Minggu, 21 Juli 2013

Love & Be Loved [3]

Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others

Jika perubahan adalah hal abadi di dunia ini, maka cinta lebih kekal dayanya…
Segala sesuatu terus berubah, sementara Ia bertahan pada satu cinta…
Jadi, mana yang lebih kekal abadi?
^_^ ^_^
Di sebuah resto, seorang wanita anggun nan dewasa dalam balutan busana kerjanya tidak berhenti memamerkan senyum cantiknya. Bagaimana tidak. Kemarin-kemarin Ia direpotkan bekerja paruh waktu siang dan malam karena susah mencari satu yang cocok. Entah gaji, tempat bekerja, skill, dan yang paling menyedihkan latar belakang pendidikannya, D3.
s i v i a
Zaman sekarang, untuk S1 saja begitu sulit mencari kerja karena saking menjamurnya, apalagi D3. Mungkin saja Ia bisa melanjutkan ke jenjang S1 itu jika tidak harus menikah…
Sudahlah. Yang terpenting sekarang Ia sudah mendapat pekerjaan baru yang benar-benar dirasanya pas, cocok, tepat.
“Kak Gabriel, terima kasih ya sudah membantu.” Ucapnya pada lawan bicara di seberang meja makan.
“Hm.” Gumam lawan bicaranya sembari menyeruput minuman jenis kopi. Berkat sedikit bantuan Gabriel yang memiliki kenalan di tempat kerja tersebut, Ia tidak perlu kerja part time lagi. “Senang bisa membantu. Itu juga berkat kamu sendiri, Sivia. Training satu minggu kemarin berjalan baik ya karena kamu mampu, akhirnya diterima.” Yang dipanggilnya Gabriel tersenyum lembut.
Pipi Sivia merona, pria di hadapannya kini pernah menjadi pria idamannya, tetangga Sivia dulu sewaktu masih tinggal bersama orang tuanya. Mereka memang akrab apalagi saat masa-masa Sivia kehilangan orang tuanya, tapi sempat hilang kontak karena hidup Sivia terpusat pada kehidupan barunya –yang Ia kira akan berujung bahagia-, bersama Alvin dan keluarga kemudian…
Rupanya Sivia masih beruntung bisa kembali bertemu Gabriel di kota ini. Dan terasa lebih dekat… Memang Gabriel dengan segala kedewasaannya membuat Sivia merasa dilindungi.
“Lalu gimana pendapat kamu tentang tempat kerja barumu?”
Sivia kembali dari lamunannya. “Menyenangkan.” Sahutnya. Tatapannya menerawang. “Staff guru dan pegawainya ramah. Aku juga suka anak-anaknya. Mereka lucu dan menggemaskan.”
“Nah, syukurlah. Good luck untuk pekerjaan barunya.”
==================
Naluri, kata hati, insting, semua itu ketepatannya terbukti…
^_^ ^_^
Sebab telah resmi diangkat menjadi salah satu tenaga pendidik di sebuah kindergarten ternama, Sivia lebih bersemangat bekerja hari ini menunjukkan dedikasinya. Bisa dikatakan penampilannya terlalu muda untuk ukuran sebagai tenaga pendidik, umurnya sendiri tiga tahun sebelum penghujung kepala dua. Rok hitam mengembang dengan aksen pita, dipadu dengan kemeja batik motif sederhana berpotongan modern. Dan Ia memutuskan menggunakan flat shoes hitam kesayangannya. Dengan begitu, Sivia lantas mendapat predikat guru tercantik di tempatnya bekerja.
Ada-ada saja. Begitu pendapatnya. Rekan-rekan kerjanya yang rata-rata lebih tua beberapa tahun darinya dan memiliki anak rupanya masih memiliki jiwa muda. Setidaknya Sivia tidak merasa berbeda golongan ketika mengobrol.
Apa Ia lupa, bukankah Ia juga memiliki seorang anak…
Di kindergarten itu, Sivia kebagian tugas sebagai penanggung jawab salah satu kelas nol kecil. Kelas di bawah tanggung jawabnya itu memiliki jadwal dari pukul 8 pagi hingga 10 pagi. Jumlah siswanya lima belas orang. Yaa cukup bisa dihandel olehnya sendiri.
Anak-anaknya lucu semua rata-rata berumur 4 tahun. Agenda kelasnya hari ini adalah berhitung dan bernyanyi. Tentu saja dalam prosesnya banyak canda dan tawa.
Berkat masa percobaannya seminggu kemarin, Sivia tidak terlalu mengalami kendala berarti sehari ini. Sampai sekarang sudah waktunya jam pulang. Satu persatu anak didiknya dipantau agar sampai pada orang-orang yang menjemputnya masing-masing. Masih ada segelintir yang menunggu jemputan, sembari bermain di playground, tetapi itu bukan anak didik di kelasnya.
Sivia menyapukan pandangannya ke area playground. Lalu mengerutkan dahinya heran. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar, seperti ada yang memperhatikannya diam-diam. Penasaran, Sivia menyapukan pandangannya lagi ke area plaground. Rupanya benar ada yang memperhatikannya, gadis kecil di ayunan panjang dengan rambut dikepang dua.
Sivia mendekatinya, dan gadis itu tersenyum. Ia baru pertama kali melihatnya, bukan anak didik di kelasnya. Tapi rasanya akrab.
“Belum dijemput?”
“Belum.”
“Umm.. Nama kamu siapa?”
“Via.”
“Loh sama dong. Nama ku juga Via.”
Gadis kecil itu menggeleng. “Namaku Cherivia , Bu.”
“Cherivia. Nama yang bagus.”
“Papi yang kasih nama itu.”
“Oouu…”
Speechless. Sivia merasa seperti orang bodoh saja, masa berbicara dengan anak kecil ini sampai tidak terpikir mencari bahan obrolan lain sekalian menemaninya menunggu jemputan. Sivia terlanjur terpesona dengan alis serta mata gadis kecil ini, seperti matanya. Dan alis itu seperti… Entah. Begitu terasa asing sekaligus akrab.
“Siapa yang biasanya jemput Via?” Ia ikut duduk di ayunan panjang.
“Pak Oji.”
“Itu Papi kamu?”
“Bukan. Papi belum pernah jemput Via.”
“Belum?”
“Papi sama Via baru pindah ke sini.”
“Mami?”
Sesaat kemudian Sivia merasa menyesal menanyakannya. Mimik wajah Cherivia berubah muram.
“Papi bilang, Mami kerja jauh.”
Sivia mencatat dalam hati bahwa sebaiknya jangan menanyakan Mami si Cherivia lagi besok-besok.
“Permisi, non Via…”
“Pak Oji…”
Sivia menoleh lantas membalas senyum sapaan yang menjemput Cherivia.
“Nah sudah dijemput. Hati-hati ya…” Dibalasnya lambaian tangan Cherivia.
Sesudahnya Ia menghela nafas. Rasanya tadi Ia menahan gejolak.
================
Lantunan ‘Twinkle-twinkle little star’ berulang kali memenuhi kamar Alvin. Bersumber dari tabletnya yang menyediakan aplikasi instrumen piano sentuh. Yang memainkannya sebenarnya si imut Cherivia. Yaa maklum baru belajar dan baru hanya itu yang diajarkan Papi nya.
“Gimana di sekolah tadi, sayang?”
Alvin baru selesai mandi, baru pulang kantor petang ini.
“Baik.” Sahut Cherivia sekenanya, kembali asik dengan bebunyian piano.
“Itu saja?”
Cherivia menoleh pada Papinya. “Papi pulangnya malem lagi.” Lalu memberenggut. “Di rumah sepi.”
Alvin merasa bersalah, tetapi di satu sisi memang Ia memiliki tanggung jawab di cabang perusahaan untuk saat ini, sampai pada tahap aman.
Kemudian Ia mendudukkan Cherivia di pangkuannya. “Kan sudah ada Bik Santi.” Sayangnya Cherivia tidak bergeming. “Yaudah, besok Papi pulangnya nggak malem lagi.” Tetap tidak ada reaksi. “Papi yang jemput Via deh besok.”
“Bener Pap?”
“Iya.” Alvin pun mendapat serangan kecupan-kecupan di wajahnya. “Udah-udah. Sekarang mau tidur?”
“Belum ngantuk Pap.”
“Trus?”
“Cerita aja.”
“Boleh. Tentang apa.”
“Mami Via.”
Anak ini… Seandainya dia tahu apa yang terjadi sebenarnya, pasti tidak semudah itu menyinggung-nyinggung tentang Mami nya. Hal itu masih terlalu sensitif bagi Alvin. Meskipun sudah empat tahun berlalu, hingga usianya nyaris di penghujung kepala dua.
Kata orang-orang, waktu adalah yang paling ampuh membantu untuk melupakan hal-hal yang ingin dilupakan. Namun beda kasusnya kalau selama itu Ia hidup bersama orang yang paling mengingatkannya dengan…Sivia. Anak mereka…
Setahun, dua tahun mungkin Cherivia belum paham Tetapi dia tetap bertumbuh kan. Pasti ada suatu waktu terus menerus menuntut tentang Mami nya. Di usia sekarang saja Cherivia banyak ingin tahunya.
“Papi, Via nanya daritadi, jawab dong. Gimana mukanya Mami?”
Alvin sudah melamun rupanya. “Cantik. Cantik kayak Via.”
“Sama?”
“Persis.”
Lantas dilihatnya Cherivia mengangguk-angguk. Bola mata bening -khas Sivia- nya bergerak-gerak penuh pertimbangan.
===================
Sama seperti sebelumnya, Sivia memastikan seluruh anak didik di kelas yang menjadi tanggung jawabnya sudah sampai pada tangan penjemput masing-masing. Dengan tertib anak-anak itu menyalami tangan Sivia sebagai tanda pamitan. Tidak Jauh berbeda dengan hari sebelumnya, hari ini berjalan cukup baik. Meski tadi ada salah satu anak yang menangis karena terjatuh saat bermain.
Setelah dirasa sudah menyepi, Sivia bermaksud kembali ke ruangannya. Tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk menoleh ke area playground, di ayunan panjang tempat Ia berkenalan dengan salah satu anak didik di kindergarten yang sama bernama Cherivia, seolah mengharap gadis kecil itu belum dijemput dan Ia bias mengobrol lagi dengannya.
Harapan konyolnya terkabul, Cherivia ada di sana. Dia duduk di bangku panjang berwarna pelangi, di sebelah ayunan panjang. Rambut gadis itu tergerai indah dengan hiasan jepit-jepit bermotif buah stroberi. Cherivia Nampak menikmati cemilan dalam kotak bekalnya. Sivia tersenyum geli lebih pada dirinya sendiri, Ia tertarik pada anak orang. Tidak membuang kesempatan Ia mendekat.
“Pak Oji belum jemput?” Ia ikut duduk menghadap Cherivia.
Cherivia dengan mulut yang masih mengunyah permen kacang cokelat warna-warni menoleh. “Pak Oji nggak jemput. Papi yang mau jemput.”
“Wiihh. Seneng dong.”
Cherivia mengangguk-angguk semangat. Gadis kecil itu mengacungkan kotak bekalnya yang berisi permen kacang cokelatnya menawarkan pada Sivia yang ditanggapi dengan gelengan lembut.
“Itu bisa bikin kamu batuk. Kenapa tidak membawa bekal yang lebih sehat saja yang dibuat sendiri. Umm… kamu pernah mencoba risoles?”
“Apa itu?”
“Kue isi yang sangat enak. Mungkin lain kali kamu harus coba.”
“Ibu guru bisa buat? Via mau coba buatan ibu guru.”
“Gampang. Kamu main ke rumah saja, nanti aku buatin.”
Setelah itu Cherivia jadi berhenti makan permen kacang cokelatnya dan mengembalikan kotak bekal ke dalam tas. Ia beranjak dari bangku, berdiri tepat di depan Sivia. Menatapnya intens.
“Kenapa?” Tanya Sivia bingung.
“Mungkin Mami Via sama cantik kayak ibu guru Via ya?”
“Hah?”
