Title : Sorry, and Happy
Birthday!
Author : Tatang
Heriana
Genre : Romance
Cast : Alvin
Jonathan, Sivia Azizah and others
before...
Happy Birthday My Beloved Idol, Sivia Azizah.
Doanya sama seperti yang lain hehe. sukses terus!!!
#SA17
INI KADO BUAT ULTAH SIVIA DARI GUE :D
check it out!
Sudah hampir dua jam sang hujan turun dengan kompaknya
mengguyur bumi. Cukup deras. Namun tetap saja warna langit di atas sana belum
juga berniat untuk merubah warnanya menjadi lebih terang. Malahan sekarang
warnanya semakin menghitam. Pekat. Memberi tanda kalau hujan akan lebih lama
lagi turun ke bumi. Lantas cuaca yang cukup ekstrim tersebut membuat segala
aktivitas yang seharusnya terjadi di sore itu terhenti seketika. Tak perduli
sepenting apapun aktivitasnya, yang jelas hujan deras di sore hari pada akhir pekan
ini sudah berhasil mengurung niat para manusia untuk melakukan kegiatan.
Di dalam sebuah ruangan, seorang gadis remaja duduk di samping sebuah ranjang
yang berada di dekat jendela. Kepalanya menunduk dengan kondisi kedua tangan
memegang erat kelima jemari milik seorang anak laki-laki yang sedang tidur
terlentang tak jauh di depannya dengan hidung yang tertutup oleh alat bantu
napas serta selang infus yang juga menempel di tangan kanan laki-laki tersebut.
Entah apa yang sedang dilakukan gadis remaja itu, yang pasti semenjak hujan
belum turun pun ia sudah melakukan aktivitas yang sama sebelumnya.
Dan perlahan, ia mengangkat pelan kepalanya. Lalu menatap iba wajah pucat
seseorang yang tubuhnya terbujur lemah itu.
"Sayang, harus berapa lama lagi aku menunggu kamu membuka mata?"
ucapnya lirih dengan suara yang sedikit serak.
"Aku lelah, aku udah gak kuat lagi seperti ini. Karena tanpa kamu, aku
bukanlah orang yang kuat. Sayang, aku mohon, buka mata kamu untuk aku."
gadis itu kembali menunduk setelah dirasa laki-laki itu belum juga menuruti
kemauannya untuk membuka mata. Atau lebih tepatnya bangun dan sadar dari koma
yang menjerat tubuhnya selama seminggu ini.
"Aku gak bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai ada sesuatu buruk
terjadi sama kamu. Aku bener-bener gak bisa maafin!" lalu ia menangis.
Bayang-bayang terakhir saat ia bersama laki-laki yang begitu disayanginya
tersebut muncul tiba-tiba di benaknya.
"Kamu bodoh, Sivia! Kamu bodoh!!!" rutuknya kemudian sambil mengacak
rambut hitamnya berkali-kali.
"Kalau aja waktu itu aku gak maksa kamu buat duel
main basket, mungkin kejadiannya gak akan seperti ini. Maafin aku ya, sayang?
Maafin aku. Kamu bangun dong, sayang! Apa kamu gak kangen aku? Atau kamu
sengaja gak bangun-bangun karena kamu gak suka sama sikap aku yang egois dan childish
selama ini? Sayang, jawab dong!" gadis yang mengaku bernama Sivia itu
semakin menggenggam erat jemari laki-laki yang sudah lima hari ini tidak bisa
mewarnai kehidupannya lagi. Di mana lima hari yang lalu, saat dirinya masih
bisa menghabiskan waktu bersama dengan sang kekasih di lapangan basket sekolah,
peristiwa yang tak pernah di duga Sivia sebelumnya itu terjadi begitu saja. Dan
bahkan sampai sekarang pun, Sivia masih bisa dengan jelasnya mengingat
peristiwa tersebut secara rinci.
Saat itu, sepulang latihan cheers, Sivia menghampiri kekasihnya yang
sedang duduk sendiri sambil memandangi beberapa temannya berlatih basket di
tengah lapangan. Dan dengan pom-pom warna-warni yang dibawanya itu ia gunakan
untuk menutup mata laki-laki tersebut dari belakang.
"Aku udah gak mempan lagi dikerjain seperti ini." Sivia menghela
napas kemudian. Niat awalnya untuk mengerjai sang kekasih pun gagal total.
Lantas ia langsung duduk di samping kekasihnya itu sambil memasang wajah
manjanya. Laki-laki itu bernama Alvin. Arkenzie Alvino tepatnya.
"Hmm... kamu siapa ya?" tanya Alvin cukup sinkron dengan ekspresi
mukanya yang seakan belum pernah sama sekali melihat Sivia sebelumnya. Sontak
membuat gadis yang duduk di dekatnya itu mengernyitkan dahi.
"Ih, apaan sih?! Aku Sivia, pacar kamu!" kemudian Alvin menyipitkan
mata sambil meneliti setiap titik pori-pori wajah Sivia.
"Sivia? Pacar aku yang nyebelin itu? Tapi kok beda ya? Perasaan pacar aku
itu cantik, kok ini jelek sih?" ledeknya kemudian dengan disertai sebuah
tawa kecil. Sivia lantas menggeram mendengarnya, kedua pom-pom yang sejak tadi
ia pegang pun dilempar ke arah dada Alvin perlahan. Sebagai balasan atas
ledekan Alvin tersebut.
"Nyebelin banget sih jadi orang?!"
"Hehehe. Bodo! Toh lagian suruh siapa tuh muka
pakai acara ditekuk segala? Makin jelek aja." dan lagi-lagi Alvin meledek.
Namun kali ini hidung Sivia yang menjadi sasaran empuknya.
"Sakit, jeleeeeeekkkkkk!!!" rengek Sivia
sambil mencoba melepaskan paksa tangan Alvin dari hidungnya.
"Kamu ini yang sakit, bukan aku."
"Tau ah!"
"Ih, ngambek nih? Aku pergi ah! Mau cari pacar
baru." kata Alvin asal. Ternyata meledek Sivia itu sudah menjadi hobi
barunya kali ini.
"Ya udah sana cari pacar baru!" timpal Sivia
cukup sinis.
"Serius? Gak bakal nyesel?" sedetik, setelah
dua pertanyaan dari mulut Alvin tersebut terucap, Sivia langsung sigap
mengaitkan tangannya ke tangan Alvin. Berusaha untuk mencegah Alvin bangkit
dari duduknya.
"Enak aja mau cari pacar baru! Dapetin pacar kaya
kamu itu susah tau?! Masa iya mau dilepasin gitu aja?" ucapnya kemudian.
Kontan Alvin langsung tersenyum mendengarnya. Dan entah kenapa rasa bahagia
muncul tiba-tiba saat perkataan dari Sivia tadi berhasil mengusik gendang
telinganya. Lalu Alvin mengacak pelan poni kekasihnya tanpa berkomentar lagi.
Mereka pun menghening seketika. Gerombolan anak-anak
basket yang sedang berebut bola pun menjadi pusat pandangan mereka saat ini.
"Oh iya, kok kamu gak ikut latihan sih?"
tanya Sivia yang baru sadar akan sosok Alvin yang seharusnya berada di antara
mereka. Sedangkan sekarang Alvin malah asyik duduk-duduk santai di sampingnya.
"Sayang?"
"Iya?"
"Kamu kok gak ikut latihan sama mereka?
Kenapa?" sekali lagi Sivia bertanya. Kali ini ia alihkan tatapan matanya
ke arah Alvin.
"Oh, gak apa-apa kok, sayang. Aku lagi gak enak
badan aja." jawab Alvin kemudian.
"Oh ya? Kamu sakit? Kok tumben sih sakit? Belum
makan? Atau semalem abis begadang?" Alvin terkekeh dibuatnya. Pertanyaan
bertubi-tubi yang dilayangkan Sivia tersebut cukup membuktikan kalau dirinya
benar-benar diperhatikan oleh gadis cantik berambut panjang tersebut.
"Mungkin cuma kecapekan doang.
Kamu tenang aja ya, gak usah khawatir. Karena seburuk apapun kesehatan sang
pangeran, ia akan tetap kuat selama ada permaisuri di sampingnya." ungkap
Alvin tulus. Dan itu berhasil membuat Sivia tersenyum dengan tatapan kagum
kepadanya.
"Kamu itu bisa aja sih, sayang? Hmm... ya udah kalau gitu, kita main
basket berdua yuk? Mumpung mereka pada istirahat." ajak Sivia ketika
melihat lapangan yang mulai kosong. Namun tanpa berpikir panjang lagi, Alvin
cepat-cepat menggeleng. Mencoba menolak permintaan kekasihnya tersebut.
"Enggak ah, sayang. Aku lagi gak enak badan nih, males gerak."
"Kan cuma main basket sama aku doang? Ya, itung-itung olahraga biar sehat
lah. Ayo dong, sayang! Mau ya? Aku pengen banget lho main basket sama kamu,
apalagi sampai diajarin. Kan romantis?" Sivia tetap kekeh merayu Alvin
walaupun sudah jelas-jelas tadi Alvin menolak.
"Enggak bisa, sayang. Aku..." dan belum juga Alvin selesai bicara,
Sivia langsung melepaskan genggaman tangannya dan kembali duduk sambil
membelakangi kekasihnya.
"Kamu gitu deh sama aku." seketika Alvin membuang napas gusar. Kalau
Sivia sudah bersikap seperti itu, rasanya Alvin tak bisa lagi berbuat banyak.
Lantas mau tak mau ia harus menuruti permintaan gadis tercintanya itu.
"Ya udah deh ya udah, aku mau kok. Kamu jangan ngambek ya? Ayo!" ucap
Alvin seraya meraih lengan Sivia lembut.
"Nah, gitu dong! Kamu kan pacar aku yang paling baik, paling ganteng,
paling sempurna, paling..."
"Paling suka bohong kalau ada maunya." sambung Alvin asal. Lalu
mereka tertawa sambil berjalan menuju sebuah bola yang tergeletak begitu saja
di bawah tiang ring basket.
Dan tak lama setelah mendapatkan bola tersebut, Sivia langsung berlari menjauh
dari Alvin seraya mendribble bola. Meskipun belum terlalu pandai bermain
basket, ia tetap menantang Alvin untuk melawannya.
"Ayo maju, sayang! Buktikan kalau kamu adalah kapten tim basket."
suruh Sivia sedikit sombong. Sedangkan Alvin hanya bisa tertawa kecil saja
melihat tingkah kekasihnya yang cukup dibilang menggemaskan.
"Oke, siapa takut!" lalu ia melangkah mendekat. Mencoba ingin tau
sepintar apa kekasihnya menguasai bola basket.
"Ah, segitu doang? Payah!" lagi-lagi Sivia meledek saat Alvin tak
berhasil merebut bola dari tangan Sivia. Padahal itu adalah sebuah taktik dari
Alvin, mencoba mengalah terlebih dahulu.
"Kamu bisa juga ya main basket? Aku kira bisanya cuma nari-nari aja di
pinggir lapangan." kata Alvin walaupun sedang dalam posisi kuda-kuda untuk
melawan rivalnya yang berdiri dua langkah di depan.
"Iya dong! Masa iya pacar aku aja yang bisa main basket? Aku juga harus
bisa lah." nada percaya diri dari mulut Sivia keluar bersamaan dengan
cepatnya ia menerobos tubuh Alvin tanpa Alvin duga. Sontak Alvin langsung
menggeleng salut.
"Itu namanya gaya cinta. Hahaha." lanjut Sivia meledek lagi. Dan
dirasa sudah cukup untuk Alvin mengalah, kini saatnya Alvin mengeluarkan
jurusnya dalam bermain basket.
Sejenak, Alvin melirik sambil tersenyum terlebih dahulu ke arah Sivia sebelum
akhirnya ia berlari mengejar bola yang masih memantul di tangan kekasihnya itu.
Dan... hup! Tak kurang dari lima detik, bola itu sudah berpindah dari tangan
Sivia ke tangan Alvin.
"Ah, ini terlalu mudah." kali ini giliran Alvin yang meledek Sivia.
Dan kemudian bola itu ia putarkan di salah satu jarinya. Lalu tersenyum.
"Ih, kok bolanya bisa cepet di tangan kamu sih?"
"Bisa dong! Ini namanya gaya aku cinta kamu. Hahaha." seperti
boomerang, semua ledekan yang Sivia ucapkan tadi kepada Alvin, kini balik
menyerang dirinya.
"Oke, baru pemanasan." ujar Sivia yakin. Meskipun ia memakai rok
cheers yang benar-benar mini, namun Sivia tetap lihai berlari.
"Aih! Gak kena!" kata Alvin sambil memutar tubuhnya saat Sivia hendak
merebut bola yang masih berputar di jarinya. Sivia kemudian memutar mata,
ternyata gelar kapten basket itu memang pantas diraih seorang Alvin.
"Kayanya tadi ada yang sombong deh, tapi kok sekarang diem ya?" tanya
Alvin cukup menyindir. Membuat Sivia geram dan kemudian langsung memeluk Alvin
dari belakang dan menggelitiki tubuhnya.
"Hahaha. Geli sayang, geli. Hahaha. Lepasin! Hahaha. Udah dong, udah!
Hahaha. Siviiiiaaaaaa!!!" dan bola di jari Alvin pun jatuh seketika.
Lantas dengan sigapnya Sivia mengambil bola itu dan berlari menjauhi laki-laki
yang kini menggeleng heran.
"Aih! Kamu curang!" teriak Alvin. Sedangkan Sivia hanya menjulurkan
lidah sebagai balasan.
"Ish! Udah mulai ngeselin ya sekarang?" lanjutnya pelan. Karena entah
kenapa kepalanya mulai terasa pusing serta pandangannya pun sedikit demi
sedikit memburam.
"Ayo sini maju! Masa mau nyerah sih? Ah, payah!" tantang Sivia
lagi-lagi. Alvin tak langsung merespon. Kini giliran lututnya yang terasa
lemas. Dan walaupun ia sudah berusaha untuk menahan, rasa sakit di kepala serta
rasa lemas di lututnya semakin memberontak. Lantas Alvin menekuk tubuhnya,
mencoba menopang tubuhnya sebisa mungkin dengan posisi kedua tangan menyentuh
kedua pahanya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Sivia mulai curiga dengan tingkah Alvin
itu.
"Aku gak apa-apa kok, say..." bruk! Tubuh Alvin pun tumbang seketika.
"Sayang?!" teriak Sivia yang langsung saja membuang bola tak tentu
arah dan kemudian berlari mendekati Alvin yang sudah tergeletak di tengah
lapang.
"Sayang, kamu kenapa? Bangun dong, sayang! Kamu jangan becanda! Sayang,
bangun! Gak lucu tau?! Tolooooonnnggg!!!" Sivia sontak berteriak keras.
Alvin ternyata tidak sedang bercanda jika dilihat dari wajahnya yang sangat
pucat.
"Toloooooonnnggg!!!" sekali lagi Sivia berteriak meminta tolong. Sampai
teman-teman basket Alvin yang mendengar teriakan Sivia pun langsung berlarian
ke sumber suara.
"Alvin?! Alvin kenapa, Vi?" tanya salah seorang di antara mereka yang
datang.
"Aku gak tau, Alvin pingsan gitu aja pas lagi main basket sama aku."
lirih Sivia cukup sendu. Genangan air di sudut matanya pun mulai tampak.
"Ayo bantu angkat Alvin! Kita bawa dia ke UKS." setelah mendapat
komando kecil, tubuh Alvin kini diangkat oleh keempat teman basketnya menuju
UKS. Tak lupa juga Sivia yang ikut serta memegangi kepala Alvin yang cukup
membikin dada sesak jika melihat wajah pucatnya terus-terusan. Lantas ia
menarik napas sejenak sebelum mengusap kening Alvin yang berkeringat dingin.
"Kamu yang kuat ya, sayang?" gumamnya pelan.
Klik! Bayangan yang sangat menyedihkan itu bagaikan film yang terhenti begitu
saja di pikiran Sivia saat sebuah sentuhan lembut di pundaknya dapat ia
rasakan. Sentuhan dari seorang wanita paruh baya yang kini tersenyum ke arah
Sivia yang baru saja membuka mata.
"Via, pasti kamu belum makan kan dari tadi siang? Makan dulu gih, sayang?
Tante udah beliin makanan tuh di meja. Biar Tante aja yang gantiin Via buat
jagain Alvin." ujar wanita itu sangat manis. Karena beliau mulai merasa
tidak tega saat melihat gadis yang telah dianggap sebagai bagian dari
keluarganya itu sudah tidak lagi memikirkan kesehatannya semenjak Alvin terkena
musibah tersebut.
"Via mau di sini aja, Tante. Mau jagain Alvin terus. Toh Via juga masih
kenyang kok, Tante. Soalnya sebelum Via ke sini, Via makan dulu di kantin sekolah."
tolak Sivia dengan memberi alasan yang cukup logis.
"Tapi itu kan di sekolah sayang, bukan di sini. Ya udah kalau gitu Tante
ambilin aja ya makanannya? Biar kamu bisa makan di sini kalau emang gak mau
jauh-jauh dari Alvin." ucap wanita itu lagi yang tak lain adalah orang tua
Alvin. Yang Sivia panggil dengan sebutan Tante Sonia.
"Gak usah, Tante." sambung Sivia dengan memegang tangan Tante Sonia
yang hendak melangkah pergi. Beliau menghela napas kemudian. Mulai sedikit
memahami dengan sikap Sivia yang seperti itu.
"Hmm... Via, Tante tau kok gimana perasaan kamu akhir-akhir ini. Kamu
sedih kan melihat keadaan Alvin seperti itu? Kamu menyesal, dan bahkan mungkin
kamu marah karena merasa kamulah penyebab dari musibah ini. Tapi menurut Tante
ini semua udah jalan Tuhan, gak perlu disesali. Apalagi sampai kamu menyiksa
diri seperti ini. Nanti kalau kamu sampai sakit, gimana? Siapa yang mau jagain
Alvin?" Sivia terdiam mendengarnya. Semua kata-kata Tante Sonia memang
benar. Lantas ia tersenyum kecil.
"Tante bener. Kalau Via sampai sakit, nanti Via gak bisa jagain Alvin lagi
kan, Tante?" ucap Sivia lirih. Sedangkan saat mendengar itu, Tante Sonia
hanya bisa tersenyum sambil mengelus pelan rambut Sivia dengan penuh kasih.
Beliau merasa sangat bangga karena ada salah seorang gadis cantik yang begitu
menyayangi Alvin melebihi dirinya sendiri selaku orang tuanya.
Lantas Sivia bangkit dari duduknya dan menatap sejenak wajah wanita paruh baya
yang selalu tersenyum tulus itu.
"Makasih ya, Tante?" ucapnya tiba-tiba. Tante Sonia tak lantas
merespon, beliau hanya mengedipkan matanya lembut sambil kemudian mengangguk.
"Jagain Alvin terus ya, Tante? Via mau makan dulu." lagi-lagi Tante
Sonia mengangguk saat gadis cantik itu kembali berkata.
"Maafin Tante ya, Via? Tante terpaksa lakuin ini." dan saat Sivia
mulai berjalan keluar, Tante Sonia bergumam sambil terus menatap punggung Sivia
yang semakin jauh.
***
Sivia berhenti dari langkahnya, "Ih, lucu! Aku mau dibeliin boneka itu
dong, sayang?" pintanya kemudian saat ia melihat sebuah boneka panda super
besar berwarna merah muda yang terpajang di salah satu toko boneka yang
dilewatinya bersama Alvin.
