Minggu, 21 Juli 2013

Love & Be Loved [4]

Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others

Sudah ada yang menunggu di rumah… Sudah ada yang menunggu di rumah…
Suara Sivia yang mengalun ketika mengucapkan kata itu tadi, menyebabkan Alvin melakukan kegiatan terka-menerkanya. Ia suka melakukan itu akhir-akhir ini, apapun yang berhubungan dengan Sivia.
Terkaannya sekarang adalah… Yang menunggu Sivia adalah suaminya…?
Oh ayolah! Sivia tidak boleh menikah dengan siapapun lagi, tidak jika Ia sendiri tidak bisa membawa Sivia ke rumahnya lagi –ke rumah mereka-. Ia mengacak rambut frustasi. Ia merenung di ruangan kerjanya, sementara Cherivia sudah terbuai di alam mimpi.
Memikirkan itu cukup mengganggu konsentrasi Alvin. Terlarut-larut dalam pikiran-pikiran liar tanpa buktinya. Memang Alvin juga malas mencari bukti jika pada akhirnya membuatnya sesak. Terpuruk.
Dilihatnya jam dinding klasik di ruang kerjanya yang temaram, menunjukkan pukul dua dini hari. Dua jarum penunjuk waktu tersebut dan lonceng yang berayun di bawahnya seolah mencemooh Alvin. Waktu terus maju. Tetap bergulir. Alvin harus mencatat baik-baik kalau waktu tidak sama halnya dengan pemutar video yang bisa diberhentikan sementara, atau bahkan diundur ke bagian yang telah lewat. Seperti keinginannya memberhentikan waktu, menyelinap ke masa lampau dan memperbaiki semua kekacauan yang pernah Ia lakukan pada Sivia. Itu khayal.
Alvin mendesah lelah. Ia ternyata memang mencintai Sivia… masih hingga kini…
====================
Minggu pagi, dinaungi langit biru cerah bertemankan arak-arakan awan, adalah kesempatan baik untuk berenang. Berenang di pagi hari memang dingin tak tertahankan, tetapi jika Sang Surya bisa bersahabat menyumbangkan radiasi hangatnya, kedinginan tidak akan berlangsung lama.
Alvin bersama Cherivia tampak menikmati kegiatan bermain air di kolam renang berukuran sedang di halaman belakang rumahnya. Cherivia tampak lucu dengan baju renangnya berwarna kombinasi pelangi, membuatnya terlihat seperti pinguin ketika berjalan. Sementara Alvin tampak segar dengan bertelanjang dada dengan celana pendek santainya yang sudah basah seluruhnya.
“Pap, jangan lepas Via nanti tenggelam.” Via kecil berteriak khawatir ketika diajarkan berenang oleh Papi tampannya.
“Via udah pake pelampung nggak mungkin tenggelam.” Kembali Alvin mengajari Vianya berenang perlahan-lahan.
“Udah Pap, Via takut. Kulit Via udah kusut udah yuk renangnya.”
Alvin tidak menolak karena Ia sendiri sudah merasa lapar. Mereka kembali ke daratan dan mengeringkan badan dengan piyama handuk yang telah tersedia. Dan sudah disediakan dua piring sarapan nasi goreng lezat yang aromanya menggugah selera, oleh Bik Santi.
“Pap kerja?”
“Libur sayang.”
Cherivia seperti akan mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi, Ia kembali menyuap sarapannya.
“Papi tau kue risoles? Aku mau coba itu.” Ucap Cherivia kemudian, mengawali percakapan.
“Tau. Kalo Via mau nanti Papi pesen.”
“Nggak Papi. Via mau coba buatan Ibu guru Sivia..”
Serta merta Alvin susah payah menelan makanannya. Anak ini cerdas. Mengajukan permintaan dengan basa-basi dulu.
“Ibu guru Sivia suruh Via ke rumahnya aja kalo mau coba risoles. Papi mau anter Via kan? Mau ya Pap…”
“Tapi kita nggak tau alamat rumahnya…”
“Ya tanya dong Pap sama sekolah. Iya Pap ayoo…”
Lagi, Alvin tidak menolak. Justru menggampangkan permintaan anaknya itu.
Alvin juga butuh bertemu kembali dengan Sivia, secepatnya…
====================
Roda mobil Alvin sudah berhenti total di depan sebuah rumah bergaya minimalis satu lantai. Kediaman Sivia… Pagar hitam yang tidak sampai dua meter tingginya setengah membuka. Menandakan penghuni rumah berada di dalamnya. Alvin memandangi rumah itu sekali lagi. Bangunan dominan dicat putih dan hijau, ada kebun sederhana di bagian depan, memancarkan kesegaran tersendiri. Lalu ada sebuah garasi mobil, yang terparkir sebuah mobil silver.
