Di hari Sabtu ini Sivia, Ray,dan kedua orangtua mereka pergi ke
Bandung untuk menghadiri pernikahan saudara.Seperti biasa, jalanan
Bandung akan sangat padat saat weekend. Sivia yang duduk di kursi
belakang kini sedang merutukidirinya yang bangun kesiangan hingga ia
tidak sempat untuk mengisi batteryiPhone-nya. Jadilah sekarang
iPhone-nya hampir mati karena kehabisan
battery.Padahal tempat tujuan masih jauh dan juga jalanan sangat macet.
Apalagiternyata tidak ada yang membawa powerbank! Dan belum sempat Sivia
memberitahuAlvin bahwa iPhone-nya lowbat, ternyata iPhone-nya sudah
mati terlebih dahulu.Sivia pun menoleh ke samping dan melihat Ray juga
sedang sibuk denganiPhone-nya.
“Ray.” Panggil Sivia sambilmenyikut adiknya itu.
“Hm.”
“Pinjem HP dong.”
“Buat apa?”
“BBM Alvin.”
“Gue lagi chatting sama Acha.”
“Bentar aja.”
“Males.”
“Pelit banget sih!”
“Biarin.”
Sivia
pun cemberut merasa kesaldengan Ray. Padahal Sivia hanya ingin
memberitahu Alvin bahwa iPhone-nya mati agarAlvin tidak bingung karena
Sivia tidak membalas chatnya. Sivia pun menoleh kedepan dan melihat
mamanya.
“Ma.”
“Ya, sayang?”
“Pinjem HP dong.”
“Buat apa?”
“BBM Alvin.”
“Emang iPhone kamu kenapa?”
“Mati. Battery-nya habis.”
“Yaudah
nih.” Sivia langsungtersenyum begitu menerima iPhone mamanya. Dan
untunglah di kontak iPhonemamanya ada nomor Alvin. Sivia pun mengirim
SMS ke Alvin.
Me:
Hpku matiii. – sivia
Tidak lama Alvin sudahmembalasnya.
Alvin:
Dasar.
Me:
Yaudah nanti aku kabarin kalauudah nyampe.
Alvin:
Masih lama?
Me:
Masih.
Alvin:
Video call ya?
Me:
Nanti ajaaa kalau udah nyampesana.
Alvin:
Sekarang aja.
Me:
Nanti aja!
Alvin:
Yaudah telpon aja?
Me:
Nanti aja kalau udah nyampeeeee!
Alvin:
Tapi aku kangen
“Hpnya mama dong, Vi. Mama mautelpon tante Santi.” kata mama Sivia. Sivia pun buru-buru membalas pesan Alvin.
Me:
Pokoknya nanti aja. Udah Hpnyamau dipake mama.
Sivia tentu menyempatkan untukmenghapus pesan-pesan mereka tersebut sebelum mengembalikan iPhone itu kemamanya.
“Makasih, Ma.”
“Ya sama-sama, sayang.”
Sivia
pun akhirnya hanya bisamelihat jalanan dari jendela mobil. Sebenarnya
Sivia juga ingin video callataupun telponan dengan Alvin tapi Sivia
tentu malu karena ada mama danpapanya. Hingga beberapa menit setelah
menelpon tante Santi, mama Sivia melihatada pesan masuk dan membacanya.
“Vi
ada balesan dari Alvin.Katanya ‘yaudah. I love you.’ gitu.” Sivia
langsung menoleh ke mamanya. WajahSivia langsung memerah begitu
menyadari papanya ikut menoleh dan tersenyumgeli.
“Kenapa gak diajak ajaAlvinnya?” kata papa Sivia.
“Bener tuh. Harusnya lo ajakAlvin. Kali aja lo sama Alvin bisa ketularan biar cepet nikah.” Ray ikutmenyahut.
“Hush, kamu ini Ray. Kakakmu ajabaru kuliah. Apalagi Alvin masih SMA. Kok udah ngomongin nikah aja.” Kata sangmama.
“Mungkin
aja kali ma. Sekarangaja mereka di kamar udah berani... Aw!!!” Sivia
langsung menginjak kaki Raykuat sampai adiknya itu mengaduh sakit.
“Kenapa, Ray?” tanya Mama merekabingung.
“Gak jadi, ma.” Kata Ray sambilcemberut merasakan kakinya yang sakit.
“Dasar
kamu ini.” Kata Mamamereka geleng-geleng karena merasa Ray tidak jelas.
Sedangkan sivia tentubersyukur mamanya tidak terlalu mendengar ucapan
Ray.
“Jangan lemes mulut lo!” bisikSivia sambil memelototi adiknya.
“Sialan lo vi, kaki gue sakit!”
“Biarin. Awas aja kalau longomong sama mama atau papa!”
“iya
iya!” Ray pun akhirnyamemilih untuk kembali membalas chat dari Acha.
Sedangkan Sivia jadi teringatkejadian memalukan beberapa lalu. Yah saat
ia dan Alvin sedang berciuman untukpertama kalinya di kamarnya,
tiba-tiba saja Ray masuk ke kamar Sivia tanpamengetuk pintu terlebih
dahulu. Jadilah Ray melihat Sivia dan Alvin berciuman.Setelah itu Ray
terus saja menggoda Sivia karena hal itu. Sungguh hal itumembuat Sivia
sangat malu sampai sekarang. Tapi untung saja Ray tidakmengatakannya
kepada orangtua mereka. Bisa-bisa ia dan Alvin dicap buruk olehmereka.
Walaupun yang mereka lakukan memang bukan tindakan yang baik.
Tapi...yasudahlah.
***
Hari Minggu ini
Sivia sudahberniat untuk tidur sampai siang. Ia sungguh merasa lelah
karena tengah malambaru kembali ke rumah. Tapi tiba-tiba ia terbangun
saat teringat sesuatu.Yaampun, Sivia lupa mengabari Alvin dari kemarin!
Bahkan Sivia tidak mengabariAlvin setelah ia sampai di tempat resepsi
pernikahan. Sivia pun buru-burubangun dan mengambil iPhone-nya yang
sudah menyala.
Sivia pun mencari nomor Alvindan menekan
tombol call. Tapi setelah beberapa kali mencoba, Alvin tidakkunjung
menjawab telponnya. Sivia akhirnya memilih untuk mengirim BBM ke Alvin.
Sivia Azizah:
Haiiiiiiii
Setelah
mengirim chat, Sivia puntiduran sambil menunggu balasan. Sivia sampai
kembali tertidur karena tidakkunjung mendapat balasan. Saat terbangun
ternyata sudah pukul satu siang danmasih belum ada balasan dari Alvin.
Tapi saat melihat Recent Update, Siviamelihat kontak Alvin yang mengubah
Display Picture-nya beberapa menit lalu.Sivia pun mengerutkan
keningnya. Jadi Alvin bisa mengganti foto tetapi tidakmembaca pesan
darinya?!
Sivia pun kembali mencobamenelpon Alvin sampai hampir sepuluh kali sebelum akhirnya Alvin mengangkattelponnya.
“Halo?”
“Hm?”
“Alvin?”
“Hm.” Sivia kembali mengerutkankeningnya mendengar jawaban Alvin yang seakan ogah-ogahan.
“Kamu ngapain? Bangun tidur?”
“Enggak.”
“Terus ngapain?”
“Main game.”
“Kamu kok bisa ganti foto tapigak bales BBM aku?”
“Hm.”
“Kamu kenapa sih hm hm terus?”tanya Sivia mulai kesal dengan jawaban Alvin yang seolah malah mengobrol denganSivia.
“Ada apa?”
“Ada apa apanya?”
“Ada apa kamu telpon?”
“Emang aku gak boleh telpon?!”
“Gak apa-apa.”
“Kamu marah?” tanya Siviaakhirnya menyadari Alvin yang sepertinya benar-benar marah.
“Alvin...” Panggil Sivia karenaAlvin tidak kunjung menjawab.
“Hm.”
“Kamu marah kan? Maaf...” kataSivia memelas karena ia merasa bersalah.
“Kenapa gak ngabarin samasekali?” tanya Alvin akhirnya.
“Maaf, aku lupa. Nyampe disanaaku terus ngumpul sama saudara-saudara. Pas sampe rumah aku langsung tidur.Maaf yaa...”
“Hm yaudah.”
“Tuhkan masih jutek. Aku mintamaaf...”
“Yaudah aku mau keluar.”
“Mau kemana?”
“Main.”
“Sama siapa?”
“Cakka.”
“Kemana?”
“Gak tau.”
“Kok gak tau?”
“Vi,
udahan dulu.” Sivia bahkanbelum sempat bicara lagi saat Alvin langsung
mematikan sambungan telponnya.Sivia pun langsung cemberut. Perasaannya
jadi tidak enak karena Alvin yang sepertinyamasih marah padanya.
Lagipula ia memang salah. Ia tidak sempat mengabari Alvinsama sekali
padahal ia sudah berjanji untuk mengabari Alvin. Bahkan Sivia
jugaberjanji akan menelpon Alvin jika sudah sampai.
Sivia pun akhirnya mencobamengirim pesan ke Cakka.
Sivia Azizah:
Kka?
Cakka Nuraga:
Ya vi?
Sivia Azizah:
Lagi sama Alvin?
Cakka Nuraga:
Iya bentar lagi ketemu Alvin.Gue masih otw
Sivia Azizah:
Emang kalian mau kemana?
Cakka Nuraga:
Makan aja. Kenapa?
Sivia Azizah:
Sama siapa aja?
Cakka Nuraga:
Berdua aja
Sivia Azizah:
Gak sama cewek kan?
Cakka Nuraga:
Enggak lah
Sivia
pun sedikit merasa legakarena Alvin hanya keluar bersama Cakka. Sivia
bertekad akan menghubungi Alvinlagi nanti untuk meminta maaf.
***
“Kenapa bos?” Cakka bertanyasambil melihat Alvin yang duduk di depannya.
“Kenapa apanya?” Alvin malahbalik bertanya.
“Lo kayaknya diem banget hariini.”
“Lagi bete.”
“Lagi berantem sama Iyem ya?”
“Hm.”
“Kenapa lagi sih?”
“Menurut lo Sivia cinta gak sihsama gue?” tanya Alvin tiba-tiba. Cakka pun menggaruk kepalanya bingung untukmenjawab.
“Mana gue tau bos.”
“Menurut lo.”
“Kalau menurut gue sih... Iyemcinta sama lo lah. Kalau gak cinta kan gak mungkin dia mau jadi pacar lo.”
“Kemarin
dia pergi ke Bandungdan gak ngabarin sampai tadi pagi. Padahal dia
janji bakal ngabarin kalau udahnyampe sana. Gue udah nungguin sampe
ketiduran." Akhirnya Alvinmenceritakan kegundahan hatinya juga. Cakka
sendiri sudah yakin pasti adasesuatu yang membuat Alvin mengajaknya
keluar.
“Jadi lo lagi marah sama Iyem?”
“Iyalah. Padahal gue sehari ajagak ketemu dia udah kangen banget. Tapi dia kayaknya gak peduli sama sekali.”
“Ya kali aja dia sibuk samasaudaranya.”
“Iya gue tau. Tapi masa ngabarinsebentar aja gak bisa.”
“Dia udah minta maaf?”
“Udah.”
“Terus belum lo maafin?”
“Gak tau. Gue masih kesel.”
“Yaudah lo juga jangan cepetngambek. Bisa-bisa Iyem ilfeel sama lo.”
“Kok lo malah nyalahin gue?”
“Bukan
nyalahin juga sih. Tapimenurut gue lo agak kekanakan. Iya kalau Iyem
gak ngabarin lo selama seminggubaru wajar lo ngambek. Lagian dia gak
ngabarin lo juga kan gara-gara dia lagisama keluarganya.”
“Gitu ya?” kata Alvin setelahbeberapa saat diam untuk merenung.
“Iya lah. Oh ya, dia juga tadinanyain lo.”
“Nanyain apa?”
“Ya
nanyain lo sama gue pergikemana terus sama siapa. Dia juga tanya kita
pergi sama cewek apa enggak. Kangak mungkin dia nanya-nanya gitu kalau
gak punya perasaan sama lo.” Alvin diamsesaat sebelum akhirnya
tersenyum.
“Iya juga.”
Akhirnya Alvin
dan Cakka punmengobrol berbagai macam topik hingga berjam-jam baru
mereka memutuskan untukkeluar dari tempat makan di salah satu mall.
Cakka memang mengajak untuk makandi Mall karena ia sekalian ingin
membelikan sesuatu untuk gebetan barunya.Alvin pun hanya bisa diam
berjalan di belakang Cakka karena Cakka yang memaksauntuk menemaninya.
Hingga mata Alvin tidak sengaja mengangkap dua sosok yangterlihat sangat
akrab di salah satu toko olahraga. Sivia dan Gabriel! TanganAlvin
terkepal kuat begitu melihat tangan Gabriel dengan lancangnya
mencubitpipi Sivianya. Tanpa berbicara lagi Alvin langsung menghampiri
mereka danmelayangkan pukulan begitu sampai disana.
Sivia langsung memekik kagetkarena terkejut. Apalagi kini terlihat darah di sudut bibir Gabriel.
“Alvin!”
Sivia langsung berdiridi tengan mereka begitu Alvin siap melayangkan
pukulan kedua. Tentu tindakanSivia yang melindungi Gabriel membuat Alvin
semakin emosi. Alvin pun menatapSivia dengan pandangan yang tidak bisa
Sivia artikan. Lalu Alvin pergi begitusaja dari sana. Sivia yang panik
langsung berbalik melihat keadaan Gabriel.Beberapa orang yang sebelumnya
menyaksikan kegaduhan itu pun mulai pergi.
“Lo gak apa-apa yel? Maaf yaa lojadi gini...” Kata Sivia tidak enak. Sivia sampai berkaca-kaca karena merasabersalah.
“Gak
apa-apa kok, santai aja.”Kata Gabriel tersenyum menenangkan Sivia.
Sivia sendiri masih menyesal. Tadisaat ia memasuki Mall ia tidak sengaja
bertemu dengan Gabriel. Karena iaberencana untuk membelikan Alvin
sesuatu untuk meminta maaf, Sivia jadiberpikir untuk mengajak Gabriel
menemaninya untuk memilih. Karena Sivia tidakyakin dengan selera cowok
dan berpikir Gabriel mungkin bisa membantunya. Tapikejadian barusan
sungguh diluar rencana. Alvin tiba-tiba datang dan memukul Gabriel.Pasti
Alvin salah sangka dengan apa yang ia lihat. Tapi Sivia juga tidak
sukasikap Alvin yang main pukul. Padahal Gabriel tidak bersalah.
Sedangkan
Alvin langsung pulangke rumah dengan Cakka yang mengikutinya karena
khawatir. Dan benar saja, Alvin diamdi kamar dengan wajah merah menahan
marah.
“Lo liat kan? Gue lagi marahsama dia tapi dia
gak peduli dan malah jalan sama mantannya!” kata Alvin. Cakkahanya diam
memberikan Alvin kesempatan untuk meluapkan emosinya.
“Gabriel kira dia siapa beranimegang-megang cewek gue!”
“Lo liat kan tadi, Sivia malahbelain Gabriel!”
Cakka
mengerti jika sahabatnyaitu kini sedang emosi. Sivia memang keterlaluan
jika dia pergi bersama cowoklain padahal pacarnya sedang marah. Apalagi
Gabriel adalah mantan Sivia yang terlihatjelas jika Gabriel masih
menyimpan perasaan untuk Sivia.
***
Sivia
duduk dengan gugup. Didepannya kini sudah ada Alvin yang duduk dengan
wajah datar. Sivia memangsengaja mengajak Alvin bertemu di Cafe yang
sering mereka datangi. Sivia inginmeminta maaf untuk kejadian hari
Minggu dan menjelaskan kesalapahaman kemarin.Dan setelah susah
menghubungi Alvin akhirnya Alvin setuju untuk bertemu. Alvinpun hanya
diam menunggu Sivia yang memulai pembicaraan.
“Seharusnya kamu gak bertindakkayak kemarin. Gabriel—“
“Jadi kamu minta ketemu cumapingin bahas Gabriel?!” kata Alvin yang langsung memotong perkataan Siviadengan emosi.
