Kamis, 25 Juli 2013

Love & Be Loved [5]



Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others



Bunyi-bunyi hentakan langkah kaki dan roda-roda koper yang diseret mendominasi wilayah ini, wilayah yang disebut sebagai bandar udara. Bandara dipenuhi lalu lalang orang-rang yang baru sampai dan atau akan pergi. Ada yang mengantar ada pula yang menjemput. Sivia salah satunya, Ia duduk di salah satu bangku panjang menunggu sembari membaca novel yang –untung- Ia kantongi. Oleh karena itu menunggu tiba-tiba jadi tidak terlalu menyusahkan.
Sivia di bandara atas permintaan Gabriel kesayangannya. Gabriel minta ditemani untuk menjemput kedatangan orang tuanya. Tentu saja Sivia mau, karena orang tua Gabriel jauh-jauh datang dari luar kota salah satu tujuannya adalah untuk bertemu Sivia. Tiba-tiba teringat itu, Sivia berhenti sejenak dari alur novel, Ia menjadi gugup. Sudah lama Ia tidak berjumpa dengan mereka, sekarang bertemu lagi. Ia hanya berharap kedua orang tua Gabriel masih menyayangi dirinya sama seperti dulu dan mau menerimanya.
Setelah berhasil menenangkan diri, Sivia memandangi sekitarnya mencari sosok Gabriel. Lelaki itu belum muncul, Sivia hanya disuruh menunggu dari tadi di sini. Lantas, tanpa sengaja pandangan Sivia jatuh pada dua pasang mata yang ketara sedang memperhatikan dirinya. Mereka sepasang pria wanita paruh baya yang memiliki pengaruh dalam hidupnya dulu. Yang wanita paruh baya, tersenyum lembut pada Sivia kemudian mendekat dengan menggeret kopernya.
“Sivia…” Sapanya, antara kaget, senang, bercampur rindu.
“Mama,” Balas Sivia ragu-ragu. Apakah benar sebutan itu masih berlaku untuknya. Itu adalah Mama Alvin. Dan Pria paruh baya yang menyusul mendekati mereka, Papa Alvin.
“Ya Tuhan Sivia. Apa kabarmu, Nak?”
“Baik, Ma.” Sahutan Sivia sedikit teredam karena Ia sedang dipeluk oleh Mama Alvin. “Mama dan Papa gimana kabarnya?”
“Kami juga baik-baik saja. Senang bertemu lagi Sivia.” Giliran Papa Alvin yang memberi sambutan pelukan.
“Kamu ada di bandara mau pergi atau bagaimana?”
“Ooh bukan, Ma. Via memang tinggal di kota ini. Via Cuma menemani seseorang yang menjemput orang tuanya.”
Kemudian diam. Bingung akan membicarakan apa lagi. Sivia sendiri rasanya tidak perlu menanyakan tujuan Mama dan Papa Alvin ke kotanya, pasti untuk bertemu anak cucu mereka. Tepat ketika itu, yang ditunggu-tunggu Sivia akhirnya datang.
“Via, maaf nunggu lama. Ibu dan Ayah sudah datang mereka tidak sabar bertemu kamu. Ayoo…” Gabriel sudah menggamit tangan Sivia saking bersemangatnya tanpa memperhatikan ada tamu Sivia. Untung Sivia sempat berpamitan meski hanya menganggukkan kepala saja.
Lalu Ia berusaha menyeimbangi langkah kaki Gabriel, serta memusatkan pikirannya akan bertemu orang tua Gabriel. Ia kembali gugup.
=====================
Menjelang penghujung senja, saat-saat langit dilukis sinar jingga matahari yang membias dan bau angin sore yang khas, orang tua Alvin akhirnya tiba di kediaman putra sematawayang mereka, di kota ini. Beruntung Alvin dapat pulang kantor lebih cepat dari biasanya, sehingga bisa menyambut kedatangan mereka. Berbeda dengan si cucu, Cherivia, yang sejak siang tertidur lelap di kamarnya, belum mengetahui kedatangan opa dan oma.
“Alvin, kami tadi bertemu Sivia di bandara…”
Gerakan Alvin yang sedang meletakkan seteko teh hangat di meja untuk mereka menggantung di udara. Ia memastikan pendengarannya. Sepertinya tidak salah dengar, karena kedua orang tua nya menatap dengan serius. Jadi ini penyebab Mama dan Papanya berwajah tegang ketika sampai tadi…
“Ooh, jadi kalian udah ketemu Via juga.” Sahutnya berusaha terdengar biasa.
“Maksud kamu, kamu tau Sivia tinggal di sini, Vin?” Tanya Mamanya tidak sabaran.
Alvin mengangguk tanpa memperhatikan lawan bicara. “Tidak sengaja bertemu. Sivia menjadi pengajar di sekolah Cherivia.”
Alvin tau kalau kedua orang tuanya terperangah dan pasti akan menjatuhkan serentetan pertanyaan lagi.
“Lalu gimana,..” Mama Alvin suaranya tercekat. “Apa dia tau, kalau Cherivia—”
“Iya, Ma. Sivia tau dan mau berdamai dengan keadaan. Tapi Cherivia tidak tau. Aku sengaja merahasiakan ini. Aku rasa Sivia belum siap dan dia masih kaget dengan pertemuan kami.” Baru Alvin berani memandangi kedua orang tuanya. “Tapi memang ikatan mereka nggak bisa dikelabui, Cherivia suka Sivia di luar dia tau itu memang Maminya. Yaah, mereka menjadi dekat.” Sambung Alvin, lirih.
Sang Mama menjalankan perannya, menerangkan perasaan putranya yang dilanda risau. “Cherivia sudah senang dan bangga punya Papi seperti kamu.”
“Semoga saja. Aku terlalu sering membiarkan Cherivia kesepian.”
“Kamu masih bisa mencari sosok ibu lain untuk dia, kalau kamu mau.” Sambung Papa Alvin yang sebelumnya hanya menyimak obolan.
“Terus terang, aku tidak memikirkan itu sama sekali.”
“Karena kamu masih mencintai Sivia?” Tebak Mamanya dengan ragu-ragu tapi tepat sasaran. Yang dijawab Alvin dengan helaan nafas.
“Itu kesalahan kamu dari awal.” Ketus Papanya kemudian pergi dari obrolan.
Memang semenjak saat itu, saat terbongkar betapa kejamnya seorang Alvin, Papa Alvin menjadi lebih ketus pada putranya sendiri. Alvin tidak mempermasalahkan itu, karena itu adalah hukumannya.
“Papa kamu masih sensitif menyangkut hal ini.” Ujar Mamanya menengahi sembari menyesap tehnya.
Alvin mengangguk memaklumi. Lalu tiba-tiba menatap Mamanya baru teringat sesuatu. “Tadi Mama bilang bertemu Sivia di bandara. Apa dia mau pergi?”
“Bukan. Sivia bilang hanya mengantar seseorang yang menjemput kedatangan orang tuanya,” Sahut Mama Alvin. Wanita ini seperti akan mengucapkan sesuatu tetapi tidak jadi.
“Seseorang? Siapa?”
“Nah itu.. Seorang laki-laki, dia terburu-buru mengajak Sivia pergi. Mama mendengar sedikit, orang tuanya tidak sabar bertemu Sivia.” Kali ini Mama Alvin memperhatikan lekat wajah Alvin yang mengkerut sedang berpikir. Menelusurinya.
Seolah baru mendapat jawaban, Alvin tersenyum. “Oh, mungkin itu Gabriel. Dia calon suami Sivia, Ma. Pernikahan mereka sepertinya tidak lama lagi.” Dan senyum tadi adalah senyum kecut.
Begitupun Mama Alvin tidak tau harus berkomentar apa.
==================
Setiap paginya, setiap hari sekolah, selalu ada semangat yang menggebu-gebu bagi Cherivia. Dengan seragam TK kotak-kotak biru dikombinasi tas gendongnya yang lucu berbentuk boneka, Cherivia sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelumnya Ia berpamitan pada oma juga opanya yang datang berkunjung.
“Via ke sekolah ya oma, opa. Oma sama opa jangan pulang dulu, nginep di sini terus yaa. Dadaaahh… Ayo Pap…”
Sementara Cherivia melangkah ringan dengan riang seraya melambaikan tangan, Papinya hanya mengangkat bahu melihat tingkah polah anaknya. Ada yang sedang membebani pikirannya.
“Alvin berangkat Ma, Pa.”
“Iya, hati-hati.” Sahut Mama Alvin lembut. Wanita keibuan itu tau, bahwa anak dan cucunya akan bertemu dengan orang yang memiliki pengaruh besar pada keluarga mereka.
===================
Cherivia memang terhitung masih kecil, tetapi bukan berarti dia tidak tau kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Papi kesayangannya. Sebiasa pagi-pagi sebelumnya Papi nya pasti mengajaknya berbicara, bercanda atau apa saja. Tidak diam, kaku, dengan wajah yang tegang seperti sekarang. Terpaku pada jalanan di depan seolah konsentrasi menyetir, padahal tatapannya kosong.
Cherivia yang duduk di bangku sebelah kemudi, berinisiatif membuka sabuk pengaman yang melingkari badannya. Ia berdiri mendekati Papi nya yang tampan kemudian mengecup pipi sebelah kirinya. Alvin kaget jelas saja, namun Ia tersenyum dan mengusap-usap kepala Cherivia dengan sayang. Alvin tau betul anaknya sedang melancarkan serangan rayuan.
“Kenapa cium-cium, hm?”
“Papi kenapa? Papi mukanya galak.”
“Maaf, Papi lagi capek.”
“Capek kenapa Pi? Yaah Papi nggak bisa anterin Via ke rumah ibu guru Sivia dong…”
Kembali wajah Alvin menegang. Itu cukup menjadi petunjuk bahwa memang yang membebani pikirannya tidak jauh-jauh dari Sivia.
“Papp…”
“Tidak Via. Kamu jangan main ke rumah ibu guru Sivia lagi, tidak boleh.”
“Papi kok gituuu...” Cherivia protes. Yang diprotes tidak menanggapi lebih lanjut. “Papi jahatt…” Dan Cherivia langsung diam seribu bahasa, tidak berniat berbicara apapun lagi pada Papinya.
=================
Terus terang, Alvin memiliki tujuan yang Ia pikir baik untuk keadaan ini atas keputusannya melarang atau setidaknya mengurangi pertemuan Cherivia dengan Sivia. Alvin sendiri tidak tega melakukannya, tetapi itu semua demi kebaikan mereka, agar tidak ada yang dirugikan. Sivia tidak lama lagi akan menikah dengan pria pilihannya, dia akan memiliki kehidupan baru. Meskipun Cherivia darah dagingnya, tetap saja yang perlu diprioritaskan adalah hidup barunya, bukan hidup lamanya yang mungkin sudah dikubur rapat-rapat oleh Sivia.
Tetapi apa dayanya, anak kecil pasti belum memahami apa-apa. Anak kecil hanya bisa menangis dan ngambek selama keinginannya tidak terpenuhi. Yang Alvin khawatirkan jika ini dibiarkan, Cherivia akan bergantung pada Sivia entah dia tahu atau tidak memang itu Maminya. Lalu mereka sulit dipisahkan. Dan meskipun ingin, Alvin bukanlah Alvin yang dulu, -tega dan kurang berperasaan-, yang tega berencana menghancurkan kehidupan rumah tangga orang, kelak nanti. Sudah cukup Ia membuat Sivia merana dulu.
Tapi sekarang dirinya sendiri yang tersiksa…
Alvin membenturkan punggungnya ada kursi kerja. Apakah ini adil? Tanya nya dalam hati. Tentu saja adil karena ini adalah hukum karma yang berjalan.
Alvin menjadi tidak konsentrasi pada pekerjaannya di kantor.
Jadi Alvin memutuskan lenyap dari kantor meskipun belum saatnya bubar kantor. Ia akan menjemput Cherivia. Hatinya ngilu mengingat malaikat kecilnya tadi menampakkan wajah masam tak sedikitpun mau meliriknya.
Alvin tiba tepat ketika bel pulang sekolah dibunyikan. Riuh rendah anak-anak yang berlari-larian menuju jemputan mendominasi lingkungan kindergarten elite ini. Alvin agak kesulitan menemui Cherivia, karena malaikat kecilnya itu tidak ditemukan di tempat menunggu seperti biasa.
“Alvin…”
Tubuh Alvin menegang saat suara itu memanggil namanya. Ia menoleh, dan ada Sivia di sana tersenyum canggung.
“Kamu mencari Cherivia? Dia menunggu di ruanganku.” Takut-takut Sivia melanjutkan lagi. “Apa yang terjadi Alvin? Cherivia cerita, katanya Papinya melarangnya bermain ke rumahku lagi. Kenapa?” Sivia bertanya berusaha menyembunyikan getar lirih suaranya.
Sebelum menjawab Alvin menghela nafas. “Aku khawatir Cherivia terlalu bergantung padamu, kamu… yaah kamu mengerti maksudku.”
“Ternyata kamu sendiri yang belum berdamai dengan keadaan, Alvin.”
Alvin tersentak, menautkan alisnya penuh perhitungan. Benar! Siapa yang bisa berdamai dengan keadaan, saat orang yang kamu cintai akan menikah dengan orang lain? Tapi tidak mungkin bukan kalau Ia mengatakan dengan gamblang bahwa itu alasannya. Sivia pasti tertawa puas, karena Alvin dulu menyia-nyiakan malaikat yang turun dari surga untuknya.
“Papi.” Suara Cherivia muncul. Gadis kecil itu menautkan jemari mungilnya pada jemari Sivia dan melempar tatapan tidak bersahabat pada Alvin. “Via nggak mau pulang.”
Oke. nampaknya Alvin harus merubah strategi. Ia berjongkok menyeimbangkan tingginya dengan Cherivia. “Kenapa? Kan ada oma sama opa di rumah.” Tetap Cherivia tidak bereaksi. “Yaudah kita makan di luar dulu, beli es krim, habis itu pulang. Gimana?”
Ada sedikit kemajuan karena Cherivia menunjukkan wajah ketertarikan. “Tapi Ibu guru Sivia ikut ya? Ayolah ikut yaa. Papiii ayo ajak ibu guru…”
“Eh tapi Vin—”
“Hm. Oke. Ayo berangkat.”
“Alvin, aku—”
“Waktu sama keluarga lebih utama” Bisik Alvin di dekat telinga Sivia dengan sedikit seringai jahilnya. Sivia terbuai begitu saja, membiarkan Alvin menghelannya menuju mobil bersama Cherivia.
Bagi Alvin, okelah Sivia akan menikah tidak lama lagi, jadi tidak ada salahnya Ia menawan wanita ini sebelum statusnya berganti menjadi isteri orang…
=====================
Hati Sivia ketar-ketir. Makan bertiga bersama Alvin yang tampak begitu jantan dengan kemeja biru gelapnya meski setengah kusut di bagian lipatan siku, juga dengan Cherivia, anak mereka. Benar-benar tampak seperti makan bersama keluarga. Kalau saja Ia tidak ingat bagaimana hubungan dan keadaan sesungguhnya…
Alvin tidak boleh tau kalau Sivia duduk dengan jantung nya berdendang seolah mengejeknya yang tidak imun terhadap pesona Alvin. Tidak pernah imun.
“Vi, mau nambah makannya? Atau ada yang mau dipesen lagi?”
Pertanyaan Alvin membuyarkan lamunan Sivia. “Oh, nggak. Ini udah cukup,” Sahutnya. “Eh, Cherivia mana?” Ia baru sadar hanya berdua dengan Alvin.
“Itu.” Alvin menunjuk ke arah belakang Sivia. Rupanya Cherivia di sana sedang bercengkrama dengan gadis seusianya. “Via bertemu temannya di sini.” Dan Sivia hanya menggumamkan kata ‘oh’ saja.
Suasana pasti canggung, kalau Sivia tidak berinisiatif berbasa-basi. “Aku bertemu Mama dan Papa kamu di bandara.” Ucapnya, dengan mata mengarah pada piring yang segera mengosong.
“Ya. Mereka memang sengaja berlibur di kota ini. Mama juga sudah cerita, bertemu kamu di bandara. Mereka merindukanmu.” Alvin menatap Sivia, seperti akan mengucapkan sesuatu namun tertahan.
Alvin menyenderkan punggungnya, menyamankan diri. “Aku kira kamu akan pergi ke mana, tapi ternyata Cuma mengantar teman menjemput orang tuanya.” Alvin menyunggingkan senyum. “Itu Gabriel ya?”
Akhirnya Sivia menatap Alvin dengan mata sedikit melebar. “Ah iya. Kok bisa tau?” Dan hati Alvin serasa dicubit karena mimik wajah Sivia lebih berbinar dari sebelumnya. “Orang tua Kak Gabriel ingin bertemu denganku, mereka sungguh baik. Mereka memang seperti orang tua pengganti untukku.”
Alvin tersenyum. Sekali lagi, itu senyum miris…
Sivia meletakkan sendok dan garfu sedikit gugup sampai ada bunyi denting beradu. Ada yang ingin dikatakannya. “Engg.. Alvin,”
“Kenapa?” Alvin memaku perhatiannya pada Sivia. Tatapan Alvin menghisap nyali Sivia, padahal Ia sudah menyusun kata-katanya untuk ini.
“Aku tau, aku bukan ibu yang baik. Meninggalkan Cherivia sejak kecil, tapi..., Aku mohon satu hal, jangan batasi pertemuanku dengan Via. Aku sayang Via, Vin.” Sivia melirik Alvin, lelaki itu diam saja. “Bertemu di sekolah saja belum cukup, jadi apa kamu keberatan untuk mengantar Via ke rumahku?” Alvin masih diam, Sivia jadi serba salah. “Emm, maksudnya, tidak mungkin kan aku ke rumahmu. Tidak enak dengan isterimu, aku cukup bertemu Cherivia saja.” Sudah. Sivia tidak memiliki kosa kata lagi. Lenyap semuanya.
Di luar dugaan, Alvin yang dari tadi postur tubuhnya tegang, menjadi rileks dan bersahabat. Ia memajukan tubuhnya, menumpukan lengan kokohnya di atas meja. Memandang Sivia lekat-lekat, lalu senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Dari mana kamu berpikiran aku sudah beristeri lagi, hm?”
Jadi maksudnya, Alvin belum menikah lagi?
Di sana, jauh di dalam sana, Sivia seolah merasa ada rombongan marching band yang gemuruh perlahan mendekat, merongrong lorong hatinya. Bernafas Sivia…
Sivia menggeleng. “Aku Cuma mengira-ngira.” Sivia mencoba tersenyum santai, mengimbangi suasana bersahabat yang diciptakan Alvin.
“Kenapa bisa mengira begitu, hm?”
Urgh Alvin!
“Memang bisa seorang Alvin bertahan sendiri selama itu?” Sivia menyesalkan kalimatnya seorang diri. Tentu saja bisa. Alvin kan anti terhadap pernikahan.
“Aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai, Vi.”
Sivia tertawa kecil. Apakah Alvin bermaksud melucu. “Sejak kapan kamu bisa mencintai orang, Vin?”
“Sejak kamu pergi.”
===================
Saat akan pergi makan bersama tadi, Sivia dan Cherivia duduk di sebelah kursi kemudi. Tapi ketika pulang, hanya Sivia yang duduk di sebelah kursi kemudi, di sebelah Alvin. Karena Cherivia sudah tertidur dengan lelapnya di kursi penumpang bagian belakang sambil memeluk boneka panda lembut.
