Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Jika
perubahan adalah hal abadi di dunia ini, maka cinta lebih kekal dayanya…
Segala
sesuatu terus berubah, sementara Ia bertahan pada satu cinta…
Jadi,
mana yang lebih kekal abadi?
^_^
^_^
Di
sebuah resto, seorang wanita anggun nan dewasa dalam balutan busana kerjanya
tidak berhenti memamerkan senyum cantiknya. Bagaimana tidak. Kemarin-kemarin Ia
direpotkan bekerja paruh waktu siang dan malam karena susah mencari satu yang
cocok. Entah gaji, tempat bekerja, skill,
dan yang paling menyedihkan latar belakang pendidikannya, D3.
s
i v i a
Zaman
sekarang, untuk S1 saja begitu sulit mencari kerja karena saking menjamurnya,
apalagi D3. Mungkin saja Ia bisa melanjutkan ke jenjang S1 itu jika tidak harus
menikah…
Sudahlah.
Yang terpenting sekarang Ia sudah mendapat pekerjaan baru yang benar-benar
dirasanya pas, cocok, tepat.
“Kak
Gabriel, terima kasih ya sudah membantu.” Ucapnya pada lawan bicara di seberang
meja makan.
“Hm.”
Gumam lawan bicaranya sembari menyeruput minuman jenis kopi. Berkat sedikit
bantuan Gabriel yang memiliki kenalan di tempat kerja tersebut, Ia tidak perlu
kerja part time lagi. “Senang bisa membantu. Itu juga berkat kamu sendiri,
Sivia. Training satu minggu kemarin berjalan baik ya karena kamu mampu,
akhirnya diterima.” Yang dipanggilnya Gabriel tersenyum lembut.
Pipi
Sivia merona, pria di hadapannya kini pernah menjadi pria idamannya, tetangga
Sivia dulu sewaktu masih tinggal bersama orang tuanya. Mereka memang akrab
apalagi saat masa-masa Sivia kehilangan orang tuanya, tapi sempat hilang kontak
karena hidup Sivia terpusat pada kehidupan barunya –yang Ia kira akan berujung
bahagia-, bersama Alvin dan keluarga kemudian…
Rupanya
Sivia masih beruntung bisa kembali bertemu Gabriel di kota ini. Dan terasa
lebih dekat… Memang Gabriel dengan segala kedewasaannya membuat Sivia merasa
dilindungi.
“Lalu
gimana pendapat kamu tentang tempat kerja barumu?”
Sivia
kembali dari lamunannya. “Menyenangkan.” Sahutnya. Tatapannya menerawang.
“Staff guru dan pegawainya ramah. Aku juga suka anak-anaknya. Mereka lucu dan
menggemaskan.”
“Nah,
syukurlah. Good luck untuk pekerjaan barunya.”
==================
Naluri,
kata hati, insting, semua itu ketepatannya terbukti…
^_^
^_^
Sebab
telah resmi diangkat menjadi salah satu tenaga pendidik di sebuah kindergarten
ternama, Sivia lebih bersemangat bekerja hari ini menunjukkan dedikasinya. Bisa
dikatakan penampilannya terlalu muda untuk ukuran sebagai tenaga pendidik,
umurnya sendiri tiga tahun sebelum penghujung kepala dua. Rok hitam mengembang
dengan aksen pita, dipadu dengan kemeja batik motif sederhana berpotongan
modern. Dan Ia memutuskan menggunakan flat
shoes hitam kesayangannya. Dengan begitu, Sivia lantas mendapat predikat
guru tercantik di tempatnya bekerja.
Ada-ada saja. Begitu
pendapatnya. Rekan-rekan kerjanya yang rata-rata lebih tua beberapa tahun
darinya dan memiliki anak rupanya masih memiliki jiwa muda. Setidaknya Sivia
tidak merasa berbeda golongan ketika mengobrol.
Apa
Ia lupa, bukankah Ia juga memiliki seorang anak…
Di
kindergarten itu, Sivia kebagian tugas sebagai penanggung jawab salah satu
kelas nol kecil. Kelas di bawah tanggung jawabnya itu memiliki jadwal dari
pukul 8 pagi hingga 10 pagi. Jumlah siswanya lima belas orang. Yaa cukup bisa
dihandel olehnya sendiri.
