Sabtu, 20 Juli 2013

Love & Be Loved [1]



Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others

Adilkah apabila cinta dibalas dengan ketidakperdulian?
Kesanksian itu menyeruak ketika Ia sudah tidak sanggup lagi menopang segala sakit, akibat torehan perih dari suaminya sendiri. Dan apakah masih pantas disebut suami, apabila pria tersebut sama sekali tidak menghormati isterinya, menghormati sebuah ikatan suci, janji setia sehidup semati?
Mungkin gong waktu sudah berdebum mengisyaratkannya untuk segera menghentikan ini semua. Meski kemudian Ia akan hidup sendiri, tapi Ia masih berhak untuk disayangi, dicintai. Masih ada orang yang akan mencintainya.
Tinggal, sanggupkah Ia yang bertahan hanya dicintai, tanpa mencintai?
================
Rumah yang ditinggalinya sejujurnya amatlah indah. Dengan gaya minimalis bertingkat dan hijau segar akibat Ia yang rajin menata dan turut menjaga kebun di rumahnya –dan suaminya-. Tetapi apa arti keindahan itu semua jika di dalamnya terasa dingin dan mencekam.
Sivia menghela nafas. Setahun. Sudah setahun Ia terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah diimpikannya sama sekali. Pernikahan yang penuh ketidakperdulian, hidup masing-masing, bentakan, dan berujung air mata.
Ia menyandarkan kepalanya pada senderan ranjang. Kemudian menatap sedih ranjang berukuran queen, dan menyapu sekeliling kamarnya.  Ya, kamarnya. Karena dari awal pernikahan pun Ia dan suami tidak sekamar, apalagi seranjang.
Dan kalimat-kalimat itu, tepat ketika malam pengantinnya, tidak bisa dihenyakkan begitu saja dari otaknya, hingga kini.
***
“Dengar. Jangan kamu pikir aku menginginkan pernikahan ini. Pernikahan ini mimpi buruk untuk ku, Sivia.”
Sivia yang awalnya sudah gugup duduk di atas ranjang mereka, hatinya mencelos mendengar itu. Semakin mencelos saat mendapati kebenaran dalam mata setajam elang suaminya. Bukankah kemarin-kemarin, ketika masa bertunangan mereka baik-baik saja?
“Kalau aku tidak bersikap baik padamu kemarin-kemarin, kamu akan lari terbirit-birit dan menolak keinginan Mama Papa untuk menikahkan kita. Dan aku akan hanya statis menjadi manager kacangan di perusahaan keluarga sendiri.”
Suaminya, Alvin telah menjawab pertanyaan di benak nya.
“Sejak awal aku tidak suka dengan perjodohan tidak langsung ini. Tapi dengan menuruti kemauan Mama, Papa, jelas saja jabatanku naik, bahkan terancam menjadi penerus pemegang perusahaan.” Alvin tersenyum senang.
“Aku sudah lelah berpura-pura baik. Sekarang jangan harap lagi. Boleh saja kamu berstatus isteriku, tapi jangan mengharapkan lebih.”
“Aku capek, mau tidur di kamar sebelah. Besok kamu yang berkemas barang-barangmu dan menempati kamar sebelah.” Setelah itu dia pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Sivia yang mematung dengan kepala ynag tiba-tiba terasa berat.
Itu nyata?
Sayangnya, semua itu nyata. Terbukti dengan hari-hari selanjutnya yang kelam.
Di hari-hari kelamnya, Sivia selalu mendapati suaminya pulang malam dalam keadaan lelah. Dan tidak jarang Ia menghirup wangi parfum perempuan yang menyengat pada kemeja Alvin. Pernah juga Alvin datang malam-malam diantar seorang perempuan. Dan sempat-sempatnya mereka, bermesraan, berciuman di rumah. Di hadapan Sivia!
Hati Sivia teriris sudah pasti, tetapi Ia terlalu enggan untuk mengakhiri semua ini.
Sivia tidak bisa menuruti perkataan Alvin tentang ‘jangan mengharapkan lebih’. Di setiap malam kelamnya Ia setia berdoa agar kelak pernikahan ini berangsur membaik. Ironisnya Tuhan tidak mendengar itu.
