Title : Love and Friends Only
Author : Tatang Heriana
Genre : Romance, Friendship
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Twitter : @guetaher_
Bandung, Juli 2004.
Mentari tersenyum, sinar terangnya menenggelamkan garis oranye yang melintang di ufuk timur. Cerah. Langit biru belum setitik pun ternodai oleh gumpalan-gumpalan hitam yang entah dari mana rimbanya. Udara begitu sejuk. Mungkin memang belum terkontaminasi oleh asap kendaraan bermotor. Dan angin begitu lembut membelai kulit serta bunga-bunga yang baru bermekaran tersebut ikut bergoyang apik di tepian jalan. Belum lagi jalanan yang basah akibat guyuran hujan semalam juga memberikan sensasi tersendiri di pagi yang sangat indah ini.
Pukul 07.15 WIB. Seorang cewek remaja berseragam putih abu-abu begitu santai menikmati perjalanannya menuju sekolah di hari pertama ini. Wajahnya ceria. Sesekali ia bernyanyi pelan mengikuti alunan lagu yang didengarnya melalu earphone.
“Biarkan cinta hidup sekali ini saja…” lantunan suaranya yang indah menggema bersamaan dengan selesainya lagu tersebut. Cewek itu berhenti sejenak, tersenyum simpul, dan kembali melanjutkan langkahnya. Di sisi lain sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan yang lumayan一lebih terkesan cepat.
“Eh, woy!!! Biasa aja dong kalau naik motor!” genangan air hujan yang berkubang di pinggir jalan seketika mengenai rok si cewek saat motor tesebut dengan cepatnya melintas. Ia mencibir kesal.
“Jadi kotor kan rok gue? Pagi-pagi udah kena sial,” ia berjongkok berusaha membersihkan roknya.
“Eh, sori ya gue gak sengaja. Soalnya tadi gue buru-buru banget. Sori, ya?” ucap seseorang yang baru saja turun dari motor Ninja berwarna merah tua itu.
“Sori aja gak cukup, kali. Lihat nih rok gue kotor! Loe mau tanggung jawab?!” ketus si cewek.
“Bentar deh, gue kayak pernah lihat loe, ya? Loe Via, kan?” tebak si cowok setelah cukup lama meneliti wajah si cewek yang baru saja terkena percikan air olehnya. Cewek itu juga ikutan meneliti wajah si cowok, berusaha mengingat-ingat apakah ia juga kenal seperti si cowok mengenali dirinya.
“Alvin?! Astaga, loe tambah jangkung aja, Vin?”
“Loe ke mana aja, Vi? Gimana kabarnya?” tanya Alvin dengan mengulurkan tangannya.
Ya, mereka一Via dan Alvin. Teman SMP dulu yang sudah sangat lama tidak pernah jumpa setelah mereka lulus sekolah. Apalagi sebelumnya mereka tidak sama sekali saling kontak satu sama lain. Jadi tidak tau kabar dan di mana mereka melanjutkan sekolah saat ini. Sekarang, Via, menjadi siswi SMA Padma sekaligus menjabat sebagai ketua OSIS di sana. Sedangkan Alvin bersekolah di SMA Nusantara yang cukup dibilang jauh jaraknya antara kedua sekolah tesebut. Dan akhirnya mereka dipertemukan kembali di hari pertama di tahun ajaran yang baru.
“Oh, jadi selama ini loe sekolah di sini, Vi?” Alvin memberhentikan motornya tepat di depan gerbang sekolah Via. Via mengangguk.
“Iya, ini sekolah gue sekarang. Anyway, makasih ya udah mau kasih tebengan.”
“Gak masalah, anggap aja ini sebagai tanda minta maaf gue soal tadi.” ucap Alvin ramah. Via melihat roknya sekejap, lalu mengangkat bahunya pelan.
“Tidak terlalu kotor, kok. Oh iya, gue masuk duluan ya, Vin?” kata Via semangat.
“Via, tunggu!”
“Iya?”
“Nomor handphone loe?” pinta Alvin canggung. Mungkin Alvin merasa akan lebih mudah lagi berkomunikasi dengan Via melalu telepon ataupun sms.
“Hmm… catat, ya?” balas Via yang kemudian mengeja digit demi digit nomor handphonenya.
“Makasih ya, Vi!”
“Kembali kasih,”
“Gue berangkat, ya?” pamit Alvin.
“Iya, hati-hati di jalan, Vin!” Alvin menyalakan mesin motor dan mengacungkan jempol ke arah Via. Via tersenyum membalasnya.
***
“Hmm… Pris?” Via membuka suara di tengah-tengah kesibukannya menyantap siomay yang sejak dulu menjadi salah satu makanan favoritnya bersama Prissy一sahabat karibnya.
“Iya. Kenapa, Vi?” respon Prissy kemudian. Tangannya menyambar jus jeruk yang tak jauh dari piring siomaynya.
“Loe masih inget gak sama temen SMP kita yang namanya Alvin?” Prissy menerawang.
“Alvin? Hmm… bentar, gue inget-inget dulu.”
“Masa loe lupa sih, Pris?” timpal Via dan kembali menyantap siomay miliknya yang hampir habis.
“Oh iya, gue inget sekarang! Yang waktu itu pernah nembak loe, kan?” tebak Prissy menggoda. “Emangnya kenapa sama Alvin?”
“Nggak apa-apa, sih. Cuman gue tadi nebeng ke sekolah sama dia.” jelas Via datar. Prissy membulatkan mulutnya.
“Kok bisa, sih? Ketemu di mana?”
“Tadi pagi gue ketemu dia di jalan, itu juga gara-gara rok gue kecipratan air sama motornya dia.” jelas Via seraya mengambil selembar uang limapuluh ribu di sakunya. Ia membayar makanan yang ia santap bareng Prissy.
“Tambah cakep nggak tuh anak, Vi? Hayo, kasih tau dong!” paksa Prissy antusias. Via memutar bola matanya.
“Ayo, ah! Nanti gue ceritain di kelas aja.” balas Via setelah beberapa detik menerima uang kembalian.
“Ah, gak asyik loe, Vi!” timpal Prissy dengan mengejar Via yang sudah pergi duluan.
SMA Padma. Sebuah sekolah elite yang sekarang menjadi tempat Via dan Prissy serta teman-teman mereka lainnya mengemban pendidikan. Di mana dulu SMA Padma ini merupakan salah satu sekolah yang mereka berdua idam-idamkan jika lulus SMP nanti. Sama, selalu saja mereka memiliki selera yang sama. Bagaimana tidak, sejak Play Group sampai sekarang Via dan Prissy bersekolah di tempat yang sama. Bahkan ajaibnya, mereka selalu satu kelas. Apa gak bosan? Entahlah. Yang jelas mereka selalu kompak di manapun dan kapanpun mereka berada. Mereka juga saling menutupi kekurangan satu sama lain. Tidak pernah terlihat bermusuhan, dan kalaupun ada masalah pasti mereka akan bicara baik-baik.
