Title : Love & Be Loved
Author
: Anonim
Genre
: Romance, Married Life
Cast
: Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Bunyi-bunyi hentakan langkah kaki dan roda-roda koper yang diseret
mendominasi wilayah ini, wilayah yang disebut sebagai bandar udara. Bandara
dipenuhi lalu lalang orang-rang yang baru sampai dan atau akan pergi. Ada yang
mengantar ada pula yang menjemput. Sivia salah satunya, Ia duduk di salah satu
bangku panjang menunggu sembari membaca novel yang –untung- Ia kantongi. Oleh
karena itu menunggu tiba-tiba jadi tidak terlalu menyusahkan.
Sivia di bandara atas permintaan Gabriel kesayangannya. Gabriel minta
ditemani untuk menjemput kedatangan orang tuanya. Tentu saja Sivia mau, karena
orang tua Gabriel jauh-jauh datang dari luar kota salah satu tujuannya adalah
untuk bertemu Sivia. Tiba-tiba teringat itu, Sivia berhenti sejenak dari alur
novel, Ia menjadi gugup. Sudah lama Ia tidak berjumpa dengan mereka, sekarang
bertemu lagi. Ia hanya berharap kedua orang tua Gabriel masih menyayangi
dirinya sama seperti dulu dan mau menerimanya.
Setelah berhasil menenangkan diri, Sivia memandangi sekitarnya mencari
sosok Gabriel. Lelaki itu belum muncul, Sivia hanya disuruh menunggu dari tadi
di sini. Lantas, tanpa sengaja pandangan Sivia jatuh pada dua pasang mata yang
ketara sedang memperhatikan dirinya. Mereka sepasang pria wanita paruh baya
yang memiliki pengaruh dalam hidupnya dulu. Yang wanita paruh baya, tersenyum
lembut pada Sivia kemudian mendekat dengan menggeret kopernya.
“Sivia…” Sapanya, antara kaget, senang, bercampur rindu.
“Mama,” Balas Sivia ragu-ragu. Apakah benar sebutan itu masih berlaku
untuknya. Itu adalah Mama Alvin. Dan Pria paruh baya yang menyusul mendekati
mereka, Papa Alvin.
“Ya Tuhan Sivia. Apa kabarmu, Nak?”
“Baik, Ma.” Sahutan Sivia sedikit teredam karena Ia sedang dipeluk oleh
Mama Alvin. “Mama dan Papa gimana kabarnya?”
“Kami juga baik-baik saja. Senang bertemu lagi Sivia.” Giliran Papa
Alvin yang memberi sambutan pelukan.
“Kamu ada di bandara mau pergi atau bagaimana?”
“Ooh bukan, Ma. Via memang tinggal di kota ini. Via Cuma menemani
seseorang yang menjemput orang tuanya.”
Kemudian diam. Bingung akan membicarakan apa lagi. Sivia sendiri rasanya
tidak perlu menanyakan tujuan Mama dan Papa Alvin ke kotanya, pasti untuk
bertemu anak cucu mereka. Tepat ketika itu, yang ditunggu-tunggu Sivia akhirnya
datang.
“Via, maaf nunggu lama. Ibu dan Ayah sudah datang mereka tidak sabar
bertemu kamu. Ayoo…” Gabriel sudah menggamit tangan Sivia saking bersemangatnya
tanpa memperhatikan ada tamu Sivia. Untung Sivia sempat berpamitan meski hanya
menganggukkan kepala saja.
Lalu Ia berusaha menyeimbangi langkah kaki Gabriel, serta memusatkan
pikirannya akan bertemu orang tua Gabriel. Ia kembali gugup.
=====================
Menjelang penghujung senja, saat-saat langit dilukis sinar jingga
matahari yang membias dan bau angin sore yang khas, orang tua Alvin akhirnya
tiba di kediaman putra sematawayang mereka, di kota ini. Beruntung Alvin dapat
pulang kantor lebih cepat dari biasanya, sehingga bisa menyambut kedatangan
mereka. Berbeda dengan si cucu, Cherivia, yang sejak siang tertidur lelap di
kamarnya, belum mengetahui kedatangan opa dan oma.
“Alvin, kami tadi bertemu Sivia di bandara…”
Gerakan Alvin yang sedang meletakkan seteko teh hangat di meja untuk
mereka menggantung di udara. Ia memastikan pendengarannya. Sepertinya tidak
salah dengar, karena kedua orang tua nya menatap dengan serius. Jadi ini penyebab
Mama dan Papanya berwajah tegang ketika sampai tadi…
“Ooh, jadi kalian udah ketemu Via juga.” Sahutnya berusaha terdengar
biasa.
“Maksud kamu, kamu tau Sivia tinggal di sini, Vin?” Tanya Mamanya tidak
sabaran.
Alvin mengangguk tanpa memperhatikan lawan bicara. “Tidak sengaja
bertemu. Sivia menjadi pengajar di sekolah Cherivia.”
Alvin tau kalau kedua orang tuanya terperangah dan pasti akan
menjatuhkan serentetan pertanyaan lagi.
“Lalu gimana,..” Mama Alvin suaranya tercekat. “Apa dia tau, kalau
Cherivia—”
“Iya, Ma. Sivia tau dan mau berdamai dengan keadaan. Tapi Cherivia tidak
tau. Aku sengaja merahasiakan ini. Aku rasa Sivia belum siap dan dia masih
kaget dengan pertemuan kami.” Baru Alvin berani memandangi kedua orang tuanya.
“Tapi memang ikatan mereka nggak bisa dikelabui, Cherivia suka Sivia di luar
dia tau itu memang Maminya. Yaah, mereka menjadi dekat.” Sambung Alvin, lirih.
Sang Mama menjalankan perannya, menerangkan perasaan putranya yang
dilanda risau. “Cherivia sudah senang dan bangga punya Papi seperti kamu.”
“Semoga saja. Aku terlalu sering membiarkan Cherivia kesepian.”
“Kamu masih bisa mencari sosok ibu lain untuk dia, kalau kamu mau.”
Sambung Papa Alvin yang sebelumnya hanya menyimak obolan.
“Terus terang, aku tidak memikirkan itu sama sekali.”
“Karena kamu masih mencintai Sivia?” Tebak Mamanya dengan ragu-ragu tapi
tepat sasaran. Yang dijawab Alvin dengan helaan nafas.
“Itu kesalahan kamu dari awal.” Ketus Papanya kemudian pergi dari
obrolan.
Memang semenjak saat itu, saat terbongkar betapa kejamnya seorang Alvin,
Papa Alvin menjadi lebih ketus pada putranya sendiri. Alvin tidak
mempermasalahkan itu, karena itu adalah hukumannya.
“Papa kamu masih sensitif menyangkut hal ini.” Ujar Mamanya menengahi
sembari menyesap tehnya.
Alvin mengangguk memaklumi. Lalu tiba-tiba menatap Mamanya baru teringat
sesuatu. “Tadi Mama bilang bertemu Sivia di bandara. Apa dia mau pergi?”
“Bukan. Sivia bilang hanya mengantar seseorang yang menjemput kedatangan
orang tuanya,” Sahut Mama Alvin. Wanita ini seperti akan mengucapkan sesuatu
tetapi tidak jadi.
“Seseorang? Siapa?”
“Nah itu.. Seorang laki-laki, dia terburu-buru mengajak Sivia pergi.
Mama mendengar sedikit, orang tuanya tidak sabar bertemu Sivia.” Kali ini Mama
Alvin memperhatikan lekat wajah Alvin yang mengkerut sedang berpikir.
Menelusurinya.
Seolah baru mendapat jawaban, Alvin tersenyum. “Oh, mungkin itu Gabriel.
Dia calon suami Sivia, Ma. Pernikahan mereka sepertinya tidak lama lagi.” Dan
senyum tadi adalah senyum kecut.
Begitupun Mama Alvin tidak tau harus berkomentar apa.