“Bukan gitu. Tapi kamu emangketerlaluan, Vin. Gabriel cuma—“
“Udah! Jadi kamu emang cumapingin bela Gabriel?”
“Bukan.
Kamu jangan emosi duludong. Aku tau aku salah gak ngabarin kamu dan
ingkar janji. Dan kemarin, kamusalah paham. Aku dan Gabriel gak seperti
yang kamu pikirin. Kita cuma gaksengaja ketemu terus aku yang ngajak
Gabriel nemenin aku. Jadi Gabriel gaksalah apa-apa disini.”
“Kamu kira aku gak liat kalianakrab banget? Sampe gabriel dengan santainya nyentuh pipi kamu.”
“Vin, itu... itu cuma kebiasaan.Mungkin Gabriel juga gak sadar ngelakuinnya.”
“Kebiasaan? Jadi kamu juga biasadiperlakuin gitu sama dia? Kenapa gak balikan sekalian?!”
“Alvin... Udah berapa kali akubilang kalau aku sama Gabriel gak ada apa-apa.”
“Apa kamu tau apa yang Gabrielpikir? Kamu yakin dia juga nganggep kalian gak ada apa-apa?”
“Apa maksud kamu sih?”
“Dia jelas masih suka sama kamu,Vi!”
“Alvin,
udah! Gabriel emangmantan aku tapi gak seharusnya itu bikin kamu terus
berpikir buruk tentangdia!” Sivia tanpa sadar membentak Alvin karena
merasa lelah dengan tuduhanAlvin. Alvin hanya memandang Sivia beberapa
saat sebelum akhirnya menghela nafas.
“Oke, sekarang terserah kamu.”
“Vin...”
“Mulai sekarang terserah kamu.Kamu bebas.”
“Apa maksud kamu?” tanya Siviamerasakan firasat buruk melihat wajah Alvin.
“Kita
sampai disini aja. Kamugak perlu tertekan lagi.” Kata Alvin lalu
berdiri dan beranjak pergi. Siviadiam beberapa saat karena masih kaget
dengan ucapan Alvin. Ia langsung mengejarAlvin begitu sadar dari
keterkejutannya.
“Alvin! Apa maksud kamu?!” Siviamenahan tangan Alvin yang sudah akan masuk kedalam mobil.
“Apalagi Vi? Ini yang kamu pingininkan. Dari awal kamu emang cuma terpaksa jalanin hubungan ini. Dengan gini kamubebas.”
“Vin, kamu bener-bener salahpaham.”
“Kita
sendiri-sendiri aja dulu.”Kata Alvin lalu masuk kedalam mobilnya. Sivia
akhirnya membiarkan mobil Alvinpergi dan Sivia pun masuk ke mobilnya
sendiri. Beginikah akhirnya? Kenapa Alvintidak pernah percaya kalau
Sivia dan Gabriel benar-benar hanya berteman. Tanpaterasa air matanya
mengalir begitu saja. Dadanya terasa sakit. Sivia barumenyadari ternyata
ia sungguh mencintai Alvin. Hingga rasanya sangat sakitbegitu melihat
Alvin meninggalkannya.
***
AlviaNosztaHolic Castle
Rabu, 07 Oktober 2015
Red In White
P.S. Author
X: Cerita baru?
A: Yup! Red in White, cerita super pendek dan agak-agak lebay ini author persembahkan untuk para ANH.
X: Dalam rangka?
A: Umm... dalam rangka
merayakan anniv ANH yang udah lewat. (telat banget). Cocoknya sih dalam
rangka mengumpulkan anak2 ANH. Author kangen nih jujur, kangen ANH sama
kangen ALVIA nya juga.
X: Bagus gak ceritanya?
A: Entahlah. Coba
dibaca. Semoga suka sih :p Ohya, bagi yang jago edit coba kira-kira
kasih ilustrasi buat cerpen Red in White ini dong.
Salam kangen dari author {()}
Salam kangen dari author {()}
***
Malam bertabur bintang,
sepertinya ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan malam ini. Malam di
mana banyak bintang papan atas tanah air yang hadir dengan penampilan
terbaiknya, adalah malam penghargaan bagi para insan perfilman
Indonesia. Aktor, aktris, maupun para pembuat film papan atas tentu
tidak melewatkan malam yang penuh dengan antisipasi apresiasi ini.
Berdiri di atas panggung menerima tropi penghargaan memang menjadi
tujuan, tetapi datang untuk mengapresiasi film Indonesia adalah yang
utama.
Semakin malam semakin
ramai. Satu persatu para undangan mulai menampakkan diri mereka.
Berjalan dengan penuh percaya diri seraya menebar senyum. Dan bagian red carpet
selalu menjadi yang sayang untuk dilewatkan. Tetapi tidak untuk aktris
satu ini, Sivia Magneficia Daraja. Sebenarnya Ia lebih memilih untuk
langsung menuju tempat berlangsungnya acara. Hanya saja, sekian banyak
para pemburu berita atau cameraman yang meneriaki namanya, meminta untuk
memberi pose dan senyum terbaiknya. Apa yang bisa dilakukannya selain
menurut dan mencoba megembangkan senyum. Kemudian hujanan kilatan cahaya
kamera nyaris membuatnya pusing.
Seharusnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan bagian red carpet ini. Karena gaun Prada biru gelap telah membungkus tubuhnya dengan sempurna, memamerkan lembut, putih kulit pundaknya. Belum lagi bagian belakang gaun itu yang berpotongan cukup rendah, sehingga memamerkan kulit punggungnya yang berkemilauan. Tidak ada perlakuan istimewa pada tatanan rambut, hanya dibiarkan terurai bebas dan dibentuk bergelombang di ujungnya. Katakan saja Ia berlebihan, sebab malam ini Ia hanyalah menjadi salah satu nominee aktris pendamping terbaik, akan tetapi Ia mengenakan gaun dari salah satu brand langganan bintang Hollywood. Gaun Prada yang Ia kenakan saat ini adalah di luar scenario. Gaun ini begitu saja tiba di kamarnya, dikirim oleh Papinya langsung dari NYC. Dennis Daraja adalah Papi kebanggaannya yang kebetulan kini bertugas di negeri Paman Sam sebagai Diplomat.
"Beautiful."
Sivia menoleh untuk
memastikan bahwa apakah kata itu ditujukan untuknya. Benar. Ada Gabriel
tau-tau sudah berdiri agak dekat dengannya. Lelaki itu sangat tampan
dengan setelan abu-abu gelapnya. Rambutnya disisir rapi mengkilat.
Gabriel Stevenson adalah salah satu nominee untuk actor terbaik. Mereka terlibat dalam satu judul film yang sama yang membawa mereka ke nominasi ini.
"Thanks."
"Mungkin kita bisa membuat sedikit gossip. Agar mereka puas."
Setelah berbicara begitu, Gabriel sudah dengan santai menenggerkan sebelah tangannya pada pinggang Sivia, membuat gadis itu terkesiap sesaat. Lalu kilatan cahaya kamera kembali menyerbu, memanggil-manggil nama mereka agar tepat menoleh ke arah kamera.
"Enough. Can we go?"
Ya Tuhan! Sivia berusaha
agar tidak tampak terlalu bahagia. Ia memang mengagumi Gabriel. Lelaki
itu sungguh mumpuni dalam dunia acting. Beruntunglah Febby yang menjadi
lawan mainnya kemarin.
"Yes. Please."
Sesaat mereka baru akan
beranjak menuju tempat utama acara, John Digit, sutradara yang sedang
naik daun dengan dua film yang masuk ke jajaran nominasi, memanggilnya.
"Sivia."
"Oom John."
"Just John."
"Ok then, John." Sivia tertawa pada laki-laki paruh baya yang masih berjiwa muda itu.
"Selamat untuk nominasinya."
"Thanks. Even Gabriel is greater. Best leading actor."
"I know. Well done, Gab."
"Still learning." Gabriel menjawab dengan senyum rendah hatinya. Bagaimana Sivia tidak semakin mengagumi actor satu ini!
"Well, I wanna talk to you later, Via."
"About what?"
"Later. After party, ok? It's essential."
"Oke."
Dengan begitu, John berpamit terlebih dulu ke tempat utama acara.
"I have a good feeling for it."
Sivia menoleh ke Gabriel, mengernyit. "About that talk?"
"About that talk."
"I don't think so. I-"
Ucapannya terpotong
ketika Ia mendengar suara heboh dari arena red carpet. Sebenarnya tanpa
Ia menoleh pun Ia sudah tau bahwa itu pasti Pricilla Cassania. Tapi Ia
tetap menoleh untuk memuaskan rasa ingin taunya. Benar ada Pricilla
dengan gaun merah hebohnya sedang berpose dan tersenyum kelewat
sumringah ke para pemburu gambar. Dan Sivia menyadari bahwa gadis itu
tidak sendiri. Di sebelahnya ada lelaki yang, well, harus Ia akui memang
sangat sangat tampan, menggunakan setelan hitam dengan dasi bercorak
abu-abu. Pricilla adalah salah satu nominee aktris terbaik yang
disinyalir pasti akan menang. Sementara lelaki itu, Alvin Janson adalah
pesaing Gabriel di nominasi actor terbaik.
"Via?"
Sivia mengembalikan perhatiannya kembali ke Gabriel. "Ya?"
"Kita ke dalam sekarang?"
"Oke."
Sebelum benar-benar
beranjak, Sivia menoleh sekali lagi. Dan entah bagaimana pandangannya
dengan Alvin bertemu di titik yang Ia rasa menjadi pusat antara mereka.
***
Malam beranjak malam
tetapi semangat party masih menggelora di setiap sudut ballroom mewah
ini. Sebuah acara after party yang rutin diselenggarakan setelah acara
penghargaan bergengsi bagi insan perfilman digelar sebelumnya. Ada
beberapa undangan yang masih betah mengikuti acara ini, adapula yang
sudah langsung pamit. Mereka berbaur saling bertegur sapa untuk
mengucapkan selamat bagi para pemenang. Seperti misalnya Sivia
Magneficia. Ia memeluk hangat Eloise Ify, memberinya selamat karena
memenangkan nominasi aktris pendamping, yang membuatnya harus puas hanya
menjadi salah satu nominee nya.
"Congratulation. You made it."
"Thanks." Mereka belum lama saling mengenal. Tapi karena memiliki beberapa kesamaan, Sivia merasa akan cepat cocok dengan Ify.
"Selamat Ify." Seorang
lelaki dengan jas abu-abu gelapnya ikut bergabung memberikan cheers nya
pada Ify. Gabriel Stevenson! Sama seperti dirinya, Gabriel harus berpuas
hanya menjadi nominee. Karena gelar actor terbaik telah disabet
seseorang.
"Gabriel! Thank you." Gabriel memeluk Ify dengan santai. Sivia baru tahu belakangan ini kalau rupanya mereka adalah sepupu.
"You know what, kalian berdua nominee favorit ku. Menang kalah nggak pengaruh!"
"Yeah! The best couple made it!"
Sivia dan Ify tak bisa menahan tawa melihat tingkah Gabriel yang
mencibir dan memutar bola matanya bosan. Kemudian menunjuk pada arah
jarum jam 4, dimana terdapat best couple yang dimaksud. Pricilla Casania
dan Alvin Janson. Mereka memboyong penghargaan aktris dan actor
terbaik. Well, memang Sivia akui mereka hebat. Kemistri sebagai sepasang
kekasih di film terasa benar-benar nyata. Tetapi lama-lama Ia merasa
muak.
Mendengar pemberitaan mereka berdua selama ini sudah memuakkan sekali. Mereka dikabarkan mengalami cinta lokasi. Tetapi ketika diwawancara Pricilla seolah menutup-nutupi tapi seolah mengiyakan. Menyebalkan tidak sih?! Apa salahnya memberitahu berita yang ada dan acara TV tidak melulu diisi dengan penampakannya yang -err- berlebihan. Sementara Alvin dengan tampang sok cool-nya hanya memberi jawaban netral. Yang salah sebenarnya pada media yang terlalu berlebihan atau pada dirinya yang memang sentiment dengan apapun yang berhubungan dengan Pricilla.
"Shoot!" Umpat
Sivia sepelan mungkin. Ketika tanpa diantisipasinya Pricilla berjalan
mendekat dan melewatinya dengan sedikit menyenggol. Ia melihat Ify sudah
siap mengeluarkan cakarnya. Ini yang tak Ia pahami. Nampaknya ada
sesuatu tak kasat mata yang membuat Pricilla juga sentiment padanya.
Baiklah catat! Sivia tidak akan sentiment kalau saja Pricilla tidak
memulai!
"Calm down." Agak
tersentak Sivia merasakan gerakan lembut pada lengannya yang terbuka.
Gabriel menyentuhnya. Sebuah sentuhan penenangan yang membuatnya salah
tingkah. "Thanks".
"Dia agaknya sentiment,
Vi. Kamu mengenakan Prada. Ya Tuhan, Prada! Aku boleh katakan kalau
penampilanmu satu-satunya yang menyainginya."
"Mengalahkannya kalau menurutku." Tukas Gabriel dengan senyum menawannya.
Sivia jadi tersipu.
"Dan membuat kekasih hatinya itu mampu berpaling." Ify terkikik.
"Kekasih hati? Siapa-"
"Here you are."
Sivia menoleh saat
mendengar suara John Digit. John adalah salah satu sutradara yang
memiliki pengaruh besar dalam perfilman Indonesia. Lelaki hampir paruh
baya itu beberapa kali berhasil memenangkan penghargaan tapi tidak untuk
tahun ini.
"John." Ia beserta Ify dan Gabriel kompak menyapa balik.
"By the way, congratulation my dear Ify!"
"Thank you John." Ify
memeluk John dengan sopan. "Mungkin bisa invite aku di next project?
Udah dapet award loh ini." Ify menertawai keterpercayaan dirinya
sendiri. Sivia, Gabriel, dan John jadi ikut tertawa.
"Let's see."
Sivia yakin kalau tidak
sedang di pesta, Ify pasti sudah melonjak kegirangan atas ucapan John
yang nampaknya memberi harapan terbuka itu.
"Sivia, masih inget
pembicaraan kita tadi?" John beralih menatap Sivia, memulai pembicaraan
seriusnya, membuat Gabriel dan Ify ikut mendengar dengan penasaran.
"Inget. Jadi...?"
"Bener kata Ify, I have a next project. Adaptasi novelnya mbak Santhy Christi. I personally invite you to join the audition for the leading actress."
Sivia menahan nafasnya sesaat, meyakinkan sekali lagi pendengarannya. "Me?"
"You!"
"Wouw." Ify melebarkan matanya heboh.
"I told you." Timpal Gabriel menyatakan kebenaran firasatnya.
"Tapi itu novel
best-seller bukan, John? Apa yakin kalau aku-". Sivia masih butuh
diyakinkan. Ia tau bahwa ada novel Santhy Christi yang sedang ramai
dibicarakan, Red in White.
"I am. Aku rasa bahkan enggak usah ada audisi buat kamu. If you will, you are in."
"What?!" Ify
menyuarakan keterkejutannya atas ucapan John. Ia sendiri masih sulit
menemukan akal sehatnya. Jadi ini talk yang dimaksud essential oleh John
tadi.
"Gimana?"
Tentu saja Sivia tidak
akan melewatkan kesempatan ini! Entah kenapa Ia yakin dengan project
ini. Di-sutradarai John Digit atas adaptasi novelnya Santhy Christi!
Sesuatu baik pasti telah Ia lakukan karena karmanya Ia terima sekarang.
"Say yes, Vi." Desak Ify dengan semangat. Sementara Gabriel memberinya sebuah senyuman penyemangat.
"Oke. I'm in."
John menaikkan alisnya merasa puas. "Aku tau kamu enggak nolak."
"I hope I won't disappoint you."
"You won't."
"John, I wonder kenapa kamu nggak nawarin ini ke the winner?" Tanya Ify setengah berbisik menunjuk Pricilla -yang asik bercengkrama dengan artis-artis lain- dengan dagunya
"I prefer something new, something hidden beautifully."
