FF Special #3asANH
[Karya: Desmira Feri S]
Sivia terkejut
ketika dirinya tahu-tahu terbangun di sebuah kamar mewah yang sama
sekali tak dikenalinya. Sebuah kamar besar bergaya Eropa dengan warna
putih gading yang mendominasi. Dindingnya terbuat dari beton tebal.
Pintunya lebar dan tinggi, cukup untuk memasukkan seekor jerapah.
Lantainya terbuat dari marmer. Ada satu jendela besar dan panjang di
belakang ranjang tempat Sivia tidur. Dan ketika Sivia melongok keluar
jendela itu, jantungnya hampir saja lepas. Kalau-kalau Sivia lupa ini
sebuah rumah, dia mungkin akan berfikir dia sedang ada di sebuah pesawat
yang sedang terbang. Sivia hampir tidak bisa melihat rumah-rumah di
bawah sana saking tingginya bangunan ini.
Dan, oh, tunggu. Gaun
yang melekat di tubuhnya! Dia tidak pernah merasa punya gaun tidur
seindah dan senyaman ini. Yah, dia memang seorang putri, tapi sungguh,
semua gaun tidurnya sudah membuat dia bosan. Tapi ini? Punya siapa? Dan
yang paling penting, SIAPA YANG MENGGANTI BAJUNYA DENGAN GAUN TIDUR INI?
Sivia
sedang mencoba untuk tidak berfikiran buruk ketika pintu kamar yang
besar dan tinggi itu terbuka. Sesosok manusia masuk dengan selusin
penjaga dan pelayan rumah di belakangnya. Sivia tidak bisa mengenalinya.
Dia memakai jubah hitam lengkap dengan penutup kepala. Setengah
wajahnya tertutup slayer hitam. Otomatis Sivia cuma bisa melihat
matanya.
Tidak mungkin! Mata itu...
“Ternyata lo udah
bangun? Gimana tidurnya? Kebo banget, sih, lo jadi cewek?” sesosok
manusia yang ternyata cowok itu duduk di sebuah kursi tepat di depan
ranjang Sivia.
Dia lalu menjentikkan jarinya, dan setengah lusin
pelayan rumah yang dia bawa mendekati ranjang Sivia. Pelayan pertama,
mengikat rambut Sivia yang terurai sampai ke punggung. Pelayan kedua,
menggulung lengan baju Sivia sebatas siku. Pelayan ketiga menyingkap
selimut dari badan Sivia. Pelayan keempat, menaruh meja makan lipat di
depan Sivia. Pelayan kelima, menaruh makanan dan minuman ke meja itu.
Dan yang terakhir, menyerahkan sendok dan garpu ke Sivia sambil
mempersilahkannya makan.
Sivia sampai pusing melihat pertunjukkan di depannya. Please, di istananya saja, dia tidak pernah dilayani seberlebihan ini.
“Lo siapa?” Akhirnya, bisa juga Sivia bersuara setelah sejak tadi bengong di depan orang-orang asing ini.
“Gue?...” cowok itu menunjuk dirinya sendiri, “takdir lo.”
“Ha?”
Cowok
itu mendekat ke arah Sivia sambil lagi-lagi menjentikkan jarinya.
Selusin pelayan dan penjaga itu kemudian keluar dan menutup pintu kamar.
Oh, tidak...
“Lo nggak ngerti apa itu takdir? Oke. I’m your destiny. Ngerti?”
Sivia
menggeleng. Dan tiba-tiba saja cowok itu tertawa keras sampai duduk
terbungkuk-bungkuk di depan Sivia. Apanya yang lucu coba?
“Lo lucu banget, sih. Gue boleh ya, nyium lo?”
Hei,
hei, hei. Apa-apaan, sih, ini cowok. Sembarangan saja dia bilang
begitu. Dia nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa rupanya. Asal dia
tahu, Sivia itu seorang putri, princess.
PRINCESS!
Mana boleh dicium sama sembarang cowok.
“Lo kalo ngomong jangan sembarangan, ya. Lo nggak tahu siapa gue?”
“Tahu kok, makanya gue berani ngomong gitu.”
“Maksud lo?”
“Ya
karena lo takdir gue, makanya gue boleh nyium lo. Boleh, ya?” Cowok itu
semakin mendekat, kedua matanya mengerling lucu. Sivia merangsek
mundur. Merapat ke sandaran tempat tidur.
“Heh. Jangan sembarangan, ya, lo. Gue jago karate tahu.”
“Sama, gue juga. Nggak cuman karate, sih. Gue juga bisa silat, taekwondo, judo, kungfu. Sumo juga bisa. Kapan-kapan kita battle mau?”
Sableng ini cowok.
“Lo siapa, sih? Gue lagi dimana? Kenapa gue bisa disini? Kemana orang tua gue?”
Mata cowok itu tiba-tiba meredup. Tapi sedetik kemudian kembali bersinar. Bukan saat yang tepat, pikirnya.
“Mending sekarang lo makan.” Cowok itu menyodorkan meja makannya.
“Nggak mau. Gue nggak mau makan sebelum lo ngasih tahu siapa lo.”
Cowok itu mengangguk-angguk, sok mikir. “Lo beneran mau tahu siapa gue?”
Sivia mengangguk.
“Lo beneran mau lihat wajah gue?”
Sivia mengangguk lagi. Mulai kesal.
“Tapi gue nggak tanggung jawab, ya, kalo habis itu lo tiba-tiba naksir atau bahkan tergila-gila sama gue?”
Sivia mengangguk lagi.
Sambil pengen muntah.
“Oke, kalo itu yang lo mau.”
Dalam
satu tarikan, cowok itu melepas penutup kepala dan slayernya. Giliran
Sivia yang tiba-tiba kaku melihat wajah cowok di depannya. Wajah cowok
itu bersinar. Benar-benar bersinar. Yah, Sivia lupa kalau matahari pagi
di luar sana sedang naik dan cahayanya masuk ke jendela di belakangnya.
Tapi
bukan itu yang membuat Sivia diam. Bukan itu. Tapi wajah itu. Wajah
itu, Sivia pernah melihatnya. Tapi, dimana dan kapannya, Sivia sama
sekali lupa.
“Kan. Apa gue bilang. Lo pasti jadi diem gitu gara-gara naksir mendadak lihat wajah gue. Iya, kan?”
Ingin rasanya Sivia nonjok wajah cowok itu. Tapi, sekarang tangannya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lagian, Sivia bukan princess yang sekejam itu sama orang lain. Apalagi orang lain itu tampan, saaaaaangat tampan.
Tapi,
ketampanan cowok ini beda. Dia, seperti bayi berukuran besar. Wajahnya
lonjong, dengan kulit putih bersih dan hidung mancung. Kedua matanya
berwarna biru, mengingatkan Sivia akan laut yang sangat tenang. Dan
ketika kau melihat wajahnya yang lucu itu, pasti rasanya pengen nyubit.
Kayak Sivia sekarang. Bukan nyubit, sih, tapi nonjok.
“Gue...,
pernah lihat lo.” Terbata, Sivia menatap lurus-lurus wajah cowok itu.
Sambil berusaha mengumpulkan memorinya tentang wajah yang familier ini.
Cowok itu menjentikkan jarinya lagi sambil tersenyum. “Tepat sekali. Gue seneng lo masih inget gue.”
“Memangnya kita pernah ketemu?”
“Bukan pernah, tapi sering.”
“Tapiii, kenapa gue sama sekali nggak inget? Dimana kita pernah ketemu?”
Cowok
itu tersenyum lembut sambil meraih tangan Sivia dan menaruhnya di atas
meja. Sivia diam dengan perlakuan cowok itu. Semua ini masih membuatnya
bingung. Dan dia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.
“Mending sekarang lo makan dulu. Abis itu, gue bakalan ceritain semuanya, ya?”
“Tapi, Alvin, sebenernya apa yang terjadi sama gue?”
Cowok itu terkejut. Dia menatap Sivia sambil tersenyum lebar. “Gue nggak nyangka lo inget nama gue. Gue seneng banget.”
“Ah...” giliran Sivia yang terkejut dengan dirinya sendiri. Ngomong apa dia tadi? Dan kenapa dia bisa tahu nama cowok ini?
“Kok..., gue tahu nama lo? Lo tadi belom ngasih tahu gue, kan? Kenapa...”
Suara
Sivia mendadak hilang ketika sesendok penuh nasi masuk ke mulutnya.
Cowok itu nyengir. “Lo makan dulu aja. Nanya-nanyanya ntar. Oke?”
Sivia merengut.
***
Sivia
menghampiri Alvin yang tengah berdiri di pembatas balkon kamar. Tadi
dia dipaksa makan sama Alvin. Dan setelahnya, dia harus mandi dengan
ditunggui oleh setengah lusin pelayan perempuan Alvin di depan pintu
kamar mandi. Waktu ganti bajupun, pelayan-pelayan itu sama sekali tidak
mau pergi. Sivia jadi tahu kalau pelayan-pelayan itulah yang mengganti
bajunya dengan gaun tidur yang indah itu. Syukurlah!
Sivia
mengamati Alvin dari belakang. Punggung itu, kenapa Sivia begitu
familier? Dan kenapa Sivia bisa merasakan kalau punggung kokoh itu
pernah melindunginya? Sebenarnya ada apa? Alvin itu siapa?
“Sivia,
udah selesai?” Alvin menatap Sivia yang sedang melamun. Sivia tersenyum
kecil sambil mendekati Alvin. Dia harus mendapat penjelasan sekarang
juga.
“Emang, ya, takdir nggak pernah salah.” Alvin tersenyum
lembut sambil menyapukan punggung jari telunjuknya di pipi Sivia. Kaget,
Sivia mundur selangkah.
“Maksud lo?”
“Gue tampan, dan gue punya takdir secantik lo. Takdir emang selalu bener, kan?”
Cuih.
Sivia nggak butuh takdir-takdir itu. Sivia cuma butuh penjelasan.
“Gue butuh penjelasan sekarang juga. Gue pengen pulang dan ketemu orang tua gue. Dimana mereka, Alvin?”
Alvin duduk di sofa panjang di depan pintu balkon. “Duduk sini, Sivia.”
Sivia nurut. Duduk menghadap Alvin sambil memeluk lutut. Alvin tahu-tahu tersenyum melihat Sivia. “Kenapa senyum-senyum?”
“Gue jadi inget waktu pertama kali nemuin lo.”
“Oh ya?”
Alvin mengangguk. “Sivia, sebelum gue jelasin semuanya ke lo, gue mau nanya sama lo. Lo bener-bener nggak inget siapa gue?”
Sivia menggeleng. Alvin menarik nafas. “Tapi kenapa lo inget nama gue?”
“Nggak tahu, reflek aja nyebut nama lo tadi.”
Alvin tersenyum lagi. “Mungkin itulah yang namanya takdir.”
Aaah,
Alvin ini. Dari tadi ngomongnya takdiiiiiir terus. Sivia itu nggak
butuh takdir-takdiran, Sivia cuma butuh penjelasan. PENJELASAN!
“Karena
semuanya emang berawal dari takdir, Sivia, kenapa lo bisa disini.” Ujar
Alvin, seperti tahu apa yang sedang Sivia pikirkan.
“Iya-iya,
takdir. Oke, gue ngerti. Sekarang lo jelasin semuanya!” Sivia memilih
mengalah. Dia tidak mau tonjok-tonjokkan sama Alvin hanya gara-gara
debat masalah takdir.
“Lo bener-bener nggak inget pertama kali kita ketemu?”
Sivia
menggeleng pelan. Sungguh, dia tidak ingat apa-apa sekarang. Selain dia
adalah seorang putri dari sebuah polis. Dan dia masih punya orang tua
lengkap yang sekarang entah dimana.
“Berarti sihir dari Polis Barat memang benar.”
“Sihir?
Polis Barat?” Sivia makin bingung. Selain takdir, kenapa Alvin
menggunakan kata-kata yang sama sekali tidak Sivia pahami?
“Polis
Barat menggunakan salah satu sihir terlarang untuk menghilangkan ingatan
lo, Sivia. Supaya polis kita tidak bisa bersatu.”
“Jelasin dari awal, Alvin! Gue sama sekali nggak ngerti.”
“Begini. Polis kita, ditakdirkan untuk bersatu lewat kita...,”
“Maksudnya “kita”?” Sivia jadi ngeri dengan apa yang akan Alvin jawab. Jangan bilang kalau...
“Iya, kita bakalan mempersatukan polis kedua orang tua kita dengan pernikahan. Kita bakalan nikah.”
“Tapi, Alvin, kenapa gue...”
“Sivia,
tolong dengerin gue dulu. Jangan potong omongan gue sebelum gue selesai
cerita. Lo boleh nanya apa aja nanti kalau gue udah selesai. Mengerti?”
Sivia mengangguk.
Alvin
memulai cerita. “Di dunia kita, sejak dulu seluruh polis dipimpin oleh
dua polis lain sisi yang bersatu lewat anak-anaknya. Polis lo, Polis
Selatan dan polis gue, Polis Utara mendapat giliran memimpin selama abad
ketiga ini. Tapi, Polis Barat, yang selama abad kedua lalu memimpin
bersama Polis Timur, nggak pengen kekuasaannya hilang. Mereka pengen
terus memimpin, makanya mereka menyihir lo supaya lo kehilangan sebagian
ingatan lo. Lo cuma inget kalau lo itu adalah seorang putri dari Polis
Selatan. Lo sama sekali nggak tahu apa yang terjadi dengan polis-polis
lainnya. Dengan begitu, polis kita nggak akan bersatu dan memimpin
polis-polis lainnya.”
“Kenapa gue, Vin?”
“Karena lo bisa
melihat masa depan, Vi. Dan mereka tahu. Mereka lalu menghilangkan
sebagian ingatan lo, masuk ke alam bawah sadar lo dan mengubah sebagian
masa depan polis-polis di dunia kita.”
“Apa yang mereka ubah?”
“Mereka
mengubah masa depan dimana kedua polis kita memimpin. Mereka
mengubahnya dengan sebuah penyerangan ke polis lo. Saat itulah, gue
nemuin lo. Sedang duduk memeluk lutut sambil menangis ketakutan. Waktu
itu lo masih kecil, mungkin tujuh tahun.”
Sepuluh tahun lalu. Sivia mencoba mengingat semuanya. Tapi gagal. Malah kepalanya jadi terasa berat.
“Jangan, Sivia. Gue nggak mau lo kesakitan.”
Alvin mengenggam tangan Sivia yang mencengkeram kepalanya. Sakit. Kepala Sivia benar-benar sakit dan berat.
“Sini!”
Alvin
menarik Sivia ke sampingnya. Menaruh kepala Sivia ke pundaknya lalu
menepuk-nepuk lengannya. Sivia tersenyum kecil. Kenapa rasanya nyaman
sekali? Dan kemana rasa sakit yang tadi menyerang kepalanya?
“Gimana cara lo nemuin gue? Dan kenapa gue sama sekali nggak inget siapa lo?”
“Kita
emang nggak pernah ketemu secara langsung. Gue masuk ke alam mimpi lo,
Sivia. Gue waktu itu sedang jalan-jalan di alam mimpi. Lalu diantara
mimpi-mimpi banyak orang, gue melihat lo. Lo lagi nangis ketakutan. Gue
menghampiri lo. Dan waktu gue lihat wajah lo, gue langsung tahu kalo lo
adalah takdir gue. Tahu-tahu, lo meluk gue sambil nangis...”
“Apa? Gue langsung meluk lo?”
Alvin
tersenyum geli mengingatnya. Waktu itu Sivia benar-benar ketakutan. Dan
tahu-tahu tubuh Alvin ditubruk Sivia dan dipeluknya. Erat sekali.
“Iya,
mana lo peluknya kenceng banget lagi. Gue sampe sesak napas, tahu.”
Pelan, Alvin menjitak kepala Sivia. Membuat Sivia merengut.
“Terus, abis itu?”
“Abis
itu, gue sering banget masuk alam mimpi lo. Ngajak lo jalan-jalan
supaya lo nggak inget terus sama bayangan masa depan polis lo. Lo pernah
waktu itu minta gue buat gendong lo di punggung. Tahu nggak? Ternyata
kecil-kecil begitu, badan lo tu berat, tahu.”
Sivia merengut lagi. Iya, badan dia memang kecil tapi berisi. Dia memang punya hobi makan, sih.
Ah, pantas saja Sivia seperti pernah memeluk punggung itu. Memang benar. Alvin pernah menggendongnya di punggung.
“Kenapa orang tua gue nggak berusaha ngubah masa depan itu lagi?”
“Nggak
semua penduduk polis punya kemampuan itu, Sivia. Hanya ada satu orang
yang bisa. Dan sayangnya, orang itu berpihak ke Polis Barat.”
“Apa orang tua gue tahu semua ini?”
“Nggak. Sampai kejadian itu benar-benar terjadi...,”
“Maksud
lo?” Perasaan Sivia tiba-tiba takut. Dia menarik kepalanya dan menatap
Alvin yang sedang menunduk dan terlihat memikirkan sesuatu.
“Alvin, apa yang terjadi?”
“Kalo lo bisa lihat masa depan, maka gue bisa lihat masa lalu, Sivia. Semuanya.”
“Jadi, lo bisa ceritain semuanya ke gue?”
Alvin menggeleng. “Gue bakalan tunjukkin ke lo semuanya.”
Alvin
berdiri lalu menarik tangan Sivia. Dia memeluk pundak Sivia erat-erat.
Lalu, tahu-tahu tubuh Sivia serasa melayang di udara. Sekelilingnya
berubah. Bukan lagi balkon kamar yang tadi. Tapi Sivia ada di udara di
atas istananya sendiri. Istananya yang sedang diserang oleh orang-orang
yang tak dia kenali.
Seluruh bangunan istananya hancur. Hanya
tinggal menara tempat dia dan kedua orang tuanya tinggal. Lalu tiba-tiba
dia sudah berada disana. Menyaksikan kedua orang tuanya bertarung
melawan orang-orang asing itu. Lalu dia melihat dirinya sendiri, sedang
tertidur di ruangan lainnya yang dia kenali sebagai kamarnya. Lalu
tiba-tiba ada Alvin yang datang dari jendela kamarnya dan langsung
membawanya keluar. Alvin tiba-tiba terjun dari menara setinggi seratus
meter itu dengan Sivia yang tertidur di pundaknya. Dan entah bagaimana
caranya, tahu-tahu mereka sudah ada di atas punggung seekor kuda putih.
Lalu
keadaan berubah. Mereka ada di luar istana Sivia lagi. Semua
bangunannya hancur. Tubuh-tubuh yang mungkin sudah tak bernyawa
tergeletak dimana-mana. Tapi orang-orang asing itu masih saja
menghancurkan semuanya. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Atau
seseorang...
Tepat saat tubuh Sivia limbung karena lemas, semuanya menghilang. Dia berada di balkon kamar rumah Alvin lagi.
“Alvin..., rumah gue...,”
“Tenang,
Sivia. Keadaan yang sekarang udah jauh lebih baik. Istana lo sedang
dalam proses pemulihan sekarang.” Alvin menahan tubuh Sivia, lalu
membimbingnya kembali duduk di sofa.
“Ayah..., Ibu...,”
“Mereka baik-baik aja. Mereka sedang dirawat disini.”
“Gue
mau lihat mereka, Alvin. Dimana mereka?” Sivia berontak dari pelukan
Alvin. Tapi tubuhnya yang masih lemah karena pemandangan mengerikan yang
dia lihat tadi membuatnya kembali terduduk di sofa.
“Mereka baik-baik aja, Sivia. Lo nggak usah khawatir. Ahli pengobatan istana gue melakukan tugasnya dengan baik.”
“Tapi, kenapa orang-orang tadi masih ada di istana gue? Bukankah semuanya udah hancur?”
“Karena mereka belum menemukan yang mereka cari.”
“Apa?”
“Bukan
apa, tapi siapa. Mereka nyari lo, Sivia. Dengan membunuh lo, polis kita
tidak bisa bersatu dan mereka bisa berkuasa lagi.”
“Jadi, lo udah nylametin gue dan semua polis dari kejahatan Polis Barat?”
“Yaah, bisa dibilang begitu.”
Alvin
memutar tubuhnya hingga menghadap Sivia. Dia meraih kedua tangan Sivia
dan menggenggamnya. “Sekarang, cuma satu yang bisa lo lakuin agar dunia
kita tetap selamat.”
“Apa?”
“Nikah sama gue. Ayo!” Alvin berdiri dan menggandeng Sivia keluar kamar. Sivia terbengong-bengong sampai bingung mau bilang apa.
“Sekarang?”
“Iya. Di depan kedua orang tua kita. Mereka ada dibawah. Mereka pasti seneng lo udah siuman, dan...”
Sivia
tidak lagi mendengar apa yang Alvin ucapkan. Yang ada di benaknya
sekarang adalah masa remajanya yang akan direnggut oleh Alvin. Oh, come on,
dia baru tujuh belas tahun, dan harus menikah di usia segitu? Dengan
orang yang baru saja dia temui hari ini (kalau di alam mimpi tidak bisa
dibilang bertemu)?
Sivia pasrah. Menatap tangan kanannya yang digenggam Alvin dengan perasaan campur aduk.
END.
P.S.
Polis adalah negara kota di wilayah Yunani. Contoh: Athena, Sparta, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar