan menepuk puncak kepalaku. Sekedar
menenangkan.
Tapi itu
dulu. Dua belas tahun yang lalu. Ketika kita masih berstatus pelajar Sekolah
Dasar kelas satu.
Setahun
kemudian kau menghilang. Tepat setelah pembagian raport kenaikan kelas.
Menghilang tanpa mengatakan apapun kepadaku. Tanpa meninggalkan apapun untuk
kukenang kembali. Hanya mengandalkan memori yang tersimpan rapi dalam kotak
pikiran. Tapi apalah daya ingatan seorang anak kecil. Seiring berjalannya
waktu, kenangan tentangmu perlahan terhapus dari benakku.
Tiada lagi
Ega. Tiada lagi Aya.
***
Hingga saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
“Sivia,
tungguin!” seorang gadis berseru memanggil namaku, membuat langkah santaiku
terhenti seketika. Tanpa berbalik pun aku sudah mengenal suara siapa ini.
Seorang gadis tirus yang memproklamirkan diri sebagai sahabatku sejak aku
menginjakkan kaki di sekolah baruku di kota ini waktu itu. Kelas tiga Sekolah
Dasar.
“Buruan,
Ify. Nanti keburu Bu Gia masuk,” aku menyebut nama dosen Kalkulusku. Guru
cantik satu ini memang terkenal dengan kedisiplinannya. Dan aku tidak mau ambil
resiko terlambat di hari pertama perkuliahan semester gasal tahun keduaku di
Universitas ini.
Sedetik
kemudian aku mendapati tanganku diseret Ify. Mendengar kata ‘Bu Gia’ ternyata
cukup ampuh untuk membuat seorang putri keraton yang leletnya minta ampun
seperti Ify kini bergerak cepat seperti pelari professional. Oke, abaikan.
Untung saja,
ketika akhirnya kami tiba di kelas, suasana kelas masih ramai. Itu artinya Bu
Gia belum menapakkan kakinya ke ruangan paling ujung gedung kampus ini.
Syukurlah. Aku masih bisa menarik napas sebentar usai berlari-lari di sepanjang
koridor kampus akibat ditarik dengan semena-mena oleh Ify.
“Eh
denger-denger bakal ada mahasiswa pindahan loh. Dia bakal masuk hari ini di
makul Bu Gia. Katanya sih masih ada hubungan keluarga gitu sama Bu Gia,” Ify
mulai bergosip dengan teman-temanku yang lain. Kebiasaan Ify yang sulit hilang
sejak kami berada di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Entahlah.
Bagi sebagian besar orang mungkin fenomena gadis-gadis yang membicarakan orang
lain terlihat biasa saja. Toh memang kodrat perempuan seperti itu. Tapi tidak
denganku. Aku tidak menyukai gadis-gadis seperti itu. Maksudku, tidak adakah
hal yang lebih bermanfaat selain membicarakan orang lain? For God’s sake! Sebut
aku aneh. Ah, tidak. Bukan aneh. Hanya masalah prinsip. Ya, itu lebih baik.
Oke, kembali
ke masalah awal. Sementara mereka yang ‘katanya’ perempuan sejati –aku tidak
bisa melihat dimana letak ‘sejati’ itu berada– masih asyik bergosip ria, aku
sudah tenggelam dalam gadget di tangan. Tidak merasa tertarik dengan kesibukan
gadis-gadis itu. Penyendiri. Autis. Seperti itulah aku di mata teman-temanku.
Dan aku tak peduli. Karna meskipun begitu, aku cukup eksis di kalangan
teman-temanku. Meski aku benci itu.
Entah sudah
berapa lama aku berselancar di dunia maya, menikmati kesendirianku yang tak
terjamah lingkungan luar. Hanya ada aku dan tablet putihku. Aku kadang suka
lupa segalanya jika sudah tenggelam dalam duniaku. Lupa waktu, terutama. Ketika
akhirnya gendang telingaku tidak lagi mendengar pembicaraan-pembicaraan ala
presenter gosip terkenal dari teman-temanku, aku mengangkat kepala, sejenak
memisahkan diri dari gadget. Bisa saja tiba-tiba Bu Gia sudah menginjakkan kaki
di kelas, kan? Aku tidak mau mengambil resiko dipermalukan seisi kelas karena
kebiasaanku yang satu ini.
Namun, bukan
seorang wanita cantik berusia akhir dua puluhan yang tertangkap retina mataku,
melainkan seorang pemuda tinggi tegap berwajah oriental dengan T-shirt putih
polos yang dilapisi kemeja hitam. Puing-puing kenangan di otakku langsung
mengirimkan tanda-tanda bahwa aku pernah mengenal pemuda di depan sana. Tapi
bagian skeptis dari diriku mengatakan ‘mungkin saja kau pernah bertemu
dengannya saat sedang berada di tempat umum. Wajah seperti itu pasaran.
Layaknya pemuda keturunan Tionghoa lainnya.’ Aku mengangkat bahu sekilas lantas
kembali menyibukkan diri dengan gadgetku.
Samar-samar
gendang telingaku menangkap kata ‘Alvin’ dan ‘Jogja’. Simpulan yang bisa
ditarik otakku yang sedang berkonsentrasi pada gadget di tangan adalah pemuda
itu namanya Alvin dan dia pindahan dari Jogja. Just it. And I really
really really don’t care about him.
Maksudku, he just a new member
on my class, so should I act like the other girls on my class? Okelah,
kuakui dia memang cukup tampan, ketampanan khas pemuda oriental. Rahang tegas,
wajah putih mulus tiada cela –oke ini berlebihan– dan mata hitam yang menatap
seisi ruangan dengan tajam. Lalu apa? Hanya hal sepele dan gadis-gadis itu
sudah berteriak histeris seolah baru saja melihat pemuda paling ganteng yang
mereka temui. Oh ayolah, kakakku masih jauh lebih ganteng darinya. Sebut aku
aneh. Bagiku hanya dua laki-laki yang akan aku akui ketampanannya. Laki-laki
pertama kakakku tentu saja. Rio. Kekasih dari Ify. Laki-laki lainnya yang akan
akui tanpa pikir panjang jelas Papaku. Jadi, cukup jelaskan mengapa aku tidak
menganggap penting hal ini? Karena memang dia tidak penting.
End of discussion.
***
“Hei, Vi.”
Aku
mengangkat kepalaku yang sedari tadi berkutat dengan layar laptop begitu aku
mendengar suara langkah kaki memasuki kamarku, disusul dengan tubuh seseorang
yang sudah berada di sampingku. Aku memang tidak pernah mengunci pintu kamarku,
bahkan untuk tidur sekalipun. Entahlah. Aku juga tidak mengerti kenapa aku
melakukannya. Padahal kata Mama sewaktu kecil aku justru tidak pernah lupa
untuk mengunci pintu kamar jika kebetulan aku sedang berada di dalamnya. Yah,
tidak terlalu penting untuk dibahas sebenarnya.
“Kenapa,
kak?” tanyaku, melepas kacamata tanpa frame yang sedari tadi bertengger di atas
hidungku, berusaha memberikan atensiku padanya. Rio tergolong orang yang tidak
suka jika orang tidak menatap matanya saat berbicara. Katanya untuk menguji
fokus seseorang, bahkan kita bisa mengetahui seseorang berbohong atau tidak
hanya lewat matanya. Yah, whatever he said.
“Tadi gue
nemenin Mama beres-beres gudang, dan gue nemu ini. Punya lo kan?” Rio
menyodorkan jepitan lucu berbentuk kupu-kupu yang sudah terlihat kusam di
bagian sayap birunya.
Aku
mendudukkan diriku di sampingnya sebelum menerima jepitan itu dan mengamatinya
sejenak. Hanya jepitan biasa, dengan bagian kanan sayap yang sudah patah dan
bagian kirinya yang sedikit berlubang. Seketika aku mengerutkan kening, merasa
familier dengan jepitan ini, tapi lupa kapan tepatnya aku pernah mengenakan
jepitan kupu-kupu lucu ini.
“Via lupa,
kak. Hehehe,” aku nyengir sambil mengembalikan jepitan lucu itu ke tangannya
dan mendekap boneka lumba-lumba yang besarnya hampir setengah badanku –hadiah sweet seventeenku
dari Rio.
Entahlah,
rasa-rasanya kenangan masa kecilku selalu tergambar suram di benakku. Awalnya
aku sempat merasa frustasi sih. Ayolah, mana ada orang yang tidak mau mengenang
masa kecilnya? Tapi makin kesini aku sudah terbiasa dengan hal ini. Hanya
berusaha berpikir positif, mungkin saja ada kejadian masa kecil yang tidak
mengenakkan yang ingin kulupakan, mengingat aku tidak pernah mengalami
kecelakaan hebat hingga menyebabkan amnesia permanen. Jadi opsi pertama lebih
masuk akal untukku.
“Yah dasar
bocah,” tangan Rio tergerak mengacak rambut coklat kemerahanku. Kebiasaan
jeleknya yang paling aku benci.
“Ishh ngga
pake acak rambut juga kali, ah. Sebel gue sama lo! Sana ah keluar hush us,” aku
memukul tubuh tegapnya dengan boneka di tanganku sekuat tenaga, berharap Rio
merasa terusik dan akhirnya keluar dari kamarku. Sayangnya itu tidak berarti
banyak. Rio sepertinya enggan keluar dari kamarku.
“Gue juga
nemu ini. Ngga tau deh itu isinya apa, yang jelas ada nama lo di atasnya,” Rio menyerahkan
sebuah kotak ukuran kecil ke arahku. Berbeda dengan jepitan tadi yang tanpa
ragu langsung kuambil dari tangan Rio, kali ini aku terdiam menatap kotak itu.
Tentu saja
aku ingat kotak apa itu. Meski aku tidak bisa mengingat masa kecilku, bukan berarti
aku sama sekali tidak punya memori tentangnya. Dan kotak itu adalah satu dari
sekian memori yang masih terpatri jelas di benakku.
“Heh, malah
bengong. Ini ambil kotaknya, gue ada janji sama dosen nih bentar lagi,” Rio
menggoyang kotak itu di depan wajahku, membuat aku mengerjap seketika.
“Hah? Apa?
Oh kotak? Simpen situ aja deh,” gelagapan, aku menunjuk meja belajarku di sudut
kamar.
Rio
mengangkat alis sejenak melihat tingkahku, mungkin merasa bingung dengan
kelakuan adik semata wayangnya. Tapi aku tak peduli. Merasa aku mungkin tak
mempedulikannya, dia mengangkat bahu sebelum akhirnya berdiri dari ranjangku
dan berjalan menuju meja belajar yang penuh dengan tumpukan diktat kuliahku.
“Ohya,
selain jepitan sama kotak tadi, gue juga nemu ini di gudang. Emang ngga ada
namanya sih, tapi dari kertas kadonya gue yakin itu buat lo. Udah yaa gue mau
konsultasi dulu sama dosen PA gue. Lo baik-baik di rumah, Mama sama Papa baru
pulang besok. Jangan kelayapan yaa bocah,” Rio menaruh kedua kotak itu di meja
belajar dan berjalan keluar kamar, setelah sebelumnya mendekatiku dan mencubit
pelan hidungku. Kebiasaan jeleknya yang lain.
Setelah
memastikan Rio sudah pergi –dari suara mesin mobilnya yang perlahan terdengar
semakin jauh– aku melepaskan boneka yang sedari tadi kupeluk erat lantas
melangkahkan kaki jenjangku ke arah meja belajar.
Ketika
tanganku tergerak untuk mengambil kedua kotak itu, suara Bi Asih memanggilku
dari lantai bawah. Sesuatu seperti ‘teman’ dan ‘tugas’ samar-samar terdengar di
gendang telingaku. Aku melirik jam dinding sekilas lantas menepuk jidatku.
Bagaimana aku bisa melupakan janji mengerjakan tugas kelompok Kalkulus hari
ini? Ini pasti karena kebiasaanku berseluncur di dunia maya yang suka membuatku
lupa waktu.
Tanganku
menyambar diktat-diktat kalkulus di atas meja, berdampingan dengan kotak-kotak
yang tadi ditemukan Rio di gudang. Tidak lupa aku menyambar hoodie biru
lautku yang tergeletak pasrah di sandaran kursi belajarku. Tidak mungkin kan
aku menemui teman-temanku hanya dengan celana selutut dan tanktop? Meskipun
hanya para gadis, tetap saja rasanya tidak sopan.
Dan kedua
kotak itupun terlupakan kehadirannya.
***
“Vi, si
Alvin ngeliatin lo mulu tuh daritadi,” Ify berbisik pelan disampingku.
Saat ini, Bu
Gia tengah berhalangan hadir sehingga beliau menugaskan mahasiswanya
menyelesaikan beberapa permasalahan yang telah disiapkannya jauh-jauh hari.
Dosen seperti Bu Gia memang tidak tanggung-tanggung dalam memberi tugas.
Terbukti waktu sudah berjalan lebih dari satu jam aku baru berhasil menjawab
dua dari tujuh soal yang diberikan. Waktu dua jam setengah pun rasanya kurang
bagiku menyelesaikan tujuh soal Kalkulus ini. Bukan karena aku tidak bisa
menyelesaikannya, tetapi Bu Gia adalah dosen yang menuntut kesempurnaan dalam
mengerjakan sesuatu. Tipe dosen perfeksionis. Praktis waktu satu jam hanya bisa
kugunakan untuk menyelesaikan dua soal. Masih ada satu jam setengah dan aku
masih harus menyelesaikan lima soal. Dan sekarang Ify malah berbisik padaku
tentang Alvin-yang-sedari-tadi-menatapku? For God’s sake! Tidak
bisakah Ify melihat situasi sebelum berbicara?
Aku sudah
berniat hendak membiarkan Ify berucap sesukanya ketika tiba-tiba pena yang
kugunakan untuk menulis sedari tadi tiba-tiba raib. Tidak. Aku tidak punya pena
ajaib yang bisa tiba-tiba menghilang. Aku juga tidak bisa ilmu sihir yang bisa
menghilangkan pena secara tiba-tiba. Dan karena aku tidak bisa kedua-duanya,
hanya satu opsi yang mungkin.
Aku menoleh
malas ke arah samping kiri, tempat Ify duduk dengan cengirannya yang
menyebalkan. Dan pena yang sedari tadi kugunakan untuk menulis berada di tangan
kanannya. Lihatkan? Ify memang sahabat yang menyebalkan. Kadang-kadang.
“Fy, pena
gue sini deh, gue baru ngerjain nomor tiga nih entar ngga keburu,” aku meminta
penaku kembali pada Ify, meski mustahil. Ify bukan gadis yang akan dengan
senang hati menuruti permintaanku secepat itu, setidaknya hingga keinginannya
kukabulkan.
“Dengerin
gue dulu makanya. Tugas gampang deh, anak-anak juga banyak yang baru ngerjain
nomor satu kok,” Ify berkata dengan entengnya. Seolah tugas Kalkulus ini cukup
mudah untuk dikerjakan saja. Ayolah, dia saja baru menulis angka 2 di bawah
jawaban soal nomor satu. Dan kenapa dia bisa sesantai ini?
“Dengerin
apasih ah siniin deh nanggung nih keburu gue inget cara ngerjainnya,” aku masih
berusaha mengambil penaku di tangannya. Andai saja aku punya pena lebih.
Sayangnya pena lebih yang kuharapkan itu ada di Ify. Otomatis dia memegang dua
pena milikku. What
a wonderful situation!
“Lo yakin lo
ngga kenal Alvin sebelum-sebelum ini? Ngga sengaja ketemu di jalan kek apa kek
gitu?” Ify mendesakku lagi. Dasar korban sinetron.
Aku memutar
mataku jengah. Bosan mendengar hal yang sama sejak sebulan yang lalu. Tepatnya
sejak sosok Alvin menjadi mahasiswa baru di kelas kami. Karena selama satu
bulan itu secara tidak kentara Alvin menunjukkan tanda-tanda dia pernah
mengenalku. Entah itu menatapku di sela-sela kegiatan perkuliahan, tersenyum
jika kebetulan aku juga menatap balik, menyapa jika kebetulan berpapasan di
koridor kampus, dan berbagai hal aneh lainnya yang menunjukkan bahwa kami
pernah saling mengenal.
Dan reaksiku
selalu sama. Menatapnya sekilas dengan tampang datar dan kembali berkutat
dengan kegiatanku sebelumnya. Aku tidak peduli reaksinya setelah melihat
reaksiku barusan. Aku hanya merasa risih. Sifatku yang cenderung penyendiri
memang tidak mudah menerima orang baru di sekitarku. Tapi ada bagian dalam
diriku yang merasa familier dengan mata itu. Senyum itu. Langkah tegap itu.
Lagi-lagi ketika aku berusaha mencari ke dalam puing-puing kenangan masa kecil
yang kumiliki, aku tidak mendapatkan hasil apa-apa. Dengan kata lain aku tidak
pernah mengenal sosok seorang Alvin sebelumnya. Lantas perasaan aneh apa yang
kurasakan setiap aku melihat ke kedalaman matanya? Sensasi apa yang kurasakan
saat aku melihat senyum manisnya terulas untukku?
Sudahlah, bukan hal penting yang
harus kau pikirkan. Masih banyak hal lain yang lebih memerlukan perhatianmu
daripada mengurusi sosok Alvin.
Dengan itu
aku akan kembali melupakan apa yang kurasakan pada Alvin. Ralat, berusaha
melupakan, maksudku. Meski susah. Dan hari pun berlalu dengan mudahnya.
***
Sahabat, masih ingatkah kau?
“Ega, ke saung yuk?”
“Ega, ambilin Aya buah jambu dong!”
“Ega, tungguin Aya!”
“Ih Ega Aya kan capek, males ah.”
“Egaaaa!”
“Ega jahat! Aya ditinggalin
sendirian! Aya benci Ega!”
Mimpi itu
lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu dihantui mimpi masa kecilku.
Seorang gadis chubby dengan seorang bocah laki-laki. Sayangnya semua hanya
berupa siluet yang samar-samar. Tapi meski samar, aku bisa menangkap nama yang
terucap dari bibir mungil bocah-bocah kecil itu. Aya dan Ega.
Aya dan Ega.
Ega dan Aya.
Kali ini aku
clueless. Aku
tidak merasa mengenal dua nama itu. Tapi entah kenapa aku merasa gadis kecil
itu adalah aku di masa lalu. Aneh? Tentu saja. Namaku Sivia. Sivia Vanilla.
Tidak ada unsur Aya sama sekali dari namaku.
Dan, siapa
Ega? Mengapa aku merasa sosok Ega berada begitu dekat denganku?
Aku harus
menemui Mama setelah ini!
***
PLUK.
Aku melempar
kerikil yang berada di sekitar kakiku ke padang ilalang di depanku. Angin
sepoi-sepoi lembut menyapa wajah chubbyku. Senyumku terkembang sempurna.
Mengingat kejadian-kejadian beberapa hari terakhir yang jujur saja cukup
membuatku terkejut.
Kejutan
pertama yang kuterima adalah dari Mama. Wanita paruh baya yang sudah menemani
seumur hidupku itu kutodong untuk menceritakan masa laluku begitu dia
menginjakkan kaki ke rumah –sehabis pulang praktek. Tidak peduli bau rumah
sakit –aku sedikit benci bau obat-obatan khas rumah sakit– yang masih melekat
di tubuhnya aku tetap setengah menyeretnya menuju kamarku.
Dan
mengalirlah cerita itu dari bibirnya. Tentang Aya dan Ega. Seperti dugaanku,
Aya itu aku. Panggilan masa kecilku, tepatnya. Diambil dari nama depanku,
Sivia. Ia. Aya. Terkesan sedikit memaksa, memang. Tapi kata Mama sejak kecil
aku memang dipanggil Aya. Baru menginjak kelas tiga SD aku sudah enggan
dipanggil Aya. Mengingat kala itu aku sudah berada di lingkungan baru dan nama
Aya bagiku terkesan kampungan –maklumilah pemikiran ala anak kecil yang sedang
terkena sindrom urbanisasi– aku lebih memilih dipanggil Sivia atau Via hingga
saat ini. Ega sendiri adalah anak penghuni panti asuhan yang berada tak jauh
dari rumahku yang dulu. Bocah keturunan Chinese yang menjadi satu-satunya
temanku kala kecil dulu. Menurut Mama, tiada hari yang kulewatkan tanpa Ega. Pulang
pergi sekolah, bermain menghabiskan sore bersama di saung yang terletak di
padang ilalang tak jauh dari rumahku dulu. Kadang jika hari Minggu tiba Ega
meminta izin mengajakku ke sawah yang dimiliki panti asuhan tempatnya bernaung.
Cerita Mama
tentang Aya dan Ega berakhir ketika Ega menghilang tanpa jejak di hari
penerimaan raport. Hari terakhir di tahun pertama kami di Sekolah Dasar.
Samar-samar
aku ingat hari itu. Aku memang masih bersama Ega hingga bubar sekolah. Dan
ketika aku menunggu Ega dengan sepeda gunungnya di depan rumah sore harinya,
sosok Ega tak kunjung muncul dari tikungan di ujung gang sana. Aku mulai
was-was kala itu. Ketika terbesit di pikiranku untuk menyusulnya ke panti,
tiba-tiba turun hujan dengan lebatnya, menyebabkan aku buru-buru masuk ke dalam
rumah, dan melupakan keinginan untuk menyusul Ega. Toh masih ada hari esok,
pikirku.
Dan apa yang
kudapati keesokan harinya? Panti itu kosong. Kata tetangga yang kebetulan
rumahnya berada di sekitar panti, semua anak-anak yang ada di panti diadopsi
oleh masing-masing orangtua baru mereka. Pengurus panti sengaja menunggu hari
terakhir sekolah agar pendidikan anak-anak panti tidak terkendala. Dan para
orangtua itu setuju.
Aku masih
ingat reaksiku saat itu. Membuang semua kenangan yang kupunya tentang Ega.
Kenangan yang ternyata diam-diam dikumpulkan oleh Mama dan disimpannya di dalam
kotak mainanku yang tempo dulu pernah diberikan oleh Rio. Tidak. Aku tidak
menangis meraung-raung kala itu. Aku hanya duduk diam di saung yang saat ini
kududuki, menekuk lutut dan melamun. Berpikir kenapa Ega tega meninggalkanku
tanpa pamit. Sejak saat itu aku berniat untuk melupakannya. Kurasa aku
berhasil. Karena aku melupakan kenangan masa kecilku saat bersamanya.
Ngomong-ngomong
kotak, aku tengah menimang dua buah kotak di pangkuanku saat ini. Yah,
kotak-kotak itu adalah kejutan kedua yang kuterima. Kotak pertama isinya
barang-barang yang pernah kubeli bersama Ega, atau barang-barang pemberian Ega,
pokoknya semua hal yang berkaitan tentang Ega. Jepit rambut, gelang kayu,
bandana, ranting pohon, pensil, buku, topi, semua benda yang tentang Ega.
Samar-samar aku bisa mengingat asal-usul benda itu, tapi aku sedang tidak ingin
membahasnya.
Kotak kedua
isinya cukup mengejutkanku. Sebuah ukiran lumba-lumba dari kayu. Hanya
orangtuaku dan Rio yang mengetahui seberapa fanatiknya aku dengan hewan satu
itu. Ah tidak, kurasa masih ada satu orang lagi yang tau. Ega. Karena aku
menemukan selembar kertas yang penuh dengan tulisan khas anak-anak di balik
ukiran lumba-lumba itu. Meski sedikit acak-acakan, tapi kurasa aku masih bisa
membacanya.
Aya, maafin Ega yaa pergi ngga
bilang-bilang. Ibu Tanti bilang Ega bakal tinggal di Jogja sama orangtua baru
Ega. Nanti janji deh liburan Ega bakal main ke Bandung, jenguk Aya. Aya jangan
kemana-mana yaa, tungguin Ega. Ega sayang Aya.
Oh iya, ini Ega kasih lumba-lumba.
Ega juga punya loh satu, hihihi.
Satu rahasia
kecil yang ternyata luput dari pengetahuanku. Hujan lebat sore itu, ketika aku
menunggu Ega di depan teras rumah, tak lama setelah aku memilih masuk ke dalam,
sebuah mobil sejenis SUV berhenti di depan rumah. Dari dalam mobil keluar
seorang bocah kecil yang menenteng sebuah kotak. Kotak yang sama dengan yang
saat ini berada di pangkuanku. Anak lelaki itu memilih menyimpan kotak itu
tepat di depan pintu rumah, dan yang menemukannya adalah Mamaku. Ketika Mama
akan memberikan kotak itu padaku, aku ternyata telah lebih dulu memberikannya
kotak berisi kenangan tentang Ega kepadanya untuk dibuang. Untung saja Mama
tidak mengindahkan permintaanku. Dia memilih menyimpan kedua kotak itu, bahkan
membawanya ketika kami pindah ke Jakarta setahun kemudian.
Dan, kejutan
ketiga adalah…
“Hei, mau
jambu?” Alvin menyodorkan sekeranjang buah jambu air ke hadapanku, sontak
membuat mataku membulat girang dan melepaskan kotak-kotak di pangkuanku ke
lantai saung.
“Kok lo
masih inget gue suka jambu?” tanyaku sambil mengunyah buah jambu di depanku.
“I never forget you, Aya.
Apalagi hal kecil begini,” senyum itu muncul lagi. Senyum yang menenangkan
hatiku.
Yah. Kejutan
ketiganya adalah Ega. Atau Alvin.
Setelah aku
mengetahui fakta bahwa Ega tidak benar-benar melupakanku, keesokan harinya di
kampus Alvin mendatangiku. Dia langsung menunjukkan ukiran lumba-lumba yang
sama persis seperti yang diberikannya padaku, yang kebetulan sedang
kutimang-timang penuh sayang. Singkat cerita, Alvin dan Ega adalah satu orang
yang sama. Ega adalah nama yang diberikan Ibu Tanti –pengurus panti tempat Ega
bernaung dulu– dan Alvin adalah nama yang diberikan orangtua barunya.
Alvin
Ardiga.
Yah, sedikit
memaksa memang. Sebelas dua belas dengan asal-usul nama Aya yang cenderung
memaksa. Oke, abaikan. Tidak penting untuk dibahas, sebenarnya.
Dan kejutan
terakhir, Ega –aku harus membiasakan diri memanggilnya Alvin mulai saat ini–
mengajakku menikmati liburan akhir pekan di Bandung, tepatnya di saung tempat
kami sering menghabiskan waktu bersama dahulu. Sawah. Padang ilalang. Panti
asuhan. Sekolah. Hingga pasar malam diujung desa yang masih ada hingga saat
ini.
Aku jadi
tidak sabar menghabiskan hariku dengan Ega, atau Alvin. Ah, aku selalu saja
memanggilnya Ega. Tapi sepertinya dia tidak keberatan, karena dia juga sering
memanggilku Aya. So,
it doesn’t matter, right?
Oh,
sepertinya kejutan yang kuterima belum berakhir. Karena saat ini, di depanku,
Ega –uurrgghh lagi-lagi aku memanggilnya Ega! Maksudku Alvin– tengah berlutut
dengan sebuah cincin manis di tangannya. Kata-kata berikutnya sudah mampu
kutebak.
“Would you be my Aya for the rest of my
life?”
So,
should I say ‘NO’?
Of course
I’ll say ‘Yes’.
“Yes, I
would.”
PS : saat
cerita ini dibuat aku tengah berada di kamarku, dengan Ega disampingku yang
daritadi tidak henti-hentinya tertawa. Sialan. Awas saja kau Alvin Ardiga!
-THE END-
Regards : Hanuri Sakarti