Hari ini, di SMA Padma sedang mengadakan MOS untuk siswa-siswi kelas IX yang sudah lulus SMP. Suatu kegiatan pengenalan diri terhadap lingkungan sekolah yang baru itu merupakan tradisi tahunan yang diselenggarakan di berbagai sekolah di Indonesia. Bahkan banyak juga yang memanfaatkan MOS itu menjadi ajang pembalas dendaman para anggota OSIS untuk memperbudak anak asuhannya sebagaimana ia diperlakukan sama seperti yang dilakukan anggota OSIS sebelumnya. Parah memang. Tapi tidak dengan Via dkk. Selaku ketua dan panitia OSIS, Via dan Prissy cukup dibilang ramah sama semua siswa baru. Mereka berhasil menghilangkan anggapan semua anak bahwa anak OSIS bukanlah orang-orang yang supergalak dan ditakuti. Melainkan OSIS itu adalah teladan bagi semua siswa-siswi di sekolah. Selain itu, di hari pertama ini mereka memimpin MOS, mereka sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan. Mulai dari mengenalkan berbagai sarana yang ada di SMA Padma, memperkenalkan beberapa kegiatan ekstrakurikuler, mengadakan permainan serta mengabulkan permintaan peserta MOS untuk tanda tangan dan sebagainya.
“Kak Via, maaf ganggu sebentar.” ucap salah satu peserta MOS saat Via baru saja keluar dari Aula.
“Iya, kenapa De?” Via tersenyum ramah.
“Kenalin Kak, aku Difa dari gugus A. Aku boleh minta tanda tangan nggak, Kak?” pintanya sangat sopan.
“Oh, boleh!” Via langsung mengambil bolpoin yang disuguhkan Difa. “Terus apalagi?” lanjutnya.
“Boleh minta foto?” Via mengernyitkan dahinya heran.
“Suruh siapa kamu bawa handphone? Peserta MOS kan dilarang bawa handphone!” tegas Via.
“Tapi kan ini bukan punya aku, Kak.” protes Difa santai.
“Terus punya siapa? Punya orang tua kamu? Tetep aja gak boleh bawa handphone ke sekolah!” tukasnya sangat tegas.
“Tapi beneran ini bukan punya aku, Kak. Handphone ini punya kakak yang di sana. Aku dihukum suruh minta foto Kakak.” jelas Difa seraya menunjuk salah seorang dari gerombolan anak OSIS yang sedang ketawa-ketiwi. Dasar Cakka! Masih sempet-sempetnya ngehukum anak buat minta foto! umpat Via sambil menggeleng.
“Difa, bilang sama kakak yang di sana ya, kalau di SMA Padma ini nggak ada yang namanya hukuman buat minta foto. Cepet, gih!” suruh Via sedikit berbisik.
“Tapi kalau nanti aku dihukum lagi gimana dong, Kak?” Difa merengut.
“Gak bakalan! Percaya deh sama Kakak. Kalaupun nanti kamu dihukum sama dia, Kak Via yang akan hukum dia, ngerti?”
“Janji, ya?” Difa mengacungkan kelingkingnya.
“Janji! Udah sana cepetan.”
“Baik, Kak! Makasih ya Kakak cantik.” ucap Difa menggoda. Via hanya menggeleng-geleng melihat tingkah anak yang satu itu.
***
Terik mentari kian menyengat. Menusuk hingga ke daging. Bumi benar-benar panas siang ini. Ditambah dengan pasifnya angin berhembus itu membuat Via malas pulang jalan kaki. Apalagi gak ada teman gitu, si Prissy kan sudah pulang duluan bareng pacarnya一Gabriel. Jadi terpaksa ia harus nunggu di Pos Satpam yang sudah menjadi tempat tongkrongannya untuk menghilangkan peluh.
“Enak ya yang ngadem di Pos Satpam,” sindir seseorang yang tiba-tiba muncul dengan memamerkan deretan gigi putihnya.
“Loe belum pulang, Kka?” Cakka一teman sekelas Via sekaligus wakil ketua OSIS itu ikut duduk di samping Via.
“Minum?” tawarnya. Via memutar bola matanya.
“Gue nanya, bukan minta minum.” cibir Via jengkel.
“Jadi gak mau, nih? Ya udah,” Cakka memasukkan kembali botol minumnya ke dalam tas.
“Eh, elo gimana sih, Kka? Tadi nawarin, sekarang malah dimasukin.” Via langsung menyerobot minuman yang hendak Cakka masukkan ke dalam tas. Cakka mengernyit.
“Mau pulang bareng gue? Mumpung lagi baik, nih.” tawarnya lagi. Via masih sibuk meneguk minumnya.
“Ayo pulang, Kak!” ajak seorang cowok yang tubuhnya mungil tiba-tiba.
“Loe pulang naik taxi aja ya, Dif. Kakak mau ada perlu sama temen Kakak.” kata Cakka santai. Difa mendengus. Sedangkan Via hanya berheran ria dibuatnya. Ada hubungan apa mereka berdua? batinnya.
“Bentar, bentar! Kamu adiknya Cakka?” tanya Via antusias. Difa mengangguk manja.
“Emangnya kenapa, Kak?”
“Gak apa-apa kok, Dif. Eh, Cakka! Udah sana pulang, kasihan tuh adik loe. Gak usah repot-repot ngajak gue, deh.” suruh Via.
“Tapi beneran loe gak mau pulang bareng?”
“Udah sana!” Via mendorong tubuh Cakka perlahan. Cakka cuma bisa pasrah.
“Ya udah, gue pulang duluan ya, Vi?”
“Duluan ya Kak Via?”
“Iya, hati-hati!” balas Via dan kemudian kembali duduk di Pos Satpam. Kakinya masih enggan melangkah karena mentari masih betah mentransfer panasnya ke bumi. Via menyeka keringat yang mengalir di dahinya. Sampai sebuah sepeda motor berhenti di hadapan Via.
“Sendirian aja, Vi? Nunggu siapa?” tanya si pemilik motor setelah sepersekian detik membuka helmnya. Via mendongak, baru sadar kalau sudah ada orang di hadapannya.
“Eh, elo Vin. Iya nih, gue lagi ngadem bentar di sini. Elo sendiri gak pulang?” Via menggeser badannya saat Alvin一si pemilik motor itu hendak duduk di sampingnya. Alvin tersenyum.
“Baru aja mau pulang. Loe mau pulang bareng gue gak, Vi? Sekalian gue pengen tau rumah loe juga.” ia menyenggol bahu Via.
“Gak usah deh, takut ngerepotin. Lagian gue bisa naik angkot, kok.” balas Via seraya tengok kanan-kiri mencari angkot.
“Oh nggak, kok! Nyantai aja lagi,”
“Ya udah deh kalau gitu. Makasih ya sebelumnya,” Alvin mengacungkan jempol. Dan sedetik setelah Via memegang pinggang Alvin erat, motor itu langsung melesat cepat.
***
Bandung, Oktober 2004.
Istirahat sudah berlangsung 20 menit yang lalu. Tetapi kantin SMA Padma masih padat dipenuhi para siswa dan siswi. Apalagi di sini merupakan tempat penjualan makanan satu-satunya yang menjajakan jajanan pasar. Soalnya di SMA Padma ada lagi tempat makan selain kantin, namanya Koperasi Siswa. Hanya saja di sana cuma menjual makanan-makanan instant. So, jarang mengundang selera makan kalau di Koperasi Siswa. Seperti saat ini, Cakka dan Prissy sedang menikmati seporsi siomay dan berbagai makanan ringan seperti gorengan ketimbang harus mampir ke Koperasi Siswa yang tempatnya tidak begitu jauh dari kelas mereka一bisa dibilang bersebelahan.
“Kka, loe suka sama Via, ya?” tebak Prissy tajam di tengah-tengah makannya. Cakka tersedak, tangannya mencari-cari minuman.
“Nih, minum! Kalau makan pelan-pelan aja, kali.” lanjut Prissy menyodorkan minum ke Cakka.
“Ngasal loe kalau ngomong!” timpal Cakka tetap tidak berhenti batuk.
“Gue kan cuma nanya, Cakka Aditya! Kali aja loe emang bener suka sama Via. Emang gak boleh?” balas Prissy polos.
“Gak apa-apa, sih. Ya gue cuma kaget aja denger loe yang tiba-tiba nanya gitu.”
“Via itu cantik, lho. Emang loe gak tertarik?” kini Prissy malah menggoda Cakka. Rasanya Prissy tau apa yang ada di pikiran Cakka akhir-akhir ini.
“Kata siapa Via jelek? Semua orang juga tau kalau dia cantik.” Cakka kembali menyantap gorengannya yang tersisa.
“Aduh, Cakka! Apa susahnya sih bilang kalau loe itu tertarik sama Via, terus bakal nembak dia secepatnya. Udahlah, jangan dipendam mulu tuh perasaan, gue tau kok kalau loe suka sama Via udah lama. Iya, kan?” Cakka mengernyitkan dahi. Nih anak kesurupan setan apa, ya? tanyanya dalam hati.
“Kesannya loe kayak maksa gue buat jadi pacarnya Via sih, Pris?” Prissy menghela napas berat.
“Gue emang maksa! Hehehe…”
“Emang kalau gue jadi pacarnya Via itu ngaruh ya sama loe?” selidik Cakka serius.
“Ngaruh, lah! Gue seneng aja kalau lihat kalian berdua lagi ngobrol atau jalan bareng. Cocok banget!”
“Masa, sih?” tanya Cakka sambil melahap gorengan terakhirnya.
“Seriusan! Nih ya gue bilangin, dari dulu Via itu jarang banget lho deket sama cowok. Soalnya dia cuek banget sama cowok,” ucapnya terpotong. Cakka ikut antusias mendengar penjelasan Prissy tentang Via.
“Kalau gue inget-inget nih ya, cuma dua orang yang bisa deket sama dia. Yaitu elo sama cowok yang waktu SMP nembak Via, namanya Alvin.” sambung Prissy. Cakka membulatkan mulut.
“Alvin? Terus, terus?” tanya Cakka penasaran.
“Via menolak, sih. Dia bilang kalau dia mau fokus sekolah dulu gitu.” jelas Prissy yang semakin mengecilkan volume suaranya ketika sosok cewek yang sejak tadi menjadi topik pembicaraannya itu datang menghampiri mereka.
“Lagi pada ngomongin gue, ya?” tebak Via yang langsung duduk manis di samping Prissy.
“Sok tau, deh! Orang lagi ngomongin masalah MOS kemaren, kok. Iya kan, Kka?” kilah Prissy sambil meminta tanggapan Cakka. Cakka mengangguk.
“Betul!”
“Masa, sih? Ah, gak percaya gue.” Via menyerobot siomay milik Prissy yang kebetulan tinggal seperempat.
“Beneran kok, Vi. Lagian loe kepo banget, ih!”
“Iya nih, kepo!” sambung Cakka. Via tak menghiraukan.
“Loe kok gak bareng Gabriel, Pris? Jangan-jangan loe selingkuh ya sama Cakka?” tuduh Via arogan. Lantas membuat satu jitakan keras mendarat di kepalanya. Jitakan Prissy.
“Hus! Gak disaring dulu tuh mulut kalau ngomong! Asal jeplak aja.” oceh Prissy kemudian.
“Lagian loe pacaran sama Gabriel tapi malah makan sama Cakka. Ya gue curiga aja.” Via berucap begitu polosnya. Capek, deh! batin Cakka dan Prissy.
“Emangnya gak boleh, ya?” tanya Cakka. Via menggeleng cepat.
“Bilang aja kalau cemburu! Iya, kan? Ciiyyee…” timpal Prissy menggoda. Cakka tersenyum. Via merengut.
“Ih apaan, sih? Nggak!” bantahnya tegas.
“Ngaku aja, lagi.”
“Nggak! Ih bete, deh!”
“Ciiyyee… Via cemburu sama Cakka.” ledek Prissy terus-menerus sampai bunyi handphone menghentikan aksi mereka.
“Bentar ya, ada telepon.” Via beranjak dari duduknya, menjauh dari mereka一Prissy dan Cakka.
“Tumben banget Via dapet telepon.” gumam Prissy.
“Kali aja itu penting. Elo sih curigaan anaknya.” Cakka melempar sedotan ke wajah Prissy.
“Ya gue heran aja. Ini kan masih jam sekolah.”
“Mungkin beneran sangat penting. Lagian loe ngurusin banget sih, Pris?” tanya Cakka heran. Via kembali bergabung.
“Siapa, Vi?” tanya Prissy penasaran.
“Ini, si Alvin. Dia ngajak pulang bareng sekaligus makan siang.” jelasnya singkat. Melihat Cakka yang keheranan, Via langsung menjelaskan lebih rinci. “Temen gue sama Prissy waktu SMP dulu.” Cakka membulatkan mulut一berpura-pura mengerti, padahal sebelumnya sudah tau dari Prissy.
“Terus loe terima?” Prissy kembali menginterogasi.
“Iya, gue terima. Gak enak kalau sampe nolak, dia udah baik banget sama gue.” balas Via. Cakka dan Prissy saling berpandangan.
“Oh iya, Kka. Tadi waktu gue mau ke sini gue sempat ketemu Difa di jalan, katanya dia nyariin loe.” kata Via berganti topik.
“Oh, ya? Ada apa sih tuh anak nyariin gue?”
“Minta uang jajan, kali. Jahat banget loe sama adik sendiri, masa uang jajannya diambil juga.” ledek Prissy. Tertawa pun pecah seketika.
“Enak aja!” bantah Cakka kemudian. Mereka kembali tertawa. Saking asyiknya mereka tertawa, tidak sadar kalau bel masuk sudah sejak tadi berbunyi.
***
“Alvin!”
“Cakka!” ucap Alvin dan Cakka bergantian saat mereka tak sengaja bertemu di salah satu rumah mewah. Rumah Via.
“Senang bisa ketemu loe, Kka.” ucap Alvin kemudian. Cakka tersenyum.
“Gue juga senang bisa ketemu loe, Vin.” balas Cakka. Lalu mata mereka terfokus pada sosok cewek berkaos biru serta bercelana jeans yang turun dari lantai atas bersama Mamanya. Cantik.
“Maaf udah nunggu lama, gue keasyikan baca novel soalnya.” jelas Via ke arah Alvin.
“Lho, ada Cakka juga?” tanya Via kaget.
“Aduh, anak Mama ini gimana, sih? Tadi kan Mama udah bilang pas di kamar kamu kalau di ruang tamu ada dua cowok ganteng nungguin kamu.” ucap Mama Via seraya mengusap lembut rambut anaknya itu. “Ya udah kalau gitu Tante mau lanjutin masak dulu, ya?” sambungnya ramah.
“Iya, Tante!” balas Cakka dan Alvin kompak.
“Oh iya, kalau gitu gue balik duluan, ya?” pamit Cakka tiba-tiba.
“Lho, kok balik? Kan baru dateng?” tanya Alvin.