"You come to the right person." Tambah Gabriel yang entah bagaimana membuat Sivia merasakan panas di pipinya.
"But I do with another winner."
Sivia kembali memusatkan perhatiannya pada John menanyakan maksud ucapannya. "What is that mean?"
Bukannya menjawab John
malah melambaikan tangannya tinggi-tinggi, meletakkan pandangannya ke
arah belakang Sivia. Sivia menoleh penasaran. Oh rupanya John
melambaikan tangannya pada lelaki yang menjadi bintang malam ini, Alvin
Janson. Dan lelaki itu, dengan sebelah tangannya di dalam saku celana
sementara tangan satunya lagi memegang gelas kaca dengan sangat elegan,
berjalan mendekat ke tampat di mana Sivia dan yang lainnya berdiri.
"John." Ucap Alvin. Sesaat Ia melempar pandangan menyapa pada Ify, Gabriel, juga Sivia sendiri, dan mencoba menarik senyum simpel.
"Alvin, we're talking about the project, you know. Dan aku sudah mendapat lawan main kamu nanti."
Wait, what?!!
"Sivia, ini Alvin lawan main kamu di project nanti. Dan Alvin, ini Sivia."
Sivia belum pulih dari keterkejutannya sehingga membiarkan tangan Alvin itu menggantung menunggu uluran perkenalannya disambut.
"Sivia." Dan tanpa ada
yang tahu bahwa Sivia sedang berusaha menepis getar rasa aneh yang
menyenangkan saat tangan mereka berjabat.
"Alvin." Mereka berjabat
untuk sekian detik. Dan dengan nakal Alvin melirik leher indah Sivia
yang terpampang mulus berhiaskan sebuah kalung emas putih.
Kalau tidak Gabriel yang
berdeham, Alvin pasti tidak akan melepaskan pandangannya. Dan tiba-tiba
saja Sivia merasa gatal pada lehernya.
"Aku sudah membuat
kalender kerja untuk project Red in White ini. Minggu depan kita
meeting. Aku boleh saja tidak membawa pulang apapun malam ini, tapi ku
pastikan tahun depan aku memborongnya bersama kalian." Tukas John penuh
ambisi. "Mohon kerjasamanya."
John mengajak Sivia,
Alvin, Gabriel, juga Ify untuk cheers bersama. "Gab, Ify, datanglah saat
audisi. Aku berjanji ini akan jadi project yang menyenangkan." Kalau
John sudah punya tekad, pasti selalu ada jalan.
Kemudian mereka terlibat obrolan ringan sebelum John undur diri menemui rekannya yang lain. Begitupun Gabriel dan Ify yang disapa oleh Mario, salah satu penyanyi pria solo profesional. Mario memutuskan mengajak Gabriel dan Ify mmengobrol secara pribadi untuk meminta mereka membintangi salah satu video musiknya.
Kemudian mereka terlibat obrolan ringan sebelum John undur diri menemui rekannya yang lain. Begitupun Gabriel dan Ify yang disapa oleh Mario, salah satu penyanyi pria solo profesional. Mario memutuskan mengajak Gabriel dan Ify mmengobrol secara pribadi untuk meminta mereka membintangi salah satu video musiknya.
Menyisakan Sivia dengan Alvin. Berdua.
"Aku tidak mengerti kenapa John harus mengajak Gabriel dalam projectnya juga. Dia masih harus melatih aktingnya, kurasa."
"Maksudmu?"
"Lupakan."
Dan entah bagaimana,
Sivia menjadi sedikit tersulut emosinya. Nada bicara Alvin tadi sangat
kurang ajar. Seolah meremahkan Gabriel. Sementara Sivia mengidolakan
Gabriel. Ya Tuhan! Ia harus membela Gabriel.
Baru Ia akan mengeluarkan apa pendapatnya, tanpa permisi, tahu-tahu Alvin beranjak menjauh dari sisinya. Menyadari itu, Sivia berusaha mengejarnya meski tetap dengan langkah berhati-hati mengingat Ia masih mengenakan gaunnya yang anggun ini.
Baru Ia akan mengeluarkan apa pendapatnya, tanpa permisi, tahu-tahu Alvin beranjak menjauh dari sisinya. Menyadari itu, Sivia berusaha mengejarnya meski tetap dengan langkah berhati-hati mengingat Ia masih mengenakan gaunnya yang anggun ini.
Punggung Alvin semakin terlihat setelah Ia agak mempercepat langkahnya dengan semangat berkobar untuk sedikit memberi pelajaran pada Alvin. Rupanya Alvin keluar ballroom. Ia melihat lelaki itu menuruni tangga yang menghubungkan ruang pesta tadi dengan taman hotel. Lelaki itu sedang menyesap minuman berwarna merah pekat pada gelas kacanya.
"Maaf sebelumnya, tapi aku tidak terima tentang pendapatmu mengenai Gabriel tadi."
Seketika Alvin berbalik. Pandangan tenang dan tajamnya langsung menghunus mata hitam bening Sivia.
"Kamu repot-repot
mengikutiku kemari hanya untuk mengucapkan pembelaan untuk Gabriel."
Tukas Alvin tidak habis pikir. Kemudian tertawa remeh. Meletakkan gelas
dalam genggamannya pada meja kecil di dekatnya, lalu memasukan kedua
tangannya ke dalam saku celana.
"Karena aku mengidolakannya."
"Aku tahu." Perlahan Alvin mendekatinya. "Dan karena itu aku tidak suka dia ikut project John."
"Maksudmu?"
"Aku khawatir kemistri kita tidak terbentuk kalau lawan mainku justru mengidolakan pemain lainnya."
"Bukankah kamu si aktor
terbaik? Kenapa harus khawatir tentang hal remeh itu? Lagi pula aku
profesional." Suara Sivia menghilang di ujung kalimat. Tangan Alvin yang
tahu-tahu sudah mendarat di punggungnya yang terbuka membuatnya
dikejutkan oleh sesuatu yang aneh. Sialnya, Sivia baru sadar kalau Alvin
sudah berada terlalu dekat dengannya. Di depannya. Tanpa sekat. Kecuali
kalau udara malam dapat dikatagorikan sebagai sekat.
Dan kata-kata Alvin yang meluncur selanjutnya, dengan lembut membelai telinganya. Membuatnya lupa untuk berpijak.
"Tadi, ketika kamu turun
dari mobil, berjalan menuju red carpet, tertimpa cahaya kamera, aku
memutuskan bahwa kamu harus menjadi pemeran utama terbaik tahun
berikutnya, bersamaku, di project John."
Sivia membasahi bibirnya
dan tenggorokannya yang serasa mengering. "Ya." Jawabnya impulsif
dengan suara serak. Alvin menghipnotisnya.
"Kita akan bekerja sama."
"Ya."
Dari jarak sedekat ini, Sivia dapat melihat senyum tipis Alvin tersungging. Dan mata lelaki itu berpijar, nakal.
"Ada baiknya jika membangun kemistri sejak dini."
Setelahnya, Sivia
merasakan kecap anggur merah pada bibirnya. Dan itu bukan berasal dari
minumannya langsung. Itu bibir lembut Alvin yang menempel pada miliknya,
yang kemudian bergerak lembut. Ciuman yang sangat sopan. Pikir Sivia.
Alvin melepas ciumannya ketika tangannya sendiri sudah mulai gatal membelai punggung Sivia. Jangan sampai lepas control.
"Sepertinya aku tidak
perlu khawatir soal kemistri lagi." Gumamnya dengan suara serak. Ciuman
mereka benar-benar mempengaruhinya.
"Apa kamu selalu
melakukan ini dengan lawan mainmu sebelumnya?" Tanya Sivia. Jemarinya
reflex bergerak mengusap bibir Alvin yang mencuri warna lipstiknya,
membersihkannya.
"Tidak."
"Pricilla?"
"Tidak."
Dan Sivia tidak tahu
harus menanggapi apalagi. Kenyataan bahwa Alvin adalah si actor terbaik,
yang memungkinkan Ia sedang ber-akting di hadapannya kini membuatnya
tidak terlalu berharap.
What? Berharap?!
"Oh shoot. Ada
wartawan Alvin." Ujarnya kemudian ketika merasakan ada kilatan lampu
kamera menerpa mereka. Ia berusaha membenarkan posisinya.
"Tetap diam."
"What? No. Bisa muncul gossip besok."
"Itu pekerjaan mereka."
"Kamu akan lelah untuk pura-pura tidak menanggapi gossip lagi, seperti gossipmu dengan Pricilla kemarin-kemarin."
"Aku akan menanggapinya kali ini. Dan aku tidak akan menyangkal."
Kemudian bibir Alvin kembali menemukan bibirnya.
_____
"Mereka bahkan belum on-screen." Ujar John.
"Mereka bahkan baru berkenalan secara resmi." Sambung Ify.
"Tapi aku tahu, Alvin tidak melepas pandangannya dari Sivia sejak acara ini dimulai." Gabriel berkomentar.
"Aku jadi optimis dan tidak sabar pada project Red in White ini." Tandas John.
Mereka bertiga sedang mengintip sepotong adegan antara dua calon pemeran utama Red in White nanti. Well. A good rehearsal.
Regards,
Love & beloved's author
Rabu, 28 Mei 2014
Aku? Takdirmu!
FF Special #3asANH
[Karya: Desmira Feri S]
Sivia terkejut ketika dirinya tahu-tahu terbangun di sebuah kamar mewah yang sama sekali tak dikenalinya. Sebuah kamar besar bergaya Eropa dengan warna putih gading yang mendominasi. Dindingnya terbuat dari beton tebal. Pintunya lebar dan tinggi, cukup untuk memasukkan seekor jerapah. Lantainya terbuat dari marmer. Ada satu jendela besar dan panjang di belakang ranjang tempat Sivia tidur. Dan ketika Sivia melongok keluar jendela itu, jantungnya hampir saja lepas. Kalau-kalau Sivia lupa ini sebuah rumah, dia mungkin akan berfikir dia sedang ada di sebuah pesawat yang sedang terbang. Sivia hampir tidak bisa melihat rumah-rumah di bawah sana saking tingginya bangunan ini.
Dan, oh, tunggu. Gaun yang melekat di tubuhnya! Dia tidak pernah merasa punya gaun tidur seindah dan senyaman ini. Yah, dia memang seorang putri, tapi sungguh, semua gaun tidurnya sudah membuat dia bosan. Tapi ini? Punya siapa? Dan yang paling penting, SIAPA YANG MENGGANTI BAJUNYA DENGAN GAUN TIDUR INI?
Sivia sedang mencoba untuk tidak berfikiran buruk ketika pintu kamar yang besar dan tinggi itu terbuka. Sesosok manusia masuk dengan selusin penjaga dan pelayan rumah di belakangnya. Sivia tidak bisa mengenalinya. Dia memakai jubah hitam lengkap dengan penutup kepala. Setengah wajahnya tertutup slayer hitam. Otomatis Sivia cuma bisa melihat matanya.
Tidak mungkin! Mata itu...
“Ternyata lo udah bangun? Gimana tidurnya? Kebo banget, sih, lo jadi cewek?” sesosok manusia yang ternyata cowok itu duduk di sebuah kursi tepat di depan ranjang Sivia.
Dia lalu menjentikkan jarinya, dan setengah lusin pelayan rumah yang dia bawa mendekati ranjang Sivia. Pelayan pertama, mengikat rambut Sivia yang terurai sampai ke punggung. Pelayan kedua, menggulung lengan baju Sivia sebatas siku. Pelayan ketiga menyingkap selimut dari badan Sivia. Pelayan keempat, menaruh meja makan lipat di depan Sivia. Pelayan kelima, menaruh makanan dan minuman ke meja itu. Dan yang terakhir, menyerahkan sendok dan garpu ke Sivia sambil mempersilahkannya makan.
Sivia sampai pusing melihat pertunjukkan di depannya. Please, di istananya saja, dia tidak pernah dilayani seberlebihan ini.
“Lo siapa?” Akhirnya, bisa juga Sivia bersuara setelah sejak tadi bengong di depan orang-orang asing ini.
“Gue?...” cowok itu menunjuk dirinya sendiri, “takdir lo.”
“Ha?”
Cowok itu mendekat ke arah Sivia sambil lagi-lagi menjentikkan jarinya. Selusin pelayan dan penjaga itu kemudian keluar dan menutup pintu kamar. Oh, tidak...
“Lo nggak ngerti apa itu takdir? Oke. I’m your destiny. Ngerti?”
Sivia menggeleng. Dan tiba-tiba saja cowok itu tertawa keras sampai duduk terbungkuk-bungkuk di depan Sivia. Apanya yang lucu coba?
“Lo lucu banget, sih. Gue boleh ya, nyium lo?”
Hei, hei, hei. Apa-apaan, sih, ini cowok. Sembarangan saja dia bilang begitu. Dia nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa rupanya. Asal dia tahu, Sivia itu seorang putri, princess.
PRINCESS!
Mana boleh dicium sama sembarang cowok.
“Lo kalo ngomong jangan sembarangan, ya. Lo nggak tahu siapa gue?”
“Tahu kok, makanya gue berani ngomong gitu.”
“Maksud lo?”
“Ya karena lo takdir gue, makanya gue boleh nyium lo. Boleh, ya?” Cowok itu semakin mendekat, kedua matanya mengerling lucu. Sivia merangsek mundur. Merapat ke sandaran tempat tidur.
“Heh. Jangan sembarangan, ya, lo. Gue jago karate tahu.”
“Sama, gue juga. Nggak cuman karate, sih. Gue juga bisa silat, taekwondo, judo, kungfu. Sumo juga bisa. Kapan-kapan kita battle mau?”
Sableng ini cowok.
“Lo siapa, sih? Gue lagi dimana? Kenapa gue bisa disini? Kemana orang tua gue?”
Mata cowok itu tiba-tiba meredup. Tapi sedetik kemudian kembali bersinar. Bukan saat yang tepat, pikirnya.
“Mending sekarang lo makan.” Cowok itu menyodorkan meja makannya.
“Nggak mau. Gue nggak mau makan sebelum lo ngasih tahu siapa lo.”
Cowok itu mengangguk-angguk, sok mikir. “Lo beneran mau tahu siapa gue?”
Sivia mengangguk.
“Lo beneran mau lihat wajah gue?”
Sivia mengangguk lagi. Mulai kesal.
“Tapi gue nggak tanggung jawab, ya, kalo habis itu lo tiba-tiba naksir atau bahkan tergila-gila sama gue?”
Sivia mengangguk lagi.
Sambil pengen muntah.
“Oke, kalo itu yang lo mau.”
Dalam satu tarikan, cowok itu melepas penutup kepala dan slayernya. Giliran Sivia yang tiba-tiba kaku melihat wajah cowok di depannya. Wajah cowok itu bersinar. Benar-benar bersinar. Yah, Sivia lupa kalau matahari pagi di luar sana sedang naik dan cahayanya masuk ke jendela di belakangnya.
Tapi bukan itu yang membuat Sivia diam. Bukan itu. Tapi wajah itu. Wajah itu, Sivia pernah melihatnya. Tapi, dimana dan kapannya, Sivia sama sekali lupa.
“Kan. Apa gue bilang. Lo pasti jadi diem gitu gara-gara naksir mendadak lihat wajah gue. Iya, kan?”
Ingin rasanya Sivia nonjok wajah cowok itu. Tapi, sekarang tangannya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lagian, Sivia bukan princess yang sekejam itu sama orang lain. Apalagi orang lain itu tampan, saaaaaangat tampan.
Tapi, ketampanan cowok ini beda. Dia, seperti bayi berukuran besar. Wajahnya lonjong, dengan kulit putih bersih dan hidung mancung. Kedua matanya berwarna biru, mengingatkan Sivia akan laut yang sangat tenang. Dan ketika kau melihat wajahnya yang lucu itu, pasti rasanya pengen nyubit. Kayak Sivia sekarang. Bukan nyubit, sih, tapi nonjok.
“Gue..., pernah lihat lo.” Terbata, Sivia menatap lurus-lurus wajah cowok itu. Sambil berusaha mengumpulkan memorinya tentang wajah yang familier ini.