Anak-anaknya
lucu semua rata-rata berumur 4 tahun. Agenda kelasnya hari ini adalah berhitung
dan bernyanyi. Tentu saja dalam prosesnya banyak canda dan tawa.
Berkat
masa percobaannya seminggu kemarin, Sivia tidak terlalu mengalami kendala
berarti sehari ini. Sampai sekarang sudah waktunya jam pulang. Satu persatu
anak didiknya dipantau agar sampai pada orang-orang yang menjemputnya
masing-masing. Masih ada segelintir yang menunggu jemputan, sembari bermain di
playground, tetapi itu bukan anak didik di kelasnya.
Sivia
menyapukan pandangannya ke area playground. Lalu mengerutkan dahinya heran.
Entah hanya perasaannya saja atau memang benar, seperti ada yang
memperhatikannya diam-diam. Penasaran, Sivia menyapukan pandangannya lagi ke
area plaground. Rupanya benar ada yang memperhatikannya, gadis kecil di ayunan
panjang dengan rambut dikepang dua.
Sivia
mendekatinya, dan gadis itu tersenyum. Ia baru pertama kali melihatnya, bukan
anak didik di kelasnya. Tapi rasanya akrab.
“Belum
dijemput?”
“Belum.”
“Umm..
Nama kamu siapa?”
“Via.”
“Loh
sama dong. Nama ku juga Via.”
Gadis
kecil itu menggeleng. “Namaku Cherivia , Bu.”
“Cherivia.
Nama yang bagus.”
“Papi
yang kasih nama itu.”
“Oouu…”
Speechless. Sivia
merasa seperti orang bodoh saja, masa berbicara dengan anak kecil ini sampai
tidak terpikir mencari bahan obrolan lain sekalian menemaninya menunggu
jemputan. Sivia terlanjur terpesona dengan alis serta mata gadis kecil ini,
seperti matanya. Dan alis itu seperti… Entah. Begitu terasa asing sekaligus akrab.
“Siapa
yang biasanya jemput Via?” Ia ikut duduk di ayunan panjang.
“Pak
Oji.”
“Itu
Papi kamu?”
“Bukan.
Papi belum pernah jemput Via.”
“Belum?”
“Papi
sama Via baru pindah ke sini.”
“Mami?”
Sesaat
kemudian Sivia merasa menyesal menanyakannya. Mimik wajah Cherivia berubah
muram.
“Papi
bilang, Mami kerja jauh.”
Sivia
mencatat dalam hati bahwa sebaiknya jangan menanyakan Mami si Cherivia lagi
besok-besok.
“Permisi,
non Via…”
“Pak
Oji…”
Sivia
menoleh lantas membalas senyum sapaan yang menjemput Cherivia.
“Nah
sudah dijemput. Hati-hati ya…” Dibalasnya lambaian tangan Cherivia.
Sesudahnya
Ia menghela nafas. Rasanya tadi Ia menahan gejolak.
================
Lantunan
‘Twinkle-twinkle little star’ berulang kali memenuhi kamar Alvin. Bersumber
dari tabletnya yang menyediakan aplikasi instrumen piano sentuh. Yang
memainkannya sebenarnya si imut Cherivia. Yaa maklum baru belajar dan baru
hanya itu yang diajarkan Papi nya.
“Gimana
di sekolah tadi, sayang?”
Alvin
baru selesai mandi, baru pulang kantor petang ini.
“Baik.”
Sahut Cherivia sekenanya, kembali asik dengan bebunyian piano.
“Itu
saja?”
Cherivia
menoleh pada Papinya. “Papi pulangnya malem lagi.” Lalu memberenggut. “Di rumah
sepi.”
Alvin
merasa bersalah, tetapi di satu sisi memang Ia memiliki tanggung jawab di cabang
perusahaan untuk saat ini, sampai pada tahap aman.
Kemudian
Ia mendudukkan Cherivia di pangkuannya. “Kan sudah ada Bik Santi.” Sayangnya
Cherivia tidak bergeming. “Yaudah, besok Papi pulangnya nggak malem lagi.”
Tetap tidak ada reaksi. “Papi yang jemput Via deh besok.”
“Bener
Pap?”
“Iya.”