***
Sebulir air mata terizinkan menetes dari mata beningnya yang indah. Sudah biasa seperti ini tiap kali itu teringat. Jika tau begini, harusnya Ia katakan ‘tidak’ atas perjodohan halus ini. Tetapi apa dayanya, ketika pesona lelaki yang penuh kelembutan, kasih sayang, serta rasa hormat yang tinggi pada perempuan. Sebelum kebenaran akhirnya terkuak. Dan semua itu hanya topeng.
Dan, yah… Alvin membuainya hingga Sivia murni jatuh cinta.
Sivia terkesiap ketika ponselnya berdering. Satu panggilan masuk dari kontak dengan nama Rio di layarnya.
“Ya?”
“Sudah siap? Aku akan jemput sekarang”
“Iya. Aku siap.”
Setelahnya sambungan terputus. Dan Sivia bergegas merapikan penampilannya. Sementara lupakan dulu betapa sedihnya pernikahan ini. Karena sebentar lagi Ia akan bertemu dengan orang-orang yang tidak tahu menahu tentang betapa kandasnya pernikahannya, bahkan mertuanya pun tidak tahu. Sivia dan Alvin begitu lihai menutupi.
Sivia mencoba tersenyum. Mencoba menjadi Sivia yang luar biasa bahagia sebagai isteri seorang Alvin.
=============
Alvin pulang lebih cepat dari biasanya hari ini. Yaa… meskipun tiba di rumah pukul tujuh petang, tetapi itu rekor tercepat kepulangannya. Biasanya pukul sebelas, atau tengah malam, bahkan tidak pulang sama sekali.
Entahlah, tiba-tiba Ia ingin merasa cepat sampai di rumah.
Seberapa malam pun Ia tiba di rumah, pasti menemukan Sivia di ruang keluarga ditemani acara-acara televisi, kadang ditemani Bik Santi dengan mata sudah terkantuk-kantuk. Pembantu nya itu memang penuh pengabdian. Ketika Alvin mengancam tutup mulut akan keadaan rumah yang sebenarnya pun Bik Santi menurut meski dengan mimik muka tidak rela. Dan Alvin tau Bik Santi penuh perhatian pada Sivia.
Hanya saja sekarang situasinya berbeda. Ruang keluarga sepi. Mungkin Sivia di dapur. Begitu pikirnya. Tetapi dapur sama sepinya dengan ruang keluarga. Masa iya Sivia sudah tidur. Alvin menengok arloji. Pukul tujuh lewat seperempat. Alvin mengernyit, sejak kapan dirinya repot-repot memikirkan kegiatan Sivia. Biasanya juga tidak.
Biasanya juga tidak karena selalu menemukan Sivia di setiap sudut rumah mereka. Tetapi sekarang?
Baiklah. Alvin merasa seperti orang idiot memutari rumahnya demi mencari Sivia. Ia sendiri sudah lelah dengan agenda kerjanya seharian ini. Lagipula untuk apa Ia perduli. Perempuan memang merepotkan, kan.
Dari awal Ia sudah tidak setuju sebenarnya untuk menikah. Usianya masih terbilang muda untuk lelaki menikah. Jika bukan karena Papanya yang mencabut beberapa fasilitas serta jabatan tinggi di perusahaan karena Ia suka berfoya-foya. Alvin hanya lelaki yang belum ingin terikat dan berhasrat menikmati kebebasan. Keputusannya adalah menikah saat menginjak kepala tiga, dengan pilihannya sendiri, bukannya ditentukan.
Dengan opininya, Ia memilih mandi menyegarkan tubuhnya.
==============
“Well, memang tidak pernah salah mengajakmu dalam urusan ini. Aku puas, terima kasih.”
Sivia tersenyum geli melihat ekspresi Rio yang berlebihan girangnya.
“Sama-sama. Hubungi aku saja kalau perlu lagi.”
“Itu pasti. Yasudah aku balik sekarang.” Rio megangkat jempolnya menunjuk ke belakang, ke arah mobil. “Sudah tertidur saking lelahnya.”