Cowok itu menjentikkan jarinya lagi sambil tersenyum. “Tepat sekali. Gue seneng lo masih inget gue.”
“Memangnya kita pernah ketemu?”
“Bukan pernah, tapi sering.”
“Tapiii, kenapa gue sama sekali nggak inget? Dimana kita pernah ketemu?”
Cowok itu tersenyum lembut sambil meraih tangan Sivia dan menaruhnya di atas meja. Sivia diam dengan perlakuan cowok itu. Semua ini masih membuatnya bingung. Dan dia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.
“Mending sekarang lo makan dulu. Abis itu, gue bakalan ceritain semuanya, ya?”
“Tapi, Alvin, sebenernya apa yang terjadi sama gue?”
Cowok itu terkejut. Dia menatap Sivia sambil tersenyum lebar. “Gue nggak nyangka lo inget nama gue. Gue seneng banget.”
“Ah...” giliran Sivia yang terkejut dengan dirinya sendiri. Ngomong apa dia tadi? Dan kenapa dia bisa tahu nama cowok ini?
“Kok..., gue tahu nama lo? Lo tadi belom ngasih tahu gue, kan? Kenapa...”
Suara Sivia mendadak hilang ketika sesendok penuh nasi masuk ke mulutnya. Cowok itu nyengir. “Lo makan dulu aja. Nanya-nanyanya ntar. Oke?”
Sivia merengut.
***
Sivia menghampiri Alvin yang tengah berdiri di pembatas balkon kamar. Tadi dia dipaksa makan sama Alvin. Dan setelahnya, dia harus mandi dengan ditunggui oleh setengah lusin pelayan perempuan Alvin di depan pintu kamar mandi. Waktu ganti bajupun, pelayan-pelayan itu sama sekali tidak mau pergi. Sivia jadi tahu kalau pelayan-pelayan itulah yang mengganti bajunya dengan gaun tidur yang indah itu. Syukurlah!
Sivia mengamati Alvin dari belakang. Punggung itu, kenapa Sivia begitu familier? Dan kenapa Sivia bisa merasakan kalau punggung kokoh itu pernah melindunginya? Sebenarnya ada apa? Alvin itu siapa?
“Sivia, udah selesai?” Alvin menatap Sivia yang sedang melamun. Sivia tersenyum kecil sambil mendekati Alvin. Dia harus mendapat penjelasan sekarang juga.
“Emang, ya, takdir nggak pernah salah.” Alvin tersenyum lembut sambil menyapukan punggung jari telunjuknya di pipi Sivia. Kaget, Sivia mundur selangkah.
“Maksud lo?”
“Gue tampan, dan gue punya takdir secantik lo. Takdir emang selalu bener, kan?”
Cuih.
Sivia nggak butuh takdir-takdir itu. Sivia cuma butuh penjelasan.
“Gue butuh penjelasan sekarang juga. Gue pengen pulang dan ketemu orang tua gue. Dimana mereka, Alvin?”
Alvin duduk di sofa panjang di depan pintu balkon. “Duduk sini, Sivia.”
Sivia nurut. Duduk menghadap Alvin sambil memeluk lutut. Alvin tahu-tahu tersenyum melihat Sivia. “Kenapa senyum-senyum?”
“Gue jadi inget waktu pertama kali nemuin lo.”
“Oh ya?”
Alvin mengangguk. “Sivia, sebelum gue jelasin semuanya ke lo, gue mau nanya sama lo. Lo bener-bener nggak inget siapa gue?”
Sivia menggeleng. Alvin menarik nafas. “Tapi kenapa lo inget nama gue?”
“Nggak tahu, reflek aja nyebut nama lo tadi.”
Alvin tersenyum lagi. “Mungkin itulah yang namanya takdir.”
Aaah, Alvin ini. Dari tadi ngomongnya takdiiiiiir terus. Sivia itu nggak butuh takdir-takdiran, Sivia cuma butuh penjelasan. PENJELASAN!
“Karena semuanya emang berawal dari takdir, Sivia, kenapa lo bisa disini.” Ujar Alvin, seperti tahu apa yang sedang Sivia pikirkan.
“Iya-iya, takdir. Oke, gue ngerti. Sekarang lo jelasin semuanya!” Sivia memilih mengalah. Dia tidak mau tonjok-tonjokkan sama Alvin hanya gara-gara debat masalah takdir.
“Lo bener-bener nggak inget pertama kali kita ketemu?”
Sivia menggeleng pelan. Sungguh, dia tidak ingat apa-apa sekarang. Selain dia adalah seorang putri dari sebuah polis. Dan dia masih punya orang tua lengkap yang sekarang entah dimana.
“Berarti sihir dari Polis Barat memang benar.”
“Sihir? Polis Barat?” Sivia makin bingung. Selain takdir, kenapa Alvin menggunakan kata-kata yang sama sekali tidak Sivia pahami?
“Polis Barat menggunakan salah satu sihir terlarang untuk menghilangkan ingatan lo, Sivia. Supaya polis kita tidak bisa bersatu.”
“Jelasin dari awal, Alvin! Gue sama sekali nggak ngerti.”
“Begini. Polis kita, ditakdirkan untuk bersatu lewat kita...,”
“Maksudnya “kita”?” Sivia jadi ngeri dengan apa yang akan Alvin jawab. Jangan bilang kalau...
“Iya, kita bakalan mempersatukan polis kedua orang tua kita dengan pernikahan. Kita bakalan nikah.”
“Tapi, Alvin, kenapa gue...”
“Sivia, tolong dengerin gue dulu. Jangan potong omongan gue sebelum gue selesai cerita. Lo boleh nanya apa aja nanti kalau gue udah selesai. Mengerti?”
Sivia mengangguk.
Alvin memulai cerita. “Di dunia kita, sejak dulu seluruh polis dipimpin oleh dua polis lain sisi yang bersatu lewat anak-anaknya. Polis lo, Polis Selatan dan polis gue, Polis Utara mendapat giliran memimpin selama abad ketiga ini. Tapi, Polis Barat, yang selama abad kedua lalu memimpin bersama Polis Timur, nggak pengen kekuasaannya hilang. Mereka pengen terus memimpin, makanya mereka menyihir lo supaya lo kehilangan sebagian ingatan lo. Lo cuma inget kalau lo itu adalah seorang putri dari Polis Selatan. Lo sama sekali nggak tahu apa yang terjadi dengan polis-polis lainnya. Dengan begitu, polis kita nggak akan bersatu dan memimpin polis-polis lainnya.”
“Kenapa gue, Vin?”
“Karena lo bisa melihat masa depan, Vi. Dan mereka tahu. Mereka lalu menghilangkan sebagian ingatan lo, masuk ke alam bawah sadar lo dan mengubah sebagian masa depan polis-polis di dunia kita.”
“Apa yang mereka ubah?”
“Mereka mengubah masa depan dimana kedua polis kita memimpin. Mereka mengubahnya dengan sebuah penyerangan ke polis lo. Saat itulah, gue nemuin lo. Sedang duduk memeluk lutut sambil menangis ketakutan. Waktu itu lo masih kecil, mungkin tujuh tahun.”
Sepuluh tahun lalu. Sivia mencoba mengingat semuanya. Tapi gagal. Malah kepalanya jadi terasa berat.
“Jangan, Sivia. Gue nggak mau lo kesakitan.”
Alvin mengenggam tangan Sivia yang mencengkeram kepalanya. Sakit. Kepala Sivia benar-benar sakit dan berat.
“Sini!”
Alvin menarik Sivia ke sampingnya. Menaruh kepala Sivia ke pundaknya lalu menepuk-nepuk lengannya. Sivia tersenyum kecil. Kenapa rasanya nyaman sekali? Dan kemana rasa sakit yang tadi menyerang kepalanya?
“Gimana cara lo nemuin gue? Dan kenapa gue sama sekali nggak inget siapa lo?”
“Kita emang nggak pernah ketemu secara langsung. Gue masuk ke alam mimpi lo, Sivia. Gue waktu itu sedang jalan-jalan di alam mimpi. Lalu diantara mimpi-mimpi banyak orang, gue melihat lo. Lo lagi nangis ketakutan. Gue menghampiri lo. Dan waktu gue lihat wajah lo, gue langsung tahu kalo lo adalah takdir gue. Tahu-tahu, lo meluk gue sambil nangis...”
“Apa? Gue langsung meluk lo?”
Alvin tersenyum geli mengingatnya. Waktu itu Sivia benar-benar ketakutan. Dan tahu-tahu tubuh Alvin ditubruk Sivia dan dipeluknya. Erat sekali.
“Iya, mana lo peluknya kenceng banget lagi. Gue sampe sesak napas, tahu.” Pelan, Alvin menjitak kepala Sivia. Membuat Sivia merengut.
“Terus, abis itu?”
“Abis itu, gue sering banget masuk alam mimpi lo. Ngajak lo jalan-jalan supaya lo nggak inget terus sama bayangan masa depan polis lo. Lo pernah waktu itu minta gue buat gendong lo di punggung. Tahu nggak? Ternyata kecil-kecil begitu, badan lo tu berat, tahu.”
Sivia merengut lagi. Iya, badan dia memang kecil tapi berisi. Dia memang punya hobi makan, sih.
Ah, pantas saja Sivia seperti pernah memeluk punggung itu. Memang benar. Alvin pernah menggendongnya di punggung.
“Kenapa orang tua gue nggak berusaha ngubah masa depan itu lagi?”
“Nggak semua penduduk polis punya kemampuan itu, Sivia. Hanya ada satu orang yang bisa. Dan sayangnya, orang itu berpihak ke Polis Barat.”
“Apa orang tua gue tahu semua ini?”
“Nggak. Sampai kejadian itu benar-benar terjadi...,”
“Maksud lo?” Perasaan Sivia tiba-tiba takut. Dia menarik kepalanya dan menatap Alvin yang sedang menunduk dan terlihat memikirkan sesuatu.
“Alvin, apa yang terjadi?”
“Kalo lo bisa lihat masa depan, maka gue bisa lihat masa lalu, Sivia. Semuanya.”
“Jadi, lo bisa ceritain semuanya ke gue?”
Alvin menggeleng. “Gue bakalan tunjukkin ke lo semuanya.”
Alvin berdiri lalu menarik tangan Sivia. Dia memeluk pundak Sivia erat-erat. Lalu, tahu-tahu tubuh Sivia serasa melayang di udara. Sekelilingnya berubah. Bukan lagi balkon kamar yang tadi. Tapi Sivia ada di udara di atas istananya sendiri. Istananya yang sedang diserang oleh orang-orang yang tak dia kenali.
Seluruh bangunan istananya hancur. Hanya tinggal menara tempat dia dan kedua orang tuanya tinggal. Lalu tiba-tiba dia sudah berada disana. Menyaksikan kedua orang tuanya bertarung melawan orang-orang asing itu. Lalu dia melihat dirinya sendiri, sedang tertidur di ruangan lainnya yang dia kenali sebagai kamarnya. Lalu tiba-tiba ada Alvin yang datang dari jendela kamarnya dan langsung membawanya keluar. Alvin tiba-tiba terjun dari menara setinggi seratus meter itu dengan Sivia yang tertidur di pundaknya. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu mereka sudah ada di atas punggung seekor kuda putih.
Lalu keadaan berubah. Mereka ada di luar istana Sivia lagi. Semua bangunannya hancur. Tubuh-tubuh yang mungkin sudah tak bernyawa tergeletak dimana-mana. Tapi orang-orang asing itu masih saja menghancurkan semuanya. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Atau seseorang...
Tepat saat tubuh Sivia limbung karena lemas, semuanya menghilang. Dia berada di balkon kamar rumah Alvin lagi.
“Alvin..., rumah gue...,”
“Tenang, Sivia. Keadaan yang sekarang udah jauh lebih baik. Istana lo sedang dalam proses pemulihan sekarang.” Alvin menahan tubuh Sivia, lalu membimbingnya kembali duduk di sofa.
“Ayah..., Ibu...,”
“Mereka baik-baik aja. Mereka sedang dirawat disini.”
“Gue mau lihat mereka, Alvin. Dimana mereka?” Sivia berontak dari pelukan Alvin. Tapi tubuhnya yang masih lemah karena pemandangan mengerikan yang dia lihat tadi membuatnya kembali terduduk di sofa.
“Mereka baik-baik aja, Sivia. Lo nggak usah khawatir. Ahli pengobatan istana gue melakukan tugasnya dengan baik.”
“Tapi, kenapa orang-orang tadi masih ada di istana gue? Bukankah semuanya udah hancur?”
“Karena mereka belum menemukan yang mereka cari.”
“Apa?”
“Bukan apa, tapi siapa. Mereka nyari lo, Sivia. Dengan membunuh lo, polis kita tidak bisa bersatu dan mereka bisa berkuasa lagi.”
“Jadi, lo udah nylametin gue dan semua polis dari kejahatan Polis Barat?”
“Yaah, bisa dibilang begitu.”
Alvin memutar tubuhnya hingga menghadap Sivia. Dia meraih kedua tangan Sivia dan menggenggamnya. “Sekarang, cuma satu yang bisa lo lakuin agar dunia kita tetap selamat.”
“Apa?”
“Nikah sama gue. Ayo!” Alvin berdiri dan menggandeng Sivia keluar kamar. Sivia terbengong-bengong sampai bingung mau bilang apa.
“Sekarang?”
“Iya. Di depan kedua orang tua kita. Mereka ada dibawah. Mereka pasti seneng lo udah siuman, dan...”
Sivia tidak lagi mendengar apa yang Alvin ucapkan. Yang ada di benaknya sekarang adalah masa remajanya yang akan direnggut oleh Alvin. Oh, come on, dia baru tujuh belas tahun, dan harus menikah di usia segitu? Dengan orang yang baru saja dia temui hari ini (kalau di alam mimpi tidak bisa dibilang bertemu)?
Sivia pasrah. Menatap tangan kanannya yang digenggam Alvin dengan perasaan campur aduk.
END.
P.S.
Polis adalah negara kota di wilayah Yunani. Contoh: Athena, Sparta, dll.
[Karya: Desmira Feri S]
Sivia terkejut ketika dirinya tahu-tahu terbangun di sebuah kamar mewah yang sama sekali tak dikenalinya. Sebuah kamar besar bergaya Eropa dengan warna putih gading yang mendominasi. Dindingnya terbuat dari beton tebal. Pintunya lebar dan tinggi, cukup untuk memasukkan seekor jerapah. Lantainya terbuat dari marmer. Ada satu jendela besar dan panjang di belakang ranjang tempat Sivia tidur. Dan ketika Sivia melongok keluar jendela itu, jantungnya hampir saja lepas. Kalau-kalau Sivia lupa ini sebuah rumah, dia mungkin akan berfikir dia sedang ada di sebuah pesawat yang sedang terbang. Sivia hampir tidak bisa melihat rumah-rumah di bawah sana saking tingginya bangunan ini.
Dan, oh, tunggu. Gaun yang melekat di tubuhnya! Dia tidak pernah merasa punya gaun tidur seindah dan senyaman ini. Yah, dia memang seorang putri, tapi sungguh, semua gaun tidurnya sudah membuat dia bosan. Tapi ini? Punya siapa? Dan yang paling penting, SIAPA YANG MENGGANTI BAJUNYA DENGAN GAUN TIDUR INI?
Sivia sedang mencoba untuk tidak berfikiran buruk ketika pintu kamar yang besar dan tinggi itu terbuka. Sesosok manusia masuk dengan selusin penjaga dan pelayan rumah di belakangnya. Sivia tidak bisa mengenalinya. Dia memakai jubah hitam lengkap dengan penutup kepala. Setengah wajahnya tertutup slayer hitam. Otomatis Sivia cuma bisa melihat matanya.
Tidak mungkin! Mata itu...
“Ternyata lo udah bangun? Gimana tidurnya? Kebo banget, sih, lo jadi cewek?” sesosok manusia yang ternyata cowok itu duduk di sebuah kursi tepat di depan ranjang Sivia.
