Rabu, 07 Oktober 2015

If You Earn Me [14]

Di hari Sabtu ini Sivia, Ray,dan kedua orangtua mereka pergi ke Bandung untuk menghadiri pernikahan saudara.Seperti biasa, jalanan Bandung akan sangat padat saat weekend. Sivia yang duduk di kursi belakang kini sedang merutukidirinya yang bangun kesiangan hingga ia tidak sempat untuk mengisi batteryiPhone-nya. Jadilah sekarang iPhone-nya hampir mati karena kehabisan battery.Padahal tempat tujuan masih jauh dan juga jalanan sangat macet. Apalagiternyata tidak ada yang membawa powerbank! Dan belum sempat Sivia memberitahuAlvin bahwa iPhone-nya lowbat, ternyata iPhone-nya sudah mati terlebih dahulu.Sivia pun menoleh ke samping dan melihat Ray juga sedang sibuk denganiPhone-nya.

“Ray.” Panggil Sivia sambilmenyikut adiknya itu.

“Hm.”

“Pinjem HP dong.”

“Buat apa?”

“BBM Alvin.”

“Gue lagi chatting sama Acha.”

“Bentar aja.”

“Males.”

“Pelit banget sih!”

“Biarin.”

Sivia pun cemberut merasa kesaldengan Ray. Padahal Sivia hanya ingin memberitahu Alvin bahwa iPhone-nya mati agarAlvin tidak bingung karena Sivia tidak membalas chatnya. Sivia pun menoleh kedepan dan melihat mamanya.

“Ma.”

“Ya, sayang?”

“Pinjem HP dong.”

“Buat apa?”

“BBM Alvin.”

“Emang iPhone kamu kenapa?”

“Mati. Battery-nya habis.”

“Yaudah nih.” Sivia langsungtersenyum begitu menerima iPhone mamanya. Dan untunglah di kontak iPhonemamanya ada nomor Alvin. Sivia pun mengirim SMS ke Alvin.

Me:
Hpku matiii. – sivia

Tidak lama Alvin sudahmembalasnya.

Alvin:
Dasar.

Me:
Yaudah nanti aku kabarin kalauudah nyampe.

Alvin:
Masih lama?

Me:
Masih.

Alvin:
Video call ya?

Me:
Nanti ajaaa kalau udah nyampesana.

Alvin:
Sekarang aja.

Me:
Nanti aja!

Alvin:
Yaudah telpon aja?

Me:
Nanti aja kalau udah nyampeeeee!

Alvin:
Tapi aku kangen

“Hpnya mama dong, Vi. Mama mautelpon tante Santi.” kata mama Sivia. Sivia pun buru-buru membalas pesan Alvin.

Me:
Pokoknya nanti aja. Udah Hpnyamau dipake mama.

Sivia tentu menyempatkan untukmenghapus pesan-pesan mereka tersebut sebelum mengembalikan iPhone itu kemamanya.

“Makasih, Ma.”

“Ya sama-sama, sayang.”

Sivia pun akhirnya hanya bisamelihat jalanan dari jendela mobil. Sebenarnya Sivia juga ingin video callataupun telponan dengan Alvin tapi Sivia tentu malu karena ada mama danpapanya. Hingga beberapa menit setelah menelpon tante Santi, mama Sivia melihatada pesan masuk dan membacanya.

“Vi ada balesan dari Alvin.Katanya ‘yaudah. I love you.’ gitu.” Sivia langsung menoleh ke mamanya. WajahSivia langsung memerah begitu menyadari papanya ikut menoleh dan tersenyumgeli.

“Kenapa gak diajak ajaAlvinnya?” kata papa Sivia.

“Bener tuh. Harusnya lo ajakAlvin. Kali aja lo sama Alvin bisa ketularan biar cepet nikah.” Ray ikutmenyahut.

“Hush, kamu ini Ray. Kakakmu ajabaru kuliah. Apalagi Alvin masih SMA. Kok udah ngomongin nikah aja.” Kata sangmama.

“Mungkin aja kali ma. Sekarangaja mereka di kamar udah berani... Aw!!!” Sivia langsung menginjak kaki Raykuat sampai adiknya itu mengaduh sakit.

“Kenapa, Ray?” tanya Mama merekabingung.

“Gak jadi, ma.” Kata Ray sambilcemberut merasakan kakinya yang sakit.

“Dasar kamu ini.” Kata Mamamereka geleng-geleng karena merasa Ray tidak jelas. Sedangkan sivia tentubersyukur mamanya tidak terlalu mendengar ucapan Ray.

“Jangan lemes mulut lo!” bisikSivia sambil memelototi adiknya.

“Sialan lo vi, kaki gue sakit!”

“Biarin. Awas aja kalau longomong sama mama atau papa!”

“iya iya!” Ray pun akhirnyamemilih untuk kembali membalas chat dari Acha. Sedangkan Sivia jadi teringatkejadian memalukan beberapa lalu. Yah saat ia dan Alvin sedang berciuman untukpertama kalinya di kamarnya, tiba-tiba saja Ray masuk ke kamar Sivia tanpamengetuk pintu terlebih dahulu. Jadilah Ray melihat Sivia dan Alvin berciuman.Setelah itu Ray terus saja menggoda Sivia karena hal itu. Sungguh hal itumembuat Sivia sangat malu sampai sekarang. Tapi untung saja Ray tidakmengatakannya kepada orangtua mereka. Bisa-bisa ia dan Alvin dicap buruk olehmereka. Walaupun yang mereka lakukan memang bukan tindakan yang baik. Tapi...yasudahlah.

***

Hari Minggu ini Sivia sudahberniat untuk tidur sampai siang. Ia sungguh merasa lelah karena tengah malambaru kembali ke rumah. Tapi tiba-tiba ia terbangun saat teringat sesuatu.Yaampun, Sivia lupa mengabari Alvin dari kemarin! Bahkan Sivia tidak mengabariAlvin setelah ia sampai di tempat resepsi pernikahan. Sivia pun buru-burubangun dan mengambil iPhone-nya yang sudah menyala.

Sivia pun mencari nomor Alvindan menekan tombol call. Tapi setelah beberapa kali mencoba, Alvin tidakkunjung menjawab telponnya. Sivia akhirnya memilih untuk mengirim BBM ke Alvin.

Sivia Azizah:
Haiiiiiiii

Setelah mengirim chat, Sivia puntiduran sambil menunggu balasan. Sivia sampai kembali tertidur karena tidakkunjung mendapat balasan. Saat terbangun ternyata sudah pukul satu siang danmasih belum ada balasan dari Alvin. Tapi saat melihat Recent Update, Siviamelihat kontak Alvin yang mengubah Display Picture-nya beberapa menit lalu.Sivia pun mengerutkan keningnya. Jadi Alvin bisa mengganti foto tetapi tidakmembaca pesan darinya?!

Sivia pun kembali mencobamenelpon Alvin sampai hampir sepuluh kali sebelum akhirnya Alvin mengangkattelponnya.

“Halo?”

“Hm?”

“Alvin?”

“Hm.” Sivia kembali mengerutkankeningnya mendengar jawaban Alvin yang seakan ogah-ogahan.

“Kamu ngapain? Bangun tidur?”

“Enggak.”

“Terus ngapain?”

“Main game.”

“Kamu kok bisa ganti foto tapigak bales BBM aku?”

“Hm.”

“Kamu kenapa sih hm hm terus?”tanya Sivia mulai kesal dengan jawaban Alvin yang seolah malah mengobrol denganSivia.

“Ada apa?”

“Ada apa apanya?”

“Ada apa kamu telpon?”

“Emang aku gak boleh telpon?!”

“Gak apa-apa.”

“Kamu marah?” tanya Siviaakhirnya menyadari Alvin yang sepertinya benar-benar marah.

“Alvin...” Panggil Sivia karenaAlvin tidak kunjung menjawab.

“Hm.”

“Kamu marah kan? Maaf...” kataSivia memelas karena ia merasa bersalah.

“Kenapa gak ngabarin samasekali?” tanya Alvin akhirnya.

“Maaf, aku lupa. Nyampe disanaaku terus ngumpul sama saudara-saudara. Pas sampe rumah aku langsung tidur.Maaf yaa...”

“Hm yaudah.”

“Tuhkan masih jutek. Aku mintamaaf...”

“Yaudah aku mau keluar.”

“Mau kemana?”

“Main.”

“Sama siapa?”

“Cakka.”

“Kemana?”

“Gak tau.”

“Kok gak tau?”

“Vi, udahan dulu.” Sivia bahkanbelum sempat bicara lagi saat Alvin langsung mematikan sambungan telponnya.Sivia pun langsung cemberut. Perasaannya jadi tidak enak karena Alvin yang sepertinyamasih marah padanya. Lagipula ia memang salah. Ia tidak sempat mengabari Alvinsama sekali padahal ia sudah berjanji untuk mengabari Alvin. Bahkan Sivia jugaberjanji akan menelpon Alvin jika sudah sampai.
Sivia pun akhirnya mencobamengirim pesan ke Cakka.

Sivia Azizah:
Kka?

Cakka Nuraga:
Ya vi?

Sivia Azizah:
Lagi sama Alvin?

Cakka Nuraga:
Iya bentar lagi ketemu Alvin.Gue masih otw

Sivia Azizah:
Emang kalian mau kemana?

Cakka Nuraga:
Makan aja. Kenapa?

Sivia Azizah:
Sama siapa aja?

Cakka Nuraga:
Berdua aja

Sivia Azizah:
Gak sama cewek kan?

Cakka Nuraga:
Enggak lah

Sivia pun sedikit merasa legakarena Alvin hanya keluar bersama Cakka. Sivia bertekad akan menghubungi Alvinlagi nanti untuk meminta maaf.

***

“Kenapa bos?” Cakka bertanyasambil melihat Alvin yang duduk di depannya.

“Kenapa apanya?” Alvin malahbalik bertanya.

“Lo kayaknya diem banget hariini.”

“Lagi bete.”

“Lagi berantem sama Iyem ya?”

“Hm.”

“Kenapa lagi sih?”

“Menurut lo Sivia cinta gak sihsama gue?” tanya Alvin tiba-tiba. Cakka pun menggaruk kepalanya bingung untukmenjawab.

“Mana gue tau bos.”

“Menurut lo.”

“Kalau menurut gue sih... Iyemcinta sama lo lah. Kalau gak cinta kan gak mungkin dia mau jadi pacar lo.”

“Kemarin dia pergi ke Bandungdan gak ngabarin sampai tadi pagi. Padahal dia janji bakal ngabarin kalau udahnyampe sana. Gue udah nungguin sampe ketiduran." Akhirnya Alvinmenceritakan kegundahan hatinya juga. Cakka sendiri sudah yakin pasti adasesuatu yang membuat Alvin mengajaknya keluar.

“Jadi lo lagi marah sama Iyem?”

“Iyalah. Padahal gue sehari ajagak ketemu dia udah kangen banget. Tapi dia kayaknya gak peduli sama sekali.”

“Ya kali aja dia sibuk samasaudaranya.”

“Iya gue tau. Tapi masa ngabarinsebentar aja gak bisa.”

“Dia udah minta maaf?”

“Udah.”

“Terus belum lo maafin?”

“Gak tau. Gue masih kesel.”

“Yaudah lo juga jangan cepetngambek. Bisa-bisa Iyem ilfeel sama lo.”

“Kok lo malah nyalahin gue?”

“Bukan nyalahin juga sih. Tapimenurut gue lo agak kekanakan. Iya kalau Iyem gak ngabarin lo selama seminggubaru wajar lo ngambek. Lagian dia gak ngabarin lo juga kan gara-gara dia lagisama keluarganya.”

“Gitu ya?” kata Alvin setelahbeberapa saat diam untuk merenung.

“Iya lah. Oh ya, dia juga tadinanyain lo.”

“Nanyain apa?”

“Ya nanyain lo sama gue pergikemana terus sama siapa. Dia juga tanya kita pergi sama cewek apa enggak. Kangak mungkin dia nanya-nanya gitu kalau gak punya perasaan sama lo.” Alvin diamsesaat sebelum akhirnya tersenyum.

“Iya juga.”

Akhirnya Alvin dan Cakka punmengobrol berbagai macam topik hingga berjam-jam baru mereka memutuskan untukkeluar dari tempat makan di salah satu mall. Cakka memang mengajak untuk makandi Mall karena ia sekalian ingin membelikan sesuatu untuk gebetan barunya.Alvin pun hanya bisa diam berjalan di belakang Cakka karena Cakka yang memaksauntuk menemaninya. Hingga mata Alvin tidak sengaja mengangkap dua sosok yangterlihat sangat akrab di salah satu toko olahraga. Sivia dan Gabriel! TanganAlvin terkepal kuat begitu melihat tangan Gabriel dengan lancangnya mencubitpipi Sivianya. Tanpa berbicara lagi Alvin langsung menghampiri mereka danmelayangkan pukulan begitu sampai disana.
Sivia langsung memekik kagetkarena terkejut. Apalagi kini terlihat darah di sudut bibir Gabriel.

“Alvin!” Sivia langsung berdiridi tengan mereka begitu Alvin siap melayangkan pukulan kedua. Tentu tindakanSivia yang melindungi Gabriel membuat Alvin semakin emosi. Alvin pun menatapSivia dengan pandangan yang tidak bisa Sivia artikan. Lalu Alvin pergi begitusaja dari sana. Sivia yang panik langsung berbalik melihat keadaan Gabriel.Beberapa orang yang sebelumnya menyaksikan kegaduhan itu pun mulai pergi.

“Lo gak apa-apa yel? Maaf yaa lojadi gini...” Kata Sivia tidak enak. Sivia sampai berkaca-kaca karena merasabersalah.

“Gak apa-apa kok, santai aja.”Kata Gabriel tersenyum menenangkan Sivia. Sivia sendiri masih menyesal. Tadisaat ia memasuki Mall ia tidak sengaja bertemu dengan Gabriel. Karena iaberencana untuk membelikan Alvin sesuatu untuk meminta maaf, Sivia jadiberpikir untuk mengajak Gabriel menemaninya untuk memilih. Karena Sivia tidakyakin dengan selera cowok dan berpikir Gabriel mungkin bisa membantunya. Tapikejadian barusan sungguh diluar rencana. Alvin tiba-tiba datang dan memukul Gabriel.Pasti Alvin salah sangka dengan apa yang ia lihat. Tapi Sivia juga tidak sukasikap Alvin yang main pukul. Padahal Gabriel tidak bersalah.

Sedangkan Alvin langsung pulangke rumah dengan Cakka yang mengikutinya karena khawatir. Dan benar saja, Alvin diamdi kamar dengan wajah merah menahan marah.

“Lo liat kan? Gue lagi marahsama dia tapi dia gak peduli dan malah jalan sama mantannya!” kata Alvin. Cakkahanya diam memberikan Alvin kesempatan untuk meluapkan emosinya.

“Gabriel kira dia siapa beranimegang-megang cewek gue!”

“Lo liat kan tadi, Sivia malahbelain Gabriel!”

Cakka mengerti jika sahabatnyaitu kini sedang emosi. Sivia memang keterlaluan jika dia pergi bersama cowoklain padahal pacarnya sedang marah. Apalagi Gabriel adalah mantan Sivia yang terlihatjelas jika Gabriel masih menyimpan perasaan untuk Sivia.

***

Sivia duduk dengan gugup. Didepannya kini sudah ada Alvin yang duduk dengan wajah datar. Sivia memangsengaja mengajak Alvin bertemu di Cafe yang sering mereka datangi. Sivia inginmeminta maaf untuk kejadian hari Minggu dan menjelaskan kesalapahaman kemarin.Dan setelah susah menghubungi Alvin akhirnya Alvin setuju untuk bertemu. Alvinpun hanya diam menunggu Sivia yang memulai pembicaraan.

“Seharusnya kamu gak bertindakkayak kemarin. Gabriel—“

“Jadi kamu minta ketemu cumapingin bahas Gabriel?!” kata Alvin yang langsung memotong perkataan Siviadengan emosi.

“Bukan gitu. Tapi kamu emangketerlaluan, Vin. Gabriel cuma—“

“Udah! Jadi kamu emang cumapingin bela Gabriel?”

“Bukan. Kamu jangan emosi duludong. Aku tau aku salah gak ngabarin kamu dan ingkar janji. Dan kemarin, kamusalah paham. Aku dan Gabriel gak seperti yang kamu pikirin. Kita cuma gaksengaja ketemu terus aku yang ngajak Gabriel nemenin aku. Jadi Gabriel gaksalah apa-apa disini.”

“Kamu kira aku gak liat kalianakrab banget? Sampe gabriel dengan santainya nyentuh pipi kamu.”

“Vin, itu... itu cuma kebiasaan.Mungkin Gabriel juga gak sadar ngelakuinnya.”

“Kebiasaan? Jadi kamu juga biasadiperlakuin gitu sama dia? Kenapa gak balikan sekalian?!”

“Alvin... Udah berapa kali akubilang kalau aku sama Gabriel gak ada apa-apa.”

“Apa kamu tau apa yang Gabrielpikir? Kamu yakin dia juga nganggep kalian gak ada apa-apa?”

“Apa maksud kamu sih?”

“Dia jelas masih suka sama kamu,Vi!”

“Alvin, udah! Gabriel emangmantan aku tapi gak seharusnya itu bikin kamu terus berpikir buruk tentangdia!” Sivia tanpa sadar membentak Alvin karena merasa lelah dengan tuduhanAlvin. Alvin hanya memandang Sivia beberapa saat sebelum akhirnya menghela nafas.

“Oke, sekarang terserah kamu.”

“Vin...”

“Mulai sekarang terserah kamu.Kamu bebas.”

“Apa maksud kamu?” tanya Siviamerasakan firasat buruk melihat wajah Alvin.

“Kita sampai disini aja. Kamugak perlu tertekan lagi.” Kata Alvin lalu berdiri dan beranjak pergi. Siviadiam beberapa saat karena masih kaget dengan ucapan Alvin. Ia langsung mengejarAlvin begitu sadar dari keterkejutannya.

“Alvin! Apa maksud kamu?!” Siviamenahan tangan Alvin yang sudah akan masuk kedalam mobil.

“Apalagi Vi? Ini yang kamu pingininkan. Dari awal kamu emang cuma terpaksa jalanin hubungan ini. Dengan gini kamubebas.”

“Vin, kamu bener-bener salahpaham.”

“Kita sendiri-sendiri aja dulu.”Kata Alvin lalu masuk kedalam mobilnya. Sivia akhirnya membiarkan mobil Alvinpergi dan Sivia pun masuk ke mobilnya sendiri. Beginikah akhirnya? Kenapa Alvintidak pernah percaya kalau Sivia dan Gabriel benar-benar hanya berteman. Tanpaterasa air matanya mengalir begitu saja. Dadanya terasa sakit. Sivia barumenyadari ternyata ia sungguh mencintai Alvin. Hingga rasanya sangat sakitbegitu melihat Alvin meninggalkannya.

***

Red In White

P.S. Author

X: Cerita baru?
A: Yup! Red in White, cerita super pendek dan agak-agak lebay ini author persembahkan untuk para ANH.
X: Dalam rangka?
A: Umm... dalam rangka merayakan anniv ANH yang udah lewat. (telat banget). Cocoknya sih dalam rangka mengumpulkan anak2 ANH. Author kangen nih jujur, kangen ANH sama kangen ALVIA nya juga.
X: Bagus gak ceritanya?
A: Entahlah. Coba dibaca. Semoga suka sih :p Ohya, bagi yang jago edit coba kira-kira kasih ilustrasi buat cerpen Red in White ini dong.
Salam kangen dari author {()}


***

Malam bertabur bintang, sepertinya ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan malam ini. Malam di mana banyak bintang papan atas tanah air yang hadir dengan penampilan terbaiknya, adalah malam penghargaan bagi para insan perfilman Indonesia. Aktor, aktris, maupun para pembuat film papan atas tentu tidak melewatkan malam yang penuh dengan antisipasi apresiasi ini. Berdiri di atas panggung menerima tropi penghargaan memang menjadi tujuan, tetapi datang untuk mengapresiasi film Indonesia adalah yang utama.
Semakin malam semakin ramai. Satu persatu para undangan mulai menampakkan diri mereka. Berjalan dengan penuh percaya diri seraya menebar senyum. Dan bagian red carpet selalu menjadi yang sayang untuk dilewatkan. Tetapi tidak untuk aktris satu ini, Sivia Magneficia Daraja. Sebenarnya Ia lebih memilih untuk langsung menuju tempat berlangsungnya acara. Hanya saja, sekian banyak para pemburu berita atau cameraman yang meneriaki namanya, meminta untuk memberi pose dan senyum terbaiknya. Apa yang bisa dilakukannya selain menurut dan mencoba megembangkan senyum. Kemudian hujanan kilatan cahaya kamera nyaris membuatnya pusing.

Seharusnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan bagian red carpet ini. Karena gaun Prada biru gelap telah membungkus tubuhnya dengan sempurna, memamerkan lembut, putih kulit pundaknya. Belum lagi bagian belakang gaun itu yang berpotongan cukup rendah, sehingga memamerkan kulit punggungnya yang berkemilauan. Tidak ada perlakuan istimewa pada tatanan rambut, hanya dibiarkan terurai bebas dan dibentuk bergelombang di ujungnya. Katakan saja Ia berlebihan, sebab malam ini Ia hanyalah menjadi salah satu nominee aktris pendamping terbaik, akan tetapi Ia mengenakan gaun dari salah satu brand langganan bintang Hollywood. Gaun Prada yang Ia kenakan saat ini adalah di luar scenario. Gaun ini begitu saja tiba di kamarnya, dikirim oleh Papinya langsung dari NYC. Dennis Daraja adalah Papi kebanggaannya yang kebetulan kini bertugas di negeri Paman Sam sebagai Diplomat. 

"Beautiful."

Sivia menoleh untuk memastikan bahwa apakah kata itu ditujukan untuknya. Benar. Ada Gabriel tau-tau sudah berdiri agak dekat dengannya. Lelaki itu sangat tampan dengan setelan abu-abu gelapnya. Rambutnya disisir rapi mengkilat. Gabriel Stevenson adalah salah satu nominee untuk actor terbaik. Mereka terlibat dalam satu judul film yang sama yang membawa mereka ke nominasi ini.

"Thanks." 

"Mungkin kita bisa membuat sedikit gossip. Agar mereka puas."

Setelah berbicara begitu, Gabriel sudah dengan santai menenggerkan sebelah tangannya pada pinggang Sivia, membuat gadis itu terkesiap sesaat. Lalu kilatan cahaya kamera kembali menyerbu, memanggil-manggil nama mereka agar tepat menoleh ke arah kamera.

"Enough. Can we go?"

Ya Tuhan! Sivia berusaha agar tidak tampak terlalu bahagia. Ia memang mengagumi Gabriel. Lelaki itu sungguh mumpuni dalam dunia acting. Beruntunglah Febby yang menjadi lawan mainnya kemarin. 

"Yes. Please."

Sesaat mereka baru akan beranjak menuju tempat utama acara, John Digit, sutradara yang sedang naik daun dengan dua film yang masuk ke jajaran nominasi, memanggilnya.

"Sivia."

"Oom John."

"Just John."

"Ok then, John." Sivia tertawa pada laki-laki paruh baya yang masih berjiwa muda itu.

"Selamat untuk nominasinya."

"Thanks. Even Gabriel is greater. Best leading actor.

"I know. Well done, Gab."

"Still learning." Gabriel menjawab dengan senyum rendah hatinya. Bagaimana Sivia tidak semakin mengagumi actor satu ini!

"Well, I wanna talk to you later, Via."

"About what?"

"Later. After party, ok? It's essential."

"Oke."

Dengan begitu, John berpamit terlebih dulu ke tempat utama acara.

"I have a good feeling for it."

Sivia menoleh ke Gabriel, mengernyit. "About that talk?"

"About that talk."

"I don't think so. I-"

Ucapannya terpotong ketika Ia mendengar suara heboh dari arena red carpet. Sebenarnya tanpa Ia menoleh pun Ia sudah tau bahwa itu pasti Pricilla Cassania. Tapi Ia tetap menoleh untuk memuaskan rasa ingin taunya. Benar ada Pricilla dengan gaun merah hebohnya sedang berpose dan tersenyum kelewat sumringah ke para pemburu gambar. Dan Sivia menyadari bahwa gadis itu tidak sendiri. Di sebelahnya ada lelaki yang, well, harus Ia akui memang sangat sangat tampan, menggunakan setelan hitam dengan dasi bercorak abu-abu. Pricilla adalah salah satu nominee aktris terbaik yang disinyalir pasti akan menang. Sementara lelaki itu, Alvin Janson adalah pesaing Gabriel di nominasi actor terbaik. 

"Via?"

Sivia mengembalikan perhatiannya kembali ke Gabriel. "Ya?"

"Kita ke dalam sekarang?"

"Oke."

Sebelum benar-benar beranjak, Sivia menoleh sekali lagi. Dan entah bagaimana pandangannya dengan Alvin bertemu di titik yang Ia rasa menjadi pusat antara mereka.


***


Malam beranjak malam tetapi semangat party masih menggelora di setiap sudut ballroom mewah ini. Sebuah acara after party yang rutin diselenggarakan setelah acara penghargaan bergengsi bagi insan perfilman digelar sebelumnya. Ada beberapa undangan yang masih betah mengikuti acara ini, adapula yang sudah langsung pamit. Mereka berbaur saling bertegur sapa untuk mengucapkan selamat bagi para pemenang. Seperti misalnya Sivia Magneficia. Ia memeluk hangat Eloise Ify, memberinya selamat karena memenangkan nominasi aktris pendamping, yang membuatnya harus puas hanya menjadi salah satu nominee nya. 

"Congratulation. You made it."

"Thanks." Mereka belum lama saling mengenal. Tapi karena memiliki beberapa kesamaan, Sivia merasa akan cepat cocok dengan Ify. 

"Selamat Ify." Seorang lelaki dengan jas abu-abu gelapnya ikut bergabung memberikan cheers nya pada Ify. Gabriel Stevenson! Sama seperti dirinya, Gabriel harus berpuas hanya menjadi nominee. Karena gelar actor terbaik telah disabet seseorang.

"Gabriel! Thank you." Gabriel memeluk Ify dengan santai. Sivia baru tahu belakangan ini kalau rupanya mereka adalah sepupu.

"You know what, kalian berdua nominee favorit ku. Menang kalah nggak pengaruh!"

"Yeah! The best couple made it!" Sivia dan Ify tak bisa menahan tawa melihat tingkah Gabriel yang mencibir dan memutar bola matanya bosan. Kemudian menunjuk pada arah jarum jam 4, dimana terdapat best couple yang dimaksud. Pricilla Casania dan Alvin Janson. Mereka memboyong penghargaan aktris dan actor terbaik. Well, memang Sivia akui mereka hebat. Kemistri sebagai sepasang kekasih di film terasa benar-benar nyata. Tetapi lama-lama Ia merasa muak.

Mendengar pemberitaan mereka berdua selama ini sudah memuakkan sekali. Mereka dikabarkan mengalami cinta lokasi. Tetapi ketika diwawancara Pricilla seolah menutup-nutupi tapi seolah mengiyakan. Menyebalkan tidak sih?! Apa salahnya memberitahu berita yang ada dan acara TV tidak melulu diisi dengan penampakannya yang -err- berlebihan. Sementara Alvin dengan tampang sok cool-nya hanya memberi jawaban netral. Yang salah sebenarnya pada media yang terlalu berlebihan atau pada dirinya yang memang sentiment dengan apapun yang berhubungan dengan Pricilla.

"Shoot!" Umpat Sivia sepelan mungkin. Ketika tanpa diantisipasinya Pricilla berjalan mendekat dan melewatinya dengan sedikit menyenggol. Ia melihat Ify sudah siap mengeluarkan cakarnya. Ini yang tak Ia pahami. Nampaknya ada sesuatu tak kasat mata yang membuat Pricilla juga sentiment padanya. Baiklah catat! Sivia tidak akan sentiment kalau saja Pricilla tidak memulai!

"Calm down." Agak tersentak Sivia merasakan gerakan lembut pada lengannya yang terbuka. Gabriel menyentuhnya. Sebuah sentuhan penenangan yang membuatnya salah tingkah. "Thanks".

"Dia agaknya sentiment, Vi. Kamu mengenakan Prada. Ya Tuhan, Prada! Aku boleh katakan kalau penampilanmu satu-satunya yang menyainginya."

"Mengalahkannya kalau menurutku." Tukas Gabriel dengan senyum menawannya.

Sivia jadi tersipu.

"Dan membuat kekasih hatinya itu mampu berpaling." Ify terkikik.

"Kekasih hati? Siapa-"

"Here you are."

Sivia menoleh saat mendengar suara John Digit. John adalah salah satu sutradara yang memiliki pengaruh besar dalam perfilman Indonesia. Lelaki hampir paruh baya itu beberapa kali berhasil memenangkan penghargaan tapi tidak untuk tahun ini. 

"John." Ia beserta Ify dan Gabriel kompak menyapa balik. 

"By the way, congratulation my dear Ify!"

"Thank you John." Ify memeluk John dengan sopan. "Mungkin bisa invite aku di next project? Udah dapet award loh ini." Ify menertawai keterpercayaan dirinya sendiri. Sivia, Gabriel, dan John jadi ikut tertawa.

"Let's see."

Sivia yakin kalau tidak sedang di pesta, Ify pasti sudah melonjak kegirangan atas ucapan John yang nampaknya memberi harapan terbuka itu. 

"Sivia, masih inget pembicaraan kita tadi?" John beralih menatap Sivia, memulai pembicaraan seriusnya, membuat Gabriel dan Ify ikut mendengar dengan penasaran.

"Inget. Jadi...?"

"Bener kata Ify, I have a next project. Adaptasi novelnya mbak Santhy Christi. I personally invite you to join the audition for the leading actress."

Sivia menahan nafasnya sesaat, meyakinkan sekali lagi pendengarannya. "Me?"

"You!"

"Wouw." Ify melebarkan matanya heboh. 

"I told you." Timpal Gabriel menyatakan kebenaran firasatnya.

"Tapi itu novel best-seller bukan, John? Apa yakin kalau aku-". Sivia masih butuh diyakinkan. Ia tau bahwa ada novel Santhy Christi yang sedang ramai dibicarakan, Red in White. 

"I am. Aku rasa bahkan enggak usah ada audisi buat kamu. If you will, you are in."

"What?!" Ify menyuarakan keterkejutannya atas ucapan John. Ia sendiri masih sulit menemukan akal sehatnya. Jadi ini talk yang dimaksud essential oleh John tadi.

"Gimana?"

Tentu saja Sivia tidak akan melewatkan kesempatan ini! Entah kenapa Ia yakin dengan project ini. Di-sutradarai John Digit atas adaptasi novelnya Santhy Christi! Sesuatu baik pasti telah Ia lakukan karena karmanya Ia terima sekarang. 

"Say yes, Vi." Desak Ify dengan semangat. Sementara Gabriel memberinya sebuah senyuman penyemangat.

"Oke. I'm in."

John menaikkan alisnya merasa puas. "Aku tau kamu enggak nolak."

"I hope I won't disappoint you."

"You won't."

"John, I wonder kenapa kamu nggak nawarin ini ke the winner?" Tanya Ify setengah berbisik menunjuk Pricilla -yang asik bercengkrama dengan artis-artis lain- dengan dagunya

"I prefer something new, something hidden beautifully." 

"You come to the right person." Tambah Gabriel yang entah bagaimana membuat Sivia merasakan panas di pipinya.

"But I do with another winner."

Sivia kembali memusatkan perhatiannya pada John menanyakan maksud ucapannya. "What is that mean?"

Bukannya menjawab John malah melambaikan tangannya tinggi-tinggi, meletakkan pandangannya ke arah belakang Sivia. Sivia menoleh penasaran. Oh rupanya John melambaikan tangannya pada lelaki yang menjadi bintang malam ini, Alvin Janson. Dan lelaki itu, dengan sebelah tangannya di dalam saku celana sementara tangan satunya lagi memegang gelas kaca dengan sangat elegan, berjalan mendekat ke tampat di mana Sivia dan yang lainnya berdiri.

"John." Ucap Alvin. Sesaat Ia melempar pandangan menyapa pada Ify, Gabriel, juga Sivia sendiri, dan mencoba menarik senyum simpel.

"Alvin, we're talking about the project, you know. Dan aku sudah mendapat lawan main kamu nanti."

Wait, what?!!

"Sivia, ini Alvin lawan main kamu di project nanti. Dan Alvin, ini Sivia."

Sivia belum pulih dari keterkejutannya sehingga membiarkan tangan Alvin itu menggantung menunggu uluran perkenalannya disambut.

"Sivia." Dan tanpa ada yang tahu bahwa Sivia sedang berusaha menepis getar rasa aneh yang menyenangkan saat tangan mereka berjabat.

"Alvin." Mereka berjabat untuk sekian detik. Dan dengan nakal Alvin melirik leher indah Sivia yang terpampang mulus berhiaskan sebuah kalung emas putih.

Kalau tidak Gabriel yang berdeham, Alvin pasti tidak akan melepaskan pandangannya. Dan tiba-tiba saja Sivia merasa gatal pada lehernya.

"Aku sudah membuat kalender kerja untuk project Red in White ini. Minggu depan kita meeting. Aku boleh saja tidak membawa pulang apapun malam ini, tapi ku pastikan tahun depan aku memborongnya bersama kalian." Tukas John penuh ambisi. "Mohon kerjasamanya."

John mengajak Sivia, Alvin, Gabriel, juga Ify untuk cheers bersama. "Gab, Ify, datanglah saat audisi. Aku berjanji ini akan jadi project yang menyenangkan." Kalau John sudah punya tekad, pasti selalu ada jalan.
Kemudian mereka terlibat obrolan ringan sebelum John undur diri menemui rekannya yang lain. Begitupun Gabriel dan Ify yang disapa oleh Mario, salah satu penyanyi pria solo profesional. Mario memutuskan mengajak Gabriel dan Ify mmengobrol secara pribadi untuk meminta mereka membintangi salah satu video musiknya.

Menyisakan Sivia dengan Alvin. Berdua. 

"Aku tidak mengerti kenapa John harus mengajak Gabriel dalam projectnya juga. Dia masih harus melatih aktingnya, kurasa."

"Maksudmu?" 

"Lupakan."

Dan entah bagaimana, Sivia menjadi sedikit tersulut emosinya. Nada bicara Alvin tadi sangat kurang ajar. Seolah meremahkan Gabriel. Sementara Sivia mengidolakan Gabriel. Ya Tuhan! Ia harus membela Gabriel.
Baru Ia akan mengeluarkan apa pendapatnya, tanpa permisi, tahu-tahu Alvin beranjak menjauh dari sisinya. Menyadari itu, Sivia berusaha mengejarnya meski tetap dengan langkah berhati-hati mengingat Ia masih mengenakan gaunnya yang anggun ini.

Punggung Alvin semakin terlihat setelah Ia agak mempercepat langkahnya dengan semangat berkobar untuk sedikit memberi pelajaran pada Alvin. Rupanya Alvin keluar ballroom. Ia melihat lelaki itu menuruni tangga yang menghubungkan ruang pesta tadi dengan taman hotel. Lelaki itu sedang menyesap minuman berwarna merah pekat pada gelas kacanya.

"Maaf sebelumnya, tapi aku tidak terima tentang pendapatmu mengenai Gabriel tadi."

Seketika Alvin berbalik. Pandangan tenang dan tajamnya langsung menghunus mata hitam bening Sivia. 

"Kamu repot-repot mengikutiku kemari hanya untuk mengucapkan pembelaan untuk Gabriel." Tukas Alvin tidak habis pikir. Kemudian tertawa remeh. Meletakkan gelas dalam genggamannya pada meja kecil di dekatnya, lalu memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Karena aku mengidolakannya."

"Aku tahu." Perlahan Alvin mendekatinya. "Dan karena itu aku tidak suka dia ikut project John."

"Maksudmu?"

"Aku khawatir kemistri kita tidak terbentuk kalau lawan mainku justru mengidolakan pemain lainnya."

"Bukankah kamu si aktor terbaik? Kenapa harus khawatir tentang hal remeh itu? Lagi pula aku profesional." Suara Sivia menghilang di ujung kalimat. Tangan Alvin yang tahu-tahu sudah mendarat di punggungnya yang terbuka membuatnya dikejutkan oleh sesuatu yang aneh. Sialnya, Sivia baru sadar kalau Alvin sudah berada terlalu dekat dengannya. Di depannya. Tanpa sekat. Kecuali kalau udara malam dapat dikatagorikan sebagai sekat.

Dan kata-kata Alvin yang meluncur selanjutnya, dengan lembut membelai telinganya. Membuatnya lupa untuk berpijak.

"Tadi, ketika kamu turun dari mobil, berjalan menuju red carpet, tertimpa cahaya kamera, aku memutuskan bahwa kamu harus menjadi pemeran utama terbaik tahun berikutnya, bersamaku, di project John."
Sivia membasahi bibirnya dan tenggorokannya yang serasa mengering. "Ya." Jawabnya impulsif dengan suara serak. Alvin menghipnotisnya.

"Kita akan bekerja sama."

"Ya."

Dari jarak sedekat ini, Sivia dapat melihat senyum tipis Alvin tersungging. Dan mata lelaki itu berpijar, nakal.

"Ada baiknya jika membangun kemistri sejak dini." 

Setelahnya, Sivia merasakan kecap anggur merah pada bibirnya. Dan itu bukan berasal dari minumannya langsung. Itu bibir lembut Alvin yang menempel pada miliknya, yang kemudian bergerak lembut. Ciuman yang sangat sopan. Pikir Sivia.

Alvin melepas ciumannya ketika tangannya sendiri sudah mulai gatal membelai punggung Sivia. Jangan sampai lepas control.

"Sepertinya aku tidak perlu khawatir soal kemistri lagi." Gumamnya dengan suara serak. Ciuman mereka benar-benar mempengaruhinya.

"Apa kamu selalu melakukan ini dengan lawan mainmu sebelumnya?" Tanya Sivia. Jemarinya reflex bergerak mengusap bibir Alvin yang mencuri warna lipstiknya, membersihkannya. 

"Tidak."

"Pricilla?"

"Tidak."

Dan Sivia tidak tahu harus menanggapi apalagi. Kenyataan bahwa Alvin adalah si actor terbaik, yang memungkinkan Ia sedang ber-akting di hadapannya kini membuatnya tidak terlalu berharap.

What? Berharap?!

"Oh shoot. Ada wartawan Alvin." Ujarnya kemudian ketika merasakan ada kilatan lampu kamera menerpa mereka. Ia berusaha membenarkan posisinya.

"Tetap diam."

"What? No. Bisa muncul gossip besok."

"Itu pekerjaan mereka."

"Kamu akan lelah untuk pura-pura tidak menanggapi gossip lagi, seperti gossipmu dengan Pricilla kemarin-kemarin."

"Aku akan menanggapinya kali ini. Dan aku tidak akan menyangkal."

Kemudian bibir Alvin kembali menemukan bibirnya.

_____


"Mereka bahkan belum on-screen." Ujar John.
 
"Mereka bahkan baru berkenalan secara resmi." Sambung Ify.

"Tapi aku tahu, Alvin tidak melepas pandangannya dari Sivia sejak acara ini dimulai." Gabriel berkomentar.

"Aku jadi optimis dan tidak sabar pada project Red in White ini." Tandas John.

Mereka bertiga sedang mengintip sepotong adegan antara dua calon pemeran utama Red in White nanti. Well. A good rehearsal.




Regards,

Love & beloved's author