Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Adilkah
apabila cinta dibalas dengan ketidakperdulian?
Kesanksian
itu menyeruak ketika Ia sudah tidak sanggup lagi menopang segala sakit, akibat
torehan perih dari suaminya sendiri. Dan apakah masih pantas disebut suami,
apabila pria tersebut sama sekali tidak menghormati isterinya, menghormati
sebuah ikatan suci, janji setia sehidup semati?
Mungkin
gong waktu sudah berdebum mengisyaratkannya untuk segera menghentikan ini
semua. Meski kemudian Ia akan hidup sendiri, tapi Ia masih berhak untuk
disayangi, dicintai. Masih ada orang yang akan mencintainya.
Tinggal,
sanggupkah Ia yang bertahan hanya dicintai, tanpa mencintai?
================
Rumah
yang ditinggalinya sejujurnya amatlah indah. Dengan gaya minimalis bertingkat
dan hijau segar akibat Ia yang rajin menata dan turut menjaga kebun di rumahnya
–dan suaminya-. Tetapi apa arti keindahan itu semua jika di dalamnya terasa
dingin dan mencekam.
Sivia
menghela nafas. Setahun. Sudah setahun Ia terjebak dalam pernikahan yang tidak
pernah diimpikannya sama sekali. Pernikahan yang penuh ketidakperdulian, hidup
masing-masing, bentakan, dan berujung air mata.
Ia
menyandarkan kepalanya pada senderan ranjang. Kemudian menatap sedih ranjang
berukuran queen, dan menyapu sekeliling kamarnya. Ya, kamarnya. Karena dari awal pernikahan pun
Ia dan suami tidak sekamar, apalagi seranjang.
Dan
kalimat-kalimat itu, tepat ketika malam pengantinnya, tidak bisa dihenyakkan
begitu saja dari otaknya, hingga kini.
***
“Dengar. Jangan kamu
pikir aku menginginkan pernikahan ini. Pernikahan ini mimpi buruk untuk ku,
Sivia.”
Sivia yang awalnya
sudah gugup duduk di atas ranjang mereka, hatinya mencelos mendengar itu.
Semakin mencelos saat mendapati kebenaran dalam mata setajam elang suaminya.
Bukankah kemarin-kemarin, ketika masa bertunangan mereka baik-baik saja?
“Kalau aku tidak
bersikap baik padamu kemarin-kemarin, kamu akan lari terbirit-birit dan menolak
keinginan Mama Papa untuk menikahkan kita. Dan aku akan hanya statis menjadi
manager kacangan di perusahaan keluarga sendiri.”
Suaminya, Alvin telah
menjawab pertanyaan di benak nya.
“Sejak awal aku tidak
suka dengan perjodohan tidak langsung ini. Tapi dengan menuruti kemauan Mama,
Papa, jelas saja jabatanku naik, bahkan terancam menjadi penerus pemegang
perusahaan.” Alvin tersenyum senang.
“Aku sudah lelah
berpura-pura baik. Sekarang jangan harap lagi. Boleh saja kamu berstatus
isteriku, tapi jangan mengharapkan lebih.”
“Aku capek, mau tidur
di kamar sebelah. Besok kamu yang berkemas barang-barangmu dan menempati kamar
sebelah.” Setelah itu dia pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Sivia yang
mematung dengan kepala ynag tiba-tiba terasa berat.
Itu nyata?
Sayangnya, semua itu
nyata. Terbukti dengan hari-hari selanjutnya yang kelam.
Di hari-hari kelamnya,
Sivia selalu mendapati suaminya pulang malam dalam keadaan lelah. Dan tidak
jarang Ia menghirup wangi parfum perempuan yang menyengat pada kemeja Alvin. Pernah
juga Alvin datang malam-malam diantar seorang perempuan. Dan sempat-sempatnya
mereka, bermesraan, berciuman di rumah. Di hadapan Sivia!
Hati Sivia teriris
sudah pasti, tetapi Ia terlalu enggan untuk mengakhiri semua ini.
Sivia tidak bisa
menuruti perkataan Alvin tentang ‘jangan mengharapkan lebih’. Di setiap malam
kelamnya Ia setia berdoa agar kelak pernikahan ini berangsur membaik. Ironisnya
Tuhan tidak mendengar itu.
***
Sebulir
air mata terizinkan menetes dari mata beningnya yang indah. Sudah biasa seperti
ini tiap kali itu teringat. Jika tau begini, harusnya Ia katakan ‘tidak’ atas
perjodohan halus ini. Tetapi apa dayanya, ketika pesona lelaki yang penuh
kelembutan, kasih sayang, serta rasa hormat yang tinggi pada perempuan. Sebelum
kebenaran akhirnya terkuak. Dan semua itu hanya topeng.
Dan,
yah… Alvin membuainya hingga Sivia murni jatuh cinta.
Sivia
terkesiap ketika ponselnya berdering. Satu panggilan masuk dari kontak dengan
nama Rio di layarnya.
“Ya?”
“Sudah siap? Aku akan
jemput sekarang”
“Iya.
Aku siap.”
Setelahnya
sambungan terputus. Dan Sivia bergegas merapikan penampilannya. Sementara lupakan
dulu betapa sedihnya pernikahan ini. Karena sebentar lagi Ia akan bertemu
dengan orang-orang yang tidak tahu menahu tentang betapa kandasnya
pernikahannya, bahkan mertuanya pun tidak tahu. Sivia dan Alvin begitu lihai
menutupi.
Sivia
mencoba tersenyum. Mencoba menjadi Sivia yang luar biasa bahagia sebagai isteri
seorang Alvin.
=============
Alvin
pulang lebih cepat dari biasanya hari ini. Yaa… meskipun tiba di rumah pukul
tujuh petang, tetapi itu rekor tercepat kepulangannya. Biasanya pukul sebelas,
atau tengah malam, bahkan tidak pulang sama sekali.
Entahlah,
tiba-tiba Ia ingin merasa cepat sampai di rumah.
Seberapa
malam pun Ia tiba di rumah, pasti menemukan Sivia di ruang keluarga ditemani
acara-acara televisi, kadang ditemani Bik Santi dengan mata sudah
terkantuk-kantuk. Pembantu nya itu memang penuh pengabdian. Ketika Alvin
mengancam tutup mulut akan keadaan rumah yang sebenarnya pun Bik Santi menurut
meski dengan mimik muka tidak rela. Dan Alvin tau Bik Santi penuh perhatian
pada Sivia.
Hanya
saja sekarang situasinya berbeda. Ruang keluarga sepi. Mungkin Sivia di dapur. Begitu pikirnya. Tetapi dapur sama sepinya
dengan ruang keluarga. Masa iya Sivia
sudah tidur. Alvin menengok arloji. Pukul
tujuh lewat seperempat. Alvin mengernyit, sejak kapan dirinya repot-repot
memikirkan kegiatan Sivia. Biasanya juga tidak.
Biasanya
juga tidak karena selalu menemukan Sivia di setiap sudut rumah mereka. Tetapi
sekarang?
Baiklah.
Alvin merasa seperti orang idiot memutari rumahnya demi mencari Sivia. Ia
sendiri sudah lelah dengan agenda kerjanya seharian ini. Lagipula untuk apa Ia
perduli. Perempuan memang merepotkan, kan.
Dari
awal Ia sudah tidak setuju sebenarnya untuk menikah. Usianya masih terbilang
muda untuk lelaki menikah. Jika bukan karena Papanya yang mencabut beberapa
fasilitas serta jabatan tinggi di perusahaan karena Ia suka berfoya-foya. Alvin
hanya lelaki yang belum ingin terikat dan berhasrat menikmati kebebasan.
Keputusannya adalah menikah saat menginjak kepala tiga, dengan pilihannya
sendiri, bukannya ditentukan.
Dengan
opininya, Ia memilih mandi menyegarkan tubuhnya.
==============
“Well,
memang tidak pernah salah mengajakmu dalam urusan ini. Aku puas, terima kasih.”
Sivia
tersenyum geli melihat ekspresi Rio yang berlebihan girangnya.
“Sama-sama.
Hubungi aku saja kalau perlu lagi.”
“Itu
pasti. Yasudah aku balik sekarang.” Rio megangkat jempolnya menunjuk ke
belakang, ke arah mobil. “Sudah tertidur saking lelahnya.”
Sivia
terkekeh. “Iya-iya. Selamat malam kalau begitu.”
Setelah
menghilangnya mobil Rio di tikungan, baru Ia berbalik masuk ke rumah. Tetapi
langkahnya melambat, dilihatnya mobil Alvin sudah terparkir rapi di garasi. Ia
menengok arlojinya. Pukul sembilan. Dan dirasa mesin mobil Alvin tidak panas.
Apakah Alvin sudah tiba di rumah dari tadi?
Sivia
memasuki rumah dengan pacu jantung di luar normal.
==================
Alvin
mendengus, lalu tersenyum miring. Masih dengan lelahnya tadi Ia memutari rumah
mencari keberadaan Sivia, dan tidak ada. Ternyata baru pulang dengan diantar
seorang lelaki. Semuanya terlihat jelas dari atas sini, dari balkon kamarnya.
Keterkejutan Sivia ketika melihat mobilnya sudah terparkir pun dapat
dilihatnya.
Derap
langkah kaki menaiki tangga ditangkap indera pendengaran Alvin. Ia pun
mengambil inisiatif keluar kamar untuk
memergoki Sivia. Alvin tidak tahu, yang jelas Ia merasa dibodohi karena
tadi memikirkan Sivia tumben-tumbennya sementara… mungkin Sivia sedang
bersenang-senang…
“Dari
mana?” Tanyanya tepat ketika Sivia membuka pintu kamarnya.
“A-aku
ada acara dengan teman-teman.”
“Dan
pulang diantar, lelaki?”
“Di-dia
Rio temanku sewaktu SMA.”
“Dan
aku suamimu.” Dilihatnya mata Sivia melebar mendengar ucapannya. “Aku pulang
cepat hari ini, dan tidak mendapatimu ada di rumah. Ternyata kamu sedang
bersenang-senang dengan, lelaki lain.”
“Aku
tidak seperti itu!” Sivia membentak, untuk pertama kalinya. Mungkin karena
merasa difitnah.
“Sudah
berani membentak rupanya. Berani melawan suami sendiri, hm?”
===============
Dada
Sivia bergemuruh dahsyat. Dituduh suami sendiri. Memang apa perduli Alvin terhadapnya? Ia juga tidak
pernah mencampuri urusan Alvin kan. Meskipun tidak ingin, tetapi membiarkan
melakukan apa pun yang tidak sepantasnya dilakukan seorang suami. Bukan kah
Alvin juga sering bersama –hati Sivia terasa perih- wanita lain?
“Aku
tidak seperti itu!” Dan pada akhirnya membentak, untuk pertama kalinya. Merasa
kesal.
“Sudah
berani membentak rupanya. Berani melawan suami sendiri, hm?”
Sivia
jengah. “Suami?” Tanyanya retorik. “Suami seperti apa maksudmu? Apakah ada
suami yang tidak perduli pada isterinya? Tidak mengacuhkan, pulang larut malam
bahkan pernah sampai tidak pulang. Dan kemejanya selalu ada bekas parfum
wanita—“ Sivia tercekat, tidak biasanya Ia di luar kendali.
Ditatapnya
mata Alvin dengan berani yang menatapnya balik dengan pandangan arti tak
terbaca. “Kamu bukan suami ku, Alvin. Bukan.”
Tanpa
peringatan Alvin sudah menerjangnya hingga terhimpit di pintu kayu jati
kamarnya, mencengkram kedua tangannya kuat.
“Katakan
sekali lagi.”
“Kamu
bukan suami ku. Kamu bukan sosok suami yang baik, Alvin!”
“Sosok
suami yang baik seperti apa memangnya?” Sivia memejamkan matanya ketakutan.
Alvin mendesis kasar tepat di depan wajahnya. “Kamu sendiri bukan sosok isteri
yang pantas. Atau perlu aku perjelas bahwa aku memang suamimu?”
Sivia
terkesiap dan langsung membuka matanya terkejut ketika sesuatu hangat sekaligus
dingin menyentuh bibirnya. Alvin menciumnya.
Ia
melawan sebisanya.
Tetapi
memang tekad Alvin tidak dapat dilawan, sekuat apapun.
=================
Sivia
menitikkan air mata. Rasanya malam itu baru kemarin, padahal mungkin sudah
berhari-hari lalu lamanya. Ia tidak mampu melupakannya, melupakan pemaksaan
Alvin. Dan hari-hari setelahnya benar-benar tidak ada komunikasi verbal maupun
non antara mereka.
Jika
itu didasari cinta, mungkin perasaan Sivia akan berbeda.
Sivia
menghela nafas, melanjutkan kembali memasaknya. Ketika menyiapkan bumbu,
tiba-tiba saja ulu hatinya bergejolak, kepalanya pening. Mengikuti nalurinya,
Sivia berlari ke wastafel mengeluarkan isi lambungnya yang padahal kosong.
Peningnya
menjadi-jadi. Ia berpegangan pada wastafel karena badannya sedikit limbung.
Diliriknya cermin di atas wastafel, bahkan wajahnya pucat. Dan betapa
terkejutnya dilihat ada bayangan Alvin juga di sana. Sivia membalikkan badan,
dan benar ada Alvin berdiri di sana menatapnya penuh perhitungan.
Sivia
tidak tahu harus berkata apa. Ia ikut membalas tatapan Alvin yang semakin
menatapnya terang-terangan. Ketika Alvin
menyipitkan matanya, mata Sivia justru melebar penuh antisipasi. Kemudian Ia
menunduk, sembari melakukan perhitungan dalam hati. Jantungnya berdegup saat
mendapat praduga, ketika pandangannya kembali ke Alvin, lelaki itu menautkan
alisnya.
================
Alvin
dan Sivia duduk kaku di hadapan perempuan cantik dengan badge name ‘Dr. Ify’ pada jas putih khas dokternya yang tersenyum
ramah.
Ya.
Alvin memutuskan membawa Sivia ke rumah sakit untuk memastikan. Sivia menurut
saja. Dia seperti kehilangan jiwanya, dalam perjalanan tidak banyak bicara. Pun
ketika Dr. Ify memeriksanya, Sivia hanya diam. Kalau perlu hanya mengangguk dan
menggeleng. Alvin baru tahu, Dr. Ify teman Sivia. Setidaknya tidak ada
kesulitan saat melakukan pemeriksaan karena Sivia lebih banyak diam.
“Kenapa
kalian tegang begitu?” Dr. Ify terkekeh. “Selamat untuk Alvin, kamu akan
menjadi ayah.”
Jiwa
Alvin terasa dihisap mendengar vonis itu. Meskipun kaget, namun jauh dalam
dasar hatinya yakin bahwa itu memang buah hatinya. Menyadari hal itu, entah
mengapa hatinya menjadi hangat. Diliriknya Sivia di sebelahnya, wajah isterinya
itu masih tegang.
“Jaga
kesehatan kamu ya, Vi. Aku kasih resep yang ringan saja, seperti obat
penghilang mual kalau tidak tahan.” Ucap Dr. Ify. Sivia mengangguk.
“Oh
iya, aku dan Rio bener-bener say thank you buat kamu. Mama mertua aku juga puas
dengan ide-ide kamu.”
“Rio?”
Alvin menyela.
“Iya,
suami aku. Teman Sivia juga dulu di SMA, kami bertiga berteman baik.” Dr. Ify
tersenyum. “Aku dan keluarga berencana membangun tempat penitipan anak-anak
sekaligus untuk tempat bermain dan belajar. Ini ide Mama mertuaku sebenernya,
beliau suka anak kecil gitu. Ya berhubung aku dan Rio belum berkesempatan punya
baby.” Dr. Ify terkekeh sebelum melanjutkan.
“Dan
kemarin-kemarin ini aku mengajak Sivia untuk membantu design tempatnya. Karena
aku tau Sivia suka design colorful dan seleranya selalu oke. Terakhir…mm…kapan
ya, entahlah. Itu hari terakhir
persiapan bangunan sebelum difungsikan. Sampai aku dan Rio menawan Sivia
seharian dan mengantarnya pulang malam-malam. Aku sendiri tertidur di mobil
saking lelahnya. Loh? Memang Sivia tidak cerita?”
“Ooh itu…” Apa yang harus dijawab Alvin.