Alvin menghela nafas. Apakah Ia akan masuk? Tapi kenapa rasanya resah…
“Pap, ayoo…” Dan ketidaksabaran Cherivia terpaksa membawa langkah kakinya turun dari mobil, memasuki rumah minimalis itu.
Sampai di teras rumah itu pun tidak serta merta Alvin menekan bel pintu penanda ada tamu datang. Ia sedikit menimbang-nimbang. Tetapi Cherivia sudah merengek dengan menghentak-hentakkan tangan kanan Alvin.
Alvin mengalah kemudian mendekati pintu, dan pintu bercat putih susu itu terbuka bahkan sebelum Alvin menekan bel pintu. Sivia dan seorang pria berperawakan jangkung, hitam manis,dan berperangai ramah keluar dari dalam rumah.
“Loh kalian..?”
“Siang buuu…” Cherivia yang menyapa duluan dengan ramah.
“Kamu belum bilang kalau mau datang, Via.” Ya. Dilihatnya Sivia masih nampak terkejut dengan kehadirannya.
“Ada tamu. Siapa ini , Vi?”
Pria jangkung itu akhirnya mengemukakan rasa penasarannya.
“Ini.., namanya Cherivia, Kak. Dia siswa di tempatku kerja. Dan ini Papinya, Alvin.”Sivia memperkenalkan dengan kikuk.
Dan kamu maminya Sivia! Alvin meneriakkan itu dalam hati.
Tata sopan santun yang benar adalah berjabat tangan tanda perkenalan. Tetapi Alvin enggan melakukannya. Ia kadung terfokus mencari isyarat-isyarat petunjuk siapa pria di sebelah Sivia, dan apa hubungan mereka.
“Ohh,” Meski tidak ketara, tapi Alvin merasa ada makna lain dari tatapan pria -yang dipanggil ‘Kak’ oleh Sivia- padanya. “Hai, salam kenal. Aku Gabriel. Salam kenal gadis lucu…”  Gabriel dengan santainya mencubit gemas pipi Cherivia. Sementara Cherivia tersenyum lucu malu-malu. “Sivia, aku pamit sekarang, terimakasih untuk hari ini. Kamu jaga kondisi sampai hari pernikahan datang. Aku mau pernikahan itu sesuai rencana.”
Pernikahan! Kening Alvin berkerut dalam.
“Iya, Kak. Bawel banget.”
“Aku Cuma was-was. Bye…” Dan Gabriel pun melenggang ke mobil silver yang terparkir di garasi, setelah sebelumnya mengangguk sopan pada Alvin dan Cherivia.
Kesemua tadi tidak luput dari perhatian Alvin. Dengan satu simpul yang tidak terelakan. Apakah itu calon suami Sivia…?
====================
Cherivia berputar, menyapu seluruh ruangan dalam rumah Sivia. “Rumahnya bagus, ya Pap.” Mereka, Cherivia, Alvin dan sudah pasti Sivia tengah berada di ruangan keluarga…
“Hm.”
Hanya saja mereka duduk pada sofa terpisah. Kecuali Cherivia yang tampak nyaman di pangkuan Sivia.
“Bu, Via kesini kan mau coba risoles buatan Ibu. Ayoo bikin bu sekarang.”
“Boleh, ayoo…”
“Via tunggu.” Secara tidak langsung Alvin memberhentikan langkah dua orang sekaligus dalam satu nama. Ia salah tingkah sendiri. “Mm, maksudnya Cherivia. Papi tinggal sebentar ya, nanti Papi jemput ke sini lagi.”
Jangan ditanya lagi, Alvin ingin berlama-lama di sana tentu saja. Hanya saja Ia tersiksa jika harus memperhatikan oranng-orang terkasihnya tanpa bisa terlibat. Tersiksa jika seharusnya Ia bisa merengkuh Sivia yang begitu dirindukannya, tapi Sivia nya sendiri bagai hologram, nampak namun tak tersentuh.
“Kenapa gitu Pap? Papi di sini aja ya. Papi nggak mau coba risoles punya Ibu guru Sivia?”
“Bukan gitu, Papi mau mampir ke kantor sebentar, nanti Papi ke sini lagi.”
“Apa susahnya sih tunggu di sini. Kerjaan bisa belakangan, waktu sama keluarga lebih utama.” Alvin mendelik pada Sivia. Apa Ia salah dengar? Susah payah sekarang Ia mengendalikan jantungnya yang bertalu-talu.
“Vi—”
“Ayo Cherivia kita ke dapur.”
Sivia menarik diri ke dapur. Menghindarinya… membiarkan Alvin sendiri perasaannya yang nano-nano.
===================
Bodoh! Ceroboh! Malu-maluin… Sekiranya begitu umpatan-umpatan dalam hati yang Sivia lontarkan pada dirinya sendiri. Pilihan kata yang tidak baik. Apa masksudnya tadi Ia berkata begitu pada Alvin… “…waktu sama keluarga lebih utama.” Kamu masih merasa berkeluarga dengan Alvin, begitu maksudnya Sivia?
Salah Alvin juga. Apa sulitnya diam duduk manis menunggu Cherivia. Ini hari minggu, dan pekerjaan ada waktunya ada tempatnya. Sebagai ibu, Sivia juga tidak tega melihat Cherivia merengek seperti tadi…
“Bu, pertama kita buat apa dulu?”
Sivia kembali fokus pada bahan makanan di atas meja dapurnya. “Kita buat isinya dulu. Ada risoles isi kentang, jagung, ada juga yang isi sayur. Sekarang kita buat risoles isi sayur, karena bahannya semua sudah tersedia.”
Lalu tangan-tangan lincah Sivia menggarap kerja dapurnya. Ia sendiri bersemangat memasak hari ini. Mungkin karena ditemani Cherivia yang berdiri di atas kursi demi menyeimbangi dengan tinggi meja dapur. Satu persatu bahan makanan diracik sesuai takaran risoles seleranya. Cherivia akan suka ini, Sivia yakin itu.
Tetapi di sela-sela proses, diam-diam matanya selalu mengarah ke ruang keluarga. Pada punggung Alvin yang bersender nyaman di sofa. Rambut hitamnya menyembul. Alvin sesekali memperhatikan layar TV, sesekali juga sibuk dengan tabletnya. Sivia mendesah, kenapa Alvin rakus terhadap kadar ketampanan seorang laki-laki?
Sivia mengembalikan fokus pada adonan risoles. Setelah beberapa langkah selesai, sampai pada langkah untuk melumuri gulungan adonan dengan tepung roti yang telah tersedia. “Bu, Via mau bantu juga. Boleh ya…”
“Boleh.” Karena hanya tinggal melumuri gulungan donan dengan putih telur dan tepung roti, Sivia mengijinkannya.
Setelah langkah terakhir selesai, seluruh adonan diletakkan dalam lemari pendingin  menanti tepung rotinya merekat sebelum akhirnya digoreng. Sementara menunggu, Sivia dan Cherivia membersihkan dapur.
 “Bu, Via mau minum. Haus…”
“Tunggu ya. Via mau es jeruk?”
Sivia membuat dua gelas es jeruk setelah disetujui Cherivia. Satu untuk gadis kecil itu, satu untuk Papinya. Secara tidak langsung Ia menahan Alvin tetap diam, tetapi Ia tidak ingat untuk membuatkan ‘tamu’ nya minuman.
====================
Menunggu itu pekerjaan menyebalkan? Tentu saja. Hanya saja yang Alvin lakukan saat ini bukanlah murni menunggu, tetapi mengamati diam-diam, menguping juga. Pada akhirnya Ia tidak meninggalkan kediaman Sivia. Memanfaatkan kesempatan itu untuk merekam saat-saat bersama Cherivia dan Maminya, meski Cherivia belum mengetahui hal itu.
Tanpa sadar Alvin menghela nafas dalam, ada suatu gejolak. Cengkarama Sivia dan gadis kecilnya di dapur sungguh menghangatkan relung hatinya. Menghisap rasa lelah Alvin. Semuanya terasa ringan. Sadar tidak sadar mereka memang memiliki ikatan itu. Alvin menaruh minatnya kembali pada tabletnya guna mengalihkan perhatian dari kemelankolisannya.
“Maaf lupa membuatkan minuman.”
Alvin mendongak hanya untuk mendapati Sivianya –harusnya- yang cantik membawa segelas jeruk segar dan meletakkan di meja kaca.
“Thanks.” Iblis dalam diri Alvin mencemooh dengan sadisnya. Bertahun-tahun menunggu, saat bertemu hanya melontarkan satu kata thanks? Good job Alvin.