==================
Setiap paginya, setiap hari sekolah, selalu ada semangat yang
menggebu-gebu bagi Cherivia. Dengan seragam TK kotak-kotak biru dikombinasi tas
gendongnya yang lucu berbentuk boneka, Cherivia sudah siap untuk berangkat ke
sekolah. Sebelumnya Ia berpamitan pada oma juga opanya yang datang berkunjung.
“Via ke sekolah ya oma, opa. Oma sama opa jangan pulang dulu, nginep di
sini terus yaa. Dadaaahh… Ayo Pap…”
Sementara Cherivia melangkah ringan dengan riang seraya melambaikan
tangan, Papinya hanya mengangkat bahu melihat tingkah polah anaknya. Ada yang
sedang membebani pikirannya.
“Alvin berangkat Ma, Pa.”
“Iya, hati-hati.” Sahut Mama Alvin lembut. Wanita keibuan itu tau, bahwa
anak dan cucunya akan bertemu dengan orang yang memiliki pengaruh besar pada
keluarga mereka.
===================
Cherivia memang terhitung masih kecil, tetapi bukan berarti dia tidak
tau kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Papi kesayangannya. Sebiasa
pagi-pagi sebelumnya Papi nya pasti mengajaknya berbicara, bercanda atau apa
saja. Tidak diam, kaku, dengan wajah yang tegang seperti sekarang. Terpaku pada
jalanan di depan seolah konsentrasi menyetir, padahal tatapannya kosong.
Cherivia yang duduk di bangku sebelah kemudi, berinisiatif membuka sabuk
pengaman yang melingkari badannya. Ia berdiri mendekati Papi nya yang tampan
kemudian mengecup pipi sebelah kirinya. Alvin kaget jelas saja, namun Ia
tersenyum dan mengusap-usap kepala Cherivia dengan sayang. Alvin tau betul anaknya
sedang melancarkan serangan rayuan.
“Kenapa cium-cium, hm?”
“Papi kenapa? Papi mukanya galak.”
“Maaf, Papi lagi capek.”
“Capek kenapa Pi? Yaah Papi nggak bisa anterin Via ke rumah ibu guru
Sivia dong…”
Kembali wajah Alvin menegang. Itu cukup menjadi petunjuk bahwa memang
yang membebani pikirannya tidak jauh-jauh dari Sivia.
“Papp…”
“Tidak Via. Kamu jangan main ke rumah ibu guru Sivia lagi, tidak boleh.”
“Papi kok gituuu...” Cherivia protes. Yang diprotes tidak menanggapi
lebih lanjut. “Papi jahatt…” Dan Cherivia langsung diam seribu bahasa, tidak
berniat berbicara apapun lagi pada Papinya.
=================
Terus terang, Alvin memiliki tujuan yang Ia pikir baik untuk keadaan ini
atas keputusannya melarang atau setidaknya mengurangi pertemuan Cherivia dengan
Sivia. Alvin sendiri tidak tega melakukannya, tetapi itu semua demi kebaikan
mereka, agar tidak ada yang dirugikan. Sivia tidak lama lagi akan menikah
dengan pria pilihannya, dia akan memiliki kehidupan baru. Meskipun Cherivia
darah dagingnya, tetap saja yang perlu diprioritaskan adalah hidup barunya,
bukan hidup lamanya yang mungkin sudah dikubur rapat-rapat oleh Sivia.
Tetapi apa dayanya, anak kecil pasti belum memahami apa-apa. Anak kecil
hanya bisa menangis dan ngambek selama keinginannya tidak terpenuhi. Yang Alvin
khawatirkan jika ini dibiarkan, Cherivia akan bergantung pada Sivia entah dia
tahu atau tidak memang itu Maminya. Lalu mereka sulit dipisahkan. Dan meskipun
ingin, Alvin bukanlah Alvin yang dulu, -tega dan kurang berperasaan-, yang tega
berencana menghancurkan kehidupan rumah tangga orang, kelak nanti. Sudah cukup
Ia membuat Sivia merana dulu.
Tapi sekarang dirinya sendiri yang tersiksa…
Alvin membenturkan punggungnya ada kursi kerja. Apakah ini adil? Tanya
nya dalam hati. Tentu saja adil karena ini adalah hukum karma yang berjalan.
Alvin menjadi tidak konsentrasi pada pekerjaannya di kantor.
Jadi Alvin memutuskan lenyap dari kantor meskipun belum saatnya bubar
kantor. Ia akan menjemput Cherivia. Hatinya ngilu mengingat malaikat kecilnya
tadi menampakkan wajah masam tak sedikitpun mau meliriknya.
Alvin tiba tepat ketika bel pulang sekolah dibunyikan. Riuh rendah
anak-anak yang berlari-larian menuju jemputan mendominasi lingkungan
kindergarten elite ini. Alvin agak kesulitan menemui Cherivia, karena malaikat
kecilnya itu tidak ditemukan di tempat menunggu seperti biasa.
“Alvin…”
Tubuh Alvin menegang saat suara itu memanggil namanya. Ia menoleh, dan
ada Sivia di sana tersenyum canggung.
“Kamu mencari Cherivia? Dia menunggu di ruanganku.” Takut-takut Sivia
melanjutkan lagi. “Apa yang terjadi Alvin? Cherivia cerita, katanya Papinya
melarangnya bermain ke rumahku lagi. Kenapa?” Sivia bertanya berusaha
menyembunyikan getar lirih suaranya.
Sebelum menjawab Alvin menghela nafas. “Aku khawatir Cherivia terlalu
bergantung padamu, kamu… yaah kamu mengerti maksudku.”
“Ternyata kamu sendiri yang belum berdamai dengan keadaan, Alvin.”
Alvin tersentak, menautkan alisnya penuh perhitungan. Benar! Siapa yang
bisa berdamai dengan keadaan, saat orang yang kamu cintai akan menikah dengan
orang lain? Tapi tidak mungkin bukan kalau Ia mengatakan dengan gamblang bahwa
itu alasannya. Sivia pasti tertawa puas, karena Alvin dulu menyia-nyiakan
malaikat yang turun dari surga untuknya.
“Papi.” Suara Cherivia muncul. Gadis kecil itu menautkan jemari
mungilnya pada jemari Sivia dan melempar tatapan tidak bersahabat pada Alvin.
“Via nggak mau pulang.”
Oke. nampaknya Alvin harus merubah strategi. Ia berjongkok
menyeimbangkan tingginya dengan Cherivia. “Kenapa? Kan ada oma sama opa di
rumah.” Tetap Cherivia tidak bereaksi. “Yaudah kita makan di luar dulu, beli es
krim, habis itu pulang. Gimana?”
Ada sedikit kemajuan karena Cherivia menunjukkan wajah ketertarikan.
“Tapi Ibu guru Sivia ikut ya? Ayolah ikut yaa. Papiii ayo ajak ibu guru…”
“Eh tapi Vin—”
“Hm. Oke. Ayo berangkat.”
“Alvin, aku—”
“Waktu sama keluarga lebih utama” Bisik Alvin di dekat telinga Sivia
dengan sedikit seringai jahilnya. Sivia terbuai begitu saja, membiarkan Alvin
menghelannya menuju mobil bersama Cherivia.
Bagi Alvin, okelah Sivia akan menikah tidak lama lagi, jadi tidak ada
salahnya Ia menawan wanita ini sebelum statusnya berganti menjadi isteri orang…
=====================
Hati Sivia ketar-ketir. Makan bertiga bersama Alvin yang tampak begitu
jantan dengan kemeja biru gelapnya meski setengah kusut di bagian lipatan siku,
juga dengan Cherivia, anak mereka. Benar-benar tampak seperti makan bersama
keluarga. Kalau saja Ia tidak ingat bagaimana hubungan dan keadaan sesungguhnya…
Alvin tidak boleh tau kalau Sivia duduk dengan jantung nya berdendang
seolah mengejeknya yang tidak imun terhadap pesona Alvin. Tidak pernah imun.
“Vi, mau nambah makannya? Atau ada yang mau dipesen lagi?”
Pertanyaan Alvin membuyarkan lamunan Sivia. “Oh, nggak. Ini udah cukup,”
Sahutnya. “Eh, Cherivia mana?” Ia baru sadar hanya berdua dengan Alvin.
“Itu.” Alvin menunjuk ke arah belakang Sivia. Rupanya Cherivia di sana
sedang bercengkrama dengan gadis seusianya. “Via bertemu temannya di sini.” Dan
Sivia hanya menggumamkan kata ‘oh’ saja.
Suasana pasti canggung, kalau Sivia tidak berinisiatif berbasa-basi.
“Aku bertemu Mama dan Papa kamu di bandara.” Ucapnya, dengan mata mengarah pada
piring yang segera mengosong.
“Ya. Mereka memang sengaja berlibur di kota ini. Mama juga sudah cerita,
bertemu kamu di bandara. Mereka merindukanmu.” Alvin menatap Sivia, seperti
akan mengucapkan sesuatu namun tertahan.
Alvin menyenderkan punggungnya, menyamankan diri. “Aku kira kamu akan
pergi ke mana, tapi ternyata Cuma mengantar teman menjemput orang tuanya.”
Alvin menyunggingkan senyum. “Itu Gabriel ya?”
Akhirnya Sivia menatap Alvin dengan mata sedikit melebar. “Ah iya. Kok
bisa tau?” Dan hati Alvin serasa dicubit karena mimik wajah Sivia lebih
berbinar dari sebelumnya. “Orang tua Kak Gabriel ingin bertemu denganku, mereka
sungguh baik. Mereka memang seperti orang tua pengganti untukku.”
Alvin tersenyum. Sekali lagi, itu senyum miris…
Sivia meletakkan sendok dan garfu sedikit gugup sampai ada bunyi denting
beradu. Ada yang ingin dikatakannya. “Engg.. Alvin,”
“Kenapa?” Alvin memaku perhatiannya pada Sivia. Tatapan Alvin menghisap
nyali Sivia, padahal Ia sudah menyusun kata-katanya untuk ini.
“Aku tau, aku bukan ibu yang baik. Meninggalkan Cherivia sejak kecil,
tapi..., Aku mohon satu hal, jangan batasi pertemuanku dengan Via. Aku sayang
Via, Vin.” Sivia melirik Alvin, lelaki itu diam saja. “Bertemu di sekolah saja
belum cukup, jadi apa kamu keberatan untuk mengantar Via ke rumahku?” Alvin
masih diam, Sivia jadi serba salah. “Emm, maksudnya, tidak mungkin kan aku ke
rumahmu. Tidak enak dengan isterimu, aku cukup bertemu Cherivia saja.” Sudah.
Sivia tidak memiliki kosa kata lagi. Lenyap semuanya.
Di luar dugaan, Alvin yang dari tadi postur tubuhnya tegang, menjadi
rileks dan bersahabat. Ia memajukan tubuhnya, menumpukan lengan kokohnya di
atas meja. Memandang Sivia lekat-lekat, lalu senyum tipis tersungging di
bibirnya.
“Dari mana kamu berpikiran aku sudah beristeri lagi, hm?”
Jadi maksudnya, Alvin belum menikah lagi?
Di sana, jauh di dalam sana, Sivia seolah merasa ada rombongan marching
band yang gemuruh perlahan mendekat, merongrong lorong hatinya. Bernafas Sivia…
Sivia menggeleng. “Aku Cuma mengira-ngira.” Sivia mencoba tersenyum
santai, mengimbangi suasana bersahabat yang diciptakan Alvin.
“Kenapa bisa mengira begitu, hm?”
Urgh Alvin!
“Memang bisa seorang Alvin bertahan sendiri selama itu?” Sivia
menyesalkan kalimatnya seorang diri. Tentu saja bisa. Alvin kan anti terhadap
pernikahan.
“Aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai, Vi.”
Sivia tertawa kecil. Apakah Alvin bermaksud melucu. “Sejak kapan kamu
bisa mencintai orang, Vin?”
“Sejak kamu pergi.”
===================
Saat akan pergi makan bersama tadi, Sivia dan Cherivia duduk di sebelah
kursi kemudi. Tapi ketika pulang, hanya Sivia yang duduk di sebelah kursi
kemudi, di sebelah Alvin. Karena Cherivia sudah tertidur dengan lelapnya di
kursi penumpang bagian belakang sambil memeluk boneka panda lembut.
Sivia mengkhawatirkan kesehatan jantungnya kalau berada dalam posisi ini
lebih lama lagi, apalagi mengingat kalimat terakhir yang diucapkan Alvin tadi.
Hah!
Itu serius atau bagaimana sih. Karena setelah mengucapkan itu, Alvin
malah tertawa ringan. Lalu mengajak Sivia dan Cherivia untuk pulang.
Begitu juga dengan Alvin yang jujur saja tidak berada dalam konsentrasi
penuh. Teringiang cara Sivia membicarakan Kak Gabriel nya. Dan terusik pancar
kecantikan anggun yang berkali lipat dari Sivia. Wanita ini benar-benar semakin
cantik dalam kedewasaannya setelah lama Ia menghilang.
Untung saja di resto tadi Alvin bisa mengalihkan suasana menjadi lebih
bersahabat lagi. Ia masih bisa menahan. Tidak tau sampai kapan. Ia tidak
terbayangkan kalau harus membuat Sivia bingung dan kaget jika Ia mengungkapkan
perasaanya tiba-tiba.
Mobil hitam Alvin berhenti juga di depan kediaman Sivia. Telah sampai.
“Terimakasih ya Alvin.”
“Hm.” Alvin hanya menggumam. Bisa-bisanya Sivia menyebut namanya
selembut itu. “Aku juga berterimakasih. Maaf kekonyolanku tadi, memang tidak
seharusnya aku melarang Mami dan anaknya bertemu kan.”
Sivia tersenyum canggung malu-malu. Mami?
“Sekali lagi terimakasih, Alvin.”
Alvin membiarkan Sivia keluar perlahan dari mobilnya, membuka pintu
pagar, kemudian memasuki halaman rumah berjalan dengan cantiknya.
Kesemuanya tidak luput dari pandangan Alvin. Ia menggeram, tidak tahan lagi…
“Sivia!” Panggilnya tidak sabaran.
Menyusul Sivia sesegeranya. Sadar tidak sadar Alvin menerjang wanita
kesayangannya itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat sampai sesak. Alvin
merasakan tubuh Sivia terlonjak kaget, tetapi kemudian wanita itu rileks, meski
tidak membalas pelukannya. Begini saja sudah cukup baginya.
“Vin…”
Alvin baru melepas pelukannya, demi menatap wajah Sivia, melihat
reaksinya. Yang didapat Alvin hanyalah tatapan mata Sivia yang… apa Alvin boleh
mendeskripsikan tatapan itu sarat akan rindu?
Terserah. Kini fokus Alvin beralih pada bibir Sivia yang berwarna merah
lembut. Tidak menyia-nyiakan kesempatan Alvin mengecupnya perlahan, meluapkan
rindunya yang tak tertahan.
“Alvin,” Bisik Sivia ketika Alvin menyudahinya.
“Aku bodoh Vi, menyia-nyiakan cinta tulus kamu. Sekarang aku yang
dihukum,” Alvin menghela nafas. Sivia dapat merasakan nafas Alvin menerpa
wajahnya, karena Alvin belum berniat meregangkan jarak mereka. “Mungkin ini
terlambat, tapi memang aku sayang kamu Vi.” Dengan kikuk Alvin melangkah
mundur memberi jarak di antara mereka.
Sementara Sivia, setelah mendengar pengakuan Alvin itu merasa lemas,
dengan sisa tenaga bergegas memasuki pintu rumahnya, menghilang di baliknya.
===============
Alvin dengan gusar, ditendangnya kerikil kecil yang sebelumnya
tergeletak menyedihkan di ujung sepatu Alvin. Apa yang sudah aku
lakukan?
Ia harus segera pulang dan berenang di kolam belakang rumahnya untuk
menyegarkan pikiran. Ketika Ia berbalik hendak meinggalkan halaman rumah Sivia,
didapati lelaki hitam manis berdiri dekat pintu pagar.
“Kelihatan sedang frustasi.” Itu Gabriel. Astaga. Jangan katakan Gabriel
melihat apa yang barusan dilakukannya dan diucapkannya pada Sivia.
“Ah, oh, tidak.” Alvin jadi kikuk dan serba salah mendapat tatapan
menyelidik dari Gabriel. “Aku kesini mengantar Sivia, Cherivia mengajak Sivia
makan siang bersama tadi.”
“Aku mengerti. Via dan Mami nya memang sulit dipisahkan kan?”
Kalau tidak ingat menjaga wibawa, Alvin pasti sudah teriak kaget. Gabriel tau?
“Santai saja. Sivia tidak keberatan menceritakan semuanya.” Sambung
Gabriel mengumbar senyum tipis. “Dan aku juga tidak keberatan dengan itu.”
Gabriel, lelaki ini memang serius pada Sivia. Hubungan mereka berdua
juga sepertinya sungguh mantap. Hal masa lalu mengenai Sivia yang bisa
dikatakan cukup kelam, bahkan tidak menjadi halangan bagi mereka.
Pada akhirnya Alvin mau tidak mau harus mengatakan ‘iya’ untuk keadaan
ini.
Karena Gabriel tampak santai, Alvin juga berusaha mengikutinya. Ia
mengulas senyum bersahabat pada Gabriel. “Sivia memang sosok wanita idaman, dia
bisa menjadi pendamping hidup yang baik, kamu beruntung. Semoga pernikahan
kalian lancar.”
Gabriel menyipitkan matanya. Nampak tidak suka dan tidak setuju dengan
ucapan Alvin. “Begitu ya?” Gumamnya.
Alvin terlalu malas untuk menggubris lebih lanjut. “Aku harus pulang.
Permisi.” Dan Ia memilih berpamitan. Tapi ketika sudah mencapai pintu mobil,
Gabriel memanggilnya lagi.
“Kalau begitu, datang ke pernikahanku akhir pekan ini. Jangan lupa.”
Seperti ada senyum kepuasan dalam kalimatnya.
==================
Bug!
Batang stir sebagai kemudi mobil menjadi sasaran amukan Alvin.
Punggungnya membentur senderan jok mobil. Alvin lelah, fisik dan batinnya.
Tanpa bisa dikendalikan, matanya berembun. Menangis saking disesaki gejolak.
“Kalau begitu, datang ke pernikahanku akhir
pekan ini. Jangan lupa.” Bahkan Alvin baru sadar akhir pekan yang dimaksud adalah dua hari lagi.
Kalau saja waktu bisa diulang. Rutuknya dalam hati sungguh-sungguh
menyesal.
“Papii…”
“Via, sudah bangun?” Kepala mungil Cherivia muncul di balik head rest. Kemudian
anak itu pindah posisi bagian depan di sebelah Alvin.
“Papi kenapa?”
“Memangnya Papi kenapa?”
Alvin seharusnya tau kalau Cherivia tidak mudah dibohongi.
“Papi, tadi Papi cium Ibu guru Sivia?” Ungkap Cherivia jujur, sementara
Alvin wajahnya berubah pias. “Via sering cium Papi, karena Via sayang Pap. Apa
Papi sayang Ibu guru Sivia?”
Apa Tuhan memang menyuruhnya untuk jujur sekarang?
“Iya. Papi sayang dia.” Jeda sebentar, Alvin mencium kening putrinya.
“Dia Mami kamu, Maminya Via.”
“Hah? Bener Pap? Mami Via?”
Tidak ada celah untuk berbohong lagi, Alvin mengiyakan dengan mantap.
Kemudian menyalakan mesin mobil menjauhi kediaman Sivia.
Dan Cherivia yang pada dasarnya memang masih kecil dan lugu,
langsung berbinar dan heboh kesenengan mengetahui Ibu guru kesayangannya adalah
Maminya. Maminya yang ternyata sudah ada dekat dengannya.
“Tapi Pap, kenapa Mami nggak tinggal sama kita di rumah? Kenapa pisah
Pap?” Bahkan sudah menyamankan dirinya langsung menyebut Sivia sebagai Mami.
Alvin harus lebih ekstra bersabar menghadapi keingintahuan putrinya ini.
Bukan bermaksud menutupi, hanya saja memang Alvin merasa pahit setiap kali
mengingat itu.
“Dia memang Mami nya Via, tapi bukan Mami nya Papi.”
“Kenapa gitu Pap? Temen-temen Via tinggal sama Mami sama Papi nya juga
sama-sama. Ayo ajak Mami ke rumah Pap ayooo. Via mau sama Mami juga, Paapp.”
Tentu saja Alvin juga maunya seperti itu.
“Tidak bisa Via, tidak segampang itu.”
==================
Taku-takut bercampur was-was, Sivia memandangi wajah Gabriel yang tidak
bisa ditawar kedatarannya. “Maaf Kak…” Sambil terisak.
Sivia beringsut mendekat pada sosok Gabriel di sebelahnya, lalu
memeluknya. Kala semua yang Ia rasakan tidak sanggup di tampung seorang diri,
semuanya tumpah ruah di hadapan Gabriel.
“Kakak marah?”
“Iya jelas aku kesal Sivia.” Gabriel beringsut meregangkan pelukan
Sivia. “Kamu ingat pas aku pungut kamu di stasiun kereta, empat tahun lalu?
Kamu sendirian kayak orang putus asa, menutup diri. Untung pelan-pelan kamu
bisa kembali jadi Sivia yang dulu aku kenal, yaah walaupun sangat sulit
memancing kamu biar bisa cerita apa yang sudah terjadi di hidup kamu
sebelumnya.” Gabriel menyesap teh hangat yang disuguhkan Sivia, menenangkan
diri. “Jadi memang kamu belum bisa lupain Alvin, masih cinta Alvin kan? Kenapa
tidak jujur dari awal.”
“Maaf kak, aku cuma berusaha agar tidak terbawa masa lalu.”
“Kadang ada masa lalu yang boleh dikenang sebagai pengalaman ke
depannya.”
“Sekarang aku harus gimana, Kak Gabriel? Seenggaknya jangan marah
lagi, Kak.”
“Gimana bisa aku marah berlarut-larut sama kamu.” Gabriel memutuskan,
“Udah jangan nangis lagi. Aku seneng kamu jujur, masih cinta sama Alvin itu
bukan kesalahan. Tapi Aku minta di hari pernikahan jangan sampai ada mata
sembab kayak gini, harus kelihatan perfect saat jalan di hadapan semua orang
nanti. Sanggup?”
“Iya, kak.”
“Yaudah kamu istirahat sekarang. Besok aku minta izin ke tempat kerjamu,
H-1 harus full of preparation. Aku pulang ya, Vi. Dan kamu dapet salam dari Kak
Agatha.”
“Waah, salam balik buat Kak Agatha.” Sahut Sivia sembari mencoba
tersenyum, membersihkan pipi putih basah bekas air matanya.
Setidaknya, masih ada satu hal yang membuat hatinya bersemi. Ungkapan Alvin tadi,
Alvin juga mencintainya…
====================
TBC......
Tbc lagi-....- itu via gak akan nikah kan? Yg nikah iel sama agatha:o via cuma jd pendamping doang kan ya? *sotoy* *berharapgtu* hehe lanjut lanjut lagi 1 part.-. Kayak kemarin update 2part:b
BalasHapusElahh ini sivia udah nikah lagi aja sama alvin.. -_-
BalasHapusYang nikah sama gabriel itu 'agatha' atau sivia sih? :( kasian alviiinnn, tapi....ya pantes jg sih alv dapetin karmanya HAHAHA *ketawadevil* cepet lanjut dongg author anonim ;;)
BalasHapusyuhu... mimin nih cerbung keren pake banget.. gue udah beberapa kali baca nih cerbung..
BalasHapusnumpang nitipin link gue yaa..kalau mau berkunjung juga boleh..
obat kista tradisional.
obat pelangsing herbal.
thanks before sis..