Sivia terkekeh. “Iya-iya. Selamat malam kalau begitu.”
Setelah menghilangnya mobil Rio di tikungan, baru Ia berbalik masuk ke rumah. Tetapi langkahnya melambat, dilihatnya mobil Alvin sudah terparkir rapi di garasi. Ia menengok arlojinya. Pukul sembilan.  Dan dirasa mesin mobil Alvin tidak panas. Apakah Alvin sudah tiba di rumah dari tadi?
Sivia memasuki rumah dengan pacu jantung di luar normal.
==================
Alvin mendengus, lalu tersenyum miring. Masih dengan lelahnya tadi Ia memutari rumah mencari keberadaan Sivia, dan tidak ada. Ternyata baru pulang dengan diantar seorang lelaki. Semuanya terlihat jelas dari atas sini, dari balkon kamarnya. Keterkejutan Sivia ketika melihat mobilnya sudah terparkir pun dapat dilihatnya.
Derap langkah kaki menaiki tangga ditangkap indera pendengaran Alvin. Ia pun mengambil inisiatif keluar kamar untuk  memergoki Sivia. Alvin tidak tahu, yang jelas Ia merasa dibodohi karena tadi memikirkan Sivia tumben-tumbennya sementara… mungkin Sivia sedang bersenang-senang…
“Dari mana?” Tanyanya tepat ketika Sivia membuka pintu kamarnya.
“A-aku ada acara dengan teman-teman.”
“Dan pulang diantar, lelaki?”
“Di-dia Rio temanku sewaktu SMA.”
“Dan aku suamimu.” Dilihatnya mata Sivia melebar mendengar ucapannya. “Aku pulang cepat hari ini, dan tidak mendapatimu ada di rumah. Ternyata kamu sedang bersenang-senang dengan, lelaki lain.”
“Aku tidak seperti itu!” Sivia membentak, untuk pertama kalinya. Mungkin karena merasa difitnah.
“Sudah berani membentak rupanya. Berani melawan suami sendiri, hm?”
===============
Dada Sivia bergemuruh dahsyat. Dituduh suami sendiri. Memang apa  perduli Alvin terhadapnya? Ia juga tidak pernah mencampuri urusan Alvin kan. Meskipun tidak ingin, tetapi membiarkan melakukan apa pun yang tidak sepantasnya dilakukan seorang suami. Bukan kah Alvin juga sering bersama –hati Sivia terasa perih-  wanita lain?
“Aku tidak seperti itu!” Dan pada akhirnya membentak, untuk pertama kalinya. Merasa kesal.
“Sudah berani membentak rupanya. Berani melawan suami sendiri, hm?”
Sivia jengah. “Suami?” Tanyanya retorik. “Suami seperti apa maksudmu? Apakah ada suami yang tidak perduli pada isterinya? Tidak mengacuhkan, pulang larut malam bahkan pernah sampai tidak pulang. Dan kemejanya selalu ada bekas parfum wanita—“ Sivia tercekat, tidak biasanya Ia di luar kendali.
Ditatapnya mata Alvin dengan berani yang menatapnya balik dengan pandangan arti tak terbaca. “Kamu bukan suami ku, Alvin. Bukan.”
Tanpa peringatan Alvin sudah menerjangnya hingga terhimpit di pintu kayu jati kamarnya, mencengkram kedua tangannya kuat.
“Katakan sekali lagi.”
“Kamu bukan suami ku. Kamu bukan sosok suami yang baik, Alvin!”
“Sosok suami yang baik seperti apa memangnya?” Sivia memejamkan matanya ketakutan. Alvin mendesis kasar tepat di depan wajahnya. “Kamu sendiri bukan sosok isteri yang pantas. Atau perlu aku perjelas bahwa aku memang suamimu?”
Sivia terkesiap dan langsung membuka matanya terkejut ketika sesuatu hangat sekaligus dingin menyentuh bibirnya. Alvin menciumnya.
Ia melawan sebisanya.
Tetapi memang tekad Alvin tidak dapat dilawan, sekuat apapun.
=================
Sivia menitikkan air mata. Rasanya malam itu baru kemarin, padahal mungkin sudah berhari-hari lalu lamanya. Ia tidak mampu melupakannya, melupakan pemaksaan Alvin. Dan hari-hari setelahnya benar-benar tidak ada komunikasi verbal maupun non antara mereka.
Jika itu didasari cinta, mungkin perasaan Sivia akan berbeda.
Sivia menghela nafas, melanjutkan kembali memasaknya. Ketika menyiapkan bumbu, tiba-tiba saja ulu hatinya bergejolak, kepalanya pening. Mengikuti nalurinya, Sivia berlari ke wastafel mengeluarkan isi lambungnya yang padahal kosong.
Peningnya menjadi-jadi. Ia berpegangan pada wastafel karena badannya sedikit limbung. Diliriknya cermin di atas wastafel, bahkan wajahnya pucat. Dan betapa terkejutnya dilihat ada bayangan Alvin juga di sana. Sivia membalikkan badan, dan benar ada Alvin berdiri di sana menatapnya penuh perhitungan.
Sivia tidak tahu harus berkata apa. Ia ikut membalas tatapan Alvin yang semakin menatapnya terang-terangan.  Ketika Alvin menyipitkan matanya, mata Sivia justru melebar penuh antisipasi. Kemudian Ia menunduk, sembari melakukan perhitungan dalam hati. Jantungnya berdegup saat mendapat praduga, ketika pandangannya kembali ke Alvin, lelaki itu menautkan alisnya.
================
Alvin dan Sivia duduk kaku di hadapan perempuan cantik dengan badge name ‘Dr. Ify’ pada jas putih khas dokternya yang tersenyum ramah.
Ya. Alvin memutuskan membawa Sivia ke rumah sakit untuk memastikan. Sivia menurut saja. Dia seperti kehilangan jiwanya, dalam perjalanan tidak banyak bicara. Pun ketika Dr. Ify memeriksanya, Sivia hanya diam. Kalau perlu hanya mengangguk dan menggeleng. Alvin baru tahu, Dr. Ify teman Sivia. Setidaknya tidak ada kesulitan saat melakukan pemeriksaan karena Sivia lebih banyak diam.
“Kenapa kalian tegang begitu?” Dr. Ify terkekeh. “Selamat untuk Alvin, kamu akan menjadi ayah.”
Jiwa Alvin terasa dihisap mendengar vonis itu. Meskipun kaget, namun jauh dalam dasar hatinya yakin bahwa itu memang buah hatinya. Menyadari hal itu, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Diliriknya Sivia di sebelahnya, wajah isterinya itu masih tegang.
“Jaga kesehatan kamu ya, Vi. Aku kasih resep yang ringan saja, seperti obat penghilang mual kalau tidak tahan.” Ucap Dr. Ify. Sivia mengangguk.
“Oh iya, aku dan Rio bener-bener say thank you buat kamu. Mama mertua aku juga puas dengan ide-ide kamu.”
“Rio?” Alvin menyela.
“Iya, suami aku. Teman Sivia juga dulu di SMA, kami bertiga berteman baik.” Dr. Ify tersenyum. “Aku dan keluarga berencana membangun tempat penitipan anak-anak sekaligus untuk tempat bermain dan belajar. Ini ide Mama mertuaku sebenernya, beliau suka anak kecil gitu. Ya berhubung aku dan Rio belum berkesempatan punya baby.” Dr. Ify terkekeh sebelum melanjutkan.
“Dan kemarin-kemarin ini aku mengajak Sivia untuk membantu design tempatnya. Karena aku tau Sivia suka design colorful dan seleranya selalu oke. Terakhir…mm…kapan ya, entahlah.  Itu hari terakhir persiapan bangunan sebelum difungsikan. Sampai aku dan Rio menawan Sivia seharian dan mengantarnya pulang malam-malam. Aku sendiri tertidur di mobil saking lelahnya. Loh? Memang Sivia tidak cerita?”
 “Ooh itu…” Apa yang harus dijawab Alvin.
“Pasti kamu terlalu sibuk ya, Alvin. Mungkin sekarang sebaiknya kurangi kesibukanmu, dan ikut perhatikan kesehatan Sivia.”
“Hm, iya.” Jawab Alvin mengambang.
Apakah malam itu sama dengan malam yang itu…
Sebuah rasa menohoknya secara halus. Rasa bersalah atas tuduhan yang diucapkannya pada Sivia, malam itu. Ia melirik Sivia sekali lagi, pandangan wanita itu kosong.
====================
Sekembalinya dari rumah sakit, dilihatnya Sivia langsung menuju kamarnya. Sebelumnya Alvin berhasil menahannya dengan tegur ragu-ragu.
“Sivia…”
“Aku mau istirahat.” Sergah Sivia, dan menghilangkan dirinya di balik pintu kamar.
Dan Alvin hanya mematung di depan pintu kamar Sivia yang tertutup rapat, beserta terdengar bunyi pintu dikunci.
Sivia kenapa?
=====================
Alvin terbangun dengan wajah kuyu. Semalam Ia sulit tidur. Apalagi jika bukan karena pernyataan bahwa Ia akan menjadi seorang Ayah. Lagi, hatinya menghangat mengingat itu.  Apakah Ia sanggup? Menjadi suami saja Ia tidak menjalankannya dengan baik, apalagi…
“Arrgh”
Ia bergegas ke kamar mandi dan menyegarkan badannya beserta pikirannya yang kalut.
Keadaan berubah…
Alvin sudah terlambat dua jam ke kantor. Terserah, Ia tidak perduli. Toh dia bossnya. Hari ini rasanya pergerakan tiap ototnya terdisfungsi. Sendi-sendinya terasa kaku dan tegang. Jadi setiap pergerakannya terasa lambat dan tidak semangat.
Sekedar menuruni tangga pun kakinya bergetar. Mungkin Ia kelaparan. Maka Ia menuju meja makan dan segera melahap sarapannya. Ada nasi goreng, aromanya menggugah selera. Tetapi ketika melahapnya suap demi suap Alvin merasa ada yang kurang.
“Pagi den,” sapa Bik Santi kebetulan lewat.
“Pagi. Sivia di mana, Bik?” Alvin hampir menggigit lidahnya sendiri, kaget sendiri tiba-tiba bertanya Sivia. Keheranan pun terpatri jelas di wajah Bik Santi.
“Enngg… Non Sivia sepertinya belum keluar kamar. Mungkin belum bangun, den.”
Alvin menghentikan makannya sejenak. “Belum bangun? Terus ini siapa yang masak?”
“Oh, itu saya yang buat. Non Sivia bilang kalau den Alvin suka sarapan nasi goreng pakai margarin, tapi kebetulan margarinnya habis.”
Dapat! Pantas sepertinya ada yang kurang, tidak dimasak dengan margarin. Dan…Sivia memperhatikannya sedetail itu?
“Saya lanjut bersih-bersih dulu. Permisi.” Alvin hanya menggumamkan kata ‘iya’ sekilas.
====================
Alvin memarkirkan mobilnya serampangan, lalu membanting pintu mobilnya dengan brutal. Secepat kilat Ia memasuki rumahnya dan menuju kamar Sivia.
Seharusnya masih jam kantor, hanya saja tadi Bik Santi menghubunginya dengan gawat, mengabarkan sesuatu telah terjadi pada isterinya…
Sekarang, di hadapannya ada Sivia terbaring pucat dan lemah dengan sekujur tubuh basah lengkap berpakaian. Tubuhnya bergetar hebat meski sudah diselimuti berlapis-lapis.
“Sivia…” Alvin merasa tak pantas menyebut nama indah itu dengan lembut.
“Den Alvin. Anu… Tadi non Sivia…”
====================
Alvin tidak terlalu mendengar kata-kata Bik Santi tadi, fokus pada keadaan Sivia agar segara dibawa ke rumah sakit. Ia hanya menangkap sepotong-sepotong. ‘Lama Sivia tidak keluar kamar’ ; ‘Bik Santi meminta tukang kebun mendobrak pintu kamar’ ; ‘Sivia tidak sadarkan diri di dalam bathtub yang penuh dengan air dingin’.
Ia mengacak rambutnya frustasi. Apakah Sivia sengaja melakukan itu…?
Jika iya, karena apa?
Bodoh Alvin! Tentu saja karenamu.
Membuatnya merasakan hidup seperti di neraka bumi. Menyiksanya dengan ketidakacuhan. Menyakitinya dengan kata-kata pedas. Menganggapnya tidak ada. Karena siapa lagi…
Tetapi untung saja kata dokter fisik Sivia baik-baik saja. Ia hanya demam dan kelelahan. Kondisi kandungannya pun baik… Psikis nya yang kurang baik…
Psikis kurang baik, semacam tekanan. Sudah pasti Alvinlah tersangka dari ketidakstabilan psikis isterinya sendiri. Kalau benar Ia yang membuat tekanan pada psikis Sivia, kenapa wanita itu tidak menjauh saja. Justru bertahan bersamanya.
Kesadaran satu hal kembali menohok hati Alvin. Sivia mencintainya, benar-benar mencintainya…
Ia mendekat ke ranjang rumah sakit tempat Sivia berbaring. Dan berdiri berjarak dari jangkauannya, seolah-olah takut kemungkinan Ia akan merapuhkan Sivia lagi dalam jarak dekat.
“Alvin! Bagaimana Sivia…?”
Alvin menoleh, Mama dan Papanya datang.
“Dia baik-baik saja.” Suaranya serak. “Mama dan Papa…”
Plak!!!
Alvin mengelus rahangnya, perih. Sebuah tamparan dari Papanya sendiri.
“Papa sudah tau semua. Dari mana kamu belajar jadi manusia tidak bermoral, hah?! Kami mendidik kamu agar menjadi manusia yang benar, Vin. Sampai Bik Santi kamu ancam, sepintarnya kamu nutupin semua, ada kalanya terbongkar juga!”
Dalam hati, Alvin membenarkan semua perkataan Papanya. Merasa pantas atas tamparan tadi.
“Papa sudah…” Giliran Mama Alvin menenagkan keadaan. “Sivia sedang sakit.”
“Memang Sivia kurang baik apa? Kamu mau mencari isteri seperti apa lagi? Perlu kamu tau, orang tua kamu masih hidup itu karena orang tua Sivia.”
Merasa lebih tenang, Papa Alvin membuka suara lagi. “Saat mendengar kamu kecelakaan dulu, Papa dan Mama panik mencari penerbangan tercepat ke Indonesia. Sudah pasti tidak bisa semendadak itu, tapi ada orang tua Sivia kebetulan di Kuala Lumpur juga, mereka menawarkan barter tiket. Mereka punya jadwal keberangkatan saat itu juga. Sampai ada berita kecelakaan itu, pesawat yang harusnya Papa dan Mama tumpangi itu mengalami kecelakaan. Sebagian kecil yang selamat, tapi tidak untuk orang tua Sivia.”
Kebenaran ini baru pertama kalinya didengar Alvin. Ia tercengang.
“Kamu memang menyelamatkan kami, tapi mencelakakan orang tua Sivia. Dan sekarang kamu menyakiti putrinya. Balas budi mu mana?”
“Papa… sudah. Tenanglah.” Mama Alvin mencoba mengendalikan keadaan.
Sementara Alvin berdiri kaku, bagai terdakwa yang tidak memiliki pengacara untuk memberi pembelaan terhadapnya. Kini, seolah keadaan tertawa mencemoohnya.



TBC...... 


NB : ANH khusus buat story yang ini -karena anonim-, ditunggu komentar kalian yaaa, bisa komentar disini atau ke acc official (@AlviaNHofficial) atau ke acc admin (@ikaclorys) -_-v makaseee.. Salam ANH <3

2 komentar:

  1. Kayak kenal ini cerita punya siapa kak ikaaaaaaa:o huahahaha gue sotil pasti deh -_-v aaaaaa ini kerennnn, bacanya bikin nyayat2 hati<//3 si alv bener2 jahat yaaaaaa:o duhhhh gak sabar nunggu next part nya!!:D

    BalasHapus