Di luar kendali Alvin menggeram tertahan.
“Kenapa? Bosen nunggu?” Tanya Sivia dengan nada yang sama sekali tak bersahabat.
“Bukan. Aku haus,” Alvin berkelit. Lama-lama Ia bisa gila. “Aku minum ya.” Lalu menegak minumannya. Sementara Sivia tidak mau repot-repot perduli, kembali ke dapur.
=====================
Kue-kue kecokelatan dengan masih ada uap-uap panas mengepul betul-betul mengundang rasa lapar. Risolesnya sudah jadi dan sedang disajikan Sivia di meja makan. Tidak lupa pula Sivia memadumadankan dengan bumbu pedas manis dan asam manis yang kental.
“Via mau cobaa… Tapi Papi boleh ikut makan ya.”
Sivia melotot mendadak panik. Jangan sampai semeja makan dengan Alvin. Itu tidak baik unuk kesehatan jantungnya. “Jangan! Mungkin Papi kamu nggak lapar. Kita aja yang makan.” Titah Sivia tanpa sadar agak membentak. Cherivia diam sejenak memperhatikan Sivia lekat-lekat. “Kenapa?”
“Jangan galak-galak sama Papi Via,” Mimik Cherivia memelas menundukkan kepalanya. “Via sayang Papi. Papi memang suka sibuk, tapi Papi sabar sama Via. Katanya Ibu guru temenan sama Papi...”
Mau tidak mau Sivia terenyuh. Berusaha menahankan sesuatu basah yang sudah menggumul di pelupuk matanya. “Yaudah, panggil Papi kamu ajak ke sini.” Cherivia menurut dengan senang hati.
Mereka -dengan Alvin dan Chervia yang duduk bersebelahan berseberang meja dengan Sivia-, menikmati risoles yang baru matang hasil racikan Sivia. Jadinya, suasana makan siang menjelang sore yang sederhana itu terkesan canggung. Kalau saja Cherivia tidak bersedia berceloteh dengan tuturan anak-anaknya.
“Enak nggak Pap?”
“Ya.” Alvin mengangguk-angguk setuju. Hanya singkat begitu sahutannya karena mulutnya masih penuh terisi. Entah karena memang lapar, Alvin begitu bernafsu melahap potongan ketiga risoles di atas piring yang tersaji untuknya.
“Bu,”
“Ya? Ada apa?”
“Itu tadi… yang ke sini yang katanya namanya Gabriel, itu siapa, bu.?”
“Uhukh, uhukh…”
“Papi. Hati-hati Papp…” Cherivia cemas melihat Papi di sampingnya kesulitan menelan makanan, bahkan wajahnya memerah.
Batuk-batuknya mereda setelah meminum air putih yang diangsurkan Sivia.
“Pap kenapa sih.”
“Kepedesan, Papi gigit cabe.”
“Pap kan nggak suka pedes kenapa makan cabe…”
“Iya tadi Pap kira sayur.” Alvin berkilah. Tetapi Sivia tau itu alasan konyol. Sivia tidak memasukkan cabe sedikitpun dalam masakannya tadi.
“Via kira kenapa Pap…”
Dan dengan begitu, Cherivia melupakan pertanyaannya barusan dan beralih topik menanyakan kue-kue apa saja yang bisa dibuat oleh Sivia.
Alvin merasa terselamatkan.
==================
“Via pulang ya Bu. Terimakasih risolesnya.” Cherivia dalam gendongan Alvin terlihat senang menenteng kantong plastik berisi risoles yang belum matang. “Nanti Via suruh Bik Santi biar digoreng.”
Karena sudah di penghujng senja, Alvin terpaksa mengajak dan merayu Cherivia untuk kembali pulang. Alvin sendiri khawatir kalau kakinya terlalu lengket untuk sekedar melangkah meninggalkan Sivia. Sedetik lagi Ia berada di sini itu tidak baik untuk saluran pernapasannya.
“Kapan-kapan ke sini lagi ya.”
Cherivia menjulurkan badannya lalu mengecup pipi Sivia malu-malu, meninggalkan jejak hangat di sana. Kemudian gadis kecil itu melambaikan tangan.
“Terimakasih, Sivia.” Ujar Alvin sebelum berbalik.