“Papi bilang, Maminya Via cantik, sama cantik kayak Via.” Cherivia menjentikkan telunjuknya. “Itu, muka kita kan mirip, bu.”
Tawa Sivia menyembur seketika. Oke memang, Sivia akui ada kemiripan terutama dalam bentuk mata mereka. Tapi kan… Sivia tertawa lagi, menertawakan jalan pikiran anak kecil yang masih lugu. Kemudian tawanya memudar, saat disadari Cherivia mengerucutkan bibirnya dan mengerutkan alisnya kesal.
“Begini ya sayang,” Sivia memfokuskan pandangannya pada Cherivia, menghibur. “Mami Via itu pasti lebih cantik. Walaupun—“
“Via……”
Sivia tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena ada yang memanggil namanya. Ia mendongak. “Ya?” Sahutnya.
Tapi kemudian…
Ia ragu apa panggilan tadi memang untuknya. Krena ada sosok pria yang Ia kenal betul berdiri nyata di dekatnya.
Ia tidak mampu sekedar bergerak, saat melihat sosok pria dari masa lalunya. Ia lupa bagaimana cara untuk mensuplai udara dalam rongga paru-parunya, ketika hembusan angin menerbangkan partikel aroma khas pria itu. Di luar kendali, jantungnya meletup-letup lewat batas tatkala matanya bertemu pandang lagi dengan mata itu. Tubuhnya terdisfungsi dan bekerja ekstra dalam waktu bersamaan. Hanya karena kehadiran tak terduga pria itu!
Alvin… begitu jika Sivia tidak salah ingat namanya.
Memang pada dasarnya Ia tidak pernah lupa.
“Papiiiiii……”
Lantas suara girang gadis kecil mengembalikan kesadarannya. Cherivia berlari dengan keriangan khas anak-anak melompat dan kemudian dia sudah diraup ke dalam gendongan Papinya. Tanpa malu-malu Cherivia menghujani Papi kecintaannya itu dengan kecupan-kecupan di seluruh wajahnya. Sivia mengikuti kesemua itu melalui matanya di ambang kesadaran dalam kebisuan.
====================
Alvin bersungguh datang menjemput Cherivia kesayangannya. Ia menyayangi anak itu tanpa batas dan tidak ingin mengecewakannya lagi. Rupanya, ada sedikit permainan takdir yang tak terduga…
Dari jauh pun Ia sudah mengenali gadis cilik miliknya. Dilihatnya Cherivia tengah mengobrol dengan seorang wanita, mungkin ibu salah satu temannya –karena tidak mungkin itu guru, penampilannya terlalu muda dan anggun-.
Tapi setelahnya, saat suaranya memanggil Cherivia dengan penuh kejutan, justru Ia yang dikejutkan balik. Wanita yang sedang mengobrol dengan anaknya menoleh dan menyahut kata ‘ya’ dengan lembut. Hanya kata itu tapi suaranya seperti gemerincing genta, menyihirnya.
Alvin membatu di tempat, kehilangan keping memori di mana pernah mengenali mata bening yang menatapnya dengan terkejut dan penuh keheranan. Lantas Ia mendesah dalam hati, tentu saja Ia pernah mengenali mata itu. Sivia… Itu Sivianya. Sivianya dulu yang Ia rindukan sampai rasanya hatinya berdarah-darah terlampau merindukan Sivianya!
“Papiiiiii……”
Alvin tersentak dari lamunan rindunya. Cherivia berlari menyambut kehadirannya. Lalu Ia sedikit merendah dan mengangkat Cherivia dalam gendongannya. Kebiasaan, serta merta Alvin dihujani kecupan-kecupan oleh Via kecil.
“Papi jadi jemput Via yeee. Via sayang Papi.”
Alvin tersenyum memeluk putri tercinta. “Papi juga sayang kamu.” Lebih terdengar seperti bisikan, Alvin belum menemukan suara berat seperti biasa.
Tidak tahan untuk pura-pura acuh, maka ragu-ragu Ia melirik Sivia yang terduduk mematung. Arah bola matanya ke Alvin dan Cherivia tapi tatapannya kosong.
“Pap, ini ibu guru Via. Nama kita sama. Kenalan Pap.” Bujuk Cherivia. “Ibu guru ini Papi Via, akhirnya bisa jemput.”
Alvin menurunkan Cherivia yang merajuk minta turun.
“Pap… kenapa bengong, ini ibu guru Via, Papp.” Dasar anak kecil yang tidak tau keadaan. Cherivia memiliki antusiasme tersendiri dalam kondisi ini.
Alvin menghela nafas. Tangannya seperti dililit baja ketika mengulur maju. “Hai, Sivia. Apa kabar?” Lidahnya terasa kelu terjebak basa-basi yang basi ini. Kalau boleh memilih, Alvin ingin menenggelamkan Sivia dalam pelukannya kemudian menghujaninya dengan ciuman-ciuman sarat rindu seperti yang sering dilakukan Cherivia padanya. Untung Sivia menyambut ulurannya meski sedikit ragu. Ketika mereka berjabat, Alvin merasa tangannya penuh terisi, hangat. Seolah telah menemukan sesuatu yang sempat sirna darinya.
“Baik.”
“Pap? Kok tau namanya Sivia?”
“Oh, ehh… Sivia., ibu guru kamu ini temen Papi dulu.” Hanya teman? Sekarang lidahnya terasa pahit.
“Bener gitu, bu?” Cherivia beralih pada Sivia.
Bukannya menjawab, Sivia bangkit dari duduknya lantas tanpa permisi pergi begitu saja melewati Alvin.
Takdir benar-benar mempermainkannya.
====================
Cherivia anaknya. Cherivia anaknya. Cherivia anaknya…
Kesadaran atas fakta itu membuat hati Sivia ngilu. Tidak perlu test DNA, Sivia yakin Cherivia putrinya yang Ia tinggalkan empat tahun lalu. Insting seorang ibu tidak pernah salah kan?
Bibir bawahnya menjadi pelampiasan sembilu di hati. Belakangan ini, matanya lebih rajin memproduksi air mata. Menangis atas kejutan yang diberikan oleh penguasa takdir. Bertahun-tahun Ia berhasil menghilang lalu dipertemukan secara tak sengaja seperti ini. Jujur saja ada gejolak meletup-letup di ulu hati. Ia bahagia, Ia sesak, Ia kecewa. Semuanya menjadi satu. Saling berebut demi mendominasi ego diri. Pada akhirnya, Ia hanya bisa menghindari untuk sementara ini. Sivia belum siap…
====================
“Papi…”
Alvin menoleh, “Ya?” Sambil menunggu Cherivia melanjutkan apa yang ingin diucapkan, Alvin menyuap sesendok asparagus yang dipesannya. Mereka berdua tengah makan malam roamantis antara ayah dan anak di ruang makan keluarga.
“Pap, kenapa ibu guru Sivia jadi galak sekarang?”
“Galak?” Dahi Alvin mengkerut. Memperhatikan mimik Sivia yang memberenggut.
“Nggak pernah mau nemenin Via nunggu jemputan lagi, nggak pernah nyapa Via. Tadi Via panggil-panggil dia malah pergi.” Gadis kecilnya sedang kecewa.
Alvin membersihkan sekitaran mulutnya. Tapi pikirannya berkelana memikirkan kemungkinan-kemungkinan maksud dari laporan Cherivia. Apakah Sivia bermaksud menghindar? Pertemuan mereka kembali pasti mengejutkannya, tidak disangkanya. Alvin sendiri begitu…
Namun, apa tidak ada sedikit rasa keibuannya? Dia bertemu putrinya kembali. Apa itu tidak menyentuh hatinya sama sekali. Alvin akan berusaha sekuat Ia bisa untuk tidak menculik Sivia kembali padanya, tapi Ia tidak bisa tinggal diam kalau Cherivia terlibat dalam kekecewaan seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu.
“Mungkin ibu guru Via sibuk.”
“Orang gede selalu sibuk ya, kayak Papi.”
Alvin tertawa. “Besok, Papi yang jemput ya.”
“Bener Pap?” Alvin mengangguk. “Sering-sering ya Papi, jangan dua kali aja.”
