Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Sudah
ada yang menunggu di rumah… Sudah ada yang menunggu di rumah…
Suara
Sivia yang mengalun ketika mengucapkan kata itu tadi, menyebabkan Alvin
melakukan kegiatan terka-menerkanya. Ia suka melakukan itu akhir-akhir ini,
apapun yang berhubungan dengan Sivia.
Terkaannya
sekarang adalah… Yang menunggu Sivia
adalah suaminya…?
Oh
ayolah! Sivia tidak boleh menikah dengan siapapun lagi, tidak jika Ia sendiri
tidak bisa membawa Sivia ke rumahnya lagi –ke rumah mereka-. Ia mengacak rambut
frustasi. Ia merenung di ruangan kerjanya, sementara Cherivia sudah terbuai di
alam mimpi.
Memikirkan
itu cukup mengganggu konsentrasi Alvin. Terlarut-larut dalam pikiran-pikiran
liar tanpa buktinya. Memang Alvin juga malas mencari bukti jika pada akhirnya
membuatnya sesak. Terpuruk.
Dilihatnya
jam dinding klasik di ruang kerjanya yang temaram, menunjukkan pukul dua dini
hari. Dua jarum penunjuk waktu tersebut dan lonceng yang berayun di bawahnya
seolah mencemooh Alvin. Waktu terus maju. Tetap bergulir. Alvin harus mencatat
baik-baik kalau waktu tidak sama halnya dengan pemutar video yang bisa
diberhentikan sementara, atau bahkan diundur ke bagian yang telah lewat.
Seperti keinginannya memberhentikan waktu, menyelinap ke masa lampau dan
memperbaiki semua kekacauan yang pernah Ia lakukan pada Sivia. Itu khayal.
Alvin
mendesah lelah. Ia ternyata memang mencintai Sivia… masih hingga kini…
====================
Minggu
pagi, dinaungi langit biru cerah bertemankan arak-arakan awan, adalah
kesempatan baik untuk berenang. Berenang di pagi hari memang dingin tak
tertahankan, tetapi jika Sang Surya bisa bersahabat menyumbangkan radiasi
hangatnya, kedinginan tidak akan berlangsung lama.
Alvin
bersama Cherivia tampak menikmati kegiatan bermain air di kolam renang
berukuran sedang di halaman belakang rumahnya. Cherivia tampak lucu dengan baju
renangnya berwarna kombinasi pelangi, membuatnya terlihat seperti pinguin
ketika berjalan. Sementara Alvin tampak segar dengan bertelanjang dada dengan
celana pendek santainya yang sudah basah seluruhnya.
“Pap,
jangan lepas Via nanti tenggelam.” Via kecil berteriak khawatir ketika
diajarkan berenang oleh Papi tampannya.
“Via
udah pake pelampung nggak mungkin tenggelam.” Kembali Alvin mengajari Vianya
berenang perlahan-lahan.
“Udah
Pap, Via takut. Kulit Via udah kusut udah yuk renangnya.”
Alvin
tidak menolak karena Ia sendiri sudah merasa lapar. Mereka kembali ke daratan
dan mengeringkan badan dengan piyama handuk yang telah tersedia. Dan sudah
disediakan dua piring sarapan nasi goreng lezat yang aromanya menggugah selera,
oleh Bik Santi.
“Pap
kerja?”
“Libur
sayang.”
Cherivia
seperti akan mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi, Ia kembali menyuap
sarapannya.
“Papi
tau kue risoles? Aku mau coba itu.” Ucap Cherivia kemudian, mengawali
percakapan.
“Tau.
Kalo Via mau nanti Papi pesen.”
“Nggak
Papi. Via mau coba buatan Ibu guru Sivia..”
Serta
merta Alvin susah payah menelan makanannya. Anak ini cerdas. Mengajukan
permintaan dengan basa-basi dulu.
“Ibu
guru Sivia suruh Via ke rumahnya aja kalo mau coba risoles. Papi mau anter Via
kan? Mau ya Pap…”
“Tapi
kita nggak tau alamat rumahnya…”
“Ya
tanya dong Pap sama sekolah. Iya Pap ayoo…”
Lagi,
Alvin tidak menolak. Justru menggampangkan permintaan anaknya itu.
Alvin
juga butuh bertemu kembali dengan Sivia, secepatnya…
====================
Roda
mobil Alvin sudah berhenti total di depan sebuah rumah bergaya minimalis satu
lantai. Kediaman Sivia… Pagar hitam yang tidak sampai dua meter tingginya
setengah membuka. Menandakan penghuni rumah berada di dalamnya. Alvin
memandangi rumah itu sekali lagi. Bangunan dominan dicat putih dan hijau, ada
kebun sederhana di bagian depan, memancarkan kesegaran tersendiri. Lalu ada
sebuah garasi mobil, yang terparkir sebuah mobil silver.