Dia lalu menjentikkan jarinya, dan setengah lusin pelayan rumah yang dia bawa mendekati ranjang Sivia. Pelayan pertama, mengikat rambut Sivia yang terurai sampai ke punggung. Pelayan kedua, menggulung lengan baju Sivia sebatas siku. Pelayan ketiga menyingkap selimut dari badan Sivia. Pelayan keempat, menaruh meja makan lipat di depan Sivia. Pelayan kelima, menaruh makanan dan minuman ke meja itu. Dan yang terakhir, menyerahkan sendok dan garpu ke Sivia sambil mempersilahkannya makan.
Sivia sampai pusing melihat pertunjukkan di depannya. Please, di istananya saja, dia tidak pernah dilayani seberlebihan ini.
“Lo siapa?” Akhirnya, bisa juga Sivia bersuara setelah sejak tadi bengong di depan orang-orang asing ini.
“Gue?...” cowok itu menunjuk dirinya sendiri, “takdir lo.”
“Ha?”
Cowok itu mendekat ke arah Sivia sambil lagi-lagi menjentikkan jarinya. Selusin pelayan dan penjaga itu kemudian keluar dan menutup pintu kamar. Oh, tidak...
“Lo nggak ngerti apa itu takdir? Oke. I’m your destiny. Ngerti?”
Sivia menggeleng. Dan tiba-tiba saja cowok itu tertawa keras sampai duduk terbungkuk-bungkuk di depan Sivia. Apanya yang lucu coba?
“Lo lucu banget, sih. Gue boleh ya, nyium lo?”
Hei, hei, hei. Apa-apaan, sih, ini cowok. Sembarangan saja dia bilang begitu. Dia nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa rupanya. Asal dia tahu, Sivia itu seorang putri, princess.
PRINCESS!
Mana boleh dicium sama sembarang cowok.
“Lo kalo ngomong jangan sembarangan, ya. Lo nggak tahu siapa gue?”
“Tahu kok, makanya gue berani ngomong gitu.”
“Maksud lo?”
“Ya karena lo takdir gue, makanya gue boleh nyium lo. Boleh, ya?” Cowok itu semakin mendekat, kedua matanya mengerling lucu. Sivia merangsek mundur. Merapat ke sandaran tempat tidur.
“Heh. Jangan sembarangan, ya, lo. Gue jago karate tahu.”
“Sama, gue juga. Nggak cuman karate, sih. Gue juga bisa silat, taekwondo, judo, kungfu. Sumo juga bisa. Kapan-kapan kita battle mau?”
Sableng ini cowok.
“Lo siapa, sih? Gue lagi dimana? Kenapa gue bisa disini? Kemana orang tua gue?”
Mata cowok itu tiba-tiba meredup. Tapi sedetik kemudian kembali bersinar. Bukan saat yang tepat, pikirnya.
“Mending sekarang lo makan.” Cowok itu menyodorkan meja makannya.
“Nggak mau. Gue nggak mau makan sebelum lo ngasih tahu siapa lo.”
Cowok itu mengangguk-angguk, sok mikir. “Lo beneran mau tahu siapa gue?”
Sivia mengangguk.
“Lo beneran mau lihat wajah gue?”
Sivia mengangguk lagi. Mulai kesal.
“Tapi gue nggak tanggung jawab, ya, kalo habis itu lo tiba-tiba naksir atau bahkan tergila-gila sama gue?”
Sivia mengangguk lagi.
Sambil pengen muntah.
“Oke, kalo itu yang lo mau.”
Dalam satu tarikan, cowok itu melepas penutup kepala dan slayernya. Giliran Sivia yang tiba-tiba kaku melihat wajah cowok di depannya. Wajah cowok itu bersinar. Benar-benar bersinar. Yah, Sivia lupa kalau matahari pagi di luar sana sedang naik dan cahayanya masuk ke jendela di belakangnya.
Tapi bukan itu yang membuat Sivia diam. Bukan itu. Tapi wajah itu. Wajah itu, Sivia pernah melihatnya. Tapi, dimana dan kapannya, Sivia sama sekali lupa.
“Kan. Apa gue bilang. Lo pasti jadi diem gitu gara-gara naksir mendadak lihat wajah gue. Iya, kan?”
Ingin rasanya Sivia nonjok wajah cowok itu. Tapi, sekarang tangannya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lagian, Sivia bukan princess yang sekejam itu sama orang lain. Apalagi orang lain itu tampan, saaaaaangat tampan.
Tapi, ketampanan cowok ini beda. Dia, seperti bayi berukuran besar. Wajahnya lonjong, dengan kulit putih bersih dan hidung mancung. Kedua matanya berwarna biru, mengingatkan Sivia akan laut yang sangat tenang. Dan ketika kau melihat wajahnya yang lucu itu, pasti rasanya pengen nyubit. Kayak Sivia sekarang. Bukan nyubit, sih, tapi nonjok.
“Gue..., pernah lihat lo.” Terbata, Sivia menatap lurus-lurus wajah cowok itu. Sambil berusaha mengumpulkan memorinya tentang wajah yang familier ini.
Cowok itu menjentikkan jarinya lagi sambil tersenyum. “Tepat sekali. Gue seneng lo masih inget gue.”
“Memangnya kita pernah ketemu?”
“Bukan pernah, tapi sering.”
“Tapiii, kenapa gue sama sekali nggak inget? Dimana kita pernah ketemu?”
Cowok itu tersenyum lembut sambil meraih tangan Sivia dan menaruhnya di atas meja. Sivia diam dengan perlakuan cowok itu. Semua ini masih membuatnya bingung. Dan dia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.
“Mending sekarang lo makan dulu. Abis itu, gue bakalan ceritain semuanya, ya?”
“Tapi, Alvin, sebenernya apa yang terjadi sama gue?”
Cowok itu terkejut. Dia menatap Sivia sambil tersenyum lebar. “Gue nggak nyangka lo inget nama gue. Gue seneng banget.”
“Ah...” giliran Sivia yang terkejut dengan dirinya sendiri. Ngomong apa dia tadi? Dan kenapa dia bisa tahu nama cowok ini?
“Kok..., gue tahu nama lo? Lo tadi belom ngasih tahu gue, kan? Kenapa...”
Suara Sivia mendadak hilang ketika sesendok penuh nasi masuk ke mulutnya. Cowok itu nyengir. “Lo makan dulu aja. Nanya-nanyanya ntar. Oke?”
Sivia merengut.
***
Sivia menghampiri Alvin yang tengah berdiri di pembatas balkon kamar. Tadi dia dipaksa makan sama Alvin. Dan setelahnya, dia harus mandi dengan ditunggui oleh setengah lusin pelayan perempuan Alvin di depan pintu kamar mandi. Waktu ganti bajupun, pelayan-pelayan itu sama sekali tidak mau pergi. Sivia jadi tahu kalau pelayan-pelayan itulah yang mengganti bajunya dengan gaun tidur yang indah itu. Syukurlah!
Sivia mengamati Alvin dari belakang. Punggung itu, kenapa Sivia begitu familier? Dan kenapa Sivia bisa merasakan kalau punggung kokoh itu pernah melindunginya? Sebenarnya ada apa? Alvin itu siapa?
“Sivia, udah selesai?” Alvin menatap Sivia yang sedang melamun. Sivia tersenyum kecil sambil mendekati Alvin. Dia harus mendapat penjelasan sekarang juga.
“Emang, ya, takdir nggak pernah salah.” Alvin tersenyum lembut sambil menyapukan punggung jari telunjuknya di pipi Sivia. Kaget, Sivia mundur selangkah.
“Maksud lo?”
“Gue tampan, dan gue punya takdir secantik lo. Takdir emang selalu bener, kan?”
Cuih.
Sivia nggak butuh takdir-takdir itu. Sivia cuma butuh penjelasan.
“Gue butuh penjelasan sekarang juga. Gue pengen pulang dan ketemu orang tua gue. Dimana mereka, Alvin?”
Alvin duduk di sofa panjang di depan pintu balkon. “Duduk sini, Sivia.”
Sivia nurut. Duduk menghadap Alvin sambil memeluk lutut. Alvin tahu-tahu tersenyum melihat Sivia. “Kenapa senyum-senyum?”
“Gue jadi inget waktu pertama kali nemuin lo.”
“Oh ya?”
Alvin mengangguk. “Sivia, sebelum gue jelasin semuanya ke lo, gue mau nanya sama lo. Lo bener-bener nggak inget siapa gue?”
Sivia menggeleng. Alvin menarik nafas. “Tapi kenapa lo inget nama gue?”
“Nggak tahu, reflek aja nyebut nama lo tadi.”
Alvin tersenyum lagi. “Mungkin itulah yang namanya takdir.”
Aaah, Alvin ini. Dari tadi ngomongnya takdiiiiiir terus. Sivia itu nggak butuh takdir-takdiran, Sivia cuma butuh penjelasan. PENJELASAN!
“Karena semuanya emang berawal dari takdir, Sivia, kenapa lo bisa disini.” Ujar Alvin, seperti tahu apa yang sedang Sivia pikirkan.
“Iya-iya, takdir. Oke, gue ngerti. Sekarang lo jelasin semuanya!” Sivia memilih mengalah. Dia tidak mau tonjok-tonjokkan sama Alvin hanya gara-gara debat masalah takdir.
“Lo bener-bener nggak inget pertama kali kita ketemu?”
Sivia menggeleng pelan. Sungguh, dia tidak ingat apa-apa sekarang. Selain dia adalah seorang putri dari sebuah polis. Dan dia masih punya orang tua lengkap yang sekarang entah dimana.
“Berarti sihir dari Polis Barat memang benar.”
“Sihir? Polis Barat?” Sivia makin bingung. Selain takdir, kenapa Alvin menggunakan kata-kata yang sama sekali tidak Sivia pahami?
“Polis Barat menggunakan salah satu sihir terlarang untuk menghilangkan ingatan lo, Sivia. Supaya polis kita tidak bisa bersatu.”
“Jelasin dari awal, Alvin! Gue sama sekali nggak ngerti.”
“Begini. Polis kita, ditakdirkan untuk bersatu lewat kita...,”
“Maksudnya “kita”?” Sivia jadi ngeri dengan apa yang akan Alvin jawab. Jangan bilang kalau...
“Iya, kita bakalan mempersatukan polis kedua orang tua kita dengan pernikahan. Kita bakalan nikah.”
“Tapi, Alvin, kenapa gue...”
“Sivia, tolong dengerin gue dulu. Jangan potong omongan gue sebelum gue selesai cerita. Lo boleh nanya apa aja nanti kalau gue udah selesai. Mengerti?”
Sivia mengangguk.
Alvin memulai cerita. “Di dunia kita, sejak dulu seluruh polis dipimpin oleh dua polis lain sisi yang bersatu lewat anak-anaknya. Polis lo, Polis Selatan dan polis gue, Polis Utara mendapat giliran memimpin selama abad ketiga ini. Tapi, Polis Barat, yang selama abad kedua lalu memimpin bersama Polis Timur, nggak pengen kekuasaannya hilang. Mereka pengen terus memimpin, makanya mereka menyihir lo supaya lo kehilangan sebagian ingatan lo. Lo cuma inget kalau lo itu adalah seorang putri dari Polis Selatan. Lo sama sekali nggak tahu apa yang terjadi dengan polis-polis lainnya. Dengan begitu, polis kita nggak akan bersatu dan memimpin polis-polis lainnya.”
“Kenapa gue, Vin?”
“Karena lo bisa melihat masa depan, Vi. Dan mereka tahu. Mereka lalu menghilangkan sebagian ingatan lo, masuk ke alam bawah sadar lo dan mengubah sebagian masa depan polis-polis di dunia kita.”
“Apa yang mereka ubah?”
“Mereka mengubah masa depan dimana kedua polis kita memimpin. Mereka mengubahnya dengan sebuah penyerangan ke polis lo. Saat itulah, gue nemuin lo. Sedang duduk memeluk lutut sambil menangis ketakutan. Waktu itu lo masih kecil, mungkin tujuh tahun.”
Sepuluh tahun lalu. Sivia mencoba mengingat semuanya. Tapi gagal. Malah kepalanya jadi terasa berat.
“Jangan, Sivia. Gue nggak mau lo kesakitan.”
Alvin mengenggam tangan Sivia yang mencengkeram kepalanya. Sakit. Kepala Sivia benar-benar sakit dan berat.
“Sini!”
Alvin menarik Sivia ke sampingnya. Menaruh kepala Sivia ke pundaknya lalu menepuk-nepuk lengannya. Sivia tersenyum kecil. Kenapa rasanya nyaman sekali? Dan kemana rasa sakit yang tadi menyerang kepalanya?
“Gimana cara lo nemuin gue? Dan kenapa gue sama sekali nggak inget siapa lo?”
“Kita emang nggak pernah ketemu secara langsung. Gue masuk ke alam mimpi lo, Sivia. Gue waktu itu sedang jalan-jalan di alam mimpi. Lalu diantara mimpi-mimpi banyak orang, gue melihat lo. Lo lagi nangis ketakutan. Gue menghampiri lo. Dan waktu gue lihat wajah lo, gue langsung tahu kalo lo adalah takdir gue. Tahu-tahu, lo meluk gue sambil nangis...”
“Apa? Gue langsung meluk lo?”
Alvin tersenyum geli mengingatnya. Waktu itu Sivia benar-benar ketakutan. Dan tahu-tahu tubuh Alvin ditubruk Sivia dan dipeluknya. Erat sekali.
“Iya, mana lo peluknya kenceng banget lagi. Gue sampe sesak napas, tahu.” Pelan, Alvin menjitak kepala Sivia. Membuat Sivia merengut.
“Terus, abis itu?”
“Abis itu, gue sering banget masuk alam mimpi lo. Ngajak lo jalan-jalan supaya lo nggak inget terus sama bayangan masa depan polis lo. Lo pernah waktu itu minta gue buat gendong lo di punggung. Tahu nggak? Ternyata kecil-kecil begitu, badan lo tu berat, tahu.”
Sivia merengut lagi. Iya, badan dia memang kecil tapi berisi. Dia memang punya hobi makan, sih.
Ah, pantas saja Sivia seperti pernah memeluk punggung itu. Memang benar. Alvin pernah menggendongnya di punggung.
“Kenapa orang tua gue nggak berusaha ngubah masa depan itu lagi?”
“Nggak semua penduduk polis punya kemampuan itu, Sivia. Hanya ada satu orang yang bisa. Dan sayangnya, orang itu berpihak ke Polis Barat.”
“Apa orang tua gue tahu semua ini?”
“Nggak. Sampai kejadian itu benar-benar terjadi...,”
“Maksud lo?” Perasaan Sivia tiba-tiba takut. Dia menarik kepalanya dan menatap Alvin yang sedang menunduk dan terlihat memikirkan sesuatu.
“Alvin, apa yang terjadi?”
“Kalo lo bisa lihat masa depan, maka gue bisa lihat masa lalu, Sivia. Semuanya.”
“Jadi, lo bisa ceritain semuanya ke gue?”
Alvin menggeleng. “Gue bakalan tunjukkin ke lo semuanya.”
Alvin berdiri lalu menarik tangan Sivia. Dia memeluk pundak Sivia erat-erat. Lalu, tahu-tahu tubuh Sivia serasa melayang di udara. Sekelilingnya berubah. Bukan lagi balkon kamar yang tadi. Tapi Sivia ada di udara di atas istananya sendiri. Istananya yang sedang diserang oleh orang-orang yang tak dia kenali.
Seluruh bangunan istananya hancur. Hanya tinggal menara tempat dia dan kedua orang tuanya tinggal. Lalu tiba-tiba dia sudah berada disana. Menyaksikan kedua orang tuanya bertarung melawan orang-orang asing itu. Lalu dia melihat dirinya sendiri, sedang tertidur di ruangan lainnya yang dia kenali sebagai kamarnya. Lalu tiba-tiba ada Alvin yang datang dari jendela kamarnya dan langsung membawanya keluar. Alvin tiba-tiba terjun dari menara setinggi seratus meter itu dengan Sivia yang tertidur di pundaknya. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu mereka sudah ada di atas punggung seekor kuda putih.
Lalu keadaan berubah. Mereka ada di luar istana Sivia lagi. Semua bangunannya hancur. Tubuh-tubuh yang mungkin sudah tak bernyawa tergeletak dimana-mana. Tapi orang-orang asing itu masih saja menghancurkan semuanya. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Atau seseorang...