=====================
Tega? Jelas-jelas tidak. Cherivia hanyalah gadis kecil yang masih lugu dan polos. Tapi memang tidak ada rencana lain yang terpikirkan Sivia untuk saat ini. Terpaksa Ia harus menjaga jarak dengan gadis kecil itu…anaknya.
Sejujurnya, begitu Ia menyadari Cherivia yang ada di dekatnya adalah putri kandungnya, Sivia ingin memeluk erat si Via kecil. Membelainya, membuainya ke dalam pusaran kasih sayang seorang ibu. Hanya saja Ia terlalu gugup, takut, resah. Ia belum pernah berhadapan langsung dengan anaknya, tidak setelah anak itu bertumbuh.
Pikiran Sivia beralih ke Alvin… Lelaki itu telah membesarkan putrinya, putri mereka… dengan baik. Menjadi anak yang lucu, riang, cerdas. Sivia sedikit terenyuh, jika Ia tidak segera teringat, apa iya Alvin yang membesarkan Cherivia sendirian? Mungkin ada pendampingnya?...
“Ibu guru Via..!”
Sivia tersentak dari pikiran panjang nya. Ia harus sedikit tega, mengokohkan hatinya. Menjaga jarak dari Cherivia untuk sementara. Maka dari itu Ia terus berjalan menuju ruangannya, tanpa menghiraukan panggilan Cherivia yang tertelan ramai riuh canda anak-anak yang berlarian karena sudah waktunya pulang.
Sedikit kesialan menimpa Sivia siang ini. Kepalanya membentur seseuatu, agak sakit. “Auw..” Kemudian Ia mendongak hendak meminta maaf telah berjalan terburu-buru , sebab yang dibentur kepalanya tepatnya seseorang-. “Ma-af..” Suaranya tertelan saat mata itu menatapnya.
“Alvin.”
“Aku tau ini mengejutkan. Setidaknya berdamailah dengan keadaan sekarang ini saja. Cherivia heran kenapa kamu menghindar.”
“Aku—”
“Aku tidak akan memberitahunya kalau kamu memang maminya—, kalau itu yang kamu khawatirkan.”
Sivia menatap wajah dingin Alvin yang menatapnya balik. Kata-kata Alvin meninju hatinya.
“Bukan gitu, Vin. Aku Cuma—”
“Papiii…”
Kehadiran Cherivia serta merta memecah keheningan mencekam barusan.
“Hei,” Alvin mengusap kepala Cherivia. “Ayo pulang, langsung makan siang.”
“Iya Pap, tunggu sebentar.” Cherivia mendongak ke Sivia sekarang. “Ibu guru Via, tadi Via panggil-panggil kenapa nggak jawab?”
Terdiam sesaat, kemudian Ia melirik Alvin sedikit. Wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya mengisyaratkan pengharapan. Sivia memutuskan, ada benarnya apa yang diucapkan Alvin.
“Maaf ya, tadi ibu guru nggak denger.” Ucapnya ditambah senyum mengikuti cara Alvin mengusap kepala Cherivia dengan sayang, meski tangannya sedikit gemetar.
Untunglah Cherivia percaya saja dan binar matanya kembali lagi. “Ibu guru masih sibuk? Ayo ikut makan siang sama Via sama Papi.”
Tidak hanya Sivia, Alvin juga melebarkan pupil matanya mendengar itu. Meskipun mereka sudah dewasa, tetap saja salah tingkah.
“Tapi Ibu guru masih sibuk. Harus segera pulang, sudah ada yang menunggu di rumah.” Terimakasih pada otaknya yang dengan sigap mencari alasan. Sivia tidak sepenuhnya berbohong, karena Gabriel memang sudah berjanji akan ke rumahnya.
“Yaahh. Kapan…itu bu, kapan Via boleh ke rumah? Mau coba risoles nya?” Cherivia tidak menyerah.
“Oh ituu, ya terserah kamu aja, sayang.”
Setelahnya Cherivia mencium tangan Sivia dan berpamitan, mewakili Alvin yang cuma diam mengamati.
 
 TBC...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar