P.S. Author
X: Cerita baru?
A: Yup! Red in White, cerita super pendek dan agak-agak lebay ini author persembahkan untuk para ANH.
X: Dalam rangka?
A: Umm... dalam rangka
merayakan anniv ANH yang udah lewat. (telat banget). Cocoknya sih dalam
rangka mengumpulkan anak2 ANH. Author kangen nih jujur, kangen ANH sama
kangen ALVIA nya juga.
X: Bagus gak ceritanya?
A: Entahlah. Coba
dibaca. Semoga suka sih :p Ohya, bagi yang jago edit coba kira-kira
kasih ilustrasi buat cerpen Red in White ini dong.
Salam kangen dari author {()}
Salam kangen dari author {()}
***
Malam bertabur bintang,
sepertinya ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan malam ini. Malam di
mana banyak bintang papan atas tanah air yang hadir dengan penampilan
terbaiknya, adalah malam penghargaan bagi para insan perfilman
Indonesia. Aktor, aktris, maupun para pembuat film papan atas tentu
tidak melewatkan malam yang penuh dengan antisipasi apresiasi ini.
Berdiri di atas panggung menerima tropi penghargaan memang menjadi
tujuan, tetapi datang untuk mengapresiasi film Indonesia adalah yang
utama.
Semakin malam semakin
ramai. Satu persatu para undangan mulai menampakkan diri mereka.
Berjalan dengan penuh percaya diri seraya menebar senyum. Dan bagian red carpet
selalu menjadi yang sayang untuk dilewatkan. Tetapi tidak untuk aktris
satu ini, Sivia Magneficia Daraja. Sebenarnya Ia lebih memilih untuk
langsung menuju tempat berlangsungnya acara. Hanya saja, sekian banyak
para pemburu berita atau cameraman yang meneriaki namanya, meminta untuk
memberi pose dan senyum terbaiknya. Apa yang bisa dilakukannya selain
menurut dan mencoba megembangkan senyum. Kemudian hujanan kilatan cahaya
kamera nyaris membuatnya pusing.
Seharusnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan bagian red carpet ini. Karena gaun Prada biru gelap telah membungkus tubuhnya dengan sempurna, memamerkan lembut, putih kulit pundaknya. Belum lagi bagian belakang gaun itu yang berpotongan cukup rendah, sehingga memamerkan kulit punggungnya yang berkemilauan. Tidak ada perlakuan istimewa pada tatanan rambut, hanya dibiarkan terurai bebas dan dibentuk bergelombang di ujungnya. Katakan saja Ia berlebihan, sebab malam ini Ia hanyalah menjadi salah satu nominee aktris pendamping terbaik, akan tetapi Ia mengenakan gaun dari salah satu brand langganan bintang Hollywood. Gaun Prada yang Ia kenakan saat ini adalah di luar scenario. Gaun ini begitu saja tiba di kamarnya, dikirim oleh Papinya langsung dari NYC. Dennis Daraja adalah Papi kebanggaannya yang kebetulan kini bertugas di negeri Paman Sam sebagai Diplomat.
"Beautiful."
Sivia menoleh untuk
memastikan bahwa apakah kata itu ditujukan untuknya. Benar. Ada Gabriel
tau-tau sudah berdiri agak dekat dengannya. Lelaki itu sangat tampan
dengan setelan abu-abu gelapnya. Rambutnya disisir rapi mengkilat.
Gabriel Stevenson adalah salah satu nominee untuk actor terbaik. Mereka terlibat dalam satu judul film yang sama yang membawa mereka ke nominasi ini.
"Thanks."
"Mungkin kita bisa membuat sedikit gossip. Agar mereka puas."
Setelah berbicara begitu, Gabriel sudah dengan santai menenggerkan sebelah tangannya pada pinggang Sivia, membuat gadis itu terkesiap sesaat. Lalu kilatan cahaya kamera kembali menyerbu, memanggil-manggil nama mereka agar tepat menoleh ke arah kamera.
"Enough. Can we go?"
Ya Tuhan! Sivia berusaha
agar tidak tampak terlalu bahagia. Ia memang mengagumi Gabriel. Lelaki
itu sungguh mumpuni dalam dunia acting. Beruntunglah Febby yang menjadi
lawan mainnya kemarin.
"Yes. Please."
Sesaat mereka baru akan
beranjak menuju tempat utama acara, John Digit, sutradara yang sedang
naik daun dengan dua film yang masuk ke jajaran nominasi, memanggilnya.
"Sivia."
"Oom John."
"Just John."
"Ok then, John." Sivia tertawa pada laki-laki paruh baya yang masih berjiwa muda itu.
"Selamat untuk nominasinya."
"Thanks. Even Gabriel is greater. Best leading actor."
"I know. Well done, Gab."
"Still learning." Gabriel menjawab dengan senyum rendah hatinya. Bagaimana Sivia tidak semakin mengagumi actor satu ini!
"Well, I wanna talk to you later, Via."
"About what?"
"Later. After party, ok? It's essential."
"Oke."
Dengan begitu, John berpamit terlebih dulu ke tempat utama acara.
"I have a good feeling for it."
Sivia menoleh ke Gabriel, mengernyit. "About that talk?"
"About that talk."
"I don't think so. I-"
Ucapannya terpotong
ketika Ia mendengar suara heboh dari arena red carpet. Sebenarnya tanpa
Ia menoleh pun Ia sudah tau bahwa itu pasti Pricilla Cassania. Tapi Ia
tetap menoleh untuk memuaskan rasa ingin taunya. Benar ada Pricilla
dengan gaun merah hebohnya sedang berpose dan tersenyum kelewat
sumringah ke para pemburu gambar. Dan Sivia menyadari bahwa gadis itu
tidak sendiri. Di sebelahnya ada lelaki yang, well, harus Ia akui memang
sangat sangat tampan, menggunakan setelan hitam dengan dasi bercorak
abu-abu. Pricilla adalah salah satu nominee aktris terbaik yang
disinyalir pasti akan menang. Sementara lelaki itu, Alvin Janson adalah
pesaing Gabriel di nominasi actor terbaik.
"Via?"
Sivia mengembalikan perhatiannya kembali ke Gabriel. "Ya?"
"Kita ke dalam sekarang?"
"Oke."
Sebelum benar-benar
beranjak, Sivia menoleh sekali lagi. Dan entah bagaimana pandangannya
dengan Alvin bertemu di titik yang Ia rasa menjadi pusat antara mereka.
***
Malam beranjak malam
tetapi semangat party masih menggelora di setiap sudut ballroom mewah
ini. Sebuah acara after party yang rutin diselenggarakan setelah acara
penghargaan bergengsi bagi insan perfilman digelar sebelumnya. Ada
beberapa undangan yang masih betah mengikuti acara ini, adapula yang
sudah langsung pamit. Mereka berbaur saling bertegur sapa untuk
mengucapkan selamat bagi para pemenang. Seperti misalnya Sivia
Magneficia. Ia memeluk hangat Eloise Ify, memberinya selamat karena
memenangkan nominasi aktris pendamping, yang membuatnya harus puas hanya
menjadi salah satu nominee nya.
"Congratulation. You made it."
"Thanks." Mereka belum lama saling mengenal. Tapi karena memiliki beberapa kesamaan, Sivia merasa akan cepat cocok dengan Ify.
"Selamat Ify." Seorang
lelaki dengan jas abu-abu gelapnya ikut bergabung memberikan cheers nya
pada Ify. Gabriel Stevenson! Sama seperti dirinya, Gabriel harus berpuas
hanya menjadi nominee. Karena gelar actor terbaik telah disabet
seseorang.
"Gabriel! Thank you." Gabriel memeluk Ify dengan santai. Sivia baru tahu belakangan ini kalau rupanya mereka adalah sepupu.
"You know what, kalian berdua nominee favorit ku. Menang kalah nggak pengaruh!"
"Yeah! The best couple made it!"
Sivia dan Ify tak bisa menahan tawa melihat tingkah Gabriel yang
mencibir dan memutar bola matanya bosan. Kemudian menunjuk pada arah
jarum jam 4, dimana terdapat best couple yang dimaksud. Pricilla Casania
dan Alvin Janson. Mereka memboyong penghargaan aktris dan actor
terbaik. Well, memang Sivia akui mereka hebat. Kemistri sebagai sepasang
kekasih di film terasa benar-benar nyata. Tetapi lama-lama Ia merasa
muak.
Mendengar pemberitaan mereka berdua selama ini sudah memuakkan sekali. Mereka dikabarkan mengalami cinta lokasi. Tetapi ketika diwawancara Pricilla seolah menutup-nutupi tapi seolah mengiyakan. Menyebalkan tidak sih?! Apa salahnya memberitahu berita yang ada dan acara TV tidak melulu diisi dengan penampakannya yang -err- berlebihan. Sementara Alvin dengan tampang sok cool-nya hanya memberi jawaban netral. Yang salah sebenarnya pada media yang terlalu berlebihan atau pada dirinya yang memang sentiment dengan apapun yang berhubungan dengan Pricilla.
"Shoot!" Umpat
Sivia sepelan mungkin. Ketika tanpa diantisipasinya Pricilla berjalan
mendekat dan melewatinya dengan sedikit menyenggol. Ia melihat Ify sudah
siap mengeluarkan cakarnya. Ini yang tak Ia pahami. Nampaknya ada
sesuatu tak kasat mata yang membuat Pricilla juga sentiment padanya.
Baiklah catat! Sivia tidak akan sentiment kalau saja Pricilla tidak
memulai!
"Calm down." Agak
tersentak Sivia merasakan gerakan lembut pada lengannya yang terbuka.
Gabriel menyentuhnya. Sebuah sentuhan penenangan yang membuatnya salah
tingkah. "Thanks".
"Dia agaknya sentiment,
Vi. Kamu mengenakan Prada. Ya Tuhan, Prada! Aku boleh katakan kalau
penampilanmu satu-satunya yang menyainginya."
"Mengalahkannya kalau menurutku." Tukas Gabriel dengan senyum menawannya.
Sivia jadi tersipu.
"Dan membuat kekasih hatinya itu mampu berpaling." Ify terkikik.
"Kekasih hati? Siapa-"
"Here you are."
Sivia menoleh saat
mendengar suara John Digit. John adalah salah satu sutradara yang
memiliki pengaruh besar dalam perfilman Indonesia. Lelaki hampir paruh
baya itu beberapa kali berhasil memenangkan penghargaan tapi tidak untuk
tahun ini.
"John." Ia beserta Ify dan Gabriel kompak menyapa balik.
"By the way, congratulation my dear Ify!"
"Thank you John." Ify
memeluk John dengan sopan. "Mungkin bisa invite aku di next project?
Udah dapet award loh ini." Ify menertawai keterpercayaan dirinya
sendiri. Sivia, Gabriel, dan John jadi ikut tertawa.
"Let's see."
Sivia yakin kalau tidak
sedang di pesta, Ify pasti sudah melonjak kegirangan atas ucapan John
yang nampaknya memberi harapan terbuka itu.
"Sivia, masih inget
pembicaraan kita tadi?" John beralih menatap Sivia, memulai pembicaraan
seriusnya, membuat Gabriel dan Ify ikut mendengar dengan penasaran.
"Inget. Jadi...?"
"Bener kata Ify, I have a next project. Adaptasi novelnya mbak Santhy Christi. I personally invite you to join the audition for the leading actress."
Sivia menahan nafasnya sesaat, meyakinkan sekali lagi pendengarannya. "Me?"
"You!"
"Wouw." Ify melebarkan matanya heboh.
"I told you." Timpal Gabriel menyatakan kebenaran firasatnya.
"Tapi itu novel
best-seller bukan, John? Apa yakin kalau aku-". Sivia masih butuh
diyakinkan. Ia tau bahwa ada novel Santhy Christi yang sedang ramai
dibicarakan, Red in White.
"I am. Aku rasa bahkan enggak usah ada audisi buat kamu. If you will, you are in."
"What?!" Ify
menyuarakan keterkejutannya atas ucapan John. Ia sendiri masih sulit
menemukan akal sehatnya. Jadi ini talk yang dimaksud essential oleh John
tadi.
"Gimana?"
Tentu saja Sivia tidak
akan melewatkan kesempatan ini! Entah kenapa Ia yakin dengan project
ini. Di-sutradarai John Digit atas adaptasi novelnya Santhy Christi!
Sesuatu baik pasti telah Ia lakukan karena karmanya Ia terima sekarang.
"Say yes, Vi." Desak Ify dengan semangat. Sementara Gabriel memberinya sebuah senyuman penyemangat.
"Oke. I'm in."
John menaikkan alisnya merasa puas. "Aku tau kamu enggak nolak."
"I hope I won't disappoint you."
"You won't."
"John, I wonder kenapa kamu nggak nawarin ini ke the winner?" Tanya Ify setengah berbisik menunjuk Pricilla -yang asik bercengkrama dengan artis-artis lain- dengan dagunya
"I prefer something new, something hidden beautifully."
"You come to the right person." Tambah Gabriel yang entah bagaimana membuat Sivia merasakan panas di pipinya.
"But I do with another winner."
Sivia kembali memusatkan perhatiannya pada John menanyakan maksud ucapannya. "What is that mean?"
Bukannya menjawab John
malah melambaikan tangannya tinggi-tinggi, meletakkan pandangannya ke
arah belakang Sivia. Sivia menoleh penasaran. Oh rupanya John
melambaikan tangannya pada lelaki yang menjadi bintang malam ini, Alvin
Janson. Dan lelaki itu, dengan sebelah tangannya di dalam saku celana
sementara tangan satunya lagi memegang gelas kaca dengan sangat elegan,
berjalan mendekat ke tampat di mana Sivia dan yang lainnya berdiri.
"John." Ucap Alvin. Sesaat Ia melempar pandangan menyapa pada Ify, Gabriel, juga Sivia sendiri, dan mencoba menarik senyum simpel.
"Alvin, we're talking about the project, you know. Dan aku sudah mendapat lawan main kamu nanti."
Wait, what?!!
"Sivia, ini Alvin lawan main kamu di project nanti. Dan Alvin, ini Sivia."
Sivia belum pulih dari keterkejutannya sehingga membiarkan tangan Alvin itu menggantung menunggu uluran perkenalannya disambut.
"Sivia." Dan tanpa ada
yang tahu bahwa Sivia sedang berusaha menepis getar rasa aneh yang
menyenangkan saat tangan mereka berjabat.
"Alvin." Mereka berjabat
untuk sekian detik. Dan dengan nakal Alvin melirik leher indah Sivia
yang terpampang mulus berhiaskan sebuah kalung emas putih.
Kalau tidak Gabriel yang
berdeham, Alvin pasti tidak akan melepaskan pandangannya. Dan tiba-tiba
saja Sivia merasa gatal pada lehernya.
"Aku sudah membuat
kalender kerja untuk project Red in White ini. Minggu depan kita
meeting. Aku boleh saja tidak membawa pulang apapun malam ini, tapi ku
pastikan tahun depan aku memborongnya bersama kalian." Tukas John penuh
ambisi. "Mohon kerjasamanya."
John mengajak Sivia,
Alvin, Gabriel, juga Ify untuk cheers bersama. "Gab, Ify, datanglah saat
audisi. Aku berjanji ini akan jadi project yang menyenangkan." Kalau
John sudah punya tekad, pasti selalu ada jalan.
Kemudian mereka terlibat obrolan ringan sebelum John undur diri menemui rekannya yang lain. Begitupun Gabriel dan Ify yang disapa oleh Mario, salah satu penyanyi pria solo profesional. Mario memutuskan mengajak Gabriel dan Ify mmengobrol secara pribadi untuk meminta mereka membintangi salah satu video musiknya.
Kemudian mereka terlibat obrolan ringan sebelum John undur diri menemui rekannya yang lain. Begitupun Gabriel dan Ify yang disapa oleh Mario, salah satu penyanyi pria solo profesional. Mario memutuskan mengajak Gabriel dan Ify mmengobrol secara pribadi untuk meminta mereka membintangi salah satu video musiknya.
Menyisakan Sivia dengan Alvin. Berdua.
"Aku tidak mengerti kenapa John harus mengajak Gabriel dalam projectnya juga. Dia masih harus melatih aktingnya, kurasa."
"Maksudmu?"
"Lupakan."
Dan entah bagaimana,
Sivia menjadi sedikit tersulut emosinya. Nada bicara Alvin tadi sangat
kurang ajar. Seolah meremahkan Gabriel. Sementara Sivia mengidolakan
Gabriel. Ya Tuhan! Ia harus membela Gabriel.
Baru Ia akan mengeluarkan apa pendapatnya, tanpa permisi, tahu-tahu Alvin beranjak menjauh dari sisinya. Menyadari itu, Sivia berusaha mengejarnya meski tetap dengan langkah berhati-hati mengingat Ia masih mengenakan gaunnya yang anggun ini.
Baru Ia akan mengeluarkan apa pendapatnya, tanpa permisi, tahu-tahu Alvin beranjak menjauh dari sisinya. Menyadari itu, Sivia berusaha mengejarnya meski tetap dengan langkah berhati-hati mengingat Ia masih mengenakan gaunnya yang anggun ini.
Punggung Alvin semakin terlihat setelah Ia agak mempercepat langkahnya dengan semangat berkobar untuk sedikit memberi pelajaran pada Alvin. Rupanya Alvin keluar ballroom. Ia melihat lelaki itu menuruni tangga yang menghubungkan ruang pesta tadi dengan taman hotel. Lelaki itu sedang menyesap minuman berwarna merah pekat pada gelas kacanya.
"Maaf sebelumnya, tapi aku tidak terima tentang pendapatmu mengenai Gabriel tadi."
Seketika Alvin berbalik. Pandangan tenang dan tajamnya langsung menghunus mata hitam bening Sivia.
"Kamu repot-repot
mengikutiku kemari hanya untuk mengucapkan pembelaan untuk Gabriel."
Tukas Alvin tidak habis pikir. Kemudian tertawa remeh. Meletakkan gelas
dalam genggamannya pada meja kecil di dekatnya, lalu memasukan kedua
tangannya ke dalam saku celana.
"Karena aku mengidolakannya."
"Aku tahu." Perlahan Alvin mendekatinya. "Dan karena itu aku tidak suka dia ikut project John."
"Maksudmu?"
"Aku khawatir kemistri kita tidak terbentuk kalau lawan mainku justru mengidolakan pemain lainnya."
"Bukankah kamu si aktor
terbaik? Kenapa harus khawatir tentang hal remeh itu? Lagi pula aku
profesional." Suara Sivia menghilang di ujung kalimat. Tangan Alvin yang
tahu-tahu sudah mendarat di punggungnya yang terbuka membuatnya
dikejutkan oleh sesuatu yang aneh. Sialnya, Sivia baru sadar kalau Alvin
sudah berada terlalu dekat dengannya. Di depannya. Tanpa sekat. Kecuali
kalau udara malam dapat dikatagorikan sebagai sekat.
Dan kata-kata Alvin yang meluncur selanjutnya, dengan lembut membelai telinganya. Membuatnya lupa untuk berpijak.
"Tadi, ketika kamu turun
dari mobil, berjalan menuju red carpet, tertimpa cahaya kamera, aku
memutuskan bahwa kamu harus menjadi pemeran utama terbaik tahun
berikutnya, bersamaku, di project John."
Sivia membasahi bibirnya
dan tenggorokannya yang serasa mengering. "Ya." Jawabnya impulsif
dengan suara serak. Alvin menghipnotisnya.
"Kita akan bekerja sama."
"Ya."
Dari jarak sedekat ini, Sivia dapat melihat senyum tipis Alvin tersungging. Dan mata lelaki itu berpijar, nakal.
"Ada baiknya jika membangun kemistri sejak dini."
Setelahnya, Sivia
merasakan kecap anggur merah pada bibirnya. Dan itu bukan berasal dari
minumannya langsung. Itu bibir lembut Alvin yang menempel pada miliknya,
yang kemudian bergerak lembut. Ciuman yang sangat sopan. Pikir Sivia.
Alvin melepas ciumannya ketika tangannya sendiri sudah mulai gatal membelai punggung Sivia. Jangan sampai lepas control.
"Sepertinya aku tidak
perlu khawatir soal kemistri lagi." Gumamnya dengan suara serak. Ciuman
mereka benar-benar mempengaruhinya.
"Apa kamu selalu
melakukan ini dengan lawan mainmu sebelumnya?" Tanya Sivia. Jemarinya
reflex bergerak mengusap bibir Alvin yang mencuri warna lipstiknya,
membersihkannya.
"Tidak."
"Pricilla?"
"Tidak."
Dan Sivia tidak tahu
harus menanggapi apalagi. Kenyataan bahwa Alvin adalah si actor terbaik,
yang memungkinkan Ia sedang ber-akting di hadapannya kini membuatnya
tidak terlalu berharap.
What? Berharap?!
"Oh shoot. Ada
wartawan Alvin." Ujarnya kemudian ketika merasakan ada kilatan lampu
kamera menerpa mereka. Ia berusaha membenarkan posisinya.
"Tetap diam."
"What? No. Bisa muncul gossip besok."
"Itu pekerjaan mereka."
"Kamu akan lelah untuk pura-pura tidak menanggapi gossip lagi, seperti gossipmu dengan Pricilla kemarin-kemarin."
"Aku akan menanggapinya kali ini. Dan aku tidak akan menyangkal."
Kemudian bibir Alvin kembali menemukan bibirnya.
_____
"Mereka bahkan belum on-screen." Ujar John.
"Mereka bahkan baru berkenalan secara resmi." Sambung Ify.
"Tapi aku tahu, Alvin tidak melepas pandangannya dari Sivia sejak acara ini dimulai." Gabriel berkomentar.
"Aku jadi optimis dan tidak sabar pada project Red in White ini." Tandas John.
Mereka bertiga sedang mengintip sepotong adegan antara dua calon pemeran utama Red in White nanti. Well. A good rehearsal.
Regards,
Love & beloved's author
Ngg update lagi kk?
BalasHapusKeren loh ceritanya