Tepat saat tubuh Sivia limbung karena lemas, semuanya menghilang. Dia berada di balkon kamar rumah Alvin lagi.
“Alvin..., rumah gue...,”
“Tenang, Sivia. Keadaan yang sekarang udah jauh lebih baik. Istana lo sedang dalam proses pemulihan sekarang.” Alvin menahan tubuh Sivia, lalu membimbingnya kembali duduk di sofa.
“Ayah..., Ibu...,”
“Mereka baik-baik aja. Mereka sedang dirawat disini.”
“Gue mau lihat mereka, Alvin. Dimana mereka?” Sivia berontak dari pelukan Alvin. Tapi tubuhnya yang masih lemah karena pemandangan mengerikan yang dia lihat tadi membuatnya kembali terduduk di sofa.
“Mereka baik-baik aja, Sivia. Lo nggak usah khawatir. Ahli pengobatan istana gue melakukan tugasnya dengan baik.”
“Tapi, kenapa orang-orang tadi masih ada di istana gue? Bukankah semuanya udah hancur?”
“Karena mereka belum menemukan yang mereka cari.”
“Apa?”
“Bukan apa, tapi siapa. Mereka nyari lo, Sivia. Dengan membunuh lo, polis kita tidak bisa bersatu dan mereka bisa berkuasa lagi.”
“Jadi, lo udah nylametin gue dan semua polis dari kejahatan Polis Barat?”
“Yaah, bisa dibilang begitu.”
Alvin memutar tubuhnya hingga menghadap Sivia. Dia meraih kedua tangan Sivia dan menggenggamnya. “Sekarang, cuma satu yang bisa lo lakuin agar dunia kita tetap selamat.”
“Apa?”
“Nikah sama gue. Ayo!” Alvin berdiri dan menggandeng Sivia keluar kamar. Sivia terbengong-bengong sampai bingung mau bilang apa.
“Sekarang?”
“Iya. Di depan kedua orang tua kita. Mereka ada dibawah. Mereka pasti seneng lo udah siuman, dan...”
Sivia tidak lagi mendengar apa yang Alvin ucapkan. Yang ada di benaknya sekarang adalah masa remajanya yang akan direnggut oleh Alvin. Oh, come on, dia baru tujuh belas tahun, dan harus menikah di usia segitu? Dengan orang yang baru saja dia temui hari ini (kalau di alam mimpi tidak bisa dibilang bertemu)?
Sivia pasrah. Menatap tangan kanannya yang digenggam Alvin dengan perasaan campur aduk.
END.
P.S.
Polis adalah negara kota di wilayah Yunani. Contoh: Athena, Sparta, dll.
If You Earn Me [13]
Title : If You Earn Me
Author
: Rosita Dinni
Genre
: Romance
Cast
: Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Sivia duduk di atas kasur sambil membaca novel yang baru ia beli tadi siang. Tidak seperti biasanya, sivia menghabiskan waktu satu jam hanya untuk membaca sepuluh halaman novel itu. padahal biasanya sivia sudah menghabiskan satu novel hanya dalam dua sampai tiga jam. Bagaimana tidak, kali ini sivia membaca novel sambil berkali-kali mengecek ponselnya yang ia letakkan di dekatnya.
Sivia buru-buru mengambil ponselnya begitu mendengar ponselnya itu berbunyi. Sivia menghela nafas kecewa melihat pesan masuk bukan dari yang ia harapkan. Yah, sivia sungguh mengharapkan pesan atau telpon dari alvin. Sudah hampir dua hari alvin tidak menghubunginya sama sekali pasca pertengkaran mereka di tempat makan waktu itu. Setelah mengantarkan sivia kembali ke butik untuk mengambil mobilnya, alvin tidak berkata apa-apa dan langsung pergi begitu saja. Dan sivia begitu tidak tenang dengan kondisi seperti ini. Alvin benar-benar marah!
Masa iya gue yang telpon duluan? Batin sivia menimbang. Gengsi sivia cukup besar untuk menghubungi alvin duluan, apalagi menurut sivia memang alvin yang terlalu berlebihan. Tapi jujur ia merindukan alvin. Sivia meletakkan novelnya dan akhirnya memilih membuka profil BBM alvin. Sivia merasa kecewa melihat alvin kini membiarkan display picturenya tanpa foto. Setelah itu sivia pun keluar dari aplikasi messenger dan membuka aplikasi twitter. Sivia langsung saja mengetikkan username akun alvin di kolom pencarian. Tapi sayangnya tidak ada tweet terbaru dari alvin. Bahkan tweet terakhir alvin ditulis hampir seminggu lalu.
azizahsivia: kangen!!
Setelah menulis satu tweet itu sivia keluar dari aplikasi sosial media itu dan memilih tiduran. Sivia hanya diam, bingung apa yang harus ia lakukan.
Tidak jauh berbeda dengan alvin. Ia kini sedang tiduran di kasur sambil menatap langit-langit kamarnya. Sudah dua hari ini ia tidak berkomuniasi dengan sivia sama sekali dan itu benar-benar membuat alvin frustasi. Ia begitu merindukan sivia, tapi ia juga tidak bisa hanya diam melihat pacarnya itu berfoto mesra dengan laki-laki lain apalagi dengan mantan pacarnya!
“Kenapa sih bos?” Tanya sion yang duduk di samping alvin sambil memakan snack dan tentu melihat tingkah laku alvin daritadi.
“Mikirin iyem lagi bos?” cakka yang sedang bermain playstasion dengan rio juga ikut menyahut.
“Gue ngerasa aneh aja.” Kata alvin yang masih tidak mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamarnya.
“Aneh kenapa?” Tanya sion.
“Kalau dipikir-pikir sivia bener, ini cuma masalah sepele. Tapi tetep aja gue ngerasa kesel banget. Rasanya pingin marah-marah terus. Aneh gak sih gue?” setelah berkata, alvin menoleh ke samping dimana sion yang malah tertawa.
“Apanya yang lucu?” tanya alvin menatap tajam ke arah sion yang akhirnya berusaha menghentikan tawanya.
“Hehe sorry bos. Makanya kalau sama cewek jangan suka cuma main-main aja. Nih gue kasih tau, yang lo rasain sekarang tuh namanya cemburu! Dan cemburu itu tanda cinta. Berarti lo bener-bener jatuh cinta sama si iyem bos!” kata sion tesenyum lebar. Tapi senyum itu tidak berlangsung lama karena alvin yang langsung memukul kepala sion.
“Pasti lah gue cinta sama cewek gue!”
“Beda bos! Sekarang pikir deh, kapan lo cemburu sama pacar-pacar lo sebelum ini?” kata sion.
“Bener kata sion bos. Lo kan cuma asal kalau nembak cewek. Asal dia cantik, seksi, famous, langsung lo tembak aja. Kalau udah diterima yaudah deh lo cuekin. Mana lo peduli kalau cewek lo foto sama cowok lain.” Cakka ikut menambahkan.
“Yaudah bos, telpon aja iyem. Lo gak takut si Gabriel deketin iyem?” kata rio yang menghampiri sion lalu merebut snack yang tengan sion nikmati.
“Iya bos, telpon iyem sana. Daripada keburu di rebut Gabriel. Kayaknya Gabriel masih ngarep sama iyem.” Kata cakka lagi.
Sivia menimbang-nimbang perkataan sahabat-sahabatnya. Alvin jadi semakin tidak tenang memikirkan Gabriel yang mencoba mendekati sivia lagi. Tidak berkata apa-apa lagi alvin langsung meraih kunci motor dan jaketnya. Sedangkan sion, cakka dan rio hanya senyum-senyum melihat alvin yang buru-buru pergi.
* * *
“Vi!” sivia yang sedang tiduran di kasur langsung menoleh melihat adiknya yang masuk ke kamarnya. Tidak lama ray sudah duduk manis di kasur sivia.
“Apa?” tanya sivia malas.
“Lo liat deh instagramnya marsha!” kata ray menyerahkan iPhonenya ke sivia. Sivia mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk dan melihat layar iPhone adiknya.
“Apaan nih?!!” sivia langsung emosi melihat akun instagram marsha yang baru saja mengunggah foto beberapa menit lalu. Itu adalah foto marsha dan alvin yang sedang selfie! Apalagi di foto itu terlihat marsha yang memeluk leher alvin dengan mesra!
“Lo udah putus sama alvin?” tanya ray. sivia pun menggeleng sebagai jawaban.
“Lo sih pake foto-foto sama Gabriel. Kalau alvin balikan sama marsha gimana?” kata ray.
“Terserah lah. Hak dia mau balikan sama marsha!” kata sivia.
“Lo rela emang? Lo sebenernya cinta gak sih sama alvin?!” ray jadi kesal dengan kakaknya yang seperti tidak peduli.
“Ya walaupun gue cinta tapi kalau dia gak cinta sama gue terus mau apa?! Tau ah!!” sivia mengembalikan iPhone ray lalu kembali tiduran dan memeluk gulingnya erat dengan wajah cemberut.
“Lagian marsha juga lebih cantik dari elo sih vi.” Kata ray sambil melihat-lihat foto marsha yang lainnya.
“Gue juga tau!!” kata sivia semakin berkaca-kaca mendengar kata-kata ray. Memang benar marsha jauh lebih cantik dari dirinya. Begitu juga mantan-mantan alvin yang lainnya. Sivia semakin yakin kalau alvin sekarang pasti baru menyadari bahwa ia benar-benar salah memilih sivia.
Ray yang melihat kakaknya sedih pun memilih keluar dari kamar sivia apalagi ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Ray langsung turun untuk membukakan pintu karena pasti sivia tidak dalam mood untuk membukakan pintu.
Sedangkan sivia akhirnya memasang earphone ke telinganya dan mendengarkan lagu dari iPod. Sivia memilih lagu mellow agar membuatnya bisa cepat terlelap. Tapi baru beberapa menit sivia memejamkan matanya ia merasakan kasurnya bergerak menandakan ada yang menduduki kasurnya.
“Lo liat foto marsha sendiri aja bisa kan?! Gue mau tidur ray!” kata sivia tanpa menoleh. Ia tetap pada posisinya yang menghadap ke tembok. Sivia dalam suasana hati yang kurang baik untuk menemani ray melihat-lihat foto marsha atau yang lainnya.
Sivia langsung membuka matanya begitu merasakan ada yang mengelus kepalanya lembut. Ray? tentu tidak mungkin! Sivia pun menoleh dan terkejut melihat Alvin yang duduk di tepi kasurnya sambil mengelus kepalanya.
“Alvin?” kata sivia mengubah posisinya menjadi duduk dan menghadap ke alvin.
“Hai.” Kata alvin tersenyum.
“Ngapain disini?” tanya sivia. Jujur ia benar-benar tidak menyangka alvin disini, dikamarnya. Tiba-tiba ia mengingat foto marsha tadi. Apa jangan-jangan alvin kesini untuk memutuskan hubungan mereka?
“Sorry ganggu, tapi ada yang bener-bener pingin aku omongin ke kamu.” Kata alvin. sivia langsung tersenyum miris mendengarnya. Sepertinya dugaannya memang benar.
“Aku udah tau.” Kata sivia sambil menunduk sambil memainkan ujung baju tidurnya.
“Udah tau?” Alvin menatap sivia heran.
“Aku gak apa-apa kalau itu yang kamu pingin. Lagian emang marsha jauh lebih baik dari aku.” Kata sivia.
“Marsha?” alvin mengangkat sebelah alisnya. Ia jadi bingung sendiri dengan arah pembicaraan ini.
“Iya.” Sivia mengangguk.
“Vi, Aku kesini mau minta maaf sama kamu. Aku sadar aku emang berlebihan. Aku cuma gak terbiasa cemburu. Dan cemburu rasanya bener-bener ngeselin. Aku minta maaf.” Kata alvin meraih tangan sivia dan menggenggamnya lembut.
“Minta maaf? Bukan minta putus?” tanya sivia. Alvin yang mendengarnya langsung terkejut. Darimana sivia mendapat pemikiran seperti itu?
“Enggak lah. Aku kesini mau minta maaf. Maafin aku…” kata alvin menatap sivia sungguh-sungguh. Sedangkan sivia langsung tersenyum, ia tidak menyangka ternyata alvin datang untuk meminta maaf. Sivia pun langsung mengangguk.
“Aku juga minta maaf.” Kata sivia yang dibalas anggukan oleh alvin. Setelah itu alvin langsung saja menarik sivia dalam pelukannya. Ia benar-benar merasa lega akhirnya ia dan sivia sudah baikan.
“Oh ya, kenapa kamu mikir aku mau putus? Dan kenapa tadi malah nyebut-nyebut marsha?” tanya alvin setelah melepaskan pelukannya. Memang ia jadi penasaran dengan apa yang membuat sivia mengira bahwa ia ingin putus.
“Tadi ray kesini nunjukin aku instagramnya marsha. Marsha baru aja ngupload foto dia sama kamu.” Sivia menjelaskan dengan cemberut.
“Foto apa? Aku gak pernah foto sama marsha.” Kata alvin.
“Bohong! Liat aja di instagramnya marsha!” mendengar kata-kata sivia akhirnya membuat alvin mengambil iPhonenya dan membuka aplikasi instagram.
“Kenapa?” tanya sivia melihat alvin yang hanya diam.
“Lupa password.” Kata alvin sambil nyengir. Memang sudah cukup lama ia tidak pernah membuka akun instagramnya. Alvin pun mencoba beberapa kata yang ia ingat. Dan setelah tiga kali mencoba akhirnya ia berhasil masuk ke akun instagramnya.
“Usernamenya marsha apa?” tanya alvin ke sivia.
“Ih kamu kan mantannya! Masa gak tau.”
“Masa mantan wajib tau username instagramnya.” Kata alvin.
“Sini.” Kata sivia akhirnya mengambil iPhone alvin dan mengetikkan username marsha. Tentu saja sivia ingat, sudah beberapa kali ia dan ray membuka akun instagram marsha.
“Nih!” sivia langsung menyerahkan iPhone alvin yang menunjukkan foto yang baru diunggah oleh marsha.
“Ini sih foto lama.” Kata alvin setelah melihat foto yang dimaksud sivia.
“Foto lama?”
“Iya. Ini foto waktu aku masih pacaran sama dia dulu.” Jelas alvin.
“Masa? Kenapa baru diupload sekarang sama marsha?”
“Ya gak tau. Yaudah nanti aku suruh dia hapus.” Kata alvin.
“Bener foto lama?” tanya sivia yang masih tidak percaya. Alvin yang melihat wajah cemberut sivia malah tersenyum.
“Iya sayaang. Kenapa? Cemburu?” tanya alvin menyeringai.
“Iya lah! Liat nih pake meluk-meluk segala!” kata sivia kesal. Alvin yang mendengarnya malah tertawa.
“Itu yang aku rasain waktu liat foto kamu sama Gabriel.” Kata alvin. sivia yang mendengarnya jadi terdiam.
“Maaf.” Kata sivia. Ia baru berpikir, kalau ia melihat foto alvin dengan gadis lain tentu sivia akan marah. Ia jadi merasa bersalah mengatakan alvin berlebihan saat itu.
“Udah lupain masalah itu. Kita kan baru baikan.” Kata alvin menarik bahu sivia dan merangkulnya sambil bersandar di tembok.
“Kapan kamu terakhir buka instagram?” tanya sivia setelah diam sesaat. Ia masih dalam posisi alvin yang merangkul pundaknya.
“Udah lama. Kenapa?”
Sivia tidak menjawab dan memperlihatkan layar iPhone alvin yang masih ia pegang. Alvin pun melihat layar iPhonenya dan terlihat foto-foto yang pernah ia unggah di instagram. Banyak sekali foto-foto ia bersama mantan-mantan pacarnya atau dengan gadis-gadis yang hanya sekedar pernah dekat dengannya.
“Siapa aja ini?” tanya sivia yang hanya berbasa-basi. Tentu ia sudah tahu cewek-cewek yang ada di instagram alvin dari Ray.
“Itu foto lama semua kok.” Kata alvin mengambil iPhonenya dan langsung menghapus foto-fotonya dengan mantan-mantannya.