Sivia mengerti maksud ucapan ‘terimaksih’ Alvin. Terimakasih karena sudah bersedia berdamai dengan keadaan sementara ini…
====================
Undangan Sivia tempo hari ketika Cherivia berkunjung ke temat Ia tinggal ditanggapi dengan serius. Sivia mengakui rasanya berbeda dan tidak puas hanya bertemu Cherivia di sekolah, apalagi Ia tidak menjadi pengajar di kelasnya. Jadi tidak ada keberatan sama sekali kalau Cherivia rajin mendatanginya. Entah untuk mencoba memasak kue baru, atau hanya sekedar mengobrol. Begitulah ikatan ibu dan putrinya.
Secara rutin Cherivia rajin berkunjung ke sana. Secara rajin pula Pak Oji mengantar jemputnya. “Papi ada pekerjaan.” Begitu kata Pak Oji memberitahu Cherivia ketika menanyakan Papinya. Terhitung hanya dua kali Alvin sempat mengantar termasuk awal kunjungan.
Apa Alvin mengurangi pertemuan dengannya? Sivia merasa sesak.
Sivia tidak mau repot-repot memikirkan itu. Ia sudah memilih, dan sedang berjalan dalam pilihannya. Berdamai dengan keadaan, dengan memperlakukan Cherivia seperti yang seharusnya terasa sudah cukup. Meskipun ada suatu titik Ia ingin mendengar suara Cherivia yang manja memanggilnya dengan ‘Mami’. Tapi segera dihenyakkan pikiran itu. Ia merasa tidak berhak. Empat tahun meninggalkan Cherivia tumbuh tanpa sosok dirinya sebagai ibu, itu sungguh memalukan baginya. Sekali lagi, itu pilihan. Ia sudah memilih hidupnya sekarang, dan tidak lama lagi akan ada perubahan lain dalam hidupnya.
Suatu siang, mereka sehabis membuat kue bolu yang ditaburi kismis gurih. Dilanjutkan dengan menonton film barat keluarga ‘Nanny McPhee’ bersama. Sampai Cherivia ketiduran saking lelahnya. Tinggal menunggu Pak Oji menjemput Cherivia.
Suara bel pintu terdengar, Sivia merebahkan Cherivia yang tadi tertidur di pangkuannya di sofa, lalu Sivia beranjak untuk menerima tamunya.
Ternyata dari dulu sampai sekarang Sivia tidak bisa imun terhadap Alvin. Bisa dibayangkan, Alvin yang datang, berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu tampak lelah sepulang kerja, kemeja abu-abu nya sedikit kusut pada bagian kerah dan dua kancing kemeja teratas terbuka seizin pemakainya. Sivia memang tidak pernah imun dengan itu. Gabriel yang baginya sudah tampan pun, tetap kalah tampan dibanding Alvin.
“Aku menjemput Cherivia.”
“I-iya,” Sivia tergeragap. “Silahkan. Dia tertidur di sofa, kayaknya kelelahan.” Alvin mengikuti Sivia menuju ruang keluarga. Kenapa Pak Oji nggak bilang kalo Alvin yang jemput? Keluhnya dalam hati.
Sivia tak melepas tatapannya dari apa saja yang dilakukan Alvin. Membungkuk untuk mengecup dahi putri kecilnya itu dengan sayang, kemudian mengangkat dan memposisikan dalam gendongan di pundak Alvin.
“Terimakasih, Vi. Daridulu dia menanyakan Mami nya…”
“Vin… engg aku.., apa boleh aku menganggap Via sebagai, anakku?” Sivia menelan ludahnya, tenggorokannya terasa kering. Tatapan tajam mata Alvin menghisap nyalinya. “Ma-maksudku, engg tidak jadi…aku cuma—”
“Sampai kapanpun kamu Mami nya. Via juga anakmu.”
Sivia membalas tatapan Alvin takut-takut. Mencari-cari sesuatu di sana. “Makasih.” Sahutnya setelah hening beberapa saat. Kemudian Ia berjinjit sedikit untuk mengecup pipi Cherivia penuh kasih. Sivia tidak sadar, bahwa perlakuannya barusan menyebabkan Alvin mendesah gundah dalam hati akibat menghirup aroma rambutnya yang dirindukan pria itu.
“Aku pamit.” Alvin bergegas, nampak tak bisa lebih lama lagi bertahan di sana. Suasana nya akan menimbulkan harapan, membangkitkan ego nya untuk menarik Sivia kembali padanya, merebut Sivia dari calon suaminya… Setidaknya begitulah pemikirannya.
 
TBC...

2 komentar:

  1. Lanjut min, pokoknya via gak boleh nikah. Harus punya perasaan masa gak sayang sih sama cherivia? Sian anaknya, paling miris bacanya:'

    BalasHapus