Sivia mengkhawatirkan kesehatan jantungnya kalau berada dalam posisi ini lebih lama lagi, apalagi mengingat kalimat terakhir yang diucapkan Alvin tadi.
Hah!
Itu serius atau bagaimana sih. Karena setelah mengucapkan itu, Alvin malah tertawa ringan. Lalu mengajak Sivia dan Cherivia untuk pulang.
Begitu juga dengan Alvin yang jujur saja tidak berada dalam konsentrasi penuh. Teringiang cara Sivia membicarakan Kak Gabriel nya. Dan terusik pancar kecantikan anggun yang berkali lipat dari Sivia. Wanita ini benar-benar semakin cantik dalam kedewasaannya setelah lama Ia menghilang.
Untung saja di resto tadi Alvin bisa mengalihkan suasana menjadi lebih bersahabat lagi. Ia masih bisa menahan. Tidak tau sampai kapan. Ia tidak terbayangkan kalau harus membuat Sivia bingung dan kaget jika Ia mengungkapkan perasaanya tiba-tiba.
Mobil hitam Alvin berhenti juga di depan kediaman Sivia. Telah sampai.
“Terimakasih ya Alvin.”
“Hm.” Alvin hanya menggumam. Bisa-bisanya Sivia menyebut namanya selembut itu. “Aku juga berterimakasih. Maaf kekonyolanku tadi, memang tidak seharusnya aku melarang Mami dan anaknya bertemu kan.”
Sivia tersenyum canggung malu-malu. Mami?
“Sekali lagi terimakasih, Alvin.”
Alvin membiarkan Sivia keluar perlahan dari mobilnya, membuka pintu pagar,  kemudian memasuki halaman rumah berjalan dengan cantiknya. Kesemuanya tidak luput dari pandangan Alvin. Ia menggeram, tidak tahan lagi…
“Sivia!” Panggilnya tidak sabaran.
Menyusul Sivia sesegeranya. Sadar tidak sadar Alvin menerjang wanita kesayangannya itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat sampai sesak. Alvin merasakan tubuh Sivia terlonjak kaget, tetapi kemudian wanita itu rileks, meski tidak membalas pelukannya. Begini saja sudah cukup baginya.
“Vin…”
Alvin baru melepas pelukannya, demi menatap wajah Sivia, melihat reaksinya. Yang didapat Alvin hanyalah tatapan mata Sivia yang… apa Alvin boleh mendeskripsikan tatapan itu sarat akan rindu?
Terserah. Kini fokus Alvin beralih pada bibir Sivia yang berwarna merah lembut. Tidak menyia-nyiakan kesempatan Alvin mengecupnya perlahan, meluapkan rindunya yang tak tertahan.
“Alvin,”  Bisik Sivia ketika Alvin menyudahinya.
“Aku bodoh Vi, menyia-nyiakan cinta tulus kamu. Sekarang aku yang dihukum,” Alvin menghela nafas. Sivia dapat merasakan nafas Alvin menerpa wajahnya, karena Alvin belum berniat meregangkan jarak mereka. “Mungkin ini terlambat, tapi memang aku sayang kamu Vi.”  Dengan kikuk Alvin melangkah mundur memberi jarak di antara mereka.
Sementara Sivia, setelah mendengar pengakuan Alvin itu merasa lemas, dengan sisa tenaga bergegas memasuki pintu rumahnya, menghilang di baliknya.
===============
Alvin dengan gusar, ditendangnya kerikil kecil yang sebelumnya tergeletak menyedihkan di ujung sepatu Alvin. Apa yang sudah aku lakukan?
Ia harus segera pulang dan berenang di kolam belakang rumahnya untuk menyegarkan pikiran. Ketika Ia berbalik hendak meinggalkan halaman rumah Sivia, didapati lelaki hitam manis berdiri dekat pintu pagar.
“Kelihatan sedang frustasi.” Itu Gabriel. Astaga. Jangan katakan Gabriel melihat apa yang barusan dilakukannya dan diucapkannya pada Sivia.
“Ah, oh, tidak.” Alvin jadi kikuk dan serba salah mendapat tatapan menyelidik dari Gabriel. “Aku kesini mengantar Sivia, Cherivia mengajak Sivia makan siang bersama tadi.”
“Aku mengerti. Via dan Mami nya memang sulit dipisahkan kan?”
Kalau tidak ingat menjaga wibawa, Alvin pasti sudah teriak kaget. Gabriel tau?
“Santai saja. Sivia tidak keberatan menceritakan semuanya.” Sambung Gabriel mengumbar senyum tipis. “Dan aku juga tidak keberatan dengan itu.”
Gabriel, lelaki ini memang serius pada Sivia. Hubungan mereka berdua juga sepertinya sungguh mantap. Hal masa lalu mengenai Sivia yang bisa dikatakan cukup kelam, bahkan tidak menjadi halangan bagi mereka.
Pada akhirnya Alvin mau tidak mau harus mengatakan ‘iya’ untuk keadaan ini.
Karena Gabriel tampak santai, Alvin juga berusaha mengikutinya. Ia mengulas senyum bersahabat pada Gabriel. “Sivia memang sosok wanita idaman, dia bisa menjadi pendamping hidup yang baik, kamu beruntung. Semoga pernikahan kalian lancar.”
Gabriel menyipitkan matanya. Nampak tidak suka dan tidak setuju dengan ucapan Alvin. “Begitu ya?” Gumamnya.
Alvin terlalu malas untuk menggubris lebih lanjut. “Aku harus pulang. Permisi.” Dan Ia memilih berpamitan. Tapi ketika sudah mencapai pintu mobil, Gabriel memanggilnya lagi.
“Kalau begitu, datang ke pernikahanku akhir pekan ini. Jangan lupa.” Seperti ada senyum kepuasan dalam kalimatnya.
==================
Bug!
Batang stir sebagai kemudi mobil menjadi sasaran amukan Alvin. Punggungnya membentur senderan jok mobil. Alvin lelah, fisik dan batinnya. Tanpa bisa dikendalikan, matanya berembun. Menangis saking disesaki gejolak.
“Kalau begitu, datang ke pernikahanku akhir pekan ini. Jangan lupa.” Bahkan Alvin baru sadar akhir pekan yang dimaksud adalah dua hari lagi.
Kalau saja waktu bisa diulang. Rutuknya dalam hati sungguh-sungguh menyesal.
“Papii…”
“Via, sudah bangun?” Kepala mungil Cherivia muncul di balik head rest. Kemudian anak itu pindah posisi bagian depan di sebelah Alvin.
“Papi kenapa?”
“Memangnya Papi kenapa?”
Alvin seharusnya tau kalau Cherivia tidak mudah dibohongi.
“Papi, tadi Papi cium Ibu guru Sivia?” Ungkap Cherivia jujur, sementara Alvin wajahnya berubah pias. “Via sering cium Papi, karena Via sayang Pap. Apa Papi sayang Ibu guru Sivia?”
Apa Tuhan memang menyuruhnya untuk jujur sekarang?
“Iya. Papi sayang dia.” Jeda sebentar, Alvin mencium kening putrinya. “Dia Mami kamu, Maminya Via.”
“Hah? Bener Pap? Mami Via?”
Tidak ada celah untuk berbohong lagi, Alvin mengiyakan dengan mantap. Kemudian menyalakan mesin mobil menjauhi kediaman Sivia.
 Dan Cherivia yang pada dasarnya memang masih kecil dan lugu, langsung berbinar dan heboh kesenengan mengetahui Ibu guru kesayangannya adalah Maminya. Maminya yang ternyata sudah ada dekat dengannya.
“Tapi Pap, kenapa Mami nggak tinggal sama kita di rumah? Kenapa pisah Pap?” Bahkan sudah menyamankan dirinya langsung menyebut Sivia sebagai Mami.
Alvin harus lebih ekstra bersabar menghadapi keingintahuan putrinya ini. Bukan bermaksud menutupi, hanya saja memang Alvin merasa pahit setiap kali mengingat itu.
“Dia memang Mami nya Via, tapi bukan Mami nya Papi.”
“Kenapa gitu Pap? Temen-temen Via tinggal sama Mami sama Papi nya juga sama-sama. Ayo ajak Mami ke rumah Pap ayooo. Via mau sama Mami juga, Paapp.”
Tentu saja Alvin juga maunya seperti itu.
“Tidak bisa Via, tidak segampang itu.”
==================
Taku-takut bercampur was-was, Sivia memandangi wajah Gabriel yang tidak bisa ditawar kedatarannya. “Maaf Kak…” Sambil terisak.
Sivia beringsut mendekat pada sosok Gabriel di sebelahnya, lalu memeluknya. Kala semua yang Ia rasakan tidak sanggup di tampung seorang diri, semuanya tumpah ruah di hadapan Gabriel.
“Kakak marah?”
“Iya jelas aku kesal Sivia.” Gabriel beringsut meregangkan pelukan Sivia. “Kamu ingat pas aku pungut kamu di stasiun kereta, empat tahun lalu? Kamu sendirian kayak orang putus asa, menutup diri. Untung pelan-pelan kamu bisa kembali jadi Sivia yang dulu aku kenal, yaah walaupun sangat sulit memancing kamu biar bisa cerita apa yang sudah terjadi di hidup kamu sebelumnya.” Gabriel menyesap teh hangat yang disuguhkan Sivia, menenangkan diri. “Jadi memang kamu belum bisa lupain Alvin, masih cinta Alvin kan? Kenapa tidak jujur dari awal.”
“Maaf kak, aku cuma berusaha agar tidak terbawa masa lalu.”
“Kadang ada masa lalu yang boleh dikenang sebagai pengalaman ke depannya.”
 “Sekarang aku harus gimana, Kak Gabriel? Seenggaknya jangan marah lagi, Kak.”
“Gimana bisa aku marah berlarut-larut sama kamu.” Gabriel memutuskan, “Udah jangan nangis lagi. Aku seneng kamu jujur, masih cinta sama Alvin itu bukan kesalahan. Tapi Aku minta di hari pernikahan jangan sampai ada mata sembab kayak gini, harus kelihatan perfect saat jalan di hadapan semua orang nanti. Sanggup?”
“Iya, kak.”
“Yaudah kamu istirahat sekarang. Besok aku minta izin ke tempat kerjamu, H-1 harus full of preparation. Aku pulang ya, Vi. Dan kamu dapet salam dari Kak Agatha.”
“Waah, salam balik buat Kak Agatha.” Sahut Sivia sembari mencoba tersenyum, membersihkan pipi putih basah bekas air matanya.
Setidaknya, masih ada satu hal yang membuat hatinya bersemi. Ungkapan Alvin tadi, Alvin juga mencintainya…
====================




TBC......

Minggu, 21 Juli 2013

Love & Be Loved [4]

Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others

Sudah ada yang menunggu di rumah… Sudah ada yang menunggu di rumah…
Suara Sivia yang mengalun ketika mengucapkan kata itu tadi, menyebabkan Alvin melakukan kegiatan terka-menerkanya. Ia suka melakukan itu akhir-akhir ini, apapun yang berhubungan dengan Sivia.
Terkaannya sekarang adalah… Yang menunggu Sivia adalah suaminya…?
Oh ayolah! Sivia tidak boleh menikah dengan siapapun lagi, tidak jika Ia sendiri tidak bisa membawa Sivia ke rumahnya lagi –ke rumah mereka-. Ia mengacak rambut frustasi. Ia merenung di ruangan kerjanya, sementara Cherivia sudah terbuai di alam mimpi.
Memikirkan itu cukup mengganggu konsentrasi Alvin. Terlarut-larut dalam pikiran-pikiran liar tanpa buktinya. Memang Alvin juga malas mencari bukti jika pada akhirnya membuatnya sesak. Terpuruk.
Dilihatnya jam dinding klasik di ruang kerjanya yang temaram, menunjukkan pukul dua dini hari. Dua jarum penunjuk waktu tersebut dan lonceng yang berayun di bawahnya seolah mencemooh Alvin. Waktu terus maju. Tetap bergulir. Alvin harus mencatat baik-baik kalau waktu tidak sama halnya dengan pemutar video yang bisa diberhentikan sementara, atau bahkan diundur ke bagian yang telah lewat. Seperti keinginannya memberhentikan waktu, menyelinap ke masa lampau dan memperbaiki semua kekacauan yang pernah Ia lakukan pada Sivia. Itu khayal.
Alvin mendesah lelah. Ia ternyata memang mencintai Sivia… masih hingga kini…
====================
Minggu pagi, dinaungi langit biru cerah bertemankan arak-arakan awan, adalah kesempatan baik untuk berenang. Berenang di pagi hari memang dingin tak tertahankan, tetapi jika Sang Surya bisa bersahabat menyumbangkan radiasi hangatnya, kedinginan tidak akan berlangsung lama.
Alvin bersama Cherivia tampak menikmati kegiatan bermain air di kolam renang berukuran sedang di halaman belakang rumahnya. Cherivia tampak lucu dengan baju renangnya berwarna kombinasi pelangi, membuatnya terlihat seperti pinguin ketika berjalan. Sementara Alvin tampak segar dengan bertelanjang dada dengan celana pendek santainya yang sudah basah seluruhnya.
“Pap, jangan lepas Via nanti tenggelam.” Via kecil berteriak khawatir ketika diajarkan berenang oleh Papi tampannya.
“Via udah pake pelampung nggak mungkin tenggelam.” Kembali Alvin mengajari Vianya berenang perlahan-lahan.
“Udah Pap, Via takut. Kulit Via udah kusut udah yuk renangnya.”
Alvin tidak menolak karena Ia sendiri sudah merasa lapar. Mereka kembali ke daratan dan mengeringkan badan dengan piyama handuk yang telah tersedia. Dan sudah disediakan dua piring sarapan nasi goreng lezat yang aromanya menggugah selera, oleh Bik Santi.
“Pap kerja?”
“Libur sayang.”
Cherivia seperti akan mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi, Ia kembali menyuap sarapannya.
“Papi tau kue risoles? Aku mau coba itu.” Ucap Cherivia kemudian, mengawali percakapan.
“Tau. Kalo Via mau nanti Papi pesen.”
“Nggak Papi. Via mau coba buatan Ibu guru Sivia..”
Serta merta Alvin susah payah menelan makanannya. Anak ini cerdas. Mengajukan permintaan dengan basa-basi dulu.
“Ibu guru Sivia suruh Via ke rumahnya aja kalo mau coba risoles. Papi mau anter Via kan? Mau ya Pap…”
“Tapi kita nggak tau alamat rumahnya…”
“Ya tanya dong Pap sama sekolah. Iya Pap ayoo…”
Lagi, Alvin tidak menolak. Justru menggampangkan permintaan anaknya itu.
Alvin juga butuh bertemu kembali dengan Sivia, secepatnya…
====================
Roda mobil Alvin sudah berhenti total di depan sebuah rumah bergaya minimalis satu lantai. Kediaman Sivia… Pagar hitam yang tidak sampai dua meter tingginya setengah membuka. Menandakan penghuni rumah berada di dalamnya. Alvin memandangi rumah itu sekali lagi. Bangunan dominan dicat putih dan hijau, ada kebun sederhana di bagian depan, memancarkan kesegaran tersendiri. Lalu ada sebuah garasi mobil, yang terparkir sebuah mobil silver.
Alvin menghela nafas. Apakah Ia akan masuk? Tapi kenapa rasanya resah…
“Pap, ayoo…” Dan ketidaksabaran Cherivia terpaksa membawa langkah kakinya turun dari mobil, memasuki rumah minimalis itu.
Sampai di teras rumah itu pun tidak serta merta Alvin menekan bel pintu penanda ada tamu datang. Ia sedikit menimbang-nimbang. Tetapi Cherivia sudah merengek dengan menghentak-hentakkan tangan kanan Alvin.
Alvin mengalah kemudian mendekati pintu, dan pintu bercat putih susu itu terbuka bahkan sebelum Alvin menekan bel pintu. Sivia dan seorang pria berperawakan jangkung, hitam manis,dan berperangai ramah keluar dari dalam rumah.
“Loh kalian..?”
“Siang buuu…” Cherivia yang menyapa duluan dengan ramah.
“Kamu belum bilang kalau mau datang, Via.” Ya. Dilihatnya Sivia masih nampak terkejut dengan kehadirannya.
“Ada tamu. Siapa ini , Vi?”
Pria jangkung itu akhirnya mengemukakan rasa penasarannya.
“Ini.., namanya Cherivia, Kak. Dia siswa di tempatku kerja. Dan ini Papinya, Alvin.”Sivia memperkenalkan dengan kikuk.
Dan kamu maminya Sivia! Alvin meneriakkan itu dalam hati.
Tata sopan santun yang benar adalah berjabat tangan tanda perkenalan. Tetapi Alvin enggan melakukannya. Ia kadung terfokus mencari isyarat-isyarat petunjuk siapa pria di sebelah Sivia, dan apa hubungan mereka.
“Ohh,” Meski tidak ketara, tapi Alvin merasa ada makna lain dari tatapan pria -yang dipanggil ‘Kak’ oleh Sivia- padanya. “Hai, salam kenal. Aku Gabriel. Salam kenal gadis lucu…”  Gabriel dengan santainya mencubit gemas pipi Cherivia. Sementara Cherivia tersenyum lucu malu-malu. “Sivia, aku pamit sekarang, terimakasih untuk hari ini. Kamu jaga kondisi sampai hari pernikahan datang. Aku mau pernikahan itu sesuai rencana.”
Pernikahan! Kening Alvin berkerut dalam.
“Iya, Kak. Bawel banget.”
“Aku Cuma was-was. Bye…” Dan Gabriel pun melenggang ke mobil silver yang terparkir di garasi, setelah sebelumnya mengangguk sopan pada Alvin dan Cherivia.
Kesemua tadi tidak luput dari perhatian Alvin. Dengan satu simpul yang tidak terelakan. Apakah itu calon suami Sivia…?
====================
Cherivia berputar, menyapu seluruh ruangan dalam rumah Sivia. “Rumahnya bagus, ya Pap.” Mereka, Cherivia, Alvin dan sudah pasti Sivia tengah berada di ruangan keluarga…
“Hm.”
Hanya saja mereka duduk pada sofa terpisah. Kecuali Cherivia yang tampak nyaman di pangkuan Sivia.
“Bu, Via kesini kan mau coba risoles buatan Ibu. Ayoo bikin bu sekarang.”
“Boleh, ayoo…”
“Via tunggu.” Secara tidak langsung Alvin memberhentikan langkah dua orang sekaligus dalam satu nama. Ia salah tingkah sendiri. “Mm, maksudnya Cherivia. Papi tinggal sebentar ya, nanti Papi jemput ke sini lagi.”
Jangan ditanya lagi, Alvin ingin berlama-lama di sana tentu saja. Hanya saja Ia tersiksa jika harus memperhatikan oranng-orang terkasihnya tanpa bisa terlibat. Tersiksa jika seharusnya Ia bisa merengkuh Sivia yang begitu dirindukannya, tapi Sivia nya sendiri bagai hologram, nampak namun tak tersentuh.
“Kenapa gitu Pap? Papi di sini aja ya. Papi nggak mau coba risoles punya Ibu guru Sivia?”
“Bukan gitu, Papi mau mampir ke kantor sebentar, nanti Papi ke sini lagi.”
“Apa susahnya sih tunggu di sini. Kerjaan bisa belakangan, waktu sama keluarga lebih utama.” Alvin mendelik pada Sivia. Apa Ia salah dengar? Susah payah sekarang Ia mengendalikan jantungnya yang bertalu-talu.
“Vi—”
“Ayo Cherivia kita ke dapur.”
Sivia menarik diri ke dapur. Menghindarinya… membiarkan Alvin sendiri perasaannya yang nano-nano.
===================
Bodoh! Ceroboh! Malu-maluin… Sekiranya begitu umpatan-umpatan dalam hati yang Sivia lontarkan pada dirinya sendiri. Pilihan kata yang tidak baik. Apa masksudnya tadi Ia berkata begitu pada Alvin… “…waktu sama keluarga lebih utama.” Kamu masih merasa berkeluarga dengan Alvin, begitu maksudnya Sivia?
Salah Alvin juga. Apa sulitnya diam duduk manis menunggu Cherivia. Ini hari minggu, dan pekerjaan ada waktunya ada tempatnya. Sebagai ibu, Sivia juga tidak tega melihat Cherivia merengek seperti tadi…
“Bu, pertama kita buat apa dulu?”
Sivia kembali fokus pada bahan makanan di atas meja dapurnya. “Kita buat isinya dulu. Ada risoles isi kentang, jagung, ada juga yang isi sayur. Sekarang kita buat risoles isi sayur, karena bahannya semua sudah tersedia.”
Lalu tangan-tangan lincah Sivia menggarap kerja dapurnya. Ia sendiri bersemangat memasak hari ini. Mungkin karena ditemani Cherivia yang berdiri di atas kursi demi menyeimbangi dengan tinggi meja dapur. Satu persatu bahan makanan diracik sesuai takaran risoles seleranya. Cherivia akan suka ini, Sivia yakin itu.
Tetapi di sela-sela proses, diam-diam matanya selalu mengarah ke ruang keluarga. Pada punggung Alvin yang bersender nyaman di sofa. Rambut hitamnya menyembul. Alvin sesekali memperhatikan layar TV, sesekali juga sibuk dengan tabletnya. Sivia mendesah, kenapa Alvin rakus terhadap kadar ketampanan seorang laki-laki?
Sivia mengembalikan fokus pada adonan risoles. Setelah beberapa langkah selesai, sampai pada langkah untuk melumuri gulungan adonan dengan tepung roti yang telah tersedia. “Bu, Via mau bantu juga. Boleh ya…”
“Boleh.” Karena hanya tinggal melumuri gulungan donan dengan putih telur dan tepung roti, Sivia mengijinkannya.
Setelah langkah terakhir selesai, seluruh adonan diletakkan dalam lemari pendingin  menanti tepung rotinya merekat sebelum akhirnya digoreng. Sementara menunggu, Sivia dan Cherivia membersihkan dapur.
 “Bu, Via mau minum. Haus…”
“Tunggu ya. Via mau es jeruk?”
Sivia membuat dua gelas es jeruk setelah disetujui Cherivia. Satu untuk gadis kecil itu, satu untuk Papinya. Secara tidak langsung Ia menahan Alvin tetap diam, tetapi Ia tidak ingat untuk membuatkan ‘tamu’ nya minuman.
====================
Menunggu itu pekerjaan menyebalkan? Tentu saja. Hanya saja yang Alvin lakukan saat ini bukanlah murni menunggu, tetapi mengamati diam-diam, menguping juga. Pada akhirnya Ia tidak meninggalkan kediaman Sivia. Memanfaatkan kesempatan itu untuk merekam saat-saat bersama Cherivia dan Maminya, meski Cherivia belum mengetahui hal itu.
Tanpa sadar Alvin menghela nafas dalam, ada suatu gejolak. Cengkarama Sivia dan gadis kecilnya di dapur sungguh menghangatkan relung hatinya. Menghisap rasa lelah Alvin. Semuanya terasa ringan. Sadar tidak sadar mereka memang memiliki ikatan itu. Alvin menaruh minatnya kembali pada tabletnya guna mengalihkan perhatian dari kemelankolisannya.
“Maaf lupa membuatkan minuman.”
Alvin mendongak hanya untuk mendapati Sivianya –harusnya- yang cantik membawa segelas jeruk segar dan meletakkan di meja kaca.
“Thanks.” Iblis dalam diri Alvin mencemooh dengan sadisnya. Bertahun-tahun menunggu, saat bertemu hanya melontarkan satu kata thanks? Good job Alvin.
Di luar kendali Alvin menggeram tertahan.
“Kenapa? Bosen nunggu?” Tanya Sivia dengan nada yang sama sekali tak bersahabat.
“Bukan. Aku haus,” Alvin berkelit. Lama-lama Ia bisa gila. “Aku minum ya.” Lalu menegak minumannya. Sementara Sivia tidak mau repot-repot perduli, kembali ke dapur.
=====================
Kue-kue kecokelatan dengan masih ada uap-uap panas mengepul betul-betul mengundang rasa lapar. Risolesnya sudah jadi dan sedang disajikan Sivia di meja makan. Tidak lupa pula Sivia memadumadankan dengan bumbu pedas manis dan asam manis yang kental.
“Via mau cobaa… Tapi Papi boleh ikut makan ya.”
Sivia melotot mendadak panik. Jangan sampai semeja makan dengan Alvin. Itu tidak baik unuk kesehatan jantungnya. “Jangan! Mungkin Papi kamu nggak lapar. Kita aja yang makan.” Titah Sivia tanpa sadar agak membentak. Cherivia diam sejenak memperhatikan Sivia lekat-lekat. “Kenapa?”
“Jangan galak-galak sama Papi Via,” Mimik Cherivia memelas menundukkan kepalanya. “Via sayang Papi. Papi memang suka sibuk, tapi Papi sabar sama Via. Katanya Ibu guru temenan sama Papi...”
Mau tidak mau Sivia terenyuh. Berusaha menahankan sesuatu basah yang sudah menggumul di pelupuk matanya. “Yaudah, panggil Papi kamu ajak ke sini.” Cherivia menurut dengan senang hati.
Mereka -dengan Alvin dan Chervia yang duduk bersebelahan berseberang meja dengan Sivia-, menikmati risoles yang baru matang hasil racikan Sivia. Jadinya, suasana makan siang menjelang sore yang sederhana itu terkesan canggung. Kalau saja Cherivia tidak bersedia berceloteh dengan tuturan anak-anaknya.
“Enak nggak Pap?”
“Ya.” Alvin mengangguk-angguk setuju. Hanya singkat begitu sahutannya karena mulutnya masih penuh terisi. Entah karena memang lapar, Alvin begitu bernafsu melahap potongan ketiga risoles di atas piring yang tersaji untuknya.
“Bu,”
“Ya? Ada apa?”
“Itu tadi… yang ke sini yang katanya namanya Gabriel, itu siapa, bu.?”
“Uhukh, uhukh…”
“Papi. Hati-hati Papp…” Cherivia cemas melihat Papi di sampingnya kesulitan menelan makanan, bahkan wajahnya memerah.
Batuk-batuknya mereda setelah meminum air putih yang diangsurkan Sivia.
“Pap kenapa sih.”
“Kepedesan, Papi gigit cabe.”
“Pap kan nggak suka pedes kenapa makan cabe…”
“Iya tadi Pap kira sayur.” Alvin berkilah. Tetapi Sivia tau itu alasan konyol. Sivia tidak memasukkan cabe sedikitpun dalam masakannya tadi.
“Via kira kenapa Pap…”
Dan dengan begitu, Cherivia melupakan pertanyaannya barusan dan beralih topik menanyakan kue-kue apa saja yang bisa dibuat oleh Sivia.
Alvin merasa terselamatkan.
==================
“Via pulang ya Bu. Terimakasih risolesnya.” Cherivia dalam gendongan Alvin terlihat senang menenteng kantong plastik berisi risoles yang belum matang. “Nanti Via suruh Bik Santi biar digoreng.”
Karena sudah di penghujng senja, Alvin terpaksa mengajak dan merayu Cherivia untuk kembali pulang. Alvin sendiri khawatir kalau kakinya terlalu lengket untuk sekedar melangkah meninggalkan Sivia. Sedetik lagi Ia berada di sini itu tidak baik untuk saluran pernapasannya.
“Kapan-kapan ke sini lagi ya.”
Cherivia menjulurkan badannya lalu mengecup pipi Sivia malu-malu, meninggalkan jejak hangat di sana. Kemudian gadis kecil itu melambaikan tangan.
“Terimakasih, Sivia.” Ujar Alvin sebelum berbalik.
Sivia mengerti maksud ucapan ‘terimaksih’ Alvin. Terimakasih karena sudah bersedia berdamai dengan keadaan sementara ini…
====================
Undangan Sivia tempo hari ketika Cherivia berkunjung ke temat Ia tinggal ditanggapi dengan serius. Sivia mengakui rasanya berbeda dan tidak puas hanya bertemu Cherivia di sekolah, apalagi Ia tidak menjadi pengajar di kelasnya. Jadi tidak ada keberatan sama sekali kalau Cherivia rajin mendatanginya. Entah untuk mencoba memasak kue baru, atau hanya sekedar mengobrol. Begitulah ikatan ibu dan putrinya.
Secara rutin Cherivia rajin berkunjung ke sana. Secara rajin pula Pak Oji mengantar jemputnya. “Papi ada pekerjaan.” Begitu kata Pak Oji memberitahu Cherivia ketika menanyakan Papinya. Terhitung hanya dua kali Alvin sempat mengantar termasuk awal kunjungan.
Apa Alvin mengurangi pertemuan dengannya? Sivia merasa sesak.
Sivia tidak mau repot-repot memikirkan itu. Ia sudah memilih, dan sedang berjalan dalam pilihannya. Berdamai dengan keadaan, dengan memperlakukan Cherivia seperti yang seharusnya terasa sudah cukup. Meskipun ada suatu titik Ia ingin mendengar suara Cherivia yang manja memanggilnya dengan ‘Mami’. Tapi segera dihenyakkan pikiran itu. Ia merasa tidak berhak. Empat tahun meninggalkan Cherivia tumbuh tanpa sosok dirinya sebagai ibu, itu sungguh memalukan baginya. Sekali lagi, itu pilihan. Ia sudah memilih hidupnya sekarang, dan tidak lama lagi akan ada perubahan lain dalam hidupnya.
Suatu siang, mereka sehabis membuat kue bolu yang ditaburi kismis gurih. Dilanjutkan dengan menonton film barat keluarga ‘Nanny McPhee’ bersama. Sampai Cherivia ketiduran saking lelahnya. Tinggal menunggu Pak Oji menjemput Cherivia.
Suara bel pintu terdengar, Sivia merebahkan Cherivia yang tadi tertidur di pangkuannya di sofa, lalu Sivia beranjak untuk menerima tamunya.
Ternyata dari dulu sampai sekarang Sivia tidak bisa imun terhadap Alvin. Bisa dibayangkan, Alvin yang datang, berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu tampak lelah sepulang kerja, kemeja abu-abu nya sedikit kusut pada bagian kerah dan dua kancing kemeja teratas terbuka seizin pemakainya. Sivia memang tidak pernah imun dengan itu. Gabriel yang baginya sudah tampan pun, tetap kalah tampan dibanding Alvin.
“Aku menjemput Cherivia.”
“I-iya,” Sivia tergeragap. “Silahkan. Dia tertidur di sofa, kayaknya kelelahan.” Alvin mengikuti Sivia menuju ruang keluarga. Kenapa Pak Oji nggak bilang kalo Alvin yang jemput? Keluhnya dalam hati.
Sivia tak melepas tatapannya dari apa saja yang dilakukan Alvin. Membungkuk untuk mengecup dahi putri kecilnya itu dengan sayang, kemudian mengangkat dan memposisikan dalam gendongan di pundak Alvin.
“Terimakasih, Vi. Daridulu dia menanyakan Mami nya…”
“Vin… engg aku.., apa boleh aku menganggap Via sebagai, anakku?” Sivia menelan ludahnya, tenggorokannya terasa kering. Tatapan tajam mata Alvin menghisap nyalinya. “Ma-maksudku, engg tidak jadi…aku cuma—”
“Sampai kapanpun kamu Mami nya. Via juga anakmu.”
Sivia membalas tatapan Alvin takut-takut. Mencari-cari sesuatu di sana. “Makasih.” Sahutnya setelah hening beberapa saat. Kemudian Ia berjinjit sedikit untuk mengecup pipi Cherivia penuh kasih. Sivia tidak sadar, bahwa perlakuannya barusan menyebabkan Alvin mendesah gundah dalam hati akibat menghirup aroma rambutnya yang dirindukan pria itu.
“Aku pamit.” Alvin bergegas, nampak tak bisa lebih lama lagi bertahan di sana. Suasana nya akan menimbulkan harapan, membangkitkan ego nya untuk menarik Sivia kembali padanya, merebut Sivia dari calon suaminya… Setidaknya begitulah pemikirannya.
 
TBC...