“Kenapa dihapusin? Aku kan cuma tanya itu siapa aja.” Kata sivia yang sebenarnya senang melihat alvin menghapus foto-foto itu dari akun instagramnya.
“Mantan aku. Sumpah aku udah lama gak buka instagram. Jangan marah…” kata alvin. Ia takut sivia marah.
“Aku gak marah. Lagian kenapa dihapus, kan sayang fotonya bagus-bagus.” Kata sivia.
“Ini foto lama sayang.” Kata alvin akhirnya selesai menghapus foto dirinya dengan mantannya dan menyisakan foto dirinya sendiri dan beberapa foto lain.
“Yaudah aku pinjem lagi.” Kata sivia mengambil iPhone alvin lagi dan langsung membuka aplikasi kamera.
“Sama aku.” Kata alvin langsung saat melihat sivia akan melakukan self camera. Sivia pun mengarahkan kamera depan iPhone alvin hingga menampilkan wajah mereka berdua. Mereka pun sama-sama tersenyum ke kamera.
Dan seperti biasa, mereka pun terus ber-selfie ria. Hingga beberapa menit kemudian mereka pun berhenti dan memilih untuk melihat hasil foto mereka. Mereka tersenyum melihat foto-foto mereka. Apalagi melihat beberapa foto terakhir yang mereka ambil membuat wajah sivia bersemu merah. Di foto itu alvin terus berpose dengan mencium pipi sivia. Tidak hanya sivia, alvin juga tersenyum melihat foto-foto itu.
Setelah melihat-lihat, alvin memilih satu foto untuk diupload di akun instagramnya. Tentu saja alvin memilih foto dimana ia tengah mencium pipi sivia sedangkan sivia memejamkan matanya sambil tersenyum.
“Jangan itu yang diupload!” kata sivia dengan wajah merah. Apalagi alvin yang menambahkan tulisan ‘my beautiful girl.’.
“Ini baru foto yang bagus.” Kata alvin menyeringai melihat foto itu sukses diupload. Sedangkan sivia pun akhirnya hanya bisa tersenyum malu dengan wajah yang semakin memerah. Alvin yang melihatnya menjadi semakin gemas dan akhirnya kembali mencium pipi sivia untuk yang kesekian kalinya.
“I love you.” Bisik alvin setelah mencium pipi sivia. Tentu saja sivia semakin merona mendengar kata-kata alvin. sivia menolehkan wajahnya menghadap alvin yang ternyata belum menjauhkan wajahnya membuat wajah mereka kini berhadapan sangat dekat. Sivia menelan ludahnya dengan susah payah saat melihat alvin yang telihat memajukan wajahnya dengan perlahan. Hingga akhirnya ia merasakan bibir alvin yang menempel di bibirnya. Secara reflek sivia memejamkan matanya merasakan bibir alvin yang mulai bergerak lembut dibibirnya.
Ini memang bukan ciuman pertama sivia, Ia pernah berciuman dengan Gabriel dulu saat masih SMA. Tapi ciuman Gabriel dulu tak seintens ciuman alvin yang sekarang. Dulu ciuman mereka hanya sekedar bibir bertemu bibir dan sangat singkat. Sedangkan kini ciuman alvin begitu intens dan sivia bingung untuk mengikutinya. Tapi sivia mencoba menyesuaikan gerakan bibirnya dengan alvin. Hingga kini lidah mereka saling membelit. Kepala sivia terasa pusing merasakan sensasinya. Sivia benar-benar tidak menyangka mereka kini melakukan frenchkiss!
If You Earn Me [12]
Title : If You Earn Me
Author
: Rosita Dinni
Genre
: Romance
Cast
: Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Untuk kesekian kalinya alvin membuka recent update lalu membuka profil BBM Gabriel. Alvin kembali membuka display picture Gabriel yang baru saja diganti untuk ketiga kalinya. Dan lagi-lagi Gabriel memasang foto dirinya dengan sivia. Alvin heran, apa Gabriel tidak melihat display picturenya? Buktinya Gabriel malah lagi-lagi mengganti display picturenya dengan sivia. Alvin menekan tombol back begitu ia mendapat BBM masuk.
Cakka Nuraga:
Bos, DPnya Gabriel bukannya sama si iyem?
Alvin Jonathan:
Mungkin
Hingga beberapa menit kemudian Cakka tidak kunjung membalas BBM alvin membuat alvin memutuskan untuk meletakkan ponselnya dan menyalakan televisi. Tetapi baru saja alvin menekan tombol turn on pada remote, smartphonenya kembali berbunyi.
Cakka Nuraga:
Gabriel malah tanya ke gue dp lo sama siapa bos
Alvin Jonathan:
Lo jawab apa
Dan lebih dari lima menit cakka belum juga membalas BBMnya.
Alvin Jonathan:
PING!!!
Alvin Jonathan:
PING!!!
“Cakka sialan.” Umpat alvin melihat cakka bahkan belum membaca BBMnya. Alvin pun kembali meletakkan smartphonenya dan mengganti channel televisi.
* * *
Seperti biasa, setelah terbangun dari tidurnya sivia pun buru-buru mengambil ponselnya. Ia tersenyum begitu melihat beberapa panggilan tidak terjawab dan BBM dari alvin.
Alvin Jonathan:
Sayaang
Alvin Jonathan:
PING!!!
Alvin Jonathan:
PING!!!
Alvin Jonathan:
PING!!!
Sambil tersenyum sivia pun membalas BBM Alvin. Sivia membayangkan alvin yang panik. Memang kebiasaan alvin yang suka panik sendiri jika sivia tidak kunjung membalas BBMnya. Seperti kemarin, alvin langsung saja ke rumah sivia pagi-pagi karena sivia lupa membawa ponsel sehingga tidak membalas pesan dan telpon dari alvin.
Sivia Azizah:
Sorry kemarin udah tidurr
Setelah membalas BBM alvin, sivia baru sadar alvin mengganti display picturenya. Karena memang setahu sivia, alvin lebih sering membiarkan display picture BBMnya tanpa foto. Sivia pun membuka profil alvin dan melihat display picture alvin. Sivia tidak bisa menahan senyumnya begitu melihat foto yang dijadikan alvin display picturenya. Sivia tentu ingat foto itu. Itu foto dirinya dan alvin saat di warung di depan sekolah alvin. Setelah menyimpan foto itu sivia pun menekan tombol back untuk melihat BBM yang baru masuk. Dan yah, alvin yang baru saja membalas BBMnya.
Alvin Jonathan:
Dasar kebo! Kemarin kan baru tidur dikamar aku, baru pulang udah tidur lagi
Sivia tersenyum membaca BBM alvin. Sivia jadi ingat saat ia di rumah alvin. Setelah mengobrol dengan alvin tiba-tiba saja ia sudah tertidur. Mungkin gara-gara ia bangun terlalu subuh untuk jogging dengan ify kemarin.
Sivia Azizah:
Biarin sih orang ngantuk. Daripada kayak kalong!
Alvin Jonathan:
Siapa kayak kalong?!!!
Sivia cekikikan melihat balasan alvin yang alay. Sivia memang sering memanggil alvin dengan sebutan kalong karena kebiasaan alvin yang suka tidur sangat malam.
Sivia Azizah:
Pake nanya! Ehh bagi foto doong
Alvin Jonathan:
Foto apa?
Sivia Azizah:
Yang di dp kamu
Alvin Jonathan:
Ambil aja dari dp
Sivia Azizah:
Yang lain maksudnya!!!
Alvin Jonathan:
Bilang dong
Setelah itu alvin pun mengirim foto yang ia masukkan ke dalam smartphonenya kemarin malam ke sivia lewat BBM. Sivia pun langsung menyimpan semua foto yang di kirim oleh alvin. Hingga sivia membuka foto terakhir yang dikirim alvin membuat sivia langsung menyerngitkan keningnya. Itu foto alvin sendiri yang sedang selfie! Sivia tersenyum geli melihat komentar di samping foto itu. “Bonus foto cowok cakep ;-)”
Sivia Azizah:
Bonusnya dikembaliin aja
Alvin Jonathan:
Kenapa
Sivia Azizah:
Banyak virusnya. Bikin hp langsung error nih
Alvin Jonathan:
Jahat banget
Sivia Azizah:
Hahaha udah berangkat sekolah?
Alvin Jonathan:
Ini udah di kelas. Nanti sore di rumah?
Sivia Azizah:
Aku ke butik tante ira
Alvin Jonathan:
Yang dimana?
Sivia Azizah:
Yang deket rumah aku
Alvin Jonathan:
Nanti ketemu disana
Sivia Azizah:
Ok!
Setelah membalas BBM alvin, sivia meletakkan smartphonenya diatas kasur dan beranjak menuju kamar mandi karena beberapa jam lagi ia harus pergi ke kampus.
* * *
Sivia Azizah:
Ok!
Alvin sudah akan membalas BBM dari sivia itu sebelum cakka masuk kelas dan duduk di bangkunya yang tepat di belakang alvin. Alvin pun memutar duduknya hingga menghadap ke cakka.
“Kenapa bbm gak lo bales?” tanya alvin langsung.
“Hehe ketiduran bos.” Jawab cakka sambil nyengir.
“Gimana? Lo bales apa?” tanya alvin lagi.
“Nih baca aja sendiri. Gue mau nyalin PR dulu bos.” Cakka menyerahkan ponselnya ke alvin dan buru-buru mengeluarkan buku tugasnya lalu ikut bergabung dengan sion yang sedang mengebut untuk menyalin PR. Sedangkan alvin pun langsung membuka aplikasi messenger di ponsel cakka.
Gabriel Steven:
DP alvin sama siapa?
Cakka Nuraga:
Ceweknya lah
Gabriel Steven:
Namanya?
Cakka Nuraga:
Sivia
Gabriel Steven:
Jadi sivia ceweknya alvin?
Cakka Nuraga:
Yep. DP lo sendiri sama sivia tuh?
Gabriel Steven:
Yoi. Serius sivia ceweknya alvin?
Cakka Nuraga:
Gak percaya amat. Emang kenapa? Naksir sivia lo?
Sivia mengerutkan kening melihat Gabriel yang hanya membaca BBM dari cakka itu tanpa membalasnya. Padahal alvin penasaran juga. Apa Gabriel naksir sivia? Emang mereka kenal darimana? Terus kenapa di foto keliatan deket banget? Dan berbagai pertanyaan yang muncul di pikiran alvin membuat alvin jadi tidak tenang.
Sepulang sekolah alvin harus mengikuti ekstrakurikuler futsal hingga sore. Setelah itu alvin pulang untuk mandi. Setelah siap alvin pun pergi ke butik mamanya yang ada di dekat kawasan rumah sivia. Dan benar saja, di parkiran butik mamanya sudah ada mobil sivia yang terparkir rapi. Setelah memarkirkan motornya, alvin pun masuk ke butik itu. alvin memilih untuk langsung ke ruangan mamanya dan benar saja, sivia dan mamanya sedang mengobrol didalam sana.
Setelah menyapa mamanya alvin langsung saja mengajak sivia pergi. Sedangkan sivia hanya menurut dan mereka pun pergi dengan motor alvin. Hingga mereka sampai di salah satu tempat makan yang cukup dekat dengan butik mama alvin tadi.
“Siapa Gabriel?” tanya alvin langsung beberapa menit setelah mereka menghabiskan makanan mereka. Sedangkan sivia cukup kaget mendengar alvin menyebut nama Gabriel.
“Gabriel siapa?” tanya sivia memastikan.
“Gabriel steven, siapa kamu?”
“Mantan aku waktu SMA. Kenapa tiba-tiba nanya tentang Gabriel?” sivia malah balik tanya. Ia penasaran juga kenapa tiba-tiba alvin bertanya tentang Gabriel. Perasaan sivia, ia tidak pernah bercerita tentang Gabriel.
“Kapan kamu foto ini?” bukannya menjawab, alvin malah kembali bertanya sambil menunjukkan foto yang ia ambil dari display picture BBM Gabriel kemarin malam.
“Kamu dapet dari mana?” tanya sivia kaget juga melihat foto itu di ponsel alvin.
“Kapan kamu foto ini?” lagi-lagi alvin tidak menjawab dan mengulang kembali pertanyaannya. Ia jadi cukup kesal setelah mengetahui ternyata Gabriel memang mantan sivia walaupun alvin sempat menduganya.
“Kemarin.” Jawab sivia akhirnya.
“Kemarin?” tanya alvin.
“Iya, kemarin kan aku sempat bilang ke kamu kalau aku ketemu temen lama.”
“Kamu gak bilang kalau kamu ketemu mantan kamu dan foto-foto sama mantan kamu!” sivia cukup terkejut mendengar nada suara alvin yang kian meninggi. Karena baru sekali ini alvin seperti itu.
“Vin, kita cuma foto. Kenapa kamu jadi marah-marah?” Kata sivia.
“Pacar aku foto sambil rangkulan sama mantannya dan kamu masih tanya kenapa aku marah?!” lagi-lagi sivia terkejut karena alvin yang membentaknya.
“Aku gak maksud gitu! Gabriel yang tiba-tiba ngerangkul aku!”
“Kamu bisa ngelarangnya! Dan kamu kira aku gak liat kamu malah senyum-senyum di foto itu?!”
“Itu cuma sekedar foto sama temen, gak lebih! Kamu yang melebih-lebihkan masalah tau gak!” sivia jadi terpancing emosi mendengar omongan alvin.
“Oke.” Kata alvin dengan wajah datarnya langsung berdiri dan membayar makanan mereka.
If You Earn Me [11]
Title : If You Earn Me
Author
: Rosita Dinni
Genre
: Romance
Cast
: Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Sivia berjalan menuju ruang tamu dengan gugup. Dan benar, alvin memang berada disana. Sivia pun berjalan mendekat dan langsung menyerngitkan keningnya melihat majalah yang sedang alvin baca.
“Aku gak tau kamu suka baca majalah fashion cewek.” Kata sivia sambil duduk di sofa dekat alvin. Alvin terlihat terkejut saat mendengar suara sivia. Ia semakin terkejut melihat majalah yang ia pegang.
“Tadi diatas meja.” Jawab alvin langsung meletakkan kembali majalah itu diatas meja. Sivia hanya tersenyum mendengarnya. Dan beberapa menit pun mereka isi dengan kediaman. Mereka sama-sama gugup setelah kejadian di kamar sivia barusan.
“Maaf.” Kata alvin mulai membuka suara.
“Kenapa?” tanya sivia.
“Aku tadi udah ngetuk pintu tapi gak ada jawaban. Jadi aku main masuk aja. Maaf.” Kata alvin.
“Iya, lupain aja.” Kata sivia sambil menundukkan wajahnya, salah tingkah. Dan mereka pun kembali membisu.
“Oh ya, kamu darimana aja? Aku telpon gak diangkat. Aku bbm juga gak dibales.” Tanya alvin yang ingat tujuannya kesini.
“Kan kemarin udah tau, pagi ini aku jogging sama ify. Aku tadi gak bawa hp.”
“Kenapa lama banget?”
“Tadi ketemu temen lama. Jadinya ngobrol-ngobrol dulu.” Kata sivia. Alvin pun hanya mengangguk mendengar jawaban sivia. Setidaknya ia merasa lega, ia sempat mengira kalau sivia sengaja tidak menerima telponnya.
“Oh ya, hari ini gak ada rencana lagi?” tanya alvin.
“Enggak ada. Kenapa?”
“Yaudah yuk.” Kata alvin langsung saja berdiri dan menarik tangan sivia.
“Kemana?” tanya sivia bingung.
“Udah ikut aja.”
“Tapi aku belum ganti baju. Lagian aku gak bawa apa-apa!” protes sivia tapi alvin terus saja menggandeng sivia keluar rumah.
“Udah cantik kok.” Kata alvin mengedipkan sebelah matanya. Sivia hanya mendengus lalu duduk di boncengan alvin.
Seperti biasa, alvin menarik tangan sivia agar melingkar manis di perutnya sebelum akhirnya melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata.
* * *
Sivia melepaskan pelukannya dari perut alvin setelah alvin memelankan laju motornya. Sivia melihat sekeliling dan baru sadar mereka baru saja memasuki salah satu kawasan elite di Ibu Kota. Tidak lama kemudian motor alvin berhenti tepat di depan rumah mewah yang tertutup oleh gerbang besar. Alvin menekan bel motornya dan tidak lama kemudian dua orang satpam langsung membukakan gerbang besar itu. alvin pun kembali melajukan motornya hingga berhenti di halaman rumah.
Sivia turun dari motor alvin begitu motor itu berhenti. Sivia melihat sekelilingnya sambil menunggu alvin memarkirkan motor dan melepas helm.
“Ayo.” Kata alvin langsung saja menggandeng tangan sivia.
“Vin, ini rumah siapa?” tanya sivia penasaran.
“Udah diem aja.” Kata alvin tetap menggandeng sivia memasuki rumah itu tanpa permisi. Sivia pun hanya menurut.
“Kamu duduk sini dulu.” Kata alvin. Sivia mengangguk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sedangkan alvin langsung saja memasuki rumah itu dengan santai. Apa ini rumah alvin? Batin sivia sambil melihat sekelilingnya. Rumah ini sangat mewah apalagi barang-barangnya yang terlihat sangat mahal. Juga halaman rumahnya tadi yang sangat luas, bahkan sekitar lima kali lipat halaman rumah sivia.
“Wah ini yang namanya sivia?” sivia sontak menoleh dan cukup kaget melihat seorang wanita cantik yang berjalan menghampirinya. Tidak lama kemudian alvin menyusul di belakang wanita itu.
“I…iya tante.” Kata sivia sambil berdiri gugup.
Ira menatap sivia dari atas sampai bawah membuat sivia semakin gugup. Apalagi mengingat ia tidak diberi waktu alvin untuk berganti pakaian sehingga ia hanya mengenakan kaos dan celana jeans biasa.
“Kamu cantik sekali sayang.” Kata ira tersenyum memandang sivia.
“Te…terimakasih tante.” Kata sivia semakin gugup. Sivia yakin itu tadi adalah sindiran halus. Bagaimana mungkin ia terlihat cantik dengan penampilan seperti ini. Sivia sadar, ia berdandan saja tidak bisa se-cantik mantan-mantan alvin apalagi dengan penampilan biasa seperti ini.
“Vi, ini mama aku. Ma, ini sivia pacar alvin.” Kata alvin yang kini sudah berdiri di samping sivia sambil merangkul pundak sivia yang terasa kaku karena nervous .
“Saya sivia tante.” Kata sivia menyalami mama alvin dengan gugup. Sedangkan ira malah terus tersenyum melihat sivia.
“Oh ya, kamu tunggu disini sebentar.” Kata ira masuk ke dalam rumahnya meninggalkan sivia dan alvin di ruang tamu.
“Kenapa gak bilang kalau mau ke rumah kamu?!” kata sivia langsung mencubit lengan alvin kesal.
“Emang kenapa?”
“Kenapa? Kamu sengaja ya bikin malu aku di depan mama kamu?!” Alvin jadi panik melihat mata sivia yang berkaca-kaca.
“Malu kenapa sih vi? Kamu kenapa??” tanya alvin bingung.
“Kenapa kamu gak bilang kalau mau ke rumah kamu? Aku gak ganti baju, aku gak dandan, aku malu sama mama kamu!” kata sivia semakin berkaca-kaca.
“Yaampun vi, kenapa harus malu? Kamu cantik kok. Cantik banget malah.” Kata alvin mengusap pipi sivia lembut. Tapi tentu saja sivia tidak percaya sama sekali. Ia sadar dan benar-benar sadar ia tidak cantik apalagi se-cantik mantan-mantan alvin!
“Cantik apanya! Aku bahkan gak ada apa-apanya dibanding mantan-mantan kamu!”
“Mantan-mantan apa sih vi? Kamu paling cantik di mata aku. Udah santai aja sama mama aku.” Alvin mengelus kepala sivia lembut. Ia tidak tahu kalau sivia sudah melihat macam-macam mantan pacarnya. Tapi alvin tidak bohong, sivia paling cantik baginya.
“Heei ini kebetulan tante baru beli kue banyaak.” Tiba-tiba mama alvin datang dengan membawa kue banyak sekali. Sedangkan di belakangnya ada seorang pembantu membawa minuman.
“Kamu suka rasa apa? Coklat? Keju? Atau strawberry?” tanya mama alvin meletakkan kue itu diatas meja.
“Via suka coklat.” Kata alvin menjawab.
“Yaudah ayo dimakan sayang. Ini juga ada jus jeruk.” Kata ira duduk di samping sivia dan menawarkan kue-kue itu.
“Iya… terimakasih tante.” Kata sivia tersenyum. Alvin yang melihatnya pun ikut tersenyum.
* * *
Alvin duduk di anak tangga sambil memakan apel yang baru saja ia ambil dari kulkas. Ia melihat sivia dan mamanya sedang asyik mengobrol sambil membuka-buka majalah di ruang keluarga. Ia memang lega sivia tidak lagi canggung bersama mamanya. Bahkan kini ia merasa ditelantarkan oleh keduanya. Pacar dan mamanya seakan melupakan dirinya. Mereka kini sedang asyik mengobrol tentang urusan perempuan yang membuat alvin tidak bisa bergabung.
Sedangkan sivia dan ira kini sedang membuka-buka majalah fashion sambil sesekali memakan kue kering yang ada di meja. Sivia tidak bosan-bosannya mendengar penjelasan ira tentang fashion. Sivia memang tidak mengerti masalah fashion. Ia hanya asal memilih pakaian yang menurutnya bagus tanpa tau trend saat ini. Berbeda dengan mama alvin yang sangat mengerti tentang fashion.
“Kapan-kapan kamu main ke butik tante deh. Ada baju-baju baru yang kayaknya cocok banget buat kamu.” Kata ira.
“Wah, boleh tante?”
“Ya boleh dong. Gimana kalau besok?”
“Yah, besok kuliah tante.” Ira mengerutkan keningnya mendengar kata sivia.
“Kuliah? Kamu udah kuliah?” tanya ira.
“Iya tante.” Jawab sivia.
“Yaampun, tante kirain kamu satu sekolah sama alvin. Tapi kamu kuliah di Universitas Cendrawasih juga?”
“Enggak tante, via kuliah di Universitas Airlangga.”
“Universitas Airlangga? Bukannya jauh dari sekolah alvin kan? Terus kalian bisa kenal darimana?” tanya ira penasaran juga. Sebenarnya ia tidak menyangka sivia sudah kuliah.
“Adik via yang sekolah di SMA Cendrawasih tante.”
“Oh, adik kamu temennya alvin?”
“Em, bukan. Adik via baru kelas 10 tante. Adik kelasnya alvin.”
“Terus kok kalian bisa kenalan?” ira terus bertanya ke sivia. Ia sangat antusias bertanya tentang kisah cinta putra bungsungnya yang memang sangat tertutup. Apalagi mengingat sivia ini gadis pertama yang alvin perkenalkan kepadanya membuat ira yakin sivia sangat special bagi alvin. Itulah yang membuat ira menjadi sangat penasaran.
“Waktu itu via jemput adik via ke sekolahnya. Terus ketemu deh sama alvin.” Kata sivia dengan wajah sedikit merah menceritakan awal pertemuannya dengan alvin. Ira yang melihatnya pun ikut tersenyum.
“Oh gitu. Oh ya, rumah kamu dimana sayang?” tanya ira.
“Di Taman Indah Regency, tante.”
“Wah butik tante juga ada di deket situ sayang.”
“Oh ya? Wah asik dong!”
“Iya. Yaudah besok kamu pulang jam berapa?”
“Sekitar jam satu siang tante.”
“Yaudah tante jemput di kampus kamu gimana?”
“Gak usah tante, malah ngerepotin. Lagian via bawa mobil sendiri kok. Emang butik tante di daerah mana? Biar sepulang kuliah via langsung kesana.” Ira pun memberikan alamat butiknya yang ada di daerah rumah sivia. Yah, sebenarnya ia memiliki beberapa cabang butik di Ibu Kota ini.
“Ma, ada telpon.” Ira dan sivia pun sontak menoleh ke arah alvin yang baru saja duduk di samping sivia.
“Dari siapa?” tanya ira.
“Papa.” Ira pun langsung berdiri setelah mendengar jawaban alvin.
“Sebentar ya sivia, tante angkat telpon dulu.” Kata ira lalu berjalan pergi.
“Yuk.” Kata alvin yang sudah berdiri lagi sambil menarik tangan sivia agar ikut berdiri.
“Kemana?” alvin tidak menjawab pertanyaan sivia dan langsung saja menggandeng sivia menaiki tangga. Sedangkan sivia pun hanya diam mengikuti alvin hingga mereka masuk ke salah satu kamar di lantai dua.
“Ini kamar kamu?” tanya sivia.
“Yep.” Kata alvin menggandeng sivia hingga mereka duduk di tepi kasur. Sivia mengamati kamar alvin dengan seksama. Kamar alvin cukup besar, mungkin luasnya dua kali lipat dari kamar sivia. Cat kamar alvin berwarna abu-abu terang, senada dengan bed cover alvin yang juga berwarna abu-abu sedikit lebih gelap. Kamar alvin bisa dibilang cukup rapi untuk ukuran kamar cowok. Ah, sivia bahkan tidak pernah masuk ke kamar cowok selain kamar ray. Jadi lebih tepatnya kamar alvin lebih rapi dibanding kamar ray.
“Ngapain kesini?” tanya sivia akhirnya.
“Biar gak di ganggu mama.” Kata alvin langsung saja memeluk sivia dari samping.
“Alvin! Apaan sih.” Sivia mencoba melepaskan lengan alvin yang memeluknya. Tentu saja dengan wajah yang memerah.
“Kangen.” kata alvin malah mengencangkan pelukannya. Benar, ia memang merasa sangat kangen dengan pacarnya ini. Itulah yang membuat alvin sampai ke rumah sivia pagi-pagi karena sivia tidak kunjung menerima telponnya.
Sivia pun tidak lagi mencoba melepaskan pelukan alvin dan memilih diam. Jujur, sivia sendiri juga sering merasa ingin sekali bertemu dengan alvin walaupun mereka baru ketemu beberapa jam lalu. Yah walaupun terdengar aneh, apalagi mengingat mereka lebih sering bertengkar saat bertemu tapi itulah kenyataannya.
“Alvin, udah ah.” Kata sivia setelah merasa alvin sudah cukup lama memeluknya. Alvin pun melepaskan pelukannya.
“Oh ya, kamu udah makan?” tanya alvin.
“Belum sih.”
“Yaudah kamu tunggu disini. Aku ambil makanan bentar.” Kata alvin yang langsung berjalan keluar dari kamarnya sebelum sivia sempat menolak.
Sivia pun akhirnya memilih melihat-lihat isi kamar alvin. Tidak ada yang aneh dari kamar alvin. Hingga sivia tertarik dengan foto-foto yang di temple di salah satu sisi tembok kamar alvin. Sivia pun berjalan mendekat dan melihat-lihat foto-foto itu. sivia tersenyum melihat alvin yang ternyata sangat narsis. Banyak foto alvin bersama sahabat-sahabatnya, Cakka, Sion dan Rio. Juga ada foto alvin bersama mama dan papanya. Sivia mengerutkan keningnya begitu melihat foto alvin yang sedang merangkul seorang cewek. Mungkin saat itu alvin masih SMP karena alvin terlihat lebih pendek dan kurus dari sekarang. Yang membuat sivia penasaran adalah cewek yang bersama alvin itu. karena memang tidak hanya ada satu foto alvin bersama cewek itu. Ada sekitar lima foto alvin bersama cewek itu. Apa ini kakaknya alvin? Batin sivia menebak. Karena yang sivia tahu adalah alvin mempunyai seorang kakak.
“Vi, ayo makan.” Sivia menoleh begitu mendengar suara alvin. Dan benar, alvin sedang meletakkan nampan berisi makanan diatas meja di dekat kasurnya.
“Kakak kamu cantik banget.” kata sivia berjalan menghampiri alvin. Sivia pun duduk di karpet bawah dan bersandar di kasur alvin.
“Kakak?” tanya alvin.
“Cewek di foto itu kakak kamu kan?” Sivia malah balik bertanya sambil menunjuk foto yang menempel di tembok kamar alvin. Ia memang tidak tahu kakak alvin. Tapi kalau bukan kakak alvin, lalu siapa?
“Oh, iya.” Kata alvin setelah melihat foto yang sivia maksud.
“Yaudah makan yuk.” Kata alvin. Sivia mengangguk dan mereka pun makan bersama sambil sesekali bercanda.
* * *
Alvin tiduran sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia menoleh ke samping dan langsung mengambil guling yang ada di sampingnya. Alvin memeluk guling itu sambil menghirup nafas dalam-dalam. Ia semakin tersenyum begitu mencium wangi parfum sivia ternyata masih tertinggal disana. Yah, sesudah makan tadi mereka sempat mengobrol hingga sivia tertidur di kasur alvin sambil memeluk salah satu guling alvin. Guling yang tengah ia peluk sekarang. Alvin seakan teringat sesuatu dan langsung mengambil smartphone yang tergeletak tak jauh darinya. Lagi-lagi alvin tersenyum setelah melihat wallpaper ponselnya. Disana terlihat sivia sedang tertidur dengan wajah damai sambil memeluk guling erat.
Setelah puas melihat foto-foto sivia yang ia foto diam-diam tadi, alvin pun memilih membuka aplikasi messenger dan segera mengirim pesan ke Sivia.
Alvin Jonathan:
Sayang
Alvin iseng membuka Recent Updates sambil menunggu sivia yang tidak kunjung membalas chatnya. Alvin mengerutkan kening begitu melihat salah satu contact BBMnya yang baru saja mengganti Display Picturenya. Alvin pun buru-buru membukanya.
Gabriel Steven
Changed display picture
“Sivia?” kata alvin melihat display picture teman Cakka itu. Yah, Gabriel adalah teman satu tim futsal Cakka. Alvin lumayan mengenal Gabriel karena memang mereka sudah beberapa kali bermain futsal bersama. Dan yang membuat alvin penasaran adalah, apa hubungan Gabriel dan Sivia? Kenapa Gabriel memasang foto dirinya dengan sivia? Apalagi di dalam foto itu Gabriel sedang merangkul sivia sambil keduanya tersenyum ke kamera.
Alvin semakin gelisah karena sivia tidak kunjung membalas chatnya, padahal alvin sangat penasaran ingin menanyakan ke sivia.
Alvin Jonathan:
Sayaang
Alvin Jonathan:
PING!!!
Alvin Jonathan:
PING!!!
Alvin Jonathan:
PING!!!
“Kemana sih sivia?!” kata alvin kesal. Alvin pun langsung mencari contact Ray.
Alvin Jonathan:
Sivia ngapain?
Lagi-lagi alvin iseng membuka Recent Update sambil menunggu balasan ray. Dan alvin semakin kesal melihat Gabriel yang kini mengganti lagi display picturenya. Kini Gabriel memasang foto Sivia sendiri yang tersenyum manis ke kamera.
“Apa-apaan sih ini?!” Alvin merasa sangat kesal melihat cowok lain yang memakai foto sivia sebagai display picturenya. Alvin langsung menekan tombol back saat ada chat masuk.
Raynald Prasetya:
Udah tiduur
Alvin geleng-geleng membaca balasan dari ray. Padahal ini masih jam 8 malam dan sivia sudah tidur! Apalagi tadi siang sivia sudah tidur di kamarnya sampai sore. Dan jam 5 sore alvin baru mengantarkan sivia pulang.
Alvin pun memilih membuka laptopnya dimana ia menyimpan foto dirinya bersama sivia yang difoto oleh sion beberapa hari lalu. Alvin pun memilih beberapa foto yang menurutnya paling mesra untuk di masukkan kedalam smartphonenya. Setelah itu alvin pun memilih foto dimana ia sedang mencium kepala sivia yang sedang bersandar di bahunya sebagai display picturenya. Alvin pun tersenyum puas melihat display picture barunya.
Langganan:
Postingan (Atom)