“Iya nih si Cakka ada-ada aja. Terus loe ke sini mau ngapain?” tanya Via sembari mengikuti langkah Cakka keluar rumah. Alvin juga.
“Hmm… tadinya sih gue ke sini mau ngajak loe jalan-jalan, tapi berhubung loe udah ada janji sama Alvin, ya gue batalkan.” jelasnya pasrah.
“Gimana kalau kita jalan-jalan bareng aja?” saran Alvin semangat. “Biar Cakka juga gak sia-sia dateng ke sini.” lanjutnya.
“Boleh juga, tuh! So, menurut loe gimana, Kka? Mau ikut?” tanya Via ke arah cowok yang sedang bimbang antara ikut atau tidak. Otaknya terus menimbang-nimbang. Kalau Cakka ikut, pasti Cakka bakalan jadi patung hidup yang terus dikacangin oleh Alvin dan Via. Sedangkan kalau Cakka gak ikut, kedatangannya ke rumah Via tidak membuahkan hasil alias sia-sia belaka. Jadi, keputusannya adalah…
“Oke, gue ikut!” jawabnya mantap.
“Ya udah yuk berangkat! Nanti keburu sore.”
“Emangnya loe gak mau ganti baju dulu, Vi?” tanya Alvin.
“Gak usah deh, bikin ribet. Ayo cepetan!” jawabnya sambil ngeloyor menuju garasi rumahnya. Alvin dan Cakka saling pandang dibuatnya dan mengangkat bahu mereka masing-masing.
“Mang Ujang, titip motornya Cakka, ya?” teriak Via saat mau masuk ke mobil Alvin. Kebetulan siang ini Alvin sengaja bawa mobil, sedangkan Cakka bawa motor seperti biasanya ia ke sekolah.
“Jaga baik-baik ya, Mang.” ucap Cakka.
“Baik, Den! Serahkan semuanya sama Mang Ujang.” teriak Mang Ujang mantap. Ia menepuk dadanya pelan.
Mereka bertiga masuk ke mobil Alvin. Cakka di kursi belakang, sedangkan Via di depan bersama sang pengemudi一siapa lagi kalau bukan Alvin. Lalu mobil tersebut langsung melesat cepat ke suatu tempat yang sebelumnya sudah mereka niatkan. Selama perjalanan, tak ada obrolan yang terjalin di sana, hanya alunan musik melow yang menguasai saat itu. Hening. Mereka terlalu menikmati dengan kesibukannya masing-masing. Alvin begitu fokus dengan lika-liku jalanan yang siang itu cukup padat. Meski sesekali matanya melirik Via yang mulut mungilnya terus melafalkan lagu-lagu yang didengarnya dalam mobil. Alvin tersenyum sesaat, kemudian kembali fokus mengemudi. Serasa diperhatikan, Via langsung mengarahkan wajahnya keluar jendela. Kemudian ia langsung terkagum-kagum melihat pepohonan yang tertanam di pinggir jalan itu saling berkejaran. Sampai-sampai matanya seakan tergoda untuk terlelap sejenak. Sedangkan Cakka? Ia gak kalah asyik berkutat dengan Smartphonenya. Entah apa yang ia lakukan bersama gadget yang satu itu. Yang jelas Cakka terlihat menikmati kesibukannya tersebut.
“Oh iya, Prissy gimana kabarnya?” tanya Alvin memecah aksi diam-diaman di dalam mobil.
“Oh, Prissy? Baik-baik aja, kok. Kemaren juga dia nanyain loe tuh, katanya udah lama gak ketemu.” jawab Via santai. Hampir saja ia tertidur kalau Alvin tidak bertanya padanya.
“Oh, ya? By the way, dia masih maniac Matematika nggak, sekarang?” tanya Alvin lagi masih tetap fokus menatap jalanan.
“Kayak gak tau si Prissy aja loe, Vin. Mana mungkin dia benci sama Matematika? Yang ada dunia bakal kiamat kalau si Prissy sampe benci sama Matematika.” sedetik Via mengucapkan hal tersebut, mereka pun tertawa lepas. Ralat! Via dan Alvin saja tepatnya. Cakka masih terlalu sibuk dengan gadget kesayangannya itu. Tapi tunggu! Dia itu sibuk apa pura-pura sibuk? Entahlah, sepertinya Cakka memang benar-benar tidak mau ikut campur dengan pembicaraan di kursi depan一pembicaran Alvin dan Via.
“Padahal dia udah punya cowok lho, sekarang.” sambung Via di tengah tawanya.
“Masa, sih? Siapa tuh cowoknya?” Alvin penasaran.
“Iya. Temen kita waktu SMP juga, si Gabriel.”
“Serius? Kok bisa gitu, ya?” kata Alvin sedikit gak percaya.
“Seriusan! Udah hampir 3 tahun ini.” Alvin mengangguk pelan sambil tetap fokus dengan kemudi yang ia pegang.
“Loe sih udah punya cowok belum, Vi?” tanya Alvin tiba-tiba. Sedetik, entah kenapa jantung Via mendadak bergetar hebat mendengar pertanyaan Alvin tersebut. Mulutnya terkunci rapat. Aduh, ini gue kenapa deg-degan kayak gini? batin Via saat itu. Alvin terlihat kebingungan melihat ekspresi wajah Via yang berubah aneh.
“Nih, cowoknya ada di belakang!” timpal Cakka asal一terkesan ingin mencegah sesuatu yang tidak ia inginkan. Via mengernyitkan dahi ke arah Cakka yang tiba-tiba angkat bicara.
“Oh, jadi kalian berdua pacaran?” Alvin mengangguk maklum.
“Kagak!!! Ngarang aja loe kalau ngomong, Kka! Gue sama Cakka gak pacaran kok, Vin.” bantah Via. Cakka nyengir kuda. Sedangkan Alvin memasang tampang innocent.
“Lagian gue dikacangin mulu dari tadi sama loe berdua. Ajak gue ngobrol kek sekali-kali.” Cakka memelas.
“I'm so sorry, Kka. Gue tadi keasyikan flashback soalnya, jadi sampai lupa kalau ada loe di belakang. Sori, ya?” ucap Alvin menyesal.
“Suruh siapa loe sibuk sendiri?” sambung Via.
“Ya, gue cuma gak mau ganggu obrolan loe berdua aja. Makanya gue diem.”
“Alesan aja loe, Kka! Biasanya juga loe suka nimbrung gak jelas. Dasar!” cibir Via seraya melempar tisu yang sudah dibulatkan sebelumnya. Dengan sigap si Cakka langsung menangkapnya.
“Eits! Gak kena. Hahaha…” ledeknya puas.
“Awas loe, ya!” Via mengancam Cakka sembari tangannya mengepal.
“Ya udahlah, gak usah berantem! Lagian udah nyampe tempatnya, nih. Ayo turun!” ajak Alvin semangat setelah memarkirkan mobil di depan sebuah restoran yang cukup sederhana itu.
***
Cakka membanting tubuhnya ke kasur. Cukup keras. Sehingga membuat cowok yang sudah terlebih dulu menghuni kasur tesebut langsung melonjak kaget. Untungnya si cowok tersebut tidak mengidap penyakit jantung, kalau iya bisa mati di tempat tuh anak. Cakka menggeliat, lalu membuang napas berat. Sedangkan si cowok tadi masih mencoba menstabilkan detak jantungnya akibat ulah Cakka. Cowok itu Difa一adiknya.