"Lho? Gimana sih? Tadi katanya minta dibeliin ice cream, kok
sekarang jadi boneka? Yang bener yang mana?" tanya Alvin heran. Karena
memang baru saja satu menit yang lalu Sivia memaksa Alvin untuk membeli ice
cream kesukaannya, tapi sekarang malah sudah berubah permintaannya.
"Ngg... kalau dua-duanya boleh enggak, sayang?" jawab Sivia setelah
berpikir cukup lama. Sorot mata mengiba pun tak lupa Sivia tunjukkan di hadapan
Alvin. Mungkin hanya hal itulah yang mampu ia lakukan untuk meluluhkan hati
seorang Alvin.
"Kamu ini paling bisa ya bikin aku pantang menolak?" tak lama Sivia
pun tersenyum saat sebuah cubitan manja mendarat di pipi kanannya. Karena kalau
Alvin sudah bilang seperti itu, berarti Alvin mau mengabulkan apa yang tadi
Sivia pinta.
"Makasih ya, sayang? Kamu baik deh!"
"Kalau ada maunya aja bilang aku baik, dasar jelek!" tukas Alvin
dengan nada bercanda. Sedangkan Sivia langsung mengaitkan tangannya kembali ke
tangan Alvin tanpa berniat menimpali tukasan kekasihnya tersebut.
Dan kemudian bayangan itu melenyap kembali di benak Sivia saat sebuah suara
mengusik gendang telinganya. Panggilan dari sahabat kecilnya, Ify Clarissa. Gadis
yang limabelas menit yang lalu mengajaknya ke kantin. Gadis yang sepuluh menit
yang lalu membelikannya sebuah ice cream. Dan ice cream dari
gadis tersebutlah yang tadi berhasil membuat Sivia termenung, mengingat kembali
masa-masa indah seminggu yang lalu saat ia diberikan ice cream yang sama
oleh Alvin. Dan bahkan bukan cuma ice cream yang ia dapat, boneka panda
super besar juga dapat ia peluk saat itu.
"Kamu ngelamunin Alvin lagi ya, Vi?" setelah dirasa Sivia sudah cukup
sadar dari lamunannya, Ify pun bertanya.
"Ice cream ini ngingetin aku sama Alvin, Fy. Aku kangen sama dia,
aku kangen dibeliin ice cream lagi sama dia. Aku kangen," cukup
lirih Sivia berkata. Membuat Ify merasa sedikit tak enak hati kepadanya.
"Kamu yang sabar ya, Vi. Karena aku yakin kalau Alvin gak akan tidur
lama-lama lagi, dia bakal bangun buat kamu, buat ngasih ice cream itu
lagi yang jauh lebih spesial." balas Ify memberi semangat kepada sahabat
kecilnya itu. Orang yang tau baik-buruknya Sivia dan juga orang yang paling
mengerti Sivia di kehidupan luar selain Alvin.
Lantas Sivia tersenyum begitu Ify mengusap pundaknya. Karena sebelumnya ia juga
sudah yakin kalau yang tadi dikatakan Ify tersebut akan terjadi. Walaupun entah
itu kapan, tetapi yang jelas Sivia selalu yakin kalau itu akan terjadi. Ya,
terjadi.
"Makasih banyak ya, Fy? Kamu memang sahabat aku yang paling baik."
ujarnya seraya menyandarkan kepala di bahu Ify.
"Makasih juga ya, Vi? Toh kalaupun saat ini aku yang berada di posisi
kamu, mungkin kamu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan ke
kamu sekarang. Karena menurut aku, seperti itulah sahabat." kata Ify
seraya tangannya memutar-mutar ice cream yang sudah sedikit meleleh.
"Hai semuanya! Lagi pada ngapain nih? Makan ice cream ya? Wuih...
bagi aku dong!" sedetik setelah Ify berhenti berbicara, seorang siswa
tiba-tiba datang dengan sedikit menyapa dan serta-merta langsung mengambil ice
cream yang ada di genggaman Sivia tanpa izin terlebih dahulu. Terkesan
tidak sopan sih, namun perilaku seperti itulah yang biasa Sivia dan Ify
dapatkan acapkali siswa tersebut menemui mereka. Dan walaupun kadang suka kesal
dibuatnya, namun Sivia dan Ify tetap tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena
memang seperti itulah ia, mau diapakan lagi?
Siswa itu bernama Cakka, Cakka Raditya, sepupu dari Alvin. Salah satu member
tim basket di sekolahnya. Bahkan ia pernah menjabat sebagai kapten tim juga
sebelum akhirnya berpindah tangan kepada Alvin.
"Oh iya, menurut kalian berdua aku itu pantes gak sih punya pacar? Kok
perasaan di sekolah ini gak ada yang mau ya sama aku? Apalagi sih yang kurang
dari aku? Ganteng, iya! Tajir, iya juga! Kurang apalagi coba?" cibir Cakka
di tengah-tengah kegiatannya memakan ice cream. Dan itu cukup membuat
perasaan Sivia yang tadi sempat sedih pun berubah drastis begitu mendengar
Cakka mencibir.
"Satu lagi tuh yang kurang," timpal Sivia sambil memberi kode ke Ify.
"Apa tuh, Vi?"
"KURANG SOPAN!!!" glek! Cakka terpaksa menelan mentah-mentah ice
cream yang ada di pangkal tenggorokannya. Dua kata yang keluar dari mulut
mereka berhasil membuat Cakka tak bernafsu lagi dengan ice cream yang kini
tinggal setengah itu.
"Ya, kalau itu kan cuma berlaku buat kalian berdua doang." respon
Cakka setelahnya.
"Tapi kita berdua itu wakil dari semua cewek yang ada di sekolah ini,
Cakka! Iya kan, Vi?" lantas Sivia mengangguk. Sangat menyetujui apa yang
dibilang Ify barusan.
"Lagian kalau kamu pecicilan kaya gitu, mana ada sih cewek yang mau sama
kamu?" kata Sivia. Cakka membuang napas mendengarnya.
"Nyesel deh aku curhat sama kalian berdua. Aih!" lirihnya pasrah.
Sedangkan Sivia dan Ify malah terkekeh hebat begitu melihat raut wajah Cakka
yang berubah total dari sebelumnya.
"Udah, gak usah dipikirin! Kita berdua cuma bercanda doang kok, Kka."
"Hahaha. Iya, kita cuma bercanda doang kok. Toh bukannya kamu gak laku sih
Kka, mungkin karena kamu terlalu pilih-pilih aja kali ya? Padahal sebenernya
lumayan banyak juga cewek yang suka sama kamu lho. Iya kan, Vi?" sambung
Ify kemudian. Sivia langsung mengangguk.
"Masa sih? Kalian gak lagi bercanda kan?" tanya Cakka memastikan.
"Kali ini kita serius. Buktinya aja tiap kali kamu dan kawan-kawan sparing
basket, banyak tuh cewek-cewek yang teriakin nama kamu."
"Terus waktu itu juga ada cewek yang minta tanda tangan kamu ke aku. Inget
kan waktu aku minta tanda tangan ke kamu? Nah, itu dari penggemar kamu
tau?!" sambung Sivia antusias. Dan kali ini wajah Cakka pun kembali
berseri. Seakan ada semangat baru untuk segera mengakhiri masa jomblonya.
"Wuih... ternyata aku banyak penggemarnya juga ya? Aku kira cuma kalian
berdua aja yang jadi penggemar setia aku. Hahaha."
"Kaya gak ada idola lain yang lebih baik aja." tukas Sivia dengan
nada meledek.
"Bener banget, Vi. Lagian nih ya, kalaupun di dunia ini cuma ada kamu sama
kambing doang, aku bakal milih Justin Bieber. Hahaha." sambung Ify mulai
ngawur.
"Wuuuuuuhhh!!! Gak nyambung!" timpal Cakka semangat. Sedangkan Sivia
hanya menggeleng heran ke arah Ify yang kadang suka disconnection.
"Hahaha." kemudian mereka bertiga tertawa kompak.
Namun semua itu tidak berlaku lama untuk Sivia. Entah kenapa semua peristiwa
yang ia alami bersama Alvin sejak empat hari pertama bulan Februari di saat
sebelum Alvin koma itu selalu berputar ulang bagaikan sebuah piringan hitam di
otak Sivia. Seperti sekarang, ketika telinganya mendengar kata Justin Bieber
dari mulut Ify, tiba-tiba otak Sivia kembali memutarkan momen-momen lucu saat
ia menonton konser sang idola tersebut.
Dan malam itu, Alvin terduduk lemas di sebuah bangku panjang yang letaknya tak
jauh dari gedung yang di mana Justin Bieber mengadakan konser di dalamnya.
Cukup melelahkan. Sampai Alvin berusaha memijit-mijit betisnya yang lumayan
pegal.
"Kalau bukan karena kamu, mending aku milih diem di rumah daripada mesti
duduk di kerumunan orang-orang yang udah kaya kesurupan setan gitu."
umpatnya pelan. Dua jam berada di dalam sana cukup membuat Alvin stres karena
ulah fanatiknya dari para penggemar Justin Bieber tersebut. Dan itu membuat
Alvin sangat tidak nyaman.
"Oh my God, Justiiiiiinnn!!! Gila deh keren banget! Aaaaaahhh!!!"
histeris Sivia masih tak percaya kalau tadi dirinya melihat sosok sang idola
secara langsung. Bahkan saking histerisnya, ia tidak sedikitpun merespon ocehan
Alvin sama sekali.
"Oh iya sayang, tadi si Justin lihatin aku mulu tau?! Tatapannya itu lho?
Bikin meleleh! Aaahhh!!! Justin, i love you so much deh!" teriak
Sivia semakin histeris. Sungguh tak perduli walaupun banyak orang yang
berlalu-lalang di depannya.
"Via, udah deh gak usah berlebihan gitu! Belum tentu si Justin itu mikirin
kamu kan? Nah, daripada kamu teriak-teriak gak jelas gitu, mending pijitin aku
gih! Kan aku cowok kamu, jauh lebih keren daripada Justin." ujar Alvin
asal. Intinya ia sudah mulai jengah dengan Sivia yang terus-terusan memuji
idolanya.
"Ih, ngarep! Kerenan Justin ke mana-mana lah!" balas Sivia sedikit
membanding-bandingkan.
"Oh, jadi lebih milih Justin nih? Ya udah, pacaran aja sana sama Justin!
Aku mau cari cewek lain yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih seksi dari
kamu." kata Alvin tak mau kalah. Lalu Sivia terdiam, matanya menatap tajam
ke arah Alvin.
"Ish! Enak aja mau cari cewek lain. Kamu itu cuma milik aku. Titik!"
cegah Sivia ketus. Membuat Alvin tersenyum meledek seketika.
"Masa sih? Tadi katanya masih kerenan Justin ke mana-mana daripada aku.
Tapi kenapa giliran aku mau lirik cewek lain malah gak boleh?" Sivia
mendesis. Bibir bawahnya pun ia gigit pelan.
"Ya, wajar kan kalau aku histeris? Namanya juga ketemu sama idola yang
belum tentu bakal ketemu lagi." tegas Sivia kemudian.
"Oh ya? Terus kalau misalkan kamu suruh milih antara Justin sama aku, kamu
bakal pilih siapa?"
"JUSTIN LAH!!!" Alvin lantas memutar mata saat mendengar jawaban
cepat dari kekasihnya itu.
"Oh, ya udah kalau gitu." timpalnya malas. Dan tiba-tiba Sivia
terkekeh. Benar-benar lucu melihat Alvin cemburu seperti itu.
"Cieee... cemburu. Hahaha."
"Apaan sih?! Enggak!"
"Oh, enggak cemburu? Beneran? Kalau gitu berarti kamu gak cinta sama aku
dong? Katanya cemburu itu tanda cinta. Aih!"
"Abisnya kamu nyebelin banget sih!" umpat Alvin datar.
"Ya, maaf. Tadi aku cuma bercanda doang kok. Dan kalaupun Justin itu nomor
satu di mata aku, tapi yang nomor satu dan selamanya nomor satu di hati aku ya
cuma kamu." ucap jujur Sivia sambil mencubit manja hidung mancung milik
Alvin.
"Nah, gitu dong! Kalau kaya gini kan aku jadi makin sayang sama
kamu." kini giliran Alvin mencubit pipi Sivia. Lalu mereka balas
tersenyum.
"Beneran nih makin sayang?"
"Beneran."
"Serius?"
"Sejuta rius!"
"Gendong aku sampai parkiran bisa dong kalau emang kamu makin sayang sama
aku?" pinta Sivia dengan menyuguhkan senyuman termanisnya. Seketika Alvin
menelan ludah.
"Ya ampun, sayang. Kamu mau bunuh aku secara perlahan?"
"Lho? Kan aku cuma minta gendong? Masa iya sih bisa ngebunuh?"
"Gimana gak ngebunuh? Dari sini sampai parkiran itu jauh banget, Via
cantik. Lagian kalau mau minta sesuatu itu jangan yang aneh-aneh kek."
timpal Alvin disertai hembusan napas yang gusar.
"Ya udah deh gak jadi." balas Sivia pasrah.
"Tapi kamu gak ngambek kan?" Sivia pun cepat-cepat menggeleng.
Rasanya ia terlalu egois kalau harus memerintah Alvin untuk berbuat ini dan
itu. Sedangkan Alvin sendiri tidak pernah meminta apa-apa padanya.
"Aku gak ngambek kok, sayang. Oh iya, aku pijitin ya kakinya?" lanjut
Sivia tiba-tiba. Dan itu membuat kening Alvin mengerut hebat. Tidak seperti
Sivia yang biasanya.
"Gak usah sayang, gak usah! Aku udah gak pegel kok." tolak Alvin
seketika. Namun percuma, Sivia sudah terlanjur mengangkat kedua kaki Alvin dan
menaruhnya di atas pangkuan.
Dan baru saja Sivia hendak memijit kaki Alvin, putaran film kehidupan di benak
Sivia pun terpotong begitu suara bel berbunyi dengan nyaringnya. Ia
mengerjapkan mata kemudian.
"Hmm... aku masuk duluan ya? Matematika nih. Thanks ya buat ice
creamnya? Hehehe." pamit Cakka yang langsung berlari meninggalkan Ify
dan Sivia. Ify mengangguk membalasnya, sedangkan Sivia masih belum terlalu
sadar sedang melakukan apa ia dengan Ify serta Cakka sebelumnya. Jadi ia hanya
bisa tersenyum seadanya.
"Ya udah kita juga masuk yuk, Vi?" ajak Ify setelahnya. Dan tanpa bisa
menolak, Sivia mengikut saja saat Ify menarik tangannya perlahan.
***
Senja kembali memudar. Bias-bias oranye di ufuk barat pun perlahan menjadi
hitam. Merubah siang menjadi malam hanya dalam hitungan detik saja.
Segerombolan kelelawar yang kompak keluar dari sarang mereka juga selalu
memberi kesan tersendiri tatkala malam tiba. Pepohonan lantas menghening, tak
bergerak seperti biasanya. Damai.
Namun faktanya suasana di luar sana tidak terlalu berpengaruh untuk Sivia yang
masih dilanda resah. Sudah hampir seminggu ia tak melihat Alvin tersenyum. Yang
ada ia hanya melihat Alvin yang terbujur lemas dengan mata tertutup serta
sekujur tubuhnya yang didominasi oleh banyak selang-selang kecil. Sangat miris.
Wajah pucatnya membuat dada Sivia merasakan sakit yang teramat sakit. Tapi mau
bagaimana lagi, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah untuk menunggu
kapan kekasihnya itu terbangun dari tidur panjangnya.
"Om?" panggil Sivia ke arah dokter yang menangani Alvin. Dan dokter
itu adalah Papanya Alvin sendiri. Dokter Joe panggilannya.
"Ya, sayang?" respon Dokter Joe setelah beberapa detik memeriksa
keadaan Alvin.
"Gimana kondisi Alvin, Om? Apa Alvin udah lebih baik?" tanya Sivia
penasaran. Dokter Joe lantas mendekati Sivia dan merangkul pundak gadis tersebut.
"Sayang, kamu gak usah khawatir lagi ya? Dalam waktu dekat mungkin Alvin
udah bisa siuman. Kita berdoa aja sama Tuhan." ujar Dokter Joe yakin.
Ketika mendengar kabar baik tersebut, Sivia langsung menatap tak percaya ke
arah Dokter Joe.
"Om gak lagi bohongin Via kan?" Dokter Joe lalu membuang napas.
Tatapan Sivia berhasil membuat hatinya terasa perih. Rasa tak tega dan sedih
ikut muncul di dalam jiwanya. Namun beliau sudah terlanjur masuk ke dalam
skenario yang dibuat keluarganya sendiri.
"Om gak bohong, sayang. Alvin pasti akan segera bangun untuk kita, untuk
orang-orang yang disayanginya." jawab Dokter Joe sambil berusaha menahan
genangan air di sudut matanya supaya tidak terjatuh.
"Kalau gitu Via mau di sini terus biar pas Alvin bangun nanti, Via lah orang
pertama yang Alvin lihat. Gak apa-apa kan, Om?" pinta Sivia lembut.
Sorotan matanya kembali memohon. Lantas Dokter Joe pun hanya bisa mengangguk
saja tanpa sanggup berbuat banyak lagi.
"Makasih banyak ya, Om? Via seneng banget!"
"Sama-sama, sayang. Kalau gitu Om keluar dulu ya? Mau ke ruang rawat yang
lain." Sivia mengangguk pasti setelahnya.
"Jagain Alvin baik-baik ya?" kata Dokter Joe sambil menepuk pelan
pundak Sivia sebelum beliau benar-benar keluar dari ruang rawat Alvin.
"Sayang, kamu tau enggak kalau sekarang aku lagi kenapa? Aku itu lagi
seneeeeeeng banget! Seneng karena barusan Papa kamu bilang kalau kondisi kamu
udah sedikit membaik, dan Papa kamu juga bilang kalau bentar lagi kamu bakal
siuman. Aku bener-bener gak nyangka, sayang." Sivia kembali duduk di
samping tubuh lemas Alvin dengan sedikit meremas lembut jemari tangan milik
laki-laki yang begitu dicintainya itu.
"Aku udah gak sabar lagi lihat kamu tersenyum, lihat kamu tertawa, lihat
kamu ngambek, lihat kamu marah, lihat kamu manja, lihat kamu main basket sama
temen-temen kamu, dan pokoknya aku kangen banget lihat semua tingkah kamu. Kamu
cepet bangun ya, sayang? Masa kamu tega sih biarin aku terus-terusan
sendiri?" kata Sivia lagi-lagi. Walaupun itu baru saja prediksi dari
Dokter Joe, namun rasa senang di hati Sivia sudah tidak bisa lagi diganggu
gugat.
"Hmm... oh iya sayang, kamu inget gak kalau besok itu tanggal berapa? Kamu
inget kan?" layaknya sedang berbicara dengan Alvin yang sadar, Sivia pun
mencoba bertanya. Namun kemudian terdiam lagi.
"Iya, tanggal 14. Itu hari ulang tahun aku. Kamu masih inget kan sama
ulang tahun aku?" lanjutnya masih dengan berbicara sendiri.
Entah karena sudah menjadi hobi barunya atau bukan, akhir-akhir ini Sivia
sering sekali membayangkan kembali masa-masa indahnya bersama Alvin. Terlebih
di hari-hari terakhir sebelum keadaan Alvin seperti sekarang ini.
Flashback On.
"Oh iya sayang, nanti pas aku ulang tahun, kamu mau beliin kado apa buat
aku?" tanya Sivia spontan saat matanya tak sengaja melihat sebuah pesta
ulang tahun seorang anak kecil di salah satu taman bermain yang sedang ia
kunjungi bersama Alvin.
"Rahasia dong! Masa iya sih dikasih tau sekarang? Kan gak asyik."
jawab Alvin yakin walaupun pandangannya masih terfokus pada kumpulan anak-anak
kecil yang berkumpul di sana.
"Ih, masa gak boleh dikasih tau sih? Emang kamu udah tau apa kesukaan
aku?" Alvin lantas terkekeh. Pertanyaan yang cukup dibilang skeptis jika
dilihat akan perjalanan cinta mereka yang hampir menginjak tahun keempat.
"Mungkin aku terlalu bodoh kalau sampai gak tau kesukaan kamu. Sayang,
kita itu berhubungan udah lumayan lama, masa iya cuma hal kaya gitu aja aku gak
tau?" jelas Alvin kemudian.
"Oh gitu ya?" respon Sivia lagi. Sedangkan Alvin hanya membalasnya
dengan sebuah anggukan.
"Tapi masa gak ada bocoran sedikitpun gitu?"
"Gak ada,"
"Ih, gitu aja pelit!"
"Kalau kadonya dikasih tau ya gak seru dong, sayang. Udah deh kamu jangan
banyak tanya, entar juga kamu tau sendiri kok."
"Iya deh, iya. Terserah kamu aja!"
"Wuih... ngambek?"
"Jangan sok tau deh!"
"Ish! Jutek amat, mbak?"
"Bodo!"
"Aih... ya udah deh aku mau ke sana aja, mau ucapin selamat ulang tahun
buat dede unyu itu." Alvin pun bangkit kemudian. Berniat kabur dari aksi
jutek Sivia tersebut.
"Mau ngapain ke sana?! Kamu kan gak diundang?" teriak Sivia.
"Bodo! Walaupun gak diundang, setidaknya aku gak bakal dijutekin kalau di
sana." ketus Alvin ikut teriak.
"Ih, nyebelin banget sih?!"
Dan meskipun Sivia terus-terusan mencibir, Alvin tetap tak mengurungkan niatnya
tersebut. Ia berjalan perlahan mendekati gadis kecil yang berdiri tepat di
depan kue tart yang di atasnya tertera sebuah lilin berangka lima. Lalu Alvin
berjongkok setelah cukup dekat, mencoba menyetarakan tinggi tubuhnya dengan
tubuh gadis kecil itu.
"Selamat ulang tahun ya, dede unyu?" ucap Alvin tulus sambil
mengeluarkan dua buah lolipop di balik jaketnya. Entah sejak kapan Alvin
membawa lolipop, yang jelas sekarang kehadirannya sudah disambut senang oleh
gadis kecil itu.
"Makasih ya, kakak baik? Tapi kalau boleh tau unyu itu artinya apa ya,
kak?" respon dan tanya gadis kecil tersebut sangat polos. Alvin tersenyum,
tangannya tiba-tiba tergoda untuk mencubit pipi anak kecil yang sekarang
berdiri tak jauh di hadapannya. Lantas hal itu juga berhasil membuat kedua
orang tua gadis kecil itu tertawa sambil menggeleng.
"Unyu itu cantik, dede." jawab Alvin gemas.
"Oh, unyu itu cantik ya? Hehehe. Makasih lagi ya, kakak ganteng."
Alvin lagi-lagi tersenyum.
"Oke, sama-sama. Oh iya, nama dede unyu siapa?"
"Nama aku Rara, kak. Kalau nama kakak sih siapa?" gadis kecil yang
mengaku bernama Rara itu balik bertanya kepada Alvin dengan nada yang anak-anak
banget.
"Oh, Rara? Ih, namanya unyu juga ya kaya yang punya. Hehehe. Kenalin,
kalau kakak namanya Alvin. Salam kenal ya, dede unyu?" kini giliran Rara
yang tersenyum ketika Alvin terus-terusan memujinya.
"Hehehe. Salam kenal juga ya, kak Alvin yang ganteng?" balasnya
antusias.
"Hmm... kak Alvin boleh minta tolong enggak sama Rara?" setelah
beberapa detik berkenalan, tiba-tiba Alvin teringat akan Sivia.
"Boleh kok, kak. Minta tolong apa? Tapi jangan lama-lama ya? Soalnya
sebentar lagi kan Rara mau tiup lilin." syarat dari Rara seraya melirik
kedua orang tuanya.
"Oh, enggak lama kok. Kak Alvin cuma mau minta tolong sama Rara buat
bilang sesuatu ke kakak cantik yang duduk di sana." kata Alvin yang
akhirnya berbisik ke telinga Rara. Lantas Rara mengangguk paham setelahnya.
Sedangkan di sisi lain, Sivia cukup dibilang heran saat melihat gadis kecil
yang tadi berbincang-bincang dengan Alvin itu kini berjalan mendekat ke
arahnya. Entah apa yang Alvin perintahkan kepada gadis kecil bernama Rara
tersebut.
"Hai, kak Via yang cantik?" sapa Rara begitu ia sampai di tempat
Sivia duduk. Sedangkan untuk sementara Sivia mengernyit, matanya ia tujukan ke
arah Alvin yang malah tersenyum saja membalasnya.
"Hai juga, ade?" sapa balik Sivia kemudian.
"Kata kak Alvin, kak Via lagi ngambek ya? Nih Rara kasih lolipop buat kak
Via, biar kak Via gak ngambek lagi sama kak Alvin." ucap Rara benar-benar
polos. Mendengar itu, Sivia langsung menghela napas seraya tersenyum kecil
serta dengan terpaksa ia menerima lolipop pemberian dari Rara.
"Aduh! Makasih banyak ya, sayang? Tapi ini buat Rara aja, kak Via gak
ngambek kok sama kak Alvin." balas Sivia dengan meletakkan kembali lolipop
di jemari Rara. Lantas Rara menolak cepat-cepat.
"Gak apa-apa kak, ini buat kak Via. Kalau kak Via gak mau terima, berarti
kak Via gak sayang dong sama kak Alvin?" sedetik, Sivia mengernyit. Entah
bisikan apa yang telah Alvin lakukan kepada gadis kecil ini.
"Kok bisa gitu sih, sayang?" tanyanya sambil melirik ke arah Alvin
yang jauh di sana.
"Soalnya tadi kak Alvin bilang kalau lolipop ini sengaja kak Alvin beli
khusus untuk orang yang paling cantik dan paling kak Alvin sayangi di dunia
ini." jelas Rara tanpa dosa. Sivia akhirnya tersenyum, ternyata Alvin itu
memang paling bisa membuatnya merasa istimewa.
"Oh, jadi kak Alvin bilang gitu sama Rara? Baiklah, kak Via terima lolipop
ini. Tapi nanti Rara bilang ya sama kak Alvin kalau lain kali kak Via gak mau
disogok sama lolipop." ujar Sivia dengan nada bercanda.
"Ngg... gimana kalau kak Via bilang langsung aja sama kak Alvinnya? Ayo,
kak! Soalnya bentar lagi Rara mau tiup lilin nih." ajak Rara dengan
menarik paksa lengan Sivia.
"Tapi kan kak Via gak diundang, sayang? Kak Via takut ganggu pesta ulang
tahun Rara."
"Dengan ini kak Via sama kak Alvin udah resmi jadi tamu istimewa Rara. Kak
Via tenang aja, pesta ulang tahun Rara pasti bakal tambah seru dengan adanya
kak Via sama kak Alvin." ungkap Rara seraya terus menarik tangan Sivia.
Sivia pun cukup pasrah dibuatnya.
Flashback Off.
"Sayang, aku harap di hari ulang tahunku nanti, terbukanya mata kamu lah
yang jadi kado terindah buat aku. Karena aku udah gak perduli lagi semua kado
yang pernah kamu janjikan waktu itu, aku cuma butuh kamu sekarang. Itu aja
kok." lirih Sivia setelah lama terdiam. Entah harus sampai kapan ia
meneteskan air mata di tempat yang sama. Di samping orang yang teramat ia
sayang. Dan di samping orang yang keputusan antara hidup dan matinya belum juga
ditentukan oleh sang pencipta hingga saat ini.
Lantas lagi-lagi Sivia berucap, "Tuhan, apakah tidak ada kesempatan lagi
untuk aku melihat sorot mata indah milik Alvin? Melihat Alvin tersenyum seperti
dulu? Melihat Alvin bercanda dan tertawa bersama aku dan teman-temannya?
Melihat Alvin yang selalu berusaha membuat bangga kedua orang tuanya? Tuhan,
tidak adakah kesempatan itu lagi untuk aku?" kepalan tangannya pun semakin
erat menggenggam jemari Alvin. Dan perlahan, rasa sesak di dada Sivia mulai
menyeruak ketika ia mencoba menyentuh pipi kanan Alvin yang semakin pucat pasi.
"Sayang, kenapa selama ini kamu gak pernah mau jujur sama aku? Bukankah
kamu pernah bilang kalau di antara kita itu harus saling terbuka satu sama
lain? Tapi kenapa aku gak pernah tau kalau selama dua tahun ini kamu mengidap
penyakit jantung? Apa karena kamu takut melihat aku sedih, khawatir, ataupun
kecewa sama kamu? Iya?" tukas Sivia bertubi-tubi. Pengakuan dari kedua
orang tua Alvin kalau Alvin mengidap penyakit jantung itu cukup membuat Sivia
syok berat dan merasa sangat bersalah. Apalagi saat dirinya mengingat kembali
ketika Alvin pingsan dan tak pernah sadarkan diri hingga sekarang setelah
berduel basket dengannya. Benar-benar menyakitkan bagi Sivia.
"Tapi menurut aku ini jauh lebih sakit dibanding aku harus tau lebih awal,
Vin. Dan entah kenapa aku masih belum bisa menerima keadaan ini. Kenapa gak aku
aja? Kenapa harus kamu?" Sivia mulai berontak dengan semua
pertanyaan-pertanyaannya yang entah ia tujukan untuk siapa. Sampai akhirnya ia
kembali terdiam seribu bahasa, mencoba mengunci semua gejolak yang ada di
dadanya, serta mencoba menenangkan diri tanpa harus menyalahkan siapapun. Lalu
Sivia memejamkan matanya kuat-kuat. Sampai tak sadarkan diri kemudian.
***
"Aku beli kado apaan ya buat Via? Bingung." ujar Ify saat ia berjalan
tanpa tujuan di sebuah pusat perbelanjaan. Sedangkan Cakka yang hari ini sudah
seperti asisten pribadi Ify hanya bisa mengikuti ke manapun kaki Ify melangkah
tanpa berkomentar.
"Menurut kamu kalau aku ngasih boneka aja gimana, Kka? Via bakal suka gak
ya?" Ify kemudian bertanya saat ia melihat sebuah toko boneka tak jauh di
tempatnya berdiri bersama Cakka.
"Boneka? Kalau boneka mah udah bejibun kali di kamar Via juga. Tau sendiri
kan Alvin sering banget beli boneka buat dia?" jawab Cakka santai. Matanya
mulai mengitari suasana di sekelilingnya.
"Iya juga sih. Terus kalau kamu mau kasih apa buat Via?" tanya Ify
lagi dengan matanya yang ikut sibuk melirik sana-sini mengikuti Cakka.
"Kalau aku sih udah nyiapin di rumah, Fy. Tinggal langsung dikasih ke Via
aja entar. Cuma sekarang aku lagi nyari tempat yang bisa bikin sesuatu secara
instan tapi unik gitu. Biasalah, pesanan seseorang." ujar Cakka. Sedetik,
Ify mengangguk paham apa yang dikatakan sahabatnya tersebut.
"Ya udah yuk kalau gitu jalan lagi? Aku masih belum nemu sesuatu yang
tepat nih buat Via." ajak Ify dengan menarik tangan Cakka cepat.
"Jangan terlalu susah-susah lah, Fy. Yang simpel aja. Toh cuma kado, Via
pasti seneng kok apapun itu kadonya." kata Cakka di tengah perjalanan.
"Tapi tetep aja harus yang bener-bener istimewa kali, Kka. Soalnya aku mau
ngasih sesuatu yang selalu bisa Via pakai. Kaya dia ngasih aku jam tangan unik
ini waktu ultah aku kemaren." balas Ify seraya menunjukkan jam tangan
berwarna cokelat yang melingkar di lengan kirinya.
"Ya udah kamu beli jam tangan aja buat Via. Yang merknya sama tapi
warnanya beda, biar kesannya kompakan. Lagian seinget aku itu Via gak pernah
pakai jam tangan kan?" sejenak, Ify berpikir setelah mendengar saran dari
Cakka tersebut.
"Iya juga ya? Kenapa kamu gak bilang dari tadi sih, Kka?" seketika
Ify berhenti melangkah, lalu berbalik arah ke tempat sebelumnya di mana Ify
melihat toko pernak-pernik jam tangan dan sebagainya. Lantas lagi-lagi Cakka
dibuat pasrah oleh Ify. Tangannya yang masih ditarik oleh Ify pun hanya bisa ia
pandangi seraya menggeleng.
"Ribet ya kalau jadi cewek?" gumamnya kemudian.
***
Sivia menyandarkan kepalanya di pundak Tante Sonia sambil terus menangis.
Berita buruk di pagi buta yang ia terima cukup membuatnya jantungan mendadak
ketika mendengar kalau kondisi Alvin menurun drastis dan harus dipindahkan ke
ruang ICU.
Dan hampir tak bisa lagi untuk Sivia berpikir jernih sekarang ini. Tak perduli
meski perutnya belum diisi makanan ataupun minuman sedikitpun. Bahkan ia juga
sampai nekad tidak masuk sekolah demi menunggu kabar dari Dokter Joe akan
kondisi terakhir Alvin. Karena yang ada di otak Sivia saat ini hanyalah Alvin
dan selalu Alvin. Orang yang sangat ia sayang.
"Udah, jangan nangis lagi ya? Alvin akan baik-baik aja kok, sayang. Kamu
yang tenang." ucap Tante Sonia lembut disertai sebuah belaian kecil di
rambut panjang Sivia.
"Tapi Tante, Alvin? Alvin masuk ruang ICU lagi. Sivia takut,"
lirih Sivia sesenggukan. Entah tiba-tiba rasa takut di hatinya muncul begitu
saja. Takut akan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi itu akan terjadi.
"Kita berdoa aja, sayang. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Tante
yakin kalau Alvin kuat. Apalagi Alvin punya kekasih seperti kamu, pasti dia
sedang berusaha untuk bangkit dari sakitnya untuk kamu." lagi-lagi Tante
Sonia berucap. Mencoba menenangkan gadis cantik yang sudah beliau anggap
seperti anak kandungnya sendiri. Apalagi kedua orang tua Sivia yang sibuk
bekerja di luar kota juga membuat beliau semakin dekat dengan gadis yang sering
Alvin ajak main ke rumahnya itu.
Sivia lantas tak membalas ucapan Tante Sonia. Ia malah beralih memeluk wanita
tersebut sangat erat.
"Kamu jangan takut. Tante juga tau kok gimana perasaan kamu sekarang. Tapi
yang jelas kita serahkan semuanya pada Tuhan. Dia tau mana yang terbaik buat
kita." Sivia mengangguk. Air matanya sudah cukup kering dan tak bisa lagi
mengalir di pipinya. Hanya saja sebuah isakan yang masih terdengar dari
mulutnya. Benar-benar menyedihkan.
"Tante, kenapa sih Alvin gak pernah cerita sama Via kalau dia punya
penyakit jantung?" tanya Sivia tiba-tiba. Rasa ingin tau akan alasan Alvin
yang tidak pernah mau jujur itu menyeruak lagi di benak gadis ini. Tante Sonia
pun terdiam mendengarnya. Seketika beliau dibuat bingung oleh pertanyaan
tersebut. Entah apa yang harus beliau jawab saat ini. Saat Sivia dengan wajah
penasarannya terus-terusan menatap penuh harap.
"Hmm... sebenarnya Tante juga belum tau betul kenapa Alvin melarang Tante
sama Om untuk tidak memberi tau penyakit dia kepada siapapun terlebih kamu.
Tapi sepertinya Alvin ngelakuin itu karena dia gak mau bikin orang-orang yang
disayanginya sedih ataupun khawatir. Apalagi sampai kasihan sama dia, Alvin
paling gak suka itu semua."
"Tapi menurut Via ini lebih menyedihkan, Tante. Via juga menyesal karena
Via gak selalu ada buat Alvin, padahal faktanya Alvin selalu ada buat Via. Via
memang bukan kekasih yang baik, Via gak bisa jagain Alvin, Via gak bisa
perhatiin Alvin, Via gak bisa ngelakuin apa yang Alvin lakuin ke Via selama
ini. Via..." semua gejolak yang Sivia tumpahkan tiba-tiba saja berhenti
ketika jari Tante Sonia menyentuh bibir mungilnya.
"Tidak ada gunanya buat Via menyesali semua itu. Toh hal ini akan tetap
terjadi juga kan? Lagipula tanpa Via melakukan hal itupun, Alvin selalu merasa
bahagia kok tiap kali dia bersama kamu. Alvin yang bilang sendiri sama Tante.
Dan asal Via tau juga, Alvin bisa terus bertahan dari penyakitnya itu karena
ada Via. Harusnya Via bersyukur, karena tanpa berbuat apapun, Via sudah bisa
membuat Alvin kuat. Bahkan Tante sama Om aja belum tentu bisa melakukan
itu." jelas Tante Sonia sebisa mungkin memberi pengertian.
"Tapi, Tante?" bermaksud untuk menyanggah, mulutnya kembali terkunci
begitu Tante Sonia tersenyum sambil menggeleng pelan. Isyarat kalau beliau
tidak mau mendengar semua penyesalan dari mulut Sivia lagi.
Cklek! Pintu ruang ICU terbuka perlahan. Dan tak lama kemudian Dokter Joe pun
keluar seraya menarik napas saat matanya menangkap kedua sosok manusia yang
sedang berpelukan tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Om?!" ujar Sivia refleks. Pelukan Tante Sonia pun segera ia lepaskan
demi bergegas mendekati Dokter Joe.
"Om, gimana keadaan Alvin? Alvin baik-baik aja kan, Om? Alvin gak
kenapa-kenapa kan, Om? Alvin..." tanya Sivia langsung saja. Bahkan tangan
Sivia pun terus-terusan menyentuh keras tangan Dokter Joe. Meminta jawaban
tanpa memberi kesempatan terlebih dulu untuk Dokter Joe menarik napas.
"Jawab, Om!" lalu Dokter Joe memejamkan mata yang berhasil membuat Sivia
menarik kesimpulan yang buruk.
"Sayang, Om sama tim medis yang lain sudah berusaha sekuat tenaga, tapi
Tuhan berkehendak lain." ujarnya seraya meneteskan air mata walaupun sudah
berusaha untuk beliau tahan.
"Gak mungkin! Om lagi bercanda kan?! Om lagi bohongin aku kan?! Alvin gak
meninggal kan, Om?! Jawab, Om! Jawab kalau Om lagi bercanda! Om..." sudah
terasa lemas, Sivia langsung terduduk di kaki Dokter Joe. Suasana hatinya
benar-benar kalut saat itu. Meski sudah berusaha untuk ia menolak fakta yang telah
terjadi, tapi tetap saja itu tidak akan mengembalikan semuanya seperti semua.
Alvin sudah meninggal.
"Tante, Alvin masih hidup kan?" lirihnya lagi-lagi. Sedangkan Tante
Sonia yang juga ikut menangis dan sempat tak percaya kalau Alvin sudah
meninggal pun hanya bisa menutup mulut sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok.