“Pasti
kamu terlalu sibuk ya, Alvin. Mungkin sekarang sebaiknya kurangi kesibukanmu,
dan ikut perhatikan kesehatan Sivia.”
“Hm,
iya.” Jawab Alvin mengambang.
Apakah malam itu sama
dengan malam yang itu…
Sebuah
rasa menohoknya secara halus. Rasa bersalah atas tuduhan yang diucapkannya pada
Sivia, malam itu. Ia melirik Sivia sekali lagi, pandangan wanita itu kosong.
====================
Sekembalinya
dari rumah sakit, dilihatnya Sivia langsung menuju kamarnya. Sebelumnya Alvin
berhasil menahannya dengan tegur ragu-ragu.
“Sivia…”
“Aku
mau istirahat.” Sergah Sivia, dan menghilangkan dirinya di balik pintu kamar.
Dan
Alvin hanya mematung di depan pintu kamar Sivia yang tertutup rapat, beserta
terdengar bunyi pintu dikunci.
Sivia kenapa?
=====================
Alvin
terbangun dengan wajah kuyu. Semalam Ia sulit tidur. Apalagi jika bukan karena
pernyataan bahwa Ia akan menjadi seorang Ayah. Lagi, hatinya menghangat
mengingat itu. Apakah Ia sanggup?
Menjadi suami saja Ia tidak menjalankannya dengan baik, apalagi…
“Arrgh”
Ia
bergegas ke kamar mandi dan menyegarkan badannya beserta pikirannya yang kalut.
Keadaan
berubah…
Alvin
sudah terlambat dua jam ke kantor. Terserah, Ia tidak perduli. Toh dia bossnya.
Hari ini rasanya pergerakan tiap ototnya terdisfungsi. Sendi-sendinya terasa
kaku dan tegang. Jadi setiap pergerakannya terasa lambat dan tidak semangat.
Sekedar
menuruni tangga pun kakinya bergetar. Mungkin Ia kelaparan. Maka Ia menuju meja
makan dan segera melahap sarapannya. Ada nasi goreng, aromanya menggugah
selera. Tetapi ketika melahapnya suap demi suap Alvin merasa ada yang kurang.
“Pagi
den,” sapa Bik Santi kebetulan lewat.
“Pagi.
Sivia di mana, Bik?” Alvin hampir menggigit lidahnya sendiri, kaget sendiri
tiba-tiba bertanya Sivia. Keheranan pun terpatri jelas di wajah Bik Santi.
“Enngg…
Non Sivia sepertinya belum keluar kamar. Mungkin belum bangun, den.”
Alvin
menghentikan makannya sejenak. “Belum bangun? Terus ini siapa yang masak?”
“Oh,
itu saya yang buat. Non Sivia bilang kalau den Alvin suka sarapan nasi goreng
pakai margarin, tapi kebetulan margarinnya habis.”
Dapat!
Pantas sepertinya ada yang kurang, tidak dimasak dengan margarin. Dan…Sivia
memperhatikannya sedetail itu?
“Saya
lanjut bersih-bersih dulu. Permisi.” Alvin hanya menggumamkan kata ‘iya’
sekilas.
====================
Alvin
memarkirkan mobilnya serampangan, lalu membanting pintu mobilnya dengan brutal.
Secepat kilat Ia memasuki rumahnya dan menuju kamar Sivia.
Seharusnya
masih jam kantor, hanya saja tadi Bik Santi menghubunginya dengan gawat,
mengabarkan sesuatu telah terjadi pada isterinya…
Sekarang,
di hadapannya ada Sivia terbaring pucat dan lemah dengan sekujur tubuh basah
lengkap berpakaian. Tubuhnya bergetar hebat meski sudah diselimuti
berlapis-lapis.
“Sivia…”
Alvin merasa tak pantas menyebut nama indah itu dengan lembut.
“Den
Alvin. Anu… Tadi non Sivia…”
====================
Alvin
tidak terlalu mendengar kata-kata Bik Santi tadi, fokus pada keadaan Sivia agar
segara dibawa ke rumah sakit. Ia hanya menangkap sepotong-sepotong. ‘Lama Sivia
tidak keluar kamar’ ; ‘Bik Santi meminta tukang kebun mendobrak pintu kamar’ ;
‘Sivia tidak sadarkan diri di dalam bathtub yang penuh dengan air dingin’.
Ia
mengacak rambutnya frustasi. Apakah Sivia sengaja melakukan itu…?
Jika
iya, karena apa?
Bodoh Alvin! Tentu saja
karenamu.
Membuatnya
merasakan hidup seperti di neraka bumi. Menyiksanya dengan ketidakacuhan.
Menyakitinya dengan kata-kata pedas. Menganggapnya tidak ada. Karena siapa
lagi…
Tetapi
untung saja kata dokter fisik Sivia baik-baik saja. Ia hanya demam dan
kelelahan. Kondisi kandungannya pun baik… Psikis nya yang kurang baik…
Psikis
kurang baik, semacam tekanan. Sudah pasti Alvinlah tersangka dari
ketidakstabilan psikis isterinya sendiri. Kalau benar Ia yang membuat tekanan
pada psikis Sivia, kenapa wanita itu tidak menjauh saja. Justru bertahan
bersamanya.
Kesadaran
satu hal kembali menohok hati Alvin. Sivia mencintainya, benar-benar
mencintainya…
Ia
mendekat ke ranjang rumah sakit tempat Sivia berbaring. Dan berdiri berjarak
dari jangkauannya, seolah-olah takut kemungkinan Ia akan merapuhkan Sivia lagi
dalam jarak dekat.
“Alvin!
Bagaimana Sivia…?”
Alvin
menoleh, Mama dan Papanya datang.
“Dia
baik-baik saja.” Suaranya serak. “Mama dan Papa…”
Plak!!!
Alvin
mengelus rahangnya, perih. Sebuah tamparan dari Papanya sendiri.
“Papa
sudah tau semua. Dari mana kamu belajar jadi manusia tidak bermoral, hah?! Kami
mendidik kamu agar menjadi manusia yang benar, Vin. Sampai Bik Santi kamu
ancam, sepintarnya kamu nutupin semua, ada kalanya terbongkar juga!”
Dalam
hati, Alvin membenarkan semua perkataan Papanya. Merasa pantas atas tamparan
tadi.
“Papa
sudah…” Giliran Mama Alvin menenagkan keadaan. “Sivia sedang sakit.”
“Memang
Sivia kurang baik apa? Kamu mau mencari isteri seperti apa lagi? Perlu kamu
tau, orang tua kamu masih hidup itu karena orang tua Sivia.”
Merasa
lebih tenang, Papa Alvin membuka suara lagi. “Saat mendengar kamu kecelakaan
dulu, Papa dan Mama panik mencari penerbangan tercepat ke Indonesia. Sudah
pasti tidak bisa semendadak itu, tapi ada orang tua Sivia kebetulan di Kuala
Lumpur juga, mereka menawarkan barter tiket. Mereka punya jadwal keberangkatan
saat itu juga. Sampai ada berita kecelakaan itu, pesawat yang harusnya Papa dan
Mama tumpangi itu mengalami kecelakaan. Sebagian kecil yang selamat, tapi tidak
untuk orang tua Sivia.”
Kebenaran
ini baru pertama kalinya didengar Alvin. Ia tercengang.
“Kamu
memang menyelamatkan kami, tapi mencelakakan orang tua Sivia. Dan sekarang kamu
menyakiti putrinya. Balas budi mu mana?”
“Papa…
sudah. Tenanglah.” Mama Alvin mencoba mengendalikan keadaan.
Sementara Alvin
berdiri kaku, bagai terdakwa yang tidak memiliki pengacara untuk memberi
pembelaan terhadapnya. Kini, seolah keadaan tertawa mencemoohnya.TBC......
NB : ANH khusus buat story yang ini -karena anonim-, ditunggu komentar kalian yaaa, bisa komentar disini atau ke acc official (@AlviaNHofficial) atau ke acc admin (@ikaclorys) -_-v makaseee.. Salam ANH <3
Kayak kenal ini cerita punya siapa kak ikaaaaaaa:o huahahaha gue sotil pasti deh -_-v aaaaaa ini kerennnn, bacanya bikin nyayat2 hati<//3 si alv bener2 jahat yaaaaaa:o duhhhh gak sabar nunggu next part nya!!:D
BalasHapusPunya siapa kak :o
Hapus