Alvin pun mendapat serangan kecupan-kecupan di wajahnya. “Udah-udah. Sekarang
mau tidur?”
“Belum
ngantuk Pap.”
“Trus?”
“Cerita
aja.”
“Boleh.
Tentang apa.”
“Mami
Via.”
Anak
ini… Seandainya dia tahu apa yang terjadi sebenarnya, pasti tidak semudah itu
menyinggung-nyinggung tentang Mami nya. Hal itu masih terlalu sensitif bagi
Alvin. Meskipun sudah empat tahun berlalu, hingga usianya nyaris di penghujung
kepala dua.
Kata
orang-orang, waktu adalah yang paling ampuh membantu untuk melupakan hal-hal
yang ingin dilupakan. Namun beda kasusnya kalau selama itu Ia hidup bersama
orang yang paling mengingatkannya dengan…Sivia. Anak mereka…
Setahun,
dua tahun mungkin Cherivia belum paham Tetapi dia tetap bertumbuh kan. Pasti ada
suatu waktu terus menerus menuntut tentang Mami nya. Di usia sekarang saja
Cherivia banyak ingin tahunya.
“Papi,
Via nanya daritadi, jawab dong. Gimana mukanya Mami?”
Alvin
sudah melamun rupanya. “Cantik. Cantik kayak Via.”
“Sama?”
“Persis.”
Lantas
dilihatnya Cherivia mengangguk-angguk. Bola mata bening -khas Sivia- nya
bergerak-gerak penuh pertimbangan.
===================
Sama
seperti sebelumnya, Sivia memastikan seluruh anak didik di kelas yang menjadi
tanggung jawabnya sudah sampai pada tangan penjemput masing-masing. Dengan
tertib anak-anak itu menyalami tangan Sivia sebagai tanda pamitan. Tidak Jauh
berbeda dengan hari sebelumnya, hari ini berjalan cukup baik. Meski tadi ada
salah satu anak yang menangis karena terjatuh saat bermain.
Setelah
dirasa sudah menyepi, Sivia bermaksud kembali ke ruangannya. Tetapi ada sesuatu
yang mendorongnya untuk menoleh ke area playground, di ayunan panjang tempat Ia
berkenalan dengan salah satu anak didik di kindergarten yang sama bernama
Cherivia, seolah mengharap gadis kecil itu belum dijemput dan Ia bias mengobrol
lagi dengannya.
Harapan
konyolnya terkabul, Cherivia ada di sana. Dia duduk di bangku panjang berwarna
pelangi, di sebelah ayunan panjang. Rambut gadis itu tergerai indah dengan
hiasan jepit-jepit bermotif buah stroberi. Cherivia Nampak menikmati cemilan
dalam kotak bekalnya. Sivia tersenyum geli lebih pada dirinya sendiri, Ia
tertarik pada anak orang. Tidak membuang kesempatan Ia mendekat.
“Pak
Oji belum jemput?” Ia ikut duduk menghadap Cherivia.
Cherivia
dengan mulut yang masih mengunyah permen kacang cokelat warna-warni menoleh.
“Pak Oji nggak jemput. Papi yang mau jemput.”
“Wiihh.
Seneng dong.”
Cherivia
mengangguk-angguk semangat. Gadis kecil itu mengacungkan kotak bekalnya yang
berisi permen kacang cokelatnya menawarkan pada Sivia yang ditanggapi dengan
gelengan lembut.
“Itu
bisa bikin kamu batuk. Kenapa tidak membawa bekal yang lebih sehat saja yang
dibuat sendiri. Umm… kamu pernah mencoba risoles?”
“Apa
itu?”
“Kue
isi yang sangat enak. Mungkin lain kali kamu harus coba.”
“Ibu
guru bisa buat? Via mau coba buatan ibu guru.”
“Gampang.
Kamu main ke rumah saja, nanti aku buatin.”
Setelah
itu Cherivia jadi berhenti makan permen kacang cokelatnya dan mengembalikan
kotak bekal ke dalam tas. Ia beranjak dari bangku, berdiri tepat di depan
Sivia. Menatapnya intens.
“Kenapa?”
Tanya Sivia bingung.
“Mungkin
Mami Via sama cantik kayak ibu guru Via ya?”
“Hah?”