"ALVIIIIIINNNNNN!!!" Sivia mulai berteriak.
"GAK MUNGKIN!!! ALVIN BELUM MENINGGAL!!! KALIAN BOHONG!!!"
"ALVIN MASIH HIDUP!!!"
"ALVIN GAK AKAN TINGGALIN AKU!!!"
"ALVIIIIIINNNNNN!!!"
"Via, bangun! Kamu kenapa? Kamu mimpi?" Sivia pun tersentak seketika.
Tidur panjangnya tiba-tiba terbangun saat seseorang menggoyangkan pundaknya.
"Ify? Cakka?" gumam Sivia sedikit serak. Kedua sosok sahabatnya
langsung terukir jelas saat ia membuka mata.
"Kamu mimpi ya, Vi?" tanya Ify pelan.
"Alvin? Alvin mana, Fy? Alvin masih hidup kan? Alvin gak meninggal kan?
Alvin mana, Kka? Alvin mana?" bukannya menjawab pertanyaan Ify, Sivia
malah seperti orang kesurupan. Menarik tangan Ify dan Cakka bergantian.
"Vi, kamu tenang dulu ya? Alvin masih baik-baik aja kok." ucap Cakka
prihatin.
"Iya Vi, kamu yang tenang dulu. Alvin masih ada kok, lihat aja."
sambung Ify sambil mengarahkan pandangan Sivia ke tempat Alvin berbaring.
"Alvin?" ia bergegas cepat mendekati Alvin. Lalu dipeluknya
erat-erat.
"Aku takut, Vin. Aku takut,"
"Udah Vi, kamu tenang aja. Tadi kamu cuma mimpi."
"Tapi aku beneran takut, Kka. Aku takut semua itu akan terjadi. Aku belum
siap."
"Percaya sama aku, Alvin akan baik-baik aja. Mungkin karena kamu terlalu
capek dan kurang istirahat, jadi kamu sampai mimpi buruk gitu." ujar Ify
menengahi. Sivia terdiam kemudian. Ucapan Ify memang benar. Ia terlalu banyak
memikirkan Alvin sampai ia tidak bisa memikirkan kesehatannya sendiri.
"Kamu cuci muka dulu gih! Biar lebih fresh." lanjut Ify. Sivia
mengangguk dan mulai melangkah tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.
"Aku gak tega lihat dia kaya gitu, Kka. Aku takut Sivia sampai tekanan
batin karena semua ini." bisik Ify sambil terus menatap Sivia yang
berjalan gontai menuju kamar mandi.
"Aku juga sama, Fy. Tapi mau gimana lagi?" kini giliran Cakka yang
berbisik. Ikut juga menatap Sivia dan Alvin bergantian.
"Semoga ini semua berakhir bahagia ya, Kka?" Cakka mengangguk
menyetujui.
"Kalian udah lama di sini?" tanya Sivia setelah beberapa detik keluar
dari kamar mandi.
"Lumayan."
"Kok gak bangunin aku sih?"
"Emang sengaja gak kita bangunin, kita gak tega. Soalnya tadi lelap banget
kamu tidurnya, Vi." jawab Ify.
"Iya, makanya aku pindahin kamu ke kursi. Jadi biar kita juga bisa gantiin
kamu buat jagain Alvin." Cakka ikut menyahuti.
"Oh, gitu? Makasih ya sebelumnya?"
"Oke, sama-sama. Hmm... oh iya, aku izin pulang gak apa-apa kan? Udah jam
11 malem nih, besok takut kesiangan. Sebenernya gak enak juga sih, tapi mau
gimana lagi?" pinta Ify sedikit canggung.
"Oh, gak apa-apa kok. Harusnya aku yang gak enak sama kamu. Kamu udah
repot-repot jagain Alvin sampai malem gini. Sekali lagi makasih ya, Fy? Maaf
juga kalau besok aku belum bisa sekolah, aku udah terlanjur izin 2 hari."
"Oh iya gak apa-apa kok, Vi. Kalau gitu aku pamit ya?"
"Iya, Fy. Hati-hati ya?"
"Aku juga pamit ya, Vi? Mau antar Ify dulu." Sivia mengangguk. Lantas
mengantar mereka berdua sampai ke pintu.
"Baik-baik ya, Vi? Jangan lupa tidur, udah malem!"
"Iya, bawel!"
"Hehehe. Bye, Vi!"
Sivia melambaikan tangan perlahan. Menyertai kepergian Ify dan Cakka dengan
sebuah tarikan napas yang cukup panjang. Dan untuk sejenak matanya melihat
suasana sekitar yang begitu sepi. Mungkin hanya dirinya sajalah yang ada di
koridor rumah sakit setelah Ify dan Cakka pergi. Lantas ia kembali masuk ke
ruangan Alvin tanpa ada orang lain karena kedua orang tua Alvin izin sebentar
untuk menengok rumah yang hampir ditinggalkannya selama kurang lebih seminggu.
***
23.50 WIB
Malam semakin larut. Detak jarum jam pun semakin terdengar jelas mengetuk
gendang telinga. Namun Sivia belum juga tertidur kembali. Matanya masih terbuka
lebar di samping Alvin.
"Jika keajaiban Tuhan masih berlaku buat aku, aku ingin mata kamu terbuka
disaat lima menit terakhir ini aku menghabiskan umurku yang keenambelas. Apa
itu bisa terkabul, Tuhan?" gumamnya seperti biasa. Mengadu, meminta, dan
memohon kepada Tuhan akan permohon yang sama yang sering ia pinta sebelumnya di
samping Alvin.
Dan entah itu jawaban dari Tuhan atau bukan, Sivia merasakan jari Alvin yang
digenggamnya bergerak perlahan.
"Alvin???" kagetnya. Bahkan rasa kagetnya pun semakin bertambah parah
begitu mata Alvin dengan ajaibnya terbuka sedikit demi sedikit.
"Ya Tuhan, Alvin sadar? Alvin, kamu?" tidak tau harus berkata
apalagi, Sivia hanya bisa mematung begitu mata Alvin terbuka lebar dan
menatapnya tanpa berkata.
Cukup lama Alvin terdiam dengan tatapan yang sulit dijelaskan oleh kata-kata.
Seakan-akan Alvin ingin mengucapkan sesuatu kepada Sivia tetapi tidak kuasa
untuk berbicara. Sampai akhirnya tubuh tenang Alvin mulai berontak tak
terkontrol. Kejang-kejang. Membuat wajah Sivia yang tadinya syok karena senang,
kini berubah total menjadi syok karena dirundung rasa khawatir dan takut.
"Sayang, kamu kenapa? Sayang? Toloooooonnnggg!!!" heboh Sivia
kebingungan. Di satu sisi ia ingin berlari mencari pertolongan, namun di sisi
lain ia juga ingin menjaga Alvin.
"Toloooooonnnggg!!! Dokter?! Suster?!" karena merasa belum juga ada
yang datang, Sivia memutuskan untuk keluar. Mencoba mencari dokter siapa saja
yang sedang bertugas malam ini. Namun, brak! Pintu ruangan Alvin entah kenapa
terkunci dari luar. Sivia kontan semakin panik dan berusaha menggedor-gedor
pintu tersebut sambil tak henti berteriak.
"Buka pintunya! Susteeeeeerrr?! Tolongin Alvin!" terus-terusan Sivia
berteriak seraya menggerakan hendel pintu secara paksa. Matanya pun tak pernah
beralih dari Alvin yang semakin memberontak hebat. Meski ada pikiran untuk ia
mendobrak pintu, namun apa daya tenaganya sudah lemas karena berteriak.
"Dokter, Suster, tolong Alvin!" teriaknya mulai lemah. Sampai tak
tersadar pandangan Sivia mulai gelap. Bukan karena Sivia ingin pingsan,
melainkan karena lampu ruangan itu tiba-tiba padam begitu saja.
Sivia tambah panik dibuatnya. Ruangan tersebut sangat gelap karena tak ada
setitik pun cahaya yang masuk. Bahkan untuk berjalan menghampiri Alvin pun
Sivia mengandalkan tangannya untuk meraba udara.
"Tuhan, aku tak pernah meminta padaMu untuk memberiku seseorang yang
seperti malaikat. Tapi aku cukup bersyukur karena Kau telah menghadirkan
seseorang yang luar biasa, seseorang yang sangat berharga di hidupku. Dan
seseorang itu... kamu, Sivia." remang-remang Sivia melihat dua buah lilin
menyala bersamaan dengan terdengarnya suara yang sudah tak asing lagi di
telinganya. Kedua lilin itupun semakin mendekat ke arahnya sampai Sivia dapat
melihat siapa yang menyalakan kedua lilin yang berangka satu dan tujuh
tersebut.
"ALVIN???" gumamnya tak percaya.
"Semua permohonan yang kamu minta kepada Tuhan sudah terkabul. Permohonan
yang mana aku sendirilah yang menjadi saksi kalau kamu adalah perempuan yang
sangat mencintaiku, sangat menyangiku, dan yang sangat membutuhkan kehadiranku.
Dan kali ini kamu tidak sedang bermimpi, ini kenyataan. Alvin yang sesungguhnya
yang ada di depan mata kamu sekarang." di balik cahaya lilin Alvin pun
tersenyum. Meski rasa sesak menusuk hatinya saat ia melihat Sivia yang tak
henti menangis karena syok dengan kejadian tadi.
"Sebenernya ini ada apa? Aku gak ngerti." ucap Sivia tetap melirih.
Mulutnya ia tutupi karena masih tak percaya dengan semua yang sedang ia alami.
"Maafkan aku, sayang. Sungguh gak ada maksud sedikitpun untuk aku
membuatmu menangis, membuatmu khawatir, dan membuat suasana hatimu jadi tak
tenang karena aku. Ini semua skenario, skenario buatan aku sendiri untuk
menyambut hari ulang tahun kamu. Mungkin ini terlalu nekad dan berlebihan, tapi
aku cuma ingin memberi kesan yang berbeda dari yang sudah-sudah. Dan
aku..." Alvin terdiam sejenak. Ingin rasanya ia memeluk erat Sivia karena
telah mengerjainya sampai seperti itu.
"Dan aku sebenernya tidak pernah mengidap penyakit jantung. Maafin aku ya,
sayang? Aku udah bohong sama kamu." lanjutnya kemudian.
"Terus waktu kamu pingsan, apa itu skenario juga?" tanya Sivia yang
suaranya mulai serak.
"Kalau itu bukan skenario, itu kenyataan. Aku pingsan karena waktu itu
emang aku lagi sakit. Dan pas aku main basket sama kamu, entah kenapa kepalaku
terasa berat dan saat itu juga aku gak inget apa-apa. Lalu dari situlah aku
kepikiran untuk membuat skenario aneh ini." jawab Alvin. Lantas ia menarik
napas setelah dirasa sudah cukup untuk ia menjelaskan.
"I'm so sorry, and happy birthday for you! Happy birthday, my beloved
girlfriend. You get sweet seventeen now, darl. " ucap Alvin setelah
beberapa detik meletakkan kue yang sejak tadi ia bawa.
Plak! Tanpa diduga, Alvin merasakan perih di pipi kanannya. Tamparan keras yang
dilayangkan Sivia seakan mewakilkan ketegaan yang telah Alvin lakukan kepada
gadis tersebut.
"Kamu jahat sama aku! Kamu jahat banget tau gak?! Kenapa kamu gak bunuh
aku aja sekalian?!" tukas Sivia seraya memeluk Alvin erat.
"Aku takut, aku bener-bener takut kehilangan kamu. Aku... aku gak tau
mesti gimana kalau semua itu beneran terjadi. Kenapa kamu jahat banget sih sama
aku?" semakin erat Sivia memeluk, malah semakin lemah suaranya untuk
keluar. Sedangkan Alvin hanya memilih diam, membiarkan Sivia untuk mengeluarkan
semua kekesalannya di dalam pelukan dirinya. Karena Alvin sendiri tau bagaimana
perasaan Sivia saat ini. Dan perlahan, Alvin mendekap kepala Sivia ke
pundaknya, berusaha memberi ketenangan kepada gadis itu. Sampai seketika pintu
pun terbuka dan lampu ruangan menyala kembali.
"HAPPY BIRTHDAY, VIAAA!!!" serempak, segerombolan orang
berucap cukup heboh. Membuat Sivia tersentak dan segera menengok ke arah sumber
suara.
"Mama, Papa, Tante Sonia, Om Joe, Cakka, Ify? Kalian semua?" kaget
Sivia seraya mengabsen semua orang yang ada di depannya dengan membawa kue
super besar yang di atasnya bergambarkan wajah dirinya.
"Selamat ulang tahun ya, sayang?" ucap Mama dan Papa Sivia
bergantian.
"Maaf kalau Mama sama Papa baru bisa pulang sekarang." lanjut sang
Mama karena beliau merasa tidak sempat ada untuk menemani anak tercintanya saat
Alvin sedang sakit. Ralat! Pura-pura sakit tepatnya. Sivia pun merengek manja
sambil memeluk mereka berdua.
"Makasih banyak ya Ma, Pa? Udah ada di hari ulang tahun Via aja Via udah
seneng kok." responnya.
"Selamat ulang tahun ya, Via cantik? Tante minta maaf kalau selama ini
Tante udah bohong sama kamu. Sebenernya Tante juga gak tega, tapi Tante
terpaksa lakuin ini." ucap Tante Sonia sambil mendekati Sivia.
"Selamat ulang tahun, sayang? Maafin Om juga ya? Padahal Om udah nolak
mentah-mentah, tapi Alvin terus-terusan maksa Om untuk terlibat dalam skenario
ini." sambung Dokter Joe lembut. Lalu mereka berdua membelai rambut Sivia
bergantian.
"Jadi Om sama Tante juga terlibat? Hmm... jangan bilang kalian berdua
terlibat juga?" tuduh Sivia ke arah kedua sahabatnya yang masih berdiri di
dekat pintu. Cakka dan Ify pun sontak memamerkan deretan gigi-giginya, seakan
bilang kalau mereka juga ikut ke dalam skenario yang Alvin buat.
"Iiihhh, kalian kok tega banget sih sama aku?" geram Sivia sedikit
kesal.
"Hehehe. Sori ya, Vi? Kita berdua cuma mau bantu Alvin aja kok, bukan mau
ngerjain kamu." kata Cakka asal.
"Sama aja, Cakka!"
"Oh, masa sih? Hehehe. Happy birthday ya, Vi? All the best and
all the goods for you!" lanjut Cakka di balik candanya. Sivia
tersenyum.
"Thanks, Cakka!"
"Aih! Viiiaaa, happy birthday ya? Duh, maaf banget nih aku udah
tega sama kamu. Tapi serius deh, aku sampai nangis lihat kamu kaya gitu. Uh,
Alvin itu emang kejam ya? Tega banget ngerjain pacarnya sampai nangis
darah." seketika semua orang di sana tertawa mendengar kata-kata Ify.
Terlebih Alvin.
"Oh iya, ini ada kado dari aku sama Cakka. Mohon diterima ya, Vi?"
lanjutnya.
"Aih... makasih banget ya Fy, Kka? Seneng banget deh dapet kado." Ify
dan Cakka langsung mengangguk kompak.
Lalu acara ritual ulang tahun pun berjalan cukup lancar. Sesi make a wish serta
tiup lilin, sesi potong kue, dan sampai sesi first cake pun Sivia
lakukan tahap demi tahap. Sudah jelas kepada siapa Sivia memberika first
cake di usianya yang sudah tujuhbelas tahun ini. Untuk Alvin tentunya.
"Kalau gitu kita keluar dulu ya, sayang?" pinta sang Mama kepada
Sivia dan Alvin. Sengaja memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk
mengobrol lebih intim lagi.
"Mau pada ke mana?"
"Kita nunggu di luar, gak enak sama pasien yang lain kalau mesti
ramai-ramai kaya gini." jawab Dokter Joe mewakili mereka yang beranjak
pergi. Sivia pun mengangguk paham.
"Vi, sekarang giliran aku." ucap Alvin setelah dirasa cukup sepi. Kue
yang tadi diletakkannya juga tak lupa Alvin ambil kembali meski setengah dari
lilin itu sudah meleleh.
"Sudikah kamu meminta permohonan untuk hubungan kita ke depannya?"
pinta Alvin ramah. Dan tanpa menunggu lama lagi, Sivia mengangguk dan langsung
menundukan kepalanya. Cukup lama.
"Makasih ya sayang atas doanya untuk hubungan kita? Sekali lagi aku ucapin,
happy birthday Sivia! Semoga di hari ulang tahun kamu yang sekarang,
kamu selalu ada dalam perlindungan Tuhan, selalu bahagia, selalu membanggakan,
selalu menjadi yang terbaik, selalu menjadi yang terhebat, dan selalu menjadi
Sivia yang aku kenal sebelumnya. And then..." ucap Alvin yang
sempat terpotong oleh tarikan napasnya.
"Always be my lovely! Love you, sayang." Sivia lantas
tersenyum bangga mendengarnya. Entah harus bersyukur seberapa banyak ia kepada
Tuhan karena telah menciptakan Alvin di hidupnya.
Sedetik, Alvin mengeluarkan kotak kecil berwarna merah di saku celananya.
"Ini adalah tanda sayang aku untuk kamu." ucapnya bersamaan saat
membuka kotak itu dan memakaikan isinya ke leher jenjang Sivia. Sebuah kalung
berlian dengan bandul berbentuk lingkaran yang di tengahnya terukir oleh huruf
A dan S.
"Selama kalung ini melingkar di leher kamu, izinkanlah aku untuk selalu
ada di samping kamu." Alvin kembali berucap manis.
"Dan yang ini aku berikan sebagai hadiah atas kesetiaanmu untuk aku."
lagi-lagi Alvin mengeluarkan benda yang ia sembunyikan di balik meja. Sebuah
kotak kaca yang di dalamnya terdapat ukiran kedua sepasang kekasih yang terbuat
dari kaca juga yang sedang memegang simbol hati dengan tulisan "Still
together and always together!". Sivia pun kini termangu. Sudah tak
bisa lagi mengungkapkan kata-kata kepada kekasih tercintanya itu.
"Terakhir, aku harap kamu suka ini." ujar Alvin tak henti-hentinya
memberi sesuatu spesial kepada Sivia. Kali ini seikat bunga mawar merah lah
yang menjadi penutup dari semua kado yang Alvin berikan kepada kekasihnya.
"Meski suatu saat bunga ini akan layu, tapi nanti kamu akan mengerti kalau
ini hanyalah sebuah simbol. Karena di sini, di hati aku, rasa sayang dan rasa
cinta itu tidak akan pernah layu untuk kamu. Dan asal kamu tau kalau ini
bukanlah gombal semata, tapi ini benar-benar apa yang aku rasakan selama ini.
Aku sayang kamu, Vi. Makasih udah selalu hadir di hidup aku." ucap Alvin
tulus. Tangan Sivia ia pegang erat.
Sontak Sivia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain memeluk kekasih hatinya yang
sangat luar biasa itu.
"Thanks for everything! Kamu memang malaikat sejati aku. I love
you so much, Alvin!" ungkap Sivia tak kuasa lagi menahan air matanya.
Membiarkan air mata bahagia tersebut mengalir di pundak Alvin, Malaikat
Sejatinya.
Alvin lantas tersenyum bahagia. Cukup bersyukur karena skenario dadakan
buatannya berakhir dengan lancar dan bahagia.
"Terima kasih, Tuhan." gumamnya.
The End!