“Mau bikin aku jantungan, ya?! Bikin kaget orang aja!” tukas Difa langsung. Cakka malah tertidur.
“Pake dikacangin, lagi. Kenapa sih, Kak? Ditolak Kak Via, ya?” tanya Difa bertubi-tubi一terkesan sok tau.
“Sotoy loe, Dif! Lagian siapa yang habis nembak, sih?” Cakka ikut nimbrung di samping adiknya yang sedang asyik mainan Laptop.
“Terus tuh muka kenapa? Kok lecek gitu? Habis lihat Kak Via sama cowoknya, ya? Duh, kasihan abang aku ini. Cup-cup-cup…” ledek Difa sambil menepuk pelan pundak kakaknya tersebut. Cakka menoyor kepala Difa pelan.
“Aduh! Gak usah main tangan juga, kali.”
“Lagian loe jadi orang sotoynya kebangetan, sih! Sana loe pergi dari kamar gue! Gue pengen istirahat. Cepetan, gih!” Cakka langsung memukul adiknya pakai bantal guling. Difa meringis.
“Bentar, tadi bilang apa? Ini kamar Kak Cakka? Ini kamar aku, tau! Harusnya Kak Cakka tuh yang pergi. Enak aja main ngaku-ngaku kamar orang.” protes Difa kesal.
“Sejak kapan ini jadi kamar loe, hah? Mimpi!” bela Cakka gak mau kalah.
“Sejak tadi siang! Emangnya Kak Cakka gak bisa baca, ya? Udah jelas-jelas di pintu ada tulisan, ‘Kamar Cowok Ganteng一Difa. Orang Jelek Dilarang Masuk!’ tuh lihat, kan?” Difa menunjuk ke arah pintu. Cakka mendengus.
“Loe ngeselin juga ya lama-lama! Cepetan pergi, gue mau tidur!”
“Gak mau!”
“Pergi gak loe?!” Cakka mengancam akan membanting Laptop milik Difa yang kini berada di genggamannya.
“Silahkan aja kalau berani.” timpal Difa sembari menolak pinggang.
“Cakka, Difa! Ada apa sih ribut-ribut? Berantem aja kayak anak kecil. Malu dong sama tetangga.” omel sang Mama yang tiba-tiba muncul di balik pintu. Dan itu cukup berhasil melerai pertikaian sengit antara Cakka dan Difa.
“Tuh lihat, Ma! Masa Laptop Difa mau dibanting sama Kak Cakka,” Difa mengadu manja ke Mamanya.
“Cakka, turunin Laptopnya!” perintah sang Mama. Cakka memutar bola matanya kesal.
“Terus aja dibelain!” timpalnya.
“Lagian kamu kenapa sih, Kka? Kok gak mau ngalah sama adik sendiri. Malah berantem kayak anak kecil aja.” dirangkulnya Cakka dengan penuh kasih sayang.
“Cakka kan mau istirahat, Ma. Tapi si Difa gak mau pergi dari sini. Bikin kesel!” adu Cakka ikut manja一sama seperti yang dilakukan Difa sebelumnya. Dasar anak manja! umpat Difa dalam hati.
“Tapi kan ini kamar Difa, Ma!” protes Difa tetap memeluk tangan kiri Mamanya.
“Oh, iya! Mama lupa belum kasih tau Cakka kalau mulai sekarang kamar ini menjadi kamar Difa.”
“Kok gitu sih, Ma? Terus kamar Cakka di mana? Di gudang?! Ah, gak adil!” Cakka melepaskan pelukan Mamanya.
“Lebih cocok tuh di gudang!” ledek Difa. Cakka langsung menjitak kepala adiknya keras.
“Diem, loe!”
“Kamar Cakka di situ. Yang dulunya kamar Difa.” tunjuk Mama ke arah luar.
“Itu kan kamarnya sempit, Ma. Udah gitu pengap, gak ada AC.” protesnya lagi. Mama membelai lembut rambut Cakka.
“Udah Mama pasang AC, kok. Cepet gih, sana.”
“Tuh kan, Difa bilang juga apa? Gak percayaan sih jadi orang.” timpal Difa sinis.
“Ah! Rese, loe!”
“Sudah, sudah! Jangan berantem lagi, ayo baikan!” perintah Mama ke Cakka dan Difa.
“Males!” ucap Cakka langsung pergi meninggalkan Mama dan adiknya. Mama menggeleng pasrah. Difa juga ikutan, di bibirnya terbesit senyum kemenangan.
“Lain kali jangan suka bikin kesal Kakak kamu lagi ya, Sayang?”
“Baik, Ma.”
“Awas ya kalau Mama sampai lihat kalian berdua berantem lagi, Mama bakal potong uang jajan kalian.” ucapnya sambil ngeloyor pergi. Difa memelas.
“Tapi, Ma?!”
“Gak ada tapi-tapian!”
“Ayolah, Ma! Gak asyik, ih!” Difa masih memampang wajah melasnya meski Mamanya sudah jauh pergi.
***
Alvin merangkul Via dengan ragu, “Kita istirahat dulu aja ya, Vi?” ucapnya ketika melihat wajah Via yang sudah kelelahan setelah berlari pagi cukup jauh. Hari ini, hari minggu. Alvin dan Via memang berjanjian untuk lari pagi bareng.
“Udah lama gue gak lari pagi, jadi cepet capek!” Via mencoba menstabilkan napasnya. Alvin tersenyum. Lucu juga melihat Via kecapekan gitu.
“Faktor usia juga, sih.”
“Oh, jadi menurut loe gue udah tua, gitu?!” Via mencibir.
“Ya begitulah. Hehehe…”
“Sialan loe, Vin! Eh, bagi minum dong!” pinta Via dengan merebut paksa botol minuman yang digenggam Alvin.
“Tapi itu bekas gue, Vi! Gue bawa satu lagi di tas. Bentar, gue ambilin.”
“Ah, lama! Gue udah dehidrasi, nih. Toh loe juga gak punya penyakit rabies, kan?” tanya Via geli dan dengan cepat meneguk minuman hasil rebutannya dari Alvin. Alvin menggeleng maklum.
“Loe itu emang gak pernah berubah ya, Vi.”
“Gak pernah berubah? Maksudnya?” Via tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud Alvin tersebut. Lalu tak sengaja matanya bertemu langsung dengan mata Alvin yang jaraknya begitu dekat. Indah. Jernih. Sempurna. Sampai Via tidak tahan untuk memandangnya lebih lama. Ia berpaling dengan segera.
“Maksudnya? Hmm… ya begitu! Kalau diomongin itu susahnya minta ampun! Sama seperti dulu,” jelas Alvin sekenanya. Via mengangguk seraya membulatkan mulut mungilnya.
“Tapi menurut gue, elo malah berubah, Vin.”
“Masa, sih? Berubah gimana?” tanyanya penasaran.
“Iya, tambah cakep dikit.” Via terkekeh geli.
“Bisa aja loe bikin orang GR.” kata Alvin salting. Disenggolnya bahu Via genit.
“Seriusan, lho! Dulu, sewaktu masih SMP loe itu sama sekali gak ada matanya, kalau sekarang sih agak mendingan. Hahaha…” sindir Via puas.
“Kalau gitu masih mending gue, dong? Daripada elo badannya tambah gendut aja.” balas Alvin sambil mencubit pipi chubby Via. Mendengar itu, Via langsung mengembungkan pipinya. Kesal.
“Aduh, jeleknya! Gitu aja kok ngambek.” goda Alvin seraya mencolek badan Via yang terbilang subur makmur.
“Siapa yang jelek? Gue kan imut! Hahaha…”
“Huh, dasar!” Alvin mencoba merangkul cewek yang duduk di sampingnya tersebut. Namun…
“Pulang yuk, Vin? Udah agak siang, nih.” Via bangkit dari duduknya. Sedetik, Alvin langsung menahan pergelangan tangan Via.
“Via?” panggilnya pelan. Bahkan mungkin sangat pelan.
“Kenapa, Vin?” balasnya dengan mengernyitkan dahi. Ia kembali duduk di samping Alvin.
“Kalau aku nembak kamu sekarang, apa kamu akan memberi jawaban yang sama seperti dulu?” tanya Alvin yang sukses membuat Via terpaku di tempat. Maksudnya apaan, sih? batinnya.
“Jujur, aku sempat sakit hati pas kamu tolak. Tapi aku coba tutupi demi kamu, dan aku juga menghargai keputusan kamu yang lebih memilih sekolah ketimbang pacaran. Namun itu bukanlah alasan untuk aku berhenti mencintai kamu, Vi.” Via terdiam, matanya begitu dalam menatap mata Alvin yang saat ini berlutut di hadapannya.
“Dan satu lagi, aku sangat bersyukur sama Tuhan karena Dia telah mempertemukan aku kembali dengan orang yang begitu aku cintai setelah kurang lebih 3 tahun tidak bertemu. Aku merasa sangat beruntung bisa ketemu sama kamu lagi, bisa berangkat dan pulang sekolah bareng lagi, dan yang paling penting aku bisa melihat wajah kamu lagi kapanpun aku mau.” Alvin tersenyum.
“Alvin,” ucap Via sedikit lirih.
“Aku tau ini terlalu cepat buat kamu, Vi. Tapi aku sudah tak sanggup lagi menyimpan perasaan ini lebih lama. Maaf, bukannya aku egois.” ucap Alvin setengah menunduk. Lantas, Via mengangkat dagu cowok yang ada di pangkuannya itu perlahan. Matanya berlinang. Sendu.
“Bukan kamu aja yang merasakan hal tersebut, Vin. Aku juga sama,” ucap Via tegas seraya melangkah menjauhi Alvin yang masih terduduk.
“Perpisahan itu ternyata membuat aku menyadari dan merasakan betapa sakit dan perihnya kehilangan seseorang yang dicintai. Bahkan itu jauh lebih sakit rasanya dari penyakit apapun.” Via menatap lurus jalanan beraspal pekat itu.
“Sungguh?” tanya Alvin sembari menapakkan langkahnya mendekati Via. Via mengangguk pasti.
“Boleh aku meluk kamu, Vi?”
“Hmm… why not?” jawabnya mantap dengan merentangkan kedua tangannya lebar. Mereka pun hanyut dalam pelukan, tak menghiraukan ada berapa banyak pasang mata yang menyaksikannya sambil tersenyum serta menggelengkan kepalanya.
“Aku sayang kamu, Vi! Sampai kapanpun.” ucap Alvin pas di telinga Via. Lalu melepaskan pelukannya perlahan.
“Ini untuk yang kedua kalinya aku bilang, bolehkah aku jadi pacar kamu?” Via masih terpaku. Cukup lama. Hening. Mungkin hanya detak jantung mereka yang terdengar.
“Apa ada alasan lain untuk kamu menolak aku?” sambung Alvin penasaran.
“Entah kenapa kali ini aku kesusahan untuk mencari alasan buat nolak kamu, Vin.” jawab Via diiringi senyum manisnya.
“So, jawabannya?” Alvin menatap Via penuh harap.
“Aku terima.” kata Via semangat. Mereka kembali berpelukan. Lebih mesra dari sebelumnya.
***
Koridor sekolah masih terlihat sepi. Dengan wajah penuh ceria, Via melangkahkan kakinya menyusuri beberapa ruang kelas yang masih belum berpenghuni. Namun tiba-tiba matanya memicing ketika melihat di arah depan ada seseorang yang bergaya rambut harajuku berjalan dengan santai ke arahnya. Cakka? Ngapain tuh anak? ucap Via dalam hati. Cakka merangkul dan menuntun Via ke suatu tempat tanpa suara sedikitpun. Sebentar, ini ada apa? umpat Via lagi. Ia cuma bisa memandang heran wajah Cakka yang kala itu terlihat lebih berseri dari sebelum-sebelumnya.
Sejenak, Cakka menghentikan langkahnya, ditatapnya bola mata Via dalam. Damai. Rasanya Cakka tak ingin kehilangan kesempatan ini sekejap pun. Begitu lama mereka terdiam dalam hanyut. Lalu Cakka menuntun sudut pandangan Via ke suatu tempat yang dipenuhi dengan lilin-lilin kecil berwarna putih yang tersusun rapi tanpa jeda di tengah lapang basket. Sedetik, Via menutup mulutnya rapat-rapat saat arah pandangnya tertuju pada tulisan ‘Aku Cinta Kamu, Via!’ di antara lilin-lilin putih tersebut.
“Maaf kalau kamu gak suka, Vi. Aku cuma ingin mengungkapkan perasaan aku aja sama kamu.” kata Cakka tulus. Sedangkan Via masih belum ingin menatap wajah Cakka untuk kedua kalinya. Ia terlalu takut kalau ini memang benar kenyataannya.
“Jujur, aku jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama. Di mana waktu MOS dulu, aku selalu memandangimu dari jauh, menatap setiap canda tawa yang kamu pancarkan saat bermain dengan teman-teman baru kamu.” ucapnya tulus. Via masih diam.
“Kamu itu terlihat beda dari yang lain, Vi. Dan sampai sekarang pun aku belum tau apa yang membedakan kamu dengan cewek-cewek lain. Aku cinta kamu, Via!” Cakka meraih kedua tangan cewek yang lama mematung di hadapannya.
“Aku mau jadi pacar kamu.”
“Tapi kenapa baru sekarang kamu bilang kalau kamu cinta sama aku, Kka?” tanya Via tegas. Matanya berubah sendu. Kini giliran Cakka yang terdiam. “Apa karena kamu takut kalau nanti aku tolak? Iya?!” tanya Via lagi dengan melepas paksa genggaman Cakka.
“Aku cari waktu yang tepat untuk semua ini, Vi. Dan aku rasa ini merupakan waktu yang sangat tepat.” jawabnya mantap.
“Maaf Kka, kamu salah, ini bukan waktu yang tepat. Aku sudah punya pacar. Dan aku gak bisa terima kamu jadi pacar aku.”
“Via, aku mohon…” lirihnya.
“Aku gak bisa, Kka!”
“Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, Vi. Aku janji bisa jauh lebih baik dari pacar kamu yang sekarang.” Cakka berlutut di kaki Via.
“Tapi aku gak bisa, Kka. Kamu ngertiin aku, dong!” bentak Via keras. Lalu ia berlari meninggalkan Cakka perlahan.
“Viiiaaa…” teriak Cakka seraya menitikan air mata. Tubuhnya penuh keringat.
“Cakka, bangun!” suara bising terdengar keras di telinga Cakka. Ia mendongakan kepalanya pelan, dilihatnya sosok tua berkaca mata sedang menolak pinggang tepat di hadapannya. Sedetik, Cakka segera bangkit dan mengusap wajahnya dengan sapu tangan.
“Bapak paling gak suka kalau ada siswa yang tidur saat pelajaran Bapak berlangsung!” kata Pak Agung一guru Matematika yang siang itu mengajar di kelas Cakka.
“Maaf Pak, saya ketiduran.” balas Cakka polos. Lantas membuat seisi kelas tertawa.
“Diam semuanya! Sekarang kamu keluar!” suruh Pak Agung tegas. Lantas Cakka langsung bangkit dari kursinya dengan sedikit sempoyongan. Dan sekilas ia menangkap wajah Via sebelum ia benar-benar keluar. Kelas kembali hening.
“Dan Bapak tidak akan segan-segan untuk memberi hukuman yang lebih kalau masih ada yang tidur saat pelajaran Bapak berlangsung. Mengerti?!” kata Pak Agung tegas一lebih tepatnya mengancam.
“Mengerti, Pak!” koor anak-anak kompak.
“Si Cakka kayaknya habis bergadang, deh.” bisik Prissy ke teman sebangkunya一Via.
“Mana gue tau?” balas Via ikut berbisik.
“Buktinya sampe tidur di kelas gitu. Apa jangan-jangan dia lagi sakit, lagi.”
“Bisa jadi,” respon Via ogah-ogahan. Ia terlalu sibuk menyalin semua rumus Matematika yang tertera di Whiteboard.
“Sakit apa ya kira-kira?”
“Dipikirin amat sih, Pris?” sewot Via pelan.
“Dia kan sahabat kita, Vi!”
“Loe pengen dilempar penghapus sama Pak Agung?!” kata Via mengancam Prissy yang sedari tadi heboh sendiri.
“Gak mau gue!”
“Prissy, Via!!! Kalian mau keluar juga seperti Cakka?!” bentak Pak Agung saat mendengar suara Prissy yang keras.
“Nggak Pak, maaf.” ucap mereka bersalah.
“Gara-gara elo, sih!” tuduh Via dengan menyenggol pundak Prissy. Prissy menekuk wajahnya.
***
“Vi, gue suka sama loe!” Via dan Prissy yang lagi seru-serunya ngobrol di Pos Satpam pas pulang sekolah itu pun mendadak mengangkat alis heran begitu Cakka dengan tiba-tiba mengucap kalimat tersebut.
“Loe nembak Via, Kka?” Prissy memandang cowok bergaya rambut harajuku itu dengan pandangan tak biasa. Cakka mengangguk cepat. “Gila loe, ya!” tukas Prissy kemudian.
“Emang salah gue nembak Via? Bukannya loe pernah saranin gue buat nembak Via ya, Pris?” Prissy terkesiap mendengarnya.
“Tapi cara nembak loe ini nggak banget, Kka!” cibir Prissy penuh penekanan di kata-kata terakhir. Via hanya menatap dua sahabatnya itu aneh.
“Vi, loe mau kan jadi pacar gue? Gue gak bohong nih, gue beneran nembak loe.” Via menghela napas.
“Loe nembak gue gak ada romantis-romantisnya amat sih, Kka?!”
“Semua orang kan punya cara masing-masing buat nembak gebetannya. Ya, inilah cara gue.” Cakka melebarkan tangannya.
“Ya, gue tau! Dan cewek yang ditembak juga mempunyai cara masing-masing buat nerima cowok yang nembaknya itu.” jelas Via dengan melipat tangannya di dada serta memberi senyum meremehkan.
“Maksud loe?”
“Maksudnya, Via itu nolak loe secara halus, Cakka Aditya!” timpal Prissy cengengesan. Cakka mendengus.
“Bukan nanya sama loe, Badut Ancol!” Prissy melotot mendengar ledekan Cakka barusan.
“Mau kan jadi pacar gue? Ayolah,”
“Gimana, ya? Bukannya gue gak mau sih, tapi…”
“Tapi apa? Gue gak romantis? Apa gue kurang ganteng?” Cakka mengecek tubuhnya teliti.
“Jangan terima Vi, sok ganteng tuh anak.” lagi-lagi Prissy menyahut. Padahal dia sudah dibelakangi sama tubuhnya Cakka yang lumayan bidang.
“Berisik loe, Pris! Loe bukannya dukung gue, malah ngomporin orang. Dasar badut!” tukasnya.
“Don't call me badut, Cakka Aditya! Gue terlalu cantik buat jadi badut.” Prissy menjitak keras kepala Cakka. Membuat cowok tersebut meringis kesakitan.
“Ini acara nembak atau acara apaan, sih?! Heran gue,” tukas Via sedikit naik darah melihat ulah Cakka dan Prissy yang mendadak kayak anjing dan kucing.
“Sori Vi, sori. Jadi gimana, nih? Loe mau jadi pacar gue atau nggak?” tanya Cakka lembut.
“Maaf ya Kka, gue gak bisa.” Via mencoba tersenyum di tengah keraguannya untuk menolak seorang Cakka. Seseorang yang selalu ada untuknya disaat semua orang menghilang. Seseorang yang sering membuatnya tersenyum meski terkadang tingkahnya itu menyebalkan. Dan seseorang yang paling bisa diandalkan dari sahabat-sahabatnya yang lain一termasuk Prissy. Cakka, maafin gue! batinnya.
“Oh, ya udah gak apa-apa, kok. Dengan lapang dada gue terima. Yang penting gue udah coba ungkapin perasaan gue sama loe, itu udah cukup.” mata Cakka memancarkan sinar kekecewaan yang begitu nyata meskipun ia mencoba menutupi dengan seulas senyumnya yang manis. Tapi mata tetap tidak bisa berbohong. Tiba- tiba Via memeluknya erat.
“Maafin gue ya, Kka? Loe gak tepat waktu.” bisiknya di telinga Cakka. Apakah ini arti dari semua mimpi gue? Lalu apa arti dari kalimat gak tepat waktu? umpat Cakka dalam hati.
“Turut berduka cita ya, Kka?” ledek Prissy yang cukup lama terdiam. Ia menepuk pelan pundak cowok yang masih dipeluk Via itu.
“Sini loe peluk gue juga!” ujarnya jahil. Dalam sekejap Via dan Prissy sudah mendarat di dada bidangnya Cakka Aditya.
“Apaan, sih?!” mereka membuka paksa rangkulan Cakka. Si pelaku hanya mengangkat tangannya dibarengi dengan seringaian jahil dari mulutnya.
“Kita itu memang ditakdirkan untuk bersahabat. Dan bagi gue, sahabat itu segalanya ketimbang pacar. Iya, kan?” ucap Via bijak.
“Tapi baru kali ini lho gue ditolak cewek,” Cakka menggaruk kepalanya.
“Suer, loe? Ah, gak percaya gue.” tentang Prissy mantap.
“Mungkin cara nembak loe harus diperbaiki kembali, Kka. Harus lebih romantis! Dan satu lagi, jangan sok kegantengan kalau mau nembak cewek. Inget itu!” sindir Via sekenanya. Cakka merengut. Derajatnya turun mendadak di hadapan dua orang cewek tersebut. Lalu, mereka pun tertawa. Gak jelas. Membuat Pak Satpam yang sebelumnya tertidur pulas di ruang jaga itu terbangun dengan kagetnya. Dasar anak ABG, ganggu orang tidur aja! rutuknya dalam hati一mungkin.