Alvin
menghela nafas. Apakah Ia akan masuk?
Tapi kenapa rasanya resah…
“Pap,
ayoo…” Dan ketidaksabaran Cherivia terpaksa membawa langkah kakinya turun dari
mobil, memasuki rumah minimalis itu.
Sampai
di teras rumah itu pun tidak serta merta Alvin menekan bel pintu penanda ada
tamu datang. Ia sedikit menimbang-nimbang. Tetapi Cherivia sudah merengek
dengan menghentak-hentakkan tangan kanan Alvin.
Alvin
mengalah kemudian mendekati pintu, dan pintu bercat putih susu itu terbuka
bahkan sebelum Alvin menekan bel pintu. Sivia dan seorang pria berperawakan
jangkung, hitam manis,dan berperangai ramah keluar dari dalam rumah.
“Loh
kalian..?”
“Siang
buuu…” Cherivia yang menyapa duluan dengan ramah.
“Kamu
belum bilang kalau mau datang, Via.” Ya. Dilihatnya Sivia masih nampak terkejut
dengan kehadirannya.
“Ada
tamu. Siapa ini , Vi?”
Pria
jangkung itu akhirnya mengemukakan rasa penasarannya.
“Ini..,
namanya Cherivia, Kak. Dia siswa di tempatku kerja. Dan ini Papinya,
Alvin.”Sivia memperkenalkan dengan kikuk.
Dan kamu maminya Sivia!
Alvin meneriakkan itu dalam hati.
Tata
sopan santun yang benar adalah berjabat tangan tanda perkenalan. Tetapi Alvin
enggan melakukannya. Ia kadung terfokus mencari isyarat-isyarat petunjuk siapa
pria di sebelah Sivia, dan apa hubungan mereka.
“Ohh,”
Meski tidak ketara, tapi Alvin merasa ada makna lain dari tatapan pria -yang
dipanggil ‘Kak’ oleh Sivia- padanya. “Hai, salam kenal. Aku Gabriel. Salam
kenal gadis lucu…” Gabriel dengan
santainya mencubit gemas pipi Cherivia. Sementara Cherivia tersenyum lucu
malu-malu. “Sivia, aku pamit sekarang, terimakasih untuk hari ini. Kamu jaga
kondisi sampai hari pernikahan datang. Aku mau pernikahan itu sesuai rencana.”
Pernikahan! Kening
Alvin berkerut dalam.
“Iya,
Kak. Bawel banget.”
“Aku
Cuma was-was. Bye…” Dan Gabriel pun melenggang ke mobil silver yang terparkir
di garasi, setelah sebelumnya mengangguk sopan pada Alvin dan Cherivia.
Kesemua
tadi tidak luput dari perhatian Alvin. Dengan satu simpul yang tidak terelakan.
Apakah itu calon suami Sivia…?
====================
Cherivia
berputar, menyapu seluruh ruangan dalam rumah Sivia. “Rumahnya bagus, ya Pap.”
Mereka, Cherivia, Alvin dan sudah pasti Sivia tengah berada di ruangan
keluarga…
“Hm.”
Hanya
saja mereka duduk pada sofa terpisah. Kecuali Cherivia yang tampak nyaman di
pangkuan Sivia.
“Bu,
Via kesini kan mau coba risoles buatan Ibu. Ayoo bikin bu sekarang.”
“Boleh,
ayoo…”
“Via
tunggu.” Secara tidak langsung Alvin memberhentikan langkah dua orang sekaligus
dalam satu nama. Ia salah tingkah sendiri. “Mm, maksudnya Cherivia. Papi tinggal
sebentar ya, nanti Papi jemput ke sini lagi.”
Jangan
ditanya lagi, Alvin ingin berlama-lama di sana tentu saja. Hanya saja Ia
tersiksa jika harus memperhatikan oranng-orang terkasihnya tanpa bisa terlibat.
Tersiksa jika seharusnya Ia bisa merengkuh Sivia yang begitu dirindukannya,
tapi Sivia nya sendiri bagai hologram, nampak namun tak tersentuh.
“Kenapa
gitu Pap? Papi di sini aja ya. Papi nggak mau coba risoles punya Ibu guru
Sivia?”
“Bukan
gitu, Papi mau mampir ke kantor sebentar, nanti Papi ke sini lagi.”
“Apa
susahnya sih tunggu di sini. Kerjaan bisa belakangan, waktu sama keluarga lebih
utama.” Alvin mendelik pada Sivia. Apa Ia salah dengar? Susah payah sekarang Ia
mengendalikan jantungnya yang bertalu-talu.
“Vi—”
“Ayo
Cherivia kita ke dapur.”
Sivia
menarik diri ke dapur. Menghindarinya… membiarkan Alvin sendiri perasaannya
yang nano-nano.
===================
Bodoh!
Ceroboh! Malu-maluin… Sekiranya begitu umpatan-umpatan dalam hati yang Sivia
lontarkan pada dirinya sendiri. Pilihan kata yang tidak baik. Apa masksudnya
tadi Ia berkata begitu pada Alvin… “…waktu
sama keluarga lebih utama.” Kamu masih merasa berkeluarga dengan Alvin,
begitu maksudnya Sivia?
Salah
Alvin juga. Apa sulitnya diam duduk manis menunggu Cherivia. Ini hari minggu,
dan pekerjaan ada waktunya ada tempatnya. Sebagai ibu, Sivia juga tidak tega
melihat Cherivia merengek seperti tadi…
“Bu,
pertama kita buat apa dulu?”
Sivia
kembali fokus pada bahan makanan di atas meja dapurnya. “Kita buat isinya dulu.
Ada risoles isi kentang, jagung, ada juga yang isi sayur. Sekarang kita buat
risoles isi sayur, karena bahannya semua sudah tersedia.”
Lalu
tangan-tangan lincah Sivia menggarap kerja dapurnya. Ia sendiri bersemangat
memasak hari ini. Mungkin karena ditemani Cherivia yang berdiri di atas kursi
demi menyeimbangi dengan tinggi meja dapur. Satu persatu bahan makanan diracik
sesuai takaran risoles seleranya. Cherivia akan suka ini, Sivia yakin itu.
Tetapi
di sela-sela proses, diam-diam matanya selalu mengarah ke ruang keluarga. Pada
punggung Alvin yang bersender nyaman di sofa. Rambut hitamnya menyembul. Alvin
sesekali memperhatikan layar TV, sesekali juga sibuk dengan tabletnya. Sivia
mendesah, kenapa Alvin rakus terhadap
kadar ketampanan seorang laki-laki?
Sivia
mengembalikan fokus pada adonan risoles. Setelah beberapa langkah selesai,
sampai pada langkah untuk melumuri gulungan adonan dengan tepung roti yang
telah tersedia. “Bu, Via mau bantu juga. Boleh ya…”
“Boleh.”
Karena hanya tinggal melumuri gulungan donan dengan putih telur dan tepung
roti, Sivia mengijinkannya.
Setelah
langkah terakhir selesai, seluruh adonan diletakkan dalam lemari pendingin menanti tepung rotinya merekat sebelum
akhirnya digoreng. Sementara menunggu, Sivia dan Cherivia membersihkan dapur.
“Bu, Via mau minum. Haus…”
“Tunggu
ya. Via mau es jeruk?”
Sivia
membuat dua gelas es jeruk setelah disetujui Cherivia. Satu untuk gadis kecil
itu, satu untuk Papinya. Secara tidak langsung Ia menahan Alvin tetap diam,
tetapi Ia tidak ingat untuk membuatkan ‘tamu’ nya minuman.
====================
Menunggu
itu pekerjaan menyebalkan? Tentu saja. Hanya saja yang Alvin lakukan saat ini
bukanlah murni menunggu, tetapi mengamati diam-diam, menguping juga. Pada
akhirnya Ia tidak meninggalkan kediaman Sivia. Memanfaatkan kesempatan itu untuk
merekam saat-saat bersama Cherivia dan Maminya, meski Cherivia belum mengetahui
hal itu.
Tanpa
sadar Alvin menghela nafas dalam, ada suatu gejolak. Cengkarama Sivia dan gadis
kecilnya di dapur sungguh menghangatkan relung hatinya. Menghisap rasa lelah Alvin.
Semuanya terasa ringan. Sadar tidak sadar mereka memang memiliki ikatan itu.
Alvin menaruh minatnya kembali pada tabletnya guna mengalihkan perhatian dari
kemelankolisannya.
“Maaf
lupa membuatkan minuman.”
Alvin
mendongak hanya untuk mendapati Sivianya –harusnya- yang cantik membawa segelas
jeruk segar dan meletakkan di meja kaca.
“Thanks.”
Iblis dalam diri Alvin mencemooh dengan sadisnya. Bertahun-tahun menunggu, saat bertemu hanya melontarkan satu kata
thanks? Good job Alvin.
Di
luar kendali Alvin menggeram tertahan.
“Kenapa?
Bosen nunggu?” Tanya Sivia dengan nada yang sama sekali tak bersahabat.
“Bukan.
Aku haus,” Alvin berkelit. Lama-lama Ia bisa gila. “Aku minum ya.” Lalu menegak
minumannya. Sementara Sivia tidak mau repot-repot perduli, kembali ke dapur.
=====================
Kue-kue
kecokelatan dengan masih ada uap-uap panas mengepul betul-betul mengundang rasa
lapar. Risolesnya sudah jadi dan sedang disajikan Sivia di meja makan. Tidak
lupa pula Sivia memadumadankan dengan bumbu pedas manis dan asam manis yang
kental.
“Via
mau cobaa… Tapi Papi boleh ikut makan ya.”
Sivia
melotot mendadak panik. Jangan sampai semeja makan dengan Alvin. Itu tidak baik
unuk kesehatan jantungnya. “Jangan! Mungkin Papi kamu nggak lapar. Kita aja
yang makan.” Titah Sivia tanpa sadar agak membentak. Cherivia diam sejenak
memperhatikan Sivia lekat-lekat. “Kenapa?”
“Jangan
galak-galak sama Papi Via,” Mimik Cherivia memelas menundukkan kepalanya. “Via
sayang Papi. Papi memang suka sibuk, tapi Papi sabar sama Via. Katanya Ibu guru
temenan sama Papi...”
Mau
tidak mau Sivia terenyuh. Berusaha menahankan sesuatu basah yang sudah
menggumul di pelupuk matanya. “Yaudah, panggil Papi kamu ajak ke sini.”
Cherivia menurut dengan senang hati.
Mereka
-dengan Alvin dan Chervia yang duduk bersebelahan berseberang meja dengan
Sivia-, menikmati risoles yang baru matang hasil racikan Sivia. Jadinya,
suasana makan siang menjelang sore yang sederhana itu terkesan canggung. Kalau
saja Cherivia tidak bersedia berceloteh dengan tuturan anak-anaknya.
“Enak
nggak Pap?”
“Ya.”
Alvin mengangguk-angguk setuju. Hanya singkat begitu sahutannya karena mulutnya
masih penuh terisi. Entah karena memang lapar, Alvin begitu bernafsu melahap
potongan ketiga risoles di atas piring yang tersaji untuknya.
“Bu,”
“Ya?
Ada apa?”
“Itu
tadi… yang ke sini yang katanya namanya Gabriel, itu siapa, bu.?”
“Uhukh,
uhukh…”
“Papi.
Hati-hati Papp…” Cherivia cemas melihat Papi di sampingnya kesulitan menelan
makanan, bahkan wajahnya memerah.
Batuk-batuknya
mereda setelah meminum air putih yang diangsurkan Sivia.
“Pap
kenapa sih.”
“Kepedesan,
Papi gigit cabe.”
“Pap
kan nggak suka pedes kenapa makan cabe…”
“Iya
tadi Pap kira sayur.” Alvin berkilah. Tetapi Sivia tau itu alasan konyol. Sivia
tidak memasukkan cabe sedikitpun dalam masakannya tadi.
“Via
kira kenapa Pap…”
Dan
dengan begitu, Cherivia melupakan pertanyaannya barusan dan beralih topik
menanyakan kue-kue apa saja yang bisa dibuat oleh Sivia.
Alvin
merasa terselamatkan.
==================
“Via
pulang ya Bu. Terimakasih risolesnya.” Cherivia dalam gendongan Alvin terlihat
senang menenteng kantong plastik berisi risoles yang belum matang. “Nanti Via
suruh Bik Santi biar digoreng.”
Karena
sudah di penghujng senja, Alvin terpaksa mengajak dan merayu Cherivia untuk
kembali pulang. Alvin sendiri khawatir kalau kakinya terlalu lengket untuk
sekedar melangkah meninggalkan Sivia. Sedetik lagi Ia berada di sini itu tidak
baik untuk saluran pernapasannya.
“Kapan-kapan
ke sini lagi ya.”
Cherivia
menjulurkan badannya lalu mengecup pipi Sivia malu-malu, meninggalkan jejak
hangat di sana. Kemudian gadis kecil itu melambaikan tangan.
“Terimakasih,
Sivia.” Ujar Alvin sebelum berbalik.
Sivia
mengerti maksud ucapan ‘terimaksih’ Alvin. Terimakasih karena sudah bersedia
berdamai dengan keadaan sementara ini…
====================
Undangan
Sivia tempo hari ketika Cherivia berkunjung ke temat Ia tinggal ditanggapi
dengan serius. Sivia mengakui rasanya berbeda dan tidak puas hanya bertemu
Cherivia di sekolah, apalagi Ia tidak menjadi pengajar di kelasnya. Jadi tidak
ada keberatan sama sekali kalau Cherivia rajin mendatanginya. Entah untuk
mencoba memasak kue baru, atau hanya sekedar mengobrol. Begitulah ikatan ibu
dan putrinya.
Secara
rutin Cherivia rajin berkunjung ke sana. Secara rajin pula Pak Oji mengantar
jemputnya. “Papi ada pekerjaan.” Begitu kata Pak Oji memberitahu Cherivia
ketika menanyakan Papinya. Terhitung hanya dua kali Alvin sempat mengantar
termasuk awal kunjungan.
Apa Alvin mengurangi
pertemuan dengannya? Sivia merasa sesak.
Sivia
tidak mau repot-repot memikirkan itu. Ia sudah memilih, dan sedang berjalan
dalam pilihannya. Berdamai dengan keadaan, dengan memperlakukan Cherivia
seperti yang seharusnya terasa sudah cukup. Meskipun ada suatu titik Ia ingin
mendengar suara Cherivia yang manja memanggilnya dengan ‘Mami’. Tapi segera
dihenyakkan pikiran itu. Ia merasa tidak berhak. Empat tahun meninggalkan
Cherivia tumbuh tanpa sosok dirinya sebagai ibu, itu sungguh memalukan baginya.
Sekali lagi, itu pilihan. Ia sudah memilih hidupnya sekarang, dan tidak lama
lagi akan ada perubahan lain dalam hidupnya.
Suatu
siang, mereka sehabis membuat kue bolu yang ditaburi kismis gurih. Dilanjutkan
dengan menonton film barat keluarga ‘Nanny McPhee’ bersama. Sampai Cherivia
ketiduran saking lelahnya. Tinggal menunggu Pak Oji menjemput Cherivia.
Suara
bel pintu terdengar, Sivia merebahkan Cherivia yang tadi tertidur di
pangkuannya di sofa, lalu Sivia beranjak untuk menerima tamunya.
Ternyata
dari dulu sampai sekarang Sivia tidak bisa imun terhadap Alvin. Bisa
dibayangkan, Alvin yang datang, berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu
tampak lelah sepulang kerja, kemeja abu-abu nya sedikit kusut pada bagian kerah
dan dua kancing kemeja teratas terbuka seizin pemakainya. Sivia memang tidak
pernah imun dengan itu. Gabriel yang baginya sudah tampan pun, tetap kalah
tampan dibanding Alvin.
“Aku
menjemput Cherivia.”
“I-iya,”
Sivia tergeragap. “Silahkan. Dia tertidur di sofa, kayaknya kelelahan.” Alvin
mengikuti Sivia menuju ruang keluarga. Kenapa
Pak Oji nggak bilang kalo Alvin yang jemput? Keluhnya dalam hati.
Sivia
tak melepas tatapannya dari apa saja yang dilakukan Alvin. Membungkuk untuk
mengecup dahi putri kecilnya itu dengan sayang, kemudian mengangkat dan
memposisikan dalam gendongan di pundak Alvin.
“Terimakasih,
Vi. Daridulu dia menanyakan Mami nya…”
“Vin…
engg aku.., apa boleh aku menganggap Via sebagai, anakku?” Sivia menelan
ludahnya, tenggorokannya terasa kering. Tatapan tajam mata Alvin menghisap
nyalinya. “Ma-maksudku, engg tidak jadi…aku cuma—”
“Sampai
kapanpun kamu Mami nya. Via juga anakmu.”
Sivia
membalas tatapan Alvin takut-takut. Mencari-cari sesuatu di sana. “Makasih.”
Sahutnya setelah hening beberapa saat. Kemudian Ia berjinjit sedikit untuk
mengecup pipi Cherivia penuh kasih. Sivia tidak sadar, bahwa perlakuannya
barusan menyebabkan Alvin mendesah gundah dalam hati akibat menghirup aroma
rambutnya yang dirindukan pria itu.
“Aku pamit.” Alvin
bergegas, nampak tak bisa lebih lama lagi bertahan di sana. Suasana nya akan
menimbulkan harapan, membangkitkan ego nya untuk menarik Sivia kembali padanya,
merebut Sivia dari calon suaminya… Setidaknya begitulah pemikirannya.
TBC...
Lanjut dong ini ya :)
BalasHapusLanjut min, pokoknya via gak boleh nikah. Harus punya perasaan masa gak sayang sih sama cherivia? Sian anaknya, paling miris bacanya:'
BalasHapus