“Papi
bilang, Maminya Via cantik, sama cantik kayak Via.” Cherivia menjentikkan
telunjuknya. “Itu, muka kita kan mirip, bu.”
Tawa
Sivia menyembur seketika. Oke memang, Sivia akui ada kemiripan terutama dalam
bentuk mata mereka. Tapi kan… Sivia tertawa lagi, menertawakan jalan pikiran
anak kecil yang masih lugu. Kemudian tawanya memudar, saat disadari Cherivia mengerucutkan
bibirnya dan mengerutkan alisnya kesal.
“Begini
ya sayang,” Sivia memfokuskan pandangannya pada Cherivia, menghibur. “Mami Via
itu pasti lebih cantik. Walaupun—“
“Via……”
Sivia
tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena ada yang memanggil namanya. Ia
mendongak. “Ya?” Sahutnya.
Tapi
kemudian…
Ia
ragu apa panggilan tadi memang untuknya. Krena ada sosok pria yang Ia kenal
betul berdiri nyata di dekatnya.
Ia
tidak mampu sekedar bergerak, saat melihat sosok pria dari masa lalunya. Ia
lupa bagaimana cara untuk mensuplai udara dalam rongga paru-parunya, ketika
hembusan angin menerbangkan partikel aroma khas pria itu. Di luar kendali,
jantungnya meletup-letup lewat batas tatkala matanya bertemu pandang lagi
dengan mata itu. Tubuhnya terdisfungsi dan bekerja ekstra dalam waktu
bersamaan. Hanya karena kehadiran tak terduga pria itu!
Alvin…
begitu jika Sivia tidak salah ingat namanya.
Memang
pada dasarnya Ia tidak pernah lupa.
“Papiiiiii……”
Lantas
suara girang gadis kecil mengembalikan kesadarannya. Cherivia berlari dengan
keriangan khas anak-anak melompat dan kemudian dia sudah diraup ke dalam
gendongan Papinya. Tanpa malu-malu Cherivia menghujani Papi kecintaannya itu
dengan kecupan-kecupan di seluruh wajahnya. Sivia mengikuti kesemua itu melalui
matanya di ambang kesadaran dalam kebisuan.
====================
Alvin
bersungguh datang menjemput Cherivia kesayangannya. Ia menyayangi anak itu
tanpa batas dan tidak ingin mengecewakannya lagi. Rupanya, ada sedikit
permainan takdir yang tak terduga…
Dari
jauh pun Ia sudah mengenali gadis cilik miliknya. Dilihatnya Cherivia tengah
mengobrol dengan seorang wanita, mungkin ibu salah satu temannya –karena tidak
mungkin itu guru, penampilannya terlalu muda dan anggun-.
Tapi
setelahnya, saat suaranya memanggil Cherivia dengan penuh kejutan, justru Ia
yang dikejutkan balik. Wanita yang sedang mengobrol dengan anaknya menoleh dan
menyahut kata ‘ya’ dengan lembut. Hanya kata itu tapi suaranya seperti
gemerincing genta, menyihirnya.
Alvin
membatu di tempat, kehilangan keping memori di mana pernah mengenali mata
bening yang menatapnya dengan terkejut dan penuh keheranan. Lantas Ia mendesah
dalam hati, tentu saja Ia pernah mengenali mata itu. Sivia… Itu Sivianya.
Sivianya dulu yang Ia rindukan sampai rasanya hatinya berdarah-darah terlampau
merindukan Sivianya!
“Papiiiiii……”
Alvin
tersentak dari lamunan rindunya. Cherivia berlari menyambut kehadirannya. Lalu
Ia sedikit merendah dan mengangkat Cherivia dalam gendongannya. Kebiasaan,
serta merta Alvin dihujani kecupan-kecupan oleh Via kecil.
“Papi
jadi jemput Via yeee. Via sayang Papi.”
Alvin
tersenyum memeluk putri tercinta. “Papi juga sayang kamu.” Lebih terdengar
seperti bisikan, Alvin belum menemukan suara berat seperti biasa.
Tidak
tahan untuk pura-pura acuh, maka ragu-ragu Ia melirik Sivia yang terduduk
mematung. Arah bola matanya ke Alvin dan Cherivia tapi tatapannya kosong.