***
Bandung, Desember 2004.
Semesteran baru saja selesai 2 hari yang lalu. Hari ini, Sabtu, Cakka CS ditambah Alvin serta Difa menyambangi sebuah tempat yang mungkin sangat cocok untuk menghilangkan penat di otak setelah seminggu penuh mengerjakan soal-soal semesteran. Ke Pantai. Mereka一Alvin, Cakka dan Difa sejak tadi sibuk memperebutkan kulit bundar yang sengaja dibawa Cakka di tepian pantai. Prissy dan Gabriel menghabiskan sesi berduaannya dengan ngobrol sambil makan-makan kecil di bebatuan yang memang sudah didesain sedemikian rupa sehingga seperti tempat duduk mungil. Dan satu lagi, Via… sedari tadi menekuk wajahnya karena tulisan-tulisan cantik yang sudah susah payah ia buat itu lagi-lagi terhapus oleh sapuan ombak. Ia membuang napas kesalnya seketika.
“Sayang, lempar bolanya dong!” bola kulit berwarna cokelat tua itu menyentuh pinggang Via yang sedang duduk. Ia memegang bola itu, memandangnya, lalu melemparkan ke arah cowok yang tadi meminta bola tersebut.
Kembali, Via memandangi garis horizontal yang membatasi warna alam biru langit dan biru air laut. Lambat laun, di ujung sana terlihat satu titik putih yang semakin lama semakin membesar. Perahu nelayan. Indah sekali. Tiba-tiba Via merasa bahwa ada seseorang yang ikut duduk di sampingnya. Difa Aditya.
“Kak Via lagi ngapain?” tanya Difa sambil menerawang pandangan Via.
“Keren ya, Dif?” Difa mengangguk setelah sebelumnya sudah mengerti apa yang dimaksud Via tersebut.
“Minum, Kak?” tawarnya. Via menggeleng, di tangannya ia tunjukan ke Difa kalau ia juga bawa minuman. Difa membulatkan mulutnya.
“Oh iya, bukannya loe lagi main bola ya, Dif? Kok ke sini?” tanya Via heran.
“Capek, ah! Lagian gak seru mainnya cuma bertiga, doang. Apalagi Kak Cakkanya curang,” Difa mencibir.
“Abang loe emang gitu, Dif. Ngeselin anaknya!” mereka berdua beralih memandangi dua orang cowok yang kini sedang asyik bermain voli. Tunggu, main voli pakai bola sepak? Aneh.
“Ternyata Kak Alvin itu orangnya asyik ya, Kak? Walaupun aku baru kenal dia hari ini, tapi berasa udah akrab aja.” pendapat Difa tentang Alvin. Via begitu serius mendengarnya.
“Terus?”
“Terus Kak Alvin itu orangnya care, humoris, dan gak pernah membeda-bedakan seseorang dengan orang lain. Pokoknya beda deh dari kakak-kakak kelas yang pernah aku kenal sebelumnya.” dilihatnya oleh Via cowok yang lagi dibahas oleh Difa barusan. Manis! umpatnya begitu melihat Alvin tertawa lepas bersama Cakka.
“Oh gitu, ya?” Via mengangguk perlahan tanpa berpaling memandang Alvin.
“Udah gitu Kak Alvin juga cakep, pantes aja Kak Via lebih memilih Kak Alvin ketimbang Kak Cakka sebagai pacar.” Difa menyenggol badan Via yang masih sibuk dalam aksi pandang memandang seorang Alvin.
“Apaan sih loe, Dif? Lagian loe bukannya baik-baikin abang loe sendiri di depan gue, malah ngejelek-jelekin dia. Dasar bocah!” Difa nyengir.
“Udah deh Kak, gak usah merah gitu mukanya. Tuh lihat Kak Alvin ke sini.” Difa menunjuk cowok berbadan tinggi yang sedang berjalan ke arah mereka.
“Sekarang giliran gue ya, Dif.” kata Alvin ramah.
“Siap, Kak! Maaf ya, aku pacarin bentar tadi Kak Vianya. Kalau gitu sekarang cowok ganteng ini mau berenang dulu di laut. Bye!” pamit Difa sambil ngeloyor pergi.
“Sok ganteng loe, Dif! Awas tuh kebawa arus!” teriak Via keras. Alvin terkekeh melihat tingkah anak satu itu. Dasar bocah! batinnya.
Mendadak, suasana kembali seperti semula, jauh sebelum ada Difa datang menemani Via. Lembayung yang semakin keruh warnanya itu menjadi objek pandang Via kali ini. Cukup lama hening berkuasa di antara mereka. Hanya terdengar debur ombak yang kian melebar ke tepi pantai. Sejenak, Via menyandarkan kepalanya ke pundak Alvin. Damai. Sedangkan di sisi lain ada sepasang mata yang memandang mereka sendu. Antara cemburu, terharu, senang serta sedih. Entah apa yang sebenar-benarnya ia rasakan saat itu. Cakka.
“Gue harus buang jauh-jauh perasaan ini!” rutuknya pelan. Ia memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kemudian berjalan mundur dan menjauh sejauh-jauhnya dari mereka一Alvin dan Via yang sedang menikmati sunset yang begitu indah berduaan.
“Aku sayang sama kamu, Vi.” Alvin membelai lembut rambut cewek di sampingnya. Lalu tersenyum.
“Me too! I want forever and ever with you, Alvin.” ucap Via dengan menatap lekat bola mata Alvin yang kala itu benar-benar bening.
“Always together, you and me. Ku harap hanya kematianlah yang mampu memisahkan kita. Tapi aku yakin, meski kematian itu memisahkan kita, cinta kita akan selalu ada. Selamanya.” Alvin menyentuh kedua pipi Via perlahan. Rasanya nyaman sekali Alvin memandang wajah Via yang terlihat lebih mempesona dari sebelumnya. Seketika, Via merasakan sensasi hangat, lembut dan lembab mendarat di bibirnya. Bibir Alvin.
Lembayung kian menghitam. Ombak pun ikut memperlambat alirannya. Mereka ikut merasakan apa yang sedang dirasakan Alvin dan Via. Lalu, mentari tenggelam seketika di mana sebelumnya sempat memberi senyuman terakhirnya ke arah dua insan yang sedang dilanda asmara.
The End.
assalamualaikumwr,wb
BalasHapusAKI… saya IBU DARMAYANTI DI RIAU
mengucapkan banyak2 terima
kasih kepada MBAH SARO
atasnomortogelnya yang
kemarin MAKI berikanangka 4D
alhamdulillah
ternyataitu benar2 tembus
AKI dan berkat bantuan
AK saya bisa
melunasisemua hutan2
orang tua saya yang ada di
BANK BRI dan bukan hanya
itu AKI alhamdulillah
sekarang saya sudah bisa
bermodal sedikit untuk
mencukupikebutuhan
keluarga saya sehari2. itu
semua berkat bantuan AKI SARO sekali lagi
makasih banyak yah KI…
yang ingin merubah nasib
seperti saya hubungiAKI SARO di nomor
085-334-171-115 ATAU dijamin
100% tembus atau silahkan
buktikan sendiri……..ATAU KTIK http://togeltogel88.blogspot.com