Sabtu, 31 Agustus 2013

Tanpa Judul

Hei, mau mendengar sebuah cerita dariku? Cerita biasa menurutku, tapi entah kenapa aku tergerak untuk menulis cerita ini. Ini bukan sebuah fiksi, melainkan nyata. Maksudku, ini diambil berdasarkan kisah yang pernah kualami sendiri. Jadi maaf-maaf saja jika kesannya datar dan minim konflik. Karena kita hidup di dunia nyata, kan?
Oke, ini kisahku.

***

Pernah kita sama-sama susah
Terjerumus dalam lubang jalanan

Dulu, saung itu adalah tempat favorit kita menghabiskan sore bersama. Saung yang berada di tengah-tengah padang ilalang dengan pohon jambu tepat berada di depan saung mungil itu. Dulu, kau bahkan rela memanjat pohon jambu jika aku sudah merengek-rengek kepadamu. Tak peduli seberapa lelahnya dirimu dengan setumpuk tugas sekolah, ataupun setelah seharian membantu ibu panti di sawah, kau tetap mengabulkan permintaan konyolku. Dan aku dengan girangnya akan menyambut senang buah jambu yang kau sodorkan di depanku. Jambu air merah kesukaanku.

Dulu, kau akan selalu berada di depan rumahku setiap jam enam lewat tiga puluh tiga menit. Dengan sepeda gunungmu kau berdiri tegak, seolah menantang sinar mentari yang tanpa ragu menumpahkan sinarnya di tubuh tegapmu. Tas ransel lusuhmu tergantung kaku di pundakmu, lengkap dengan jahitan di sana-sini. Lantas sepuluh menit kemudian kau akan berteriak memanggil namaku hingga aku keluar menghampirimu dengan sepeda merah mudaku. Aku akan memasang wajah super polos dan kau akan mencubit kedua pipi chubbyku hingga aku menjerit kesakitan. Dan kau akan tertawa sampai mata sipitmu semakin tenggelam.

Dulu setiap Minggu pagi kau akan mengetuk pintu kamarku dengan semangat, menyeretku masuk ke kamar mandi –bahkan mengguyurku dengan air– jika aku masih terlelap di balik selimut. Dengan muka menggerutu aku mengayunkan sepeda menyusul sepeda gunungmu yang sudah melesat jauh di depanku. Kau akan membawaku ke sawah milik panti asuhan tempatmu bernaung, menghabiskan hari disana. Lantas malam harinya kau akan mengajakku ke pasar malam di ujung desa.

Dulu, akan selalu ada kalimat “Hidup ini perlu perjuangan, Ay. Ngga selamanya apa yang kita mau bisa dengan mudah kita dapetin. Perlu usaha buat dapetin yang kita mau,” ketika aku mulai malas dalam mengerjakan sesuatu. Dan aku akan membalas “Tapi Aya capek, Egaaa!” Atau, kalimat “Jangan nyerah, bayangin aja apa yang lo mau tiba-tiba ada depan mata lo. Jangan sia-siain usaha lo selama ini,” ketika aku mulai merasa lelah mengerjakan sesuatu. Lagi-lagi aku hanya akan mengatakan “Aya capek, Ga!” padamu dengan ekspresi kesal dan lelah yang tak pernah kututup-tutupi. Kau hanya akan tersenyum dan menepuk puncak kepalaku. Sekedar menenangkan.

Tapi itu dulu. Dua belas tahun yang lalu. Ketika kita masih berstatus pelajar Sekolah Dasar kelas satu.

Setahun kemudian kau menghilang. Tepat setelah pembagian raport kenaikan kelas. Menghilang tanpa mengatakan apapun kepadaku. Tanpa meninggalkan apapun untuk kukenang kembali. Hanya mengandalkan memori yang tersimpan rapi dalam kotak pikiran. Tapi apalah daya ingatan seorang anak kecil. Seiring berjalannya waktu, kenangan tentangmu perlahan terhapus dari benakku.

Tiada lagi Ega. Tiada lagi Aya. 

***

Hingga saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar

“Sivia, tungguin!” seorang gadis berseru memanggil namaku, membuat langkah santaiku terhenti seketika. Tanpa berbalik pun aku sudah mengenal suara siapa ini. Seorang gadis tirus yang memproklamirkan diri sebagai sahabatku sejak aku menginjakkan kaki di sekolah baruku di kota ini waktu itu. Kelas tiga Sekolah Dasar.

“Buruan, Ify. Nanti keburu Bu Gia masuk,” aku menyebut nama dosen Kalkulusku. Guru cantik satu ini memang terkenal dengan kedisiplinannya. Dan aku tidak mau ambil resiko terlambat di hari pertama perkuliahan semester gasal tahun keduaku di Universitas ini.

Sedetik kemudian aku mendapati tanganku diseret Ify. Mendengar kata ‘Bu Gia’ ternyata cukup ampuh untuk membuat seorang putri keraton yang leletnya minta ampun seperti Ify kini bergerak cepat seperti pelari professional. Oke, abaikan.

Untung saja, ketika akhirnya kami tiba di kelas, suasana kelas masih ramai. Itu artinya Bu Gia belum menapakkan kakinya ke ruangan paling ujung gedung kampus ini. Syukurlah. Aku masih bisa menarik napas sebentar usai berlari-lari di sepanjang koridor kampus akibat ditarik dengan semena-mena oleh Ify.

“Eh denger-denger bakal ada mahasiswa pindahan loh. Dia bakal masuk hari ini di makul Bu Gia. Katanya sih masih ada hubungan keluarga gitu sama Bu Gia,” Ify mulai bergosip dengan teman-temanku yang lain. Kebiasaan Ify yang sulit hilang sejak kami berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. 

Entahlah. Bagi sebagian besar orang mungkin fenomena gadis-gadis yang membicarakan orang lain terlihat biasa saja. Toh memang kodrat perempuan seperti itu. Tapi tidak denganku. Aku tidak menyukai gadis-gadis seperti itu. Maksudku, tidak adakah hal yang lebih bermanfaat selain membicarakan orang lain? For God’s sake! Sebut aku aneh. Ah, tidak. Bukan aneh. Hanya masalah prinsip. Ya, itu lebih baik.

Oke, kembali ke masalah awal. Sementara mereka yang ‘katanya’ perempuan sejati –aku tidak bisa melihat dimana letak ‘sejati’ itu berada– masih asyik bergosip ria, aku sudah tenggelam dalam gadget di tangan. Tidak merasa tertarik dengan kesibukan gadis-gadis itu. Penyendiri. Autis. Seperti itulah aku di mata teman-temanku. Dan aku tak peduli. Karna meskipun begitu, aku cukup eksis di kalangan teman-temanku. Meski aku benci itu.

Entah sudah berapa lama aku berselancar di dunia maya, menikmati kesendirianku yang tak terjamah lingkungan luar. Hanya ada aku dan tablet putihku. Aku kadang suka lupa segalanya jika sudah tenggelam dalam duniaku. Lupa waktu, terutama. Ketika akhirnya gendang telingaku tidak lagi mendengar pembicaraan-pembicaraan ala presenter gosip terkenal dari teman-temanku, aku mengangkat kepala, sejenak memisahkan diri dari gadget. Bisa saja tiba-tiba Bu Gia sudah menginjakkan kaki di kelas, kan? Aku tidak mau mengambil resiko dipermalukan seisi kelas karena kebiasaanku yang satu ini.

Namun, bukan seorang wanita cantik berusia akhir dua puluhan yang tertangkap retina mataku, melainkan seorang pemuda tinggi tegap berwajah oriental dengan T-shirt putih polos yang dilapisi kemeja hitam. Puing-puing kenangan di otakku langsung mengirimkan tanda-tanda bahwa aku pernah mengenal pemuda di depan sana. Tapi bagian skeptis dari diriku mengatakan ‘mungkin saja kau pernah bertemu dengannya saat sedang berada di tempat umum. Wajah seperti itu pasaran. Layaknya pemuda keturunan Tionghoa lainnya.’ Aku mengangkat bahu sekilas lantas kembali menyibukkan diri dengan gadgetku.

Samar-samar gendang telingaku menangkap kata ‘Alvin’ dan ‘Jogja’. Simpulan yang bisa ditarik otakku yang sedang berkonsentrasi pada gadget di tangan adalah pemuda itu namanya Alvin dan dia pindahan dari Jogja. Just it. And I really really really don’t care about him.

Maksudku, he just a new member on my class, so should I act like the other girls on my class? Okelah, kuakui dia memang cukup tampan, ketampanan khas pemuda oriental. Rahang tegas, wajah putih mulus tiada cela –oke ini berlebihan– dan mata hitam yang menatap seisi ruangan dengan tajam. Lalu apa? Hanya hal sepele dan gadis-gadis itu sudah berteriak histeris seolah baru saja melihat pemuda paling ganteng yang mereka temui. Oh ayolah, kakakku masih jauh lebih ganteng darinya. Sebut aku aneh. Bagiku hanya dua laki-laki yang akan aku akui ketampanannya. Laki-laki pertama kakakku tentu saja. Rio. Kekasih dari Ify. Laki-laki lainnya yang akan akui tanpa pikir panjang jelas Papaku. Jadi, cukup jelaskan mengapa aku tidak menganggap penting hal ini? Karena memang dia tidak penting. 

End of discussion.

***

“Hei, Vi.”

Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi berkutat dengan layar laptop begitu aku mendengar suara langkah kaki memasuki kamarku, disusul dengan tubuh seseorang yang sudah berada di sampingku. Aku memang tidak pernah mengunci pintu kamarku, bahkan untuk tidur sekalipun. Entahlah. Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukannya. Padahal kata Mama sewaktu kecil aku justru tidak pernah lupa untuk mengunci pintu kamar jika kebetulan aku sedang berada di dalamnya. Yah, tidak terlalu penting untuk dibahas sebenarnya. 

“Kenapa, kak?” tanyaku, melepas kacamata tanpa frame yang sedari tadi bertengger di atas hidungku, berusaha memberikan atensiku padanya. Rio tergolong orang yang tidak suka jika orang tidak menatap matanya saat berbicara. Katanya untuk menguji fokus seseorang, bahkan kita bisa mengetahui seseorang berbohong atau tidak hanya lewat matanya. Yah, whatever he said.

“Tadi gue nemenin Mama beres-beres gudang, dan gue nemu ini. Punya lo kan?” Rio menyodorkan jepitan lucu berbentuk kupu-kupu yang sudah terlihat kusam di bagian sayap birunya.

Aku mendudukkan diriku di sampingnya sebelum menerima jepitan itu dan mengamatinya sejenak. Hanya jepitan biasa, dengan bagian kanan sayap yang sudah patah dan bagian kirinya yang sedikit berlubang. Seketika aku mengerutkan kening, merasa familier dengan jepitan ini, tapi lupa kapan tepatnya aku pernah mengenakan jepitan kupu-kupu lucu ini.

“Via lupa, kak. Hehehe,” aku nyengir sambil mengembalikan jepitan lucu itu ke tangannya dan mendekap boneka lumba-lumba yang besarnya hampir setengah badanku –hadiah sweet seventeenku dari Rio.

Entahlah, rasa-rasanya kenangan masa kecilku selalu tergambar suram di benakku. Awalnya aku sempat merasa frustasi sih. Ayolah, mana ada orang yang tidak mau mengenang masa kecilnya? Tapi makin kesini aku sudah terbiasa dengan hal ini. Hanya berusaha berpikir positif, mungkin saja ada kejadian masa kecil yang tidak mengenakkan yang ingin kulupakan, mengingat aku tidak pernah mengalami kecelakaan hebat hingga menyebabkan amnesia permanen. Jadi opsi pertama lebih masuk akal untukku.

“Yah dasar bocah,” tangan Rio tergerak mengacak rambut coklat kemerahanku. Kebiasaan jeleknya yang paling aku benci.

“Ishh ngga pake acak rambut juga kali, ah. Sebel gue sama lo! Sana ah keluar hush us,” aku memukul tubuh tegapnya dengan boneka di tanganku sekuat tenaga, berharap Rio merasa terusik dan akhirnya keluar dari kamarku. Sayangnya itu tidak berarti banyak. Rio sepertinya enggan keluar dari kamarku. 

“Gue juga nemu ini. Ngga tau deh itu isinya apa, yang jelas ada nama lo di atasnya,” Rio menyerahkan sebuah kotak ukuran kecil ke arahku. Berbeda dengan jepitan tadi yang tanpa ragu langsung kuambil dari tangan Rio, kali ini aku terdiam menatap kotak itu.
Tentu saja aku ingat kotak apa itu. Meski aku tidak bisa mengingat masa kecilku, bukan berarti aku sama sekali tidak punya memori tentangnya. Dan kotak itu adalah satu dari sekian memori yang masih terpatri jelas di benakku.

“Heh, malah bengong. Ini ambil kotaknya, gue ada janji sama dosen nih bentar lagi,” Rio menggoyang kotak itu di depan wajahku, membuat aku mengerjap seketika.

“Hah? Apa? Oh kotak? Simpen situ aja deh,” gelagapan, aku menunjuk meja belajarku di sudut kamar. 

Rio mengangkat alis sejenak melihat tingkahku, mungkin merasa bingung dengan kelakuan adik semata wayangnya. Tapi aku tak peduli. Merasa aku mungkin tak mempedulikannya, dia mengangkat bahu sebelum akhirnya berdiri dari ranjangku dan berjalan menuju meja belajar yang penuh dengan tumpukan diktat kuliahku.

“Ohya, selain jepitan sama kotak tadi, gue juga nemu ini di gudang. Emang ngga ada namanya sih, tapi dari kertas kadonya gue yakin itu buat lo. Udah yaa gue mau konsultasi dulu sama dosen PA gue. Lo baik-baik di rumah, Mama sama Papa baru pulang besok. Jangan kelayapan yaa bocah,” Rio menaruh kedua kotak itu di meja belajar dan berjalan keluar kamar, setelah sebelumnya mendekatiku dan mencubit pelan hidungku. Kebiasaan jeleknya yang lain.

Setelah memastikan Rio sudah pergi –dari suara mesin mobilnya yang perlahan terdengar semakin jauh– aku melepaskan boneka yang sedari tadi kupeluk erat lantas melangkahkan kaki jenjangku ke arah meja belajar. 

Ketika tanganku tergerak untuk mengambil kedua kotak itu, suara Bi Asih memanggilku dari lantai bawah. Sesuatu seperti ‘teman’ dan ‘tugas’ samar-samar terdengar di gendang telingaku. Aku melirik jam dinding sekilas lantas menepuk jidatku. Bagaimana aku bisa melupakan janji mengerjakan tugas kelompok Kalkulus hari ini? Ini pasti karena kebiasaanku berseluncur di dunia maya yang suka membuatku lupa waktu.

Tanganku menyambar diktat-diktat kalkulus di atas meja, berdampingan dengan kotak-kotak yang tadi ditemukan Rio di gudang. Tidak lupa aku menyambar hoodie biru lautku yang tergeletak pasrah di sandaran kursi belajarku. Tidak mungkin kan aku menemui teman-temanku hanya dengan celana selutut dan tanktop? Meskipun hanya para gadis, tetap saja rasanya tidak sopan.

Dan kedua kotak itupun terlupakan kehadirannya.

***

“Vi, si Alvin ngeliatin lo mulu tuh daritadi,” Ify berbisik pelan disampingku.

Saat ini, Bu Gia tengah berhalangan hadir sehingga beliau menugaskan mahasiswanya menyelesaikan beberapa permasalahan yang telah disiapkannya jauh-jauh hari. Dosen seperti Bu Gia memang tidak tanggung-tanggung dalam memberi tugas. Terbukti waktu sudah berjalan lebih dari satu jam aku baru berhasil menjawab dua dari tujuh soal yang diberikan. Waktu dua jam setengah pun rasanya kurang bagiku menyelesaikan tujuh soal Kalkulus ini. Bukan karena aku tidak bisa menyelesaikannya, tetapi Bu Gia adalah dosen yang menuntut kesempurnaan dalam mengerjakan sesuatu. Tipe dosen perfeksionis. Praktis waktu satu jam hanya bisa kugunakan untuk menyelesaikan dua soal. Masih ada satu jam setengah dan aku masih harus menyelesaikan lima soal. Dan sekarang Ify malah berbisik padaku tentang Alvin-yang-sedari-tadi-menatapku? For God’s sake! Tidak bisakah Ify melihat situasi sebelum berbicara?

Aku sudah berniat hendak membiarkan Ify berucap sesukanya ketika tiba-tiba pena yang kugunakan untuk menulis sedari tadi tiba-tiba raib. Tidak. Aku tidak punya pena ajaib yang bisa tiba-tiba menghilang. Aku juga tidak bisa ilmu sihir yang bisa menghilangkan pena secara tiba-tiba. Dan karena aku tidak bisa kedua-duanya, hanya satu opsi yang mungkin. 

Aku menoleh malas ke arah samping kiri, tempat Ify duduk dengan cengirannya yang menyebalkan. Dan pena yang sedari tadi kugunakan untuk menulis berada di tangan kanannya. Lihatkan? Ify memang sahabat yang menyebalkan. Kadang-kadang.

“Fy, pena gue sini deh, gue baru ngerjain nomor tiga nih entar ngga keburu,” aku meminta penaku kembali pada Ify, meski mustahil. Ify bukan gadis yang akan dengan senang hati menuruti permintaanku secepat itu, setidaknya hingga keinginannya kukabulkan.

“Dengerin gue dulu makanya. Tugas gampang deh, anak-anak juga banyak yang baru ngerjain nomor satu kok,” Ify berkata dengan entengnya. Seolah tugas Kalkulus ini cukup mudah untuk dikerjakan saja. Ayolah, dia saja baru menulis angka 2 di bawah jawaban soal nomor satu. Dan kenapa dia bisa sesantai ini? 

“Dengerin apasih ah siniin deh nanggung nih keburu gue inget cara ngerjainnya,” aku masih berusaha mengambil penaku di tangannya. Andai saja aku punya pena lebih. Sayangnya pena lebih yang kuharapkan itu ada di Ify. Otomatis dia memegang dua pena milikku. What a wonderful situation!

“Lo yakin lo ngga kenal Alvin sebelum-sebelum ini? Ngga sengaja ketemu di jalan kek apa kek gitu?” Ify mendesakku lagi. Dasar korban sinetron.

Aku memutar mataku jengah. Bosan mendengar hal yang sama sejak sebulan yang lalu. Tepatnya sejak sosok Alvin menjadi mahasiswa baru di kelas kami. Karena selama satu bulan itu secara tidak kentara Alvin menunjukkan tanda-tanda dia pernah mengenalku. Entah itu menatapku di sela-sela kegiatan perkuliahan, tersenyum jika kebetulan aku juga menatap balik, menyapa jika kebetulan berpapasan di koridor kampus, dan berbagai hal aneh lainnya yang menunjukkan bahwa kami pernah saling mengenal.

Dan reaksiku selalu sama. Menatapnya sekilas dengan tampang datar dan kembali berkutat dengan kegiatanku sebelumnya. Aku tidak peduli reaksinya setelah melihat reaksiku barusan. Aku hanya merasa risih. Sifatku yang cenderung penyendiri memang tidak mudah menerima orang baru di sekitarku. Tapi ada bagian dalam diriku yang merasa familier dengan mata itu. Senyum itu. Langkah tegap itu. Lagi-lagi ketika aku berusaha mencari ke dalam puing-puing kenangan masa kecil yang kumiliki, aku tidak mendapatkan hasil apa-apa. Dengan kata lain aku tidak pernah mengenal sosok seorang Alvin sebelumnya. Lantas perasaan aneh apa yang kurasakan setiap aku melihat ke kedalaman matanya? Sensasi apa yang kurasakan saat aku melihat senyum manisnya terulas untukku?

Sudahlah, bukan hal penting yang harus kau pikirkan. Masih banyak hal lain yang lebih memerlukan perhatianmu daripada mengurusi sosok Alvin.

Dengan itu aku akan kembali melupakan apa yang kurasakan pada Alvin. Ralat, berusaha melupakan, maksudku. Meski susah. Dan hari pun berlalu dengan mudahnya.

***

Sahabat, masih ingatkah kau?

“Ega, ke saung yuk?”
“Ega, ambilin Aya buah jambu dong!”
“Ega, tungguin Aya!”
“Ih Ega Aya kan capek, males ah.”
“Egaaaa!”
“Ega jahat! Aya ditinggalin sendirian! Aya benci Ega!”

Mimpi itu lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu dihantui mimpi masa kecilku. Seorang gadis chubby dengan seorang bocah laki-laki. Sayangnya semua hanya berupa siluet yang samar-samar. Tapi meski samar, aku bisa menangkap nama yang terucap dari bibir mungil bocah-bocah kecil itu. Aya dan Ega.

Aya dan Ega.
Ega dan Aya.

Kali ini aku clueless. Aku tidak merasa mengenal dua nama itu. Tapi entah kenapa aku merasa gadis kecil itu adalah aku di masa lalu. Aneh? Tentu saja. Namaku Sivia. Sivia Vanilla. Tidak ada unsur Aya sama sekali dari namaku.

Dan, siapa Ega? Mengapa aku merasa sosok Ega berada begitu dekat denganku?
Aku harus menemui Mama setelah ini!

***

PLUK.

Aku melempar kerikil yang berada di sekitar kakiku ke padang ilalang di depanku. Angin sepoi-sepoi lembut menyapa wajah chubbyku. Senyumku terkembang sempurna. Mengingat kejadian-kejadian beberapa hari terakhir yang jujur saja cukup membuatku terkejut.

Kejutan pertama yang kuterima adalah dari Mama. Wanita paruh baya yang sudah menemani seumur hidupku itu kutodong untuk menceritakan masa laluku begitu dia menginjakkan kaki ke rumah –sehabis pulang praktek. Tidak peduli bau rumah sakit –aku sedikit benci bau obat-obatan khas rumah sakit– yang masih melekat di tubuhnya aku tetap setengah menyeretnya menuju kamarku.

Dan mengalirlah cerita itu dari bibirnya. Tentang Aya dan Ega. Seperti dugaanku, Aya itu aku. Panggilan masa kecilku, tepatnya. Diambil dari nama depanku, Sivia. Ia. Aya. Terkesan sedikit memaksa, memang. Tapi kata Mama sejak kecil aku memang dipanggil Aya. Baru menginjak kelas tiga SD aku sudah enggan dipanggil Aya. Mengingat kala itu aku sudah berada di lingkungan baru dan nama Aya bagiku terkesan kampungan –maklumilah pemikiran ala anak kecil yang sedang terkena sindrom urbanisasi– aku lebih memilih dipanggil Sivia atau Via hingga saat ini. Ega sendiri adalah anak penghuni panti asuhan yang berada tak jauh dari rumahku yang dulu. Bocah keturunan Chinese yang menjadi satu-satunya temanku kala kecil dulu. Menurut Mama, tiada hari yang kulewatkan tanpa Ega. Pulang pergi sekolah, bermain menghabiskan sore bersama di saung yang terletak di padang ilalang tak jauh dari rumahku dulu. Kadang jika hari Minggu tiba Ega meminta izin mengajakku ke sawah yang dimiliki panti asuhan tempatnya bernaung.

Cerita Mama tentang Aya dan Ega berakhir ketika Ega menghilang tanpa jejak di hari penerimaan raport. Hari terakhir di tahun pertama kami di Sekolah Dasar.

Samar-samar aku ingat hari itu. Aku memang masih bersama Ega hingga bubar sekolah. Dan ketika aku menunggu Ega dengan sepeda gunungnya di depan rumah sore harinya, sosok Ega tak kunjung muncul dari tikungan di ujung gang sana. Aku mulai was-was kala itu. Ketika terbesit di pikiranku untuk menyusulnya ke panti, tiba-tiba turun hujan dengan lebatnya, menyebabkan aku buru-buru masuk ke dalam rumah, dan melupakan keinginan untuk menyusul Ega. Toh masih ada hari esok, pikirku. 

Dan apa yang kudapati keesokan harinya? Panti itu kosong. Kata tetangga yang kebetulan rumahnya berada di sekitar panti, semua anak-anak yang ada di panti diadopsi oleh masing-masing orangtua baru mereka. Pengurus panti sengaja menunggu hari terakhir sekolah agar pendidikan anak-anak panti tidak terkendala. Dan para orangtua itu setuju.

Aku masih ingat reaksiku saat itu. Membuang semua kenangan yang kupunya tentang Ega. Kenangan yang ternyata diam-diam dikumpulkan oleh Mama dan disimpannya di dalam kotak mainanku yang tempo dulu pernah diberikan oleh Rio. Tidak. Aku tidak menangis meraung-raung kala itu. Aku hanya duduk diam di saung yang saat ini kududuki, menekuk lutut dan melamun. Berpikir kenapa Ega tega meninggalkanku tanpa pamit. Sejak saat itu aku berniat untuk melupakannya. Kurasa aku berhasil. Karena aku melupakan kenangan masa kecilku saat bersamanya.

Ngomong-ngomong kotak, aku tengah menimang dua buah kotak di pangkuanku saat ini. Yah, kotak-kotak itu adalah kejutan kedua yang kuterima. Kotak pertama isinya barang-barang yang pernah kubeli bersama Ega, atau barang-barang pemberian Ega, pokoknya semua hal yang berkaitan tentang Ega. Jepit rambut, gelang kayu, bandana, ranting pohon, pensil, buku, topi, semua benda yang tentang Ega. Samar-samar aku bisa mengingat asal-usul benda itu, tapi aku sedang tidak ingin membahasnya.

Kotak kedua isinya cukup mengejutkanku. Sebuah ukiran lumba-lumba dari kayu. Hanya orangtuaku dan Rio yang mengetahui seberapa fanatiknya aku dengan hewan satu itu. Ah tidak, kurasa masih ada satu orang lagi yang tau. Ega. Karena aku menemukan selembar kertas yang penuh dengan tulisan khas anak-anak di balik ukiran lumba-lumba itu. Meski sedikit acak-acakan, tapi kurasa aku masih bisa membacanya.

Aya, maafin Ega yaa pergi ngga bilang-bilang. Ibu Tanti bilang Ega bakal tinggal di Jogja sama orangtua baru Ega. Nanti janji deh liburan Ega bakal main ke Bandung, jenguk Aya. Aya jangan kemana-mana yaa, tungguin Ega. Ega sayang Aya.
Oh iya, ini Ega kasih lumba-lumba. Ega juga punya loh satu, hihihi.

Satu rahasia kecil yang ternyata luput dari pengetahuanku. Hujan lebat sore itu, ketika aku menunggu Ega di depan teras rumah, tak lama setelah aku memilih masuk ke dalam, sebuah mobil sejenis SUV berhenti di depan rumah. Dari dalam mobil keluar seorang bocah kecil yang menenteng sebuah kotak. Kotak yang sama dengan yang saat ini berada di pangkuanku. Anak lelaki itu memilih menyimpan kotak itu tepat di depan pintu rumah, dan yang menemukannya adalah Mamaku. Ketika Mama akan memberikan kotak itu padaku, aku ternyata telah lebih dulu memberikannya kotak berisi kenangan tentang Ega kepadanya untuk dibuang. Untung saja Mama tidak mengindahkan permintaanku. Dia memilih menyimpan kedua kotak itu, bahkan membawanya ketika kami pindah ke Jakarta setahun kemudian.

Dan, kejutan ketiga adalah…

“Hei, mau jambu?” Alvin menyodorkan sekeranjang buah jambu air ke hadapanku, sontak membuat mataku membulat girang dan melepaskan kotak-kotak di pangkuanku ke lantai saung.

“Kok lo masih inget gue suka jambu?” tanyaku sambil mengunyah buah jambu di depanku.

I never forget you, Aya. Apalagi hal kecil begini,” senyum itu muncul lagi. Senyum yang menenangkan hatiku.
Yah. Kejutan ketiganya adalah Ega. Atau Alvin. 

Setelah aku mengetahui fakta bahwa Ega tidak benar-benar melupakanku, keesokan harinya di kampus Alvin mendatangiku. Dia langsung menunjukkan ukiran lumba-lumba yang sama persis seperti yang diberikannya padaku, yang kebetulan sedang kutimang-timang penuh sayang. Singkat cerita, Alvin dan Ega adalah satu orang yang sama. Ega adalah nama yang diberikan Ibu Tanti –pengurus panti tempat Ega bernaung dulu– dan Alvin adalah nama yang diberikan orangtua barunya.

Alvin Ardiga.

Yah, sedikit memaksa memang. Sebelas dua belas dengan asal-usul nama Aya yang cenderung memaksa. Oke, abaikan. Tidak penting untuk dibahas, sebenarnya.

Dan kejutan terakhir, Ega –aku harus membiasakan diri memanggilnya Alvin mulai saat ini– mengajakku menikmati liburan akhir pekan di Bandung, tepatnya di saung tempat kami sering menghabiskan waktu bersama dahulu. Sawah. Padang ilalang. Panti asuhan. Sekolah. Hingga pasar malam diujung desa yang masih ada hingga saat ini.

Aku jadi tidak sabar menghabiskan hariku dengan Ega, atau Alvin. Ah, aku selalu saja memanggilnya Ega. Tapi sepertinya dia tidak keberatan, karena dia juga sering memanggilku Aya. So, it doesn’t matter, right?

Oh, sepertinya kejutan yang kuterima belum berakhir. Karena saat ini, di depanku, Ega –uurrgghh lagi-lagi aku memanggilnya Ega! Maksudku Alvin– tengah berlutut dengan sebuah cincin manis di tangannya. Kata-kata berikutnya sudah mampu kutebak.

“Would you be my Aya for the rest of my life?”

So, should I say ‘NO’?

Of course I’ll say ‘Yes’.

“Yes, I would.”

PS : saat cerita ini dibuat aku tengah berada di kamarku, dengan Ega disampingku yang daritadi tidak henti-hentinya tertawa. Sialan. Awas saja kau Alvin Ardiga!


-THE END-



Regards : Hanuri Sakarti

Jumat, 16 Agustus 2013

Link Cerpen/Cerbung Alvia



Persatuan Alvia Rify
Elia Mareta
Alvia Quotes
Resa Echa Ariani
Michelle Lucky
Puspa Indah Pratiwi
Yulia Alvinoszta
Fhily Anastasya
Seva Permata
Kamila Basit
Crag dan Sisa
Rona Indana Zulfa
Evie D’BieterzRise
Yunia Ni’matussolihah Kifin
Pangestu Prasetya >> Akhir Penantianku
Kastil Story Ic-Loverz
Vincentia Alice
Community Cerpencerbung Icil Loverss >> Remember Me
Nurzaita Kpopers ICLovers
Regina Uswatun Poepon
Nurul Ayu Alkania
Zuha Arrafiqoh >> Another Way To Love
Eronika Dwi Pinara
Dinni Rosita
Mardhiianna Alvinoszta
Cerpen Cerbung Idola Cilik >> I Found My Self In Paris
Nurull Hastarini II >> Love Donuts
Hastuti Kurnia *Ubek-ubek aja yang bawah*
Blinkstar Purwakarta
Tha Alvin Jonathan Sindunatha
Titis Faya
Phely Ana Scania >> And This Love Goes To.. You!
Cerpen Cerbung Alvia
Alvia Nosztaholic Livia
Dewanti Alfi
Cerbung Dan Cerpen SiviaHolic
Karra Harukichi Inoguchi
Mimy ituellhyaalvinoszta
Mira Alvinoszta
Esha Antia
Misty Fa Wijaya
Indah Rahma *Ada Alvia Nyempil Lumayan*
Dewi Puspa Mellenia
Litha Rise PotterHolic >> Viosa We’re In Love
Lissa Ssha Indriyati
Indri Novia Kusuma
Sarah Azizah Sindunata Alvianosztaholic
Perkumpulan Alvianosztaholic Dua
Tarra Zeerany Gultom
Luluk Luchata Luvy
Syarie Purple
Fanfic Alvia
Jani Kusuma >> Second To Remember
All Ichimaru RiseGabFc >> Devil
Meinar Andari Puteri >> Lihat Lebih Dekat
Septiana Lusiantari
@haniaNRG >> 3600detik Alvia Vers
Tatang Heriana
Rani Alvianosztaholic Sindunata Azizah
Sechi PutryAlvianosztaholic Chii Adlycious
Ayu Nur Hasanah
Deandra Maghfirani
Winda Afrianti
Caitlyn Alvia