“Pap,
ini ibu guru Via. Nama kita sama. Kenalan Pap.” Bujuk Cherivia. “Ibu guru ini
Papi Via, akhirnya bisa jemput.”
Alvin
menurunkan Cherivia yang merajuk minta turun.
“Pap…
kenapa bengong, ini ibu guru Via, Papp.” Dasar anak kecil yang tidak tau
keadaan. Cherivia memiliki antusiasme tersendiri dalam kondisi ini.
Alvin
menghela nafas. Tangannya seperti dililit baja ketika mengulur maju. “Hai,
Sivia. Apa kabar?” Lidahnya terasa kelu terjebak basa-basi yang basi ini. Kalau
boleh memilih, Alvin ingin menenggelamkan Sivia dalam pelukannya kemudian
menghujaninya dengan ciuman-ciuman sarat rindu seperti yang sering dilakukan
Cherivia padanya. Untung Sivia menyambut ulurannya meski sedikit ragu. Ketika
mereka berjabat, Alvin merasa tangannya penuh terisi, hangat. Seolah telah
menemukan sesuatu yang sempat sirna darinya.
“Baik.”
“Pap?
Kok tau namanya Sivia?”
“Oh,
ehh… Sivia., ibu guru kamu ini temen Papi dulu.” Hanya teman? Sekarang lidahnya terasa pahit.
“Bener
gitu, bu?” Cherivia beralih pada Sivia.
Bukannya
menjawab, Sivia bangkit dari duduknya lantas tanpa permisi pergi begitu saja
melewati Alvin.
Takdir
benar-benar mempermainkannya.
====================
Cherivia
anaknya. Cherivia anaknya. Cherivia anaknya…
Kesadaran
atas fakta itu membuat hati Sivia ngilu. Tidak perlu test DNA, Sivia yakin
Cherivia putrinya yang Ia tinggalkan empat tahun lalu. Insting seorang ibu
tidak pernah salah kan?
Bibir
bawahnya menjadi pelampiasan sembilu di hati. Belakangan ini, matanya lebih
rajin memproduksi air mata. Menangis atas kejutan yang diberikan oleh penguasa
takdir. Bertahun-tahun Ia berhasil menghilang lalu dipertemukan secara tak
sengaja seperti ini. Jujur saja ada gejolak meletup-letup di ulu hati. Ia
bahagia, Ia sesak, Ia kecewa. Semuanya menjadi satu. Saling berebut demi
mendominasi ego diri. Pada akhirnya, Ia hanya bisa menghindari untuk sementara
ini. Sivia belum siap…
====================
“Papi…”
Alvin
menoleh, “Ya?” Sambil menunggu Cherivia melanjutkan apa yang ingin diucapkan,
Alvin menyuap sesendok asparagus yang dipesannya. Mereka berdua tengah makan
malam roamantis antara ayah dan anak di ruang makan keluarga.
“Pap,
kenapa ibu guru Sivia jadi galak sekarang?”
“Galak?”
Dahi Alvin mengkerut. Memperhatikan mimik Sivia yang memberenggut.
“Nggak
pernah mau nemenin Via nunggu jemputan lagi, nggak pernah nyapa Via. Tadi Via
panggil-panggil dia malah pergi.” Gadis kecilnya sedang kecewa.
Alvin
membersihkan sekitaran mulutnya. Tapi pikirannya berkelana memikirkan
kemungkinan-kemungkinan maksud dari laporan Cherivia. Apakah Sivia bermaksud menghindar? Pertemuan mereka kembali pasti
mengejutkannya, tidak disangkanya. Alvin sendiri begitu…
Namun,
apa tidak ada sedikit rasa keibuannya? Dia bertemu putrinya kembali. Apa itu
tidak menyentuh hatinya sama sekali. Alvin akan berusaha sekuat Ia bisa untuk
tidak menculik Sivia kembali padanya, tapi Ia tidak bisa tinggal diam kalau
Cherivia terlibat dalam kekecewaan seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu.
“Mungkin
ibu guru Via sibuk.”
“Orang
gede selalu sibuk ya, kayak Papi.”
Alvin
tertawa. “Besok, Papi yang jemput ya.”
“Bener
Pap?” Alvin mengangguk. “Sering-sering ya Papi, jangan dua kali aja.”
=====================
Tega?
Jelas-jelas tidak. Cherivia hanyalah gadis kecil yang masih lugu dan polos.
Tapi memang tidak ada rencana lain yang terpikirkan Sivia untuk saat ini.
Terpaksa Ia harus menjaga jarak dengan gadis kecil itu…anaknya.
Sejujurnya,
begitu Ia menyadari Cherivia yang ada di dekatnya adalah putri kandungnya,
Sivia ingin memeluk erat si Via kecil. Membelainya, membuainya ke dalam pusaran
kasih sayang seorang ibu. Hanya saja Ia terlalu gugup, takut, resah. Ia belum
pernah berhadapan langsung dengan anaknya, tidak setelah anak itu bertumbuh.
Pikiran
Sivia beralih ke Alvin… Lelaki itu telah membesarkan putrinya, putri mereka…
dengan baik. Menjadi anak yang lucu, riang, cerdas. Sivia sedikit terenyuh,
jika Ia tidak segera teringat, apa iya
Alvin yang membesarkan Cherivia sendirian? Mungkin ada pendampingnya?...
“Ibu
guru Via..!”
Sivia
tersentak dari pikiran panjang nya. Ia harus sedikit tega, mengokohkan hatinya.
Menjaga jarak dari Cherivia untuk sementara. Maka dari itu Ia terus berjalan
menuju ruangannya, tanpa menghiraukan panggilan Cherivia yang tertelan ramai
riuh canda anak-anak yang berlarian karena sudah waktunya pulang.
Sedikit
kesialan menimpa Sivia siang ini. Kepalanya membentur seseuatu, agak sakit.
“Auw..” Kemudian Ia mendongak hendak meminta maaf telah berjalan terburu-buru ,
sebab yang dibentur kepalanya tepatnya seseorang-. “Ma-af..” Suaranya tertelan
saat mata itu menatapnya.
“Alvin.”
“Aku
tau ini mengejutkan. Setidaknya berdamailah dengan keadaan sekarang ini saja.
Cherivia heran kenapa kamu menghindar.”
“Aku—”
“Aku
tidak akan memberitahunya kalau kamu memang maminya—, kalau itu yang kamu
khawatirkan.”
Sivia
menatap wajah dingin Alvin yang menatapnya balik. Kata-kata Alvin meninju
hatinya.
“Bukan
gitu, Vin. Aku Cuma—”
“Papiii…”
Kehadiran
Cherivia serta merta memecah keheningan mencekam barusan.
“Hei,”
Alvin mengusap kepala Cherivia. “Ayo pulang, langsung makan siang.”
“Iya
Pap, tunggu sebentar.” Cherivia mendongak ke Sivia sekarang. “Ibu guru Via,
tadi Via panggil-panggil kenapa nggak jawab?”
Terdiam
sesaat, kemudian Ia melirik Alvin sedikit. Wajahnya masih dingin, tapi sorot
matanya mengisyaratkan pengharapan. Sivia memutuskan, ada benarnya apa yang
diucapkan Alvin.
“Maaf
ya, tadi ibu guru nggak denger.” Ucapnya ditambah senyum mengikuti cara Alvin mengusap
kepala Cherivia dengan sayang, meski tangannya sedikit gemetar.
Untunglah
Cherivia percaya saja dan binar matanya kembali lagi. “Ibu guru masih sibuk?
Ayo ikut makan siang sama Via sama Papi.”
Tidak
hanya Sivia, Alvin juga melebarkan pupil matanya mendengar itu. Meskipun mereka
sudah dewasa, tetap saja salah tingkah.
“Tapi
Ibu guru masih sibuk. Harus segera pulang, sudah ada yang menunggu di rumah.”
Terimakasih pada otaknya yang dengan sigap mencari alasan. Sivia tidak
sepenuhnya berbohong, karena Gabriel memang sudah berjanji akan ke rumahnya.
“Yaahh.
Kapan…itu bu, kapan Via boleh ke rumah? Mau coba risoles nya?” Cherivia tidak
menyerah.
“Oh
ituu, ya terserah kamu aja, sayang.”
Setelahnya Cherivia
mencium tangan Sivia dan berpamitan, mewakili Alvin yang cuma diam mengamati.
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar