Rabu, 05 Juni 2013

Drabble for #2ndGorgeousANH (01/02)

Geges Gestya Bannisa
Sivia segera mendekati Alvin dengan nafas seakan terengah-engah. Membuat Alvin segera terpojok. Wajah kocak dan santainya hilang seakan tak pernah terukir di wajah manis Sivia.
"Jangan. Pernah. Manggil. Gue. Azizah." Sivia berkata sambil menunjuk muka Alvin yang sudah bisa ditebak. Pucat.
Tetapi Alvin seakan tak mau mengalah, malah mendekatkan dirinya pada Sivia, membuat Sivia mundur 1 langkah.
"Oh, jadi ini gara-gara Gabriel?" Alvin melengos, lalu balik melakukan hal yang seperti tadi ke Sivia. "Gabriel yang ngebuat lo berubah. Gabriel yang ngebuat lo menghindar dari gue. Gabriel yang ngejauhin kita. Right?"
Suara Sivia seakan tercekat. Rongga dadanya seakan sesak kekurangan oksigen. Alvin sempat mengira Sivia akan menangis. Tetapi tidak, Sivia lebih tegar. Sivia udah berubah tanpa sepengetahuannya. Sivia hanya tersenyum sarkastis sambil tersenyum.
"Yes, right. That's Gabriel. Tetapi setidaknya Gabriel mempunyai banyak poin lebih untuk gue daripada elo. Ngerti?"
Kenyataan itu seakan tamparan telak Alvin. Alvin dengan emosinya memojokkan Sivia ke dinding gudang kampus itu,mengunci Sivia ditengah emosinya yang sudah melaut. Mengunci Sivia diantara dua tangannya.
"You-don't-know-anything Sivia Azizah!" Alvin mengatakan hal itu hanya beberapa senti di depan wajah Sivia.
"Oh ya? Tell me. Tell me something I don't know. Alvin Jonathan." Sivia seakan menantang Alvin.
Alvin dan Sivia seakan bercerita melalui mata. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut keduanya. Sampai tiba-tiba, pintu gudang didobrak. Rio dan Shilla. Pelaku pendobrakan terkejut melihat keadaan Alvin dan Sivia yang seakan ingin melakukan hubungan you-know-lah.
"Eh.. Sorry." Rio kikuk. Shilla menunduk.
Sivia melepaskan tangan Alvin, lalu berjalan menuju Rio dan Ashilla.
"Ohh. Jadi gini, Yo? Gue gak nyangka ya." Sivia tersenyum sinis.
"Apanya?" Rio tak mengerti.
"Ify mana?" Tanya Sivia tak sabar. "Lo ninggalin Ify kan? Gara-gara Ashilla kan? Lo ngejemput Ashilla dan ninggalin Ify sendirian tanpa mempedulikan Ify secara fisik maupun perasaan." Wajah Sivia mengeras. Lalu ia berjalan meninggalkan mereka semua yang masih terpaku pada tempatnya masing-masing.
Baru beberapa meter, Sivia segera bersuara lagi tanpa menoleh. Cukup besar untuk didengar tiga insan dibelakangnya."Dan satu lagi. Jangan mikirin yang macem-macem tentang gue dan Alvin."
Dan Sivia benar-benar menjauh. Sedangkan ketiga insan yang dibelakangnya masih setia terdiam.

Geges Gestya Bannisa

Jantung Sivia berdetak saat detik-detik namanya dipanggil oleh guru keseniannya. Teman-temannya tampil dengan sempurna—walau tidak semua. Setidaknya teman-temannya mendapat nilai lebih atau pas KKM.Tangannya bergerak gelisah, wajahnya sudah pucat sejak tadi pagi yang ia tutupi dengan bedak dan lipgloss, ia merasakan beribu kupu-kupu berterbangan dan saling bertabrakan.
Ify memandang geli sekaligus khawatir akan sahabatnya—sekaligus instrument yang ia aransemen sedikit. Apakah nadanya tepat? Atau bagaimana? Entahlah, yang jelas ia ikut gelisah.
“Nyelow aja kali Vi. Yang ngeliat cuma anak-anak sekelas kok.” Ify menenangkan sahabatnya sekaligus hatinya sendiri.
“Iya, termasuk orang yang gue sindir!!” Sivia komat kamit, berusaha menghafal lirik lagu dari group band yang memang sedang ngetop dikalangan remaja. Tetapi lama-kelamaan ia mengerutkan dahinya, tanda ada yang tidak beres. Lalu mengguncang-guncang tubuh Ify.
“mampus gue Fy!!! Gue lupa liriknyaaaaa. Omegosh omegosshh!!”
“Astaga Sivia. Lo cuma lupa karena nervous. Sini gue bisikin sesuatu.” Ify berusaha lepas dari cengkraman temannya itu.
Sivia mendekatkan telinganya ke mulut Ify.
first, we must sing with the rules. Than, we sing with our heart. Jangan gunain otak. Gunain perasaan lo. Tanpa perasaan, lagu yang lo bawain gak bakal mempunyai jiwa. Lagu itu bakal hampa.” Ify menjauhkan mulutnya dari telinga Sivia. “Ngerti?”
Sivia tersenyum, menetralkan hatinya saat ini. Berkelebat bayangan datang bagai film yang diputar. Bagai puzzle yang di susun.
“Sivia Azizah.” Namanya dipanggil. Ia tak terlalu nervous, teman-temannya memperhatikan langkahnya. Ia tersenyum. Lalu menduduki kursi yang sempat diduduki puluhan siswa-siswi lainnya. Kursi putih yang ada dihadapan grand piano putih.
Jarinya mulai bermain, kaku sedikit, mulai melancar. Intro mulai terdengar merdu. Ia menghembuskan nafasnya dalam-dalam dan memulai lagunya, dengan berkelebat pertanyaan, emosi, galau, rindu, dendam, serta berkelebat gambar yang terekam diotaknya. Matanya memandang ke grand piano putih tersebut.
Jangan menunggu bila tak bisa nunggu untuk dapat jawaban.”
Bayangan Alvin dan Shilla berdua kemarin menohok hatinya. Membuat tiap kata yang ucapkan kepada Alvin terasa getir. Membuat bayangan Alvin yang menembak dirinya tak terasa istimewa.
Karena hati ini tak mudah dipaksa.
Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan
Dan bayangan dirinya, yang meminta kepada Alvin, untuk memberinya waktu. Tergantikan oleh bayangan Shilla yang mengecup mesra pipi Alvin.
Dan hingga intro terakhir lagu itu selesai dinyanyikan, Kelas langsung bertepuk tangan meriah. tak menyangka Sivia bisa bernyanyi seindah itu. Kecuali satu orang. Alvin.
Di sisi baiknya, Alvin merasa kalo ia salah. Ia harusnya tidak mengajak Shilla jalan. Tetapi disisi jahatnya, ia merasa kalau ia berhak jalan sama siapa aja. Toh bukannya gadis itu menggantungkan dirinya? Untuk apa mengharapkan yang tidak pasti.
Rio dan Ify tahu pasti, sahabat mereka terjebak dilemma yang dalam. Antara sisi baik dan sisi buruk mereka masing-masing. Tetapi aura negative sepertinya lebih menguasai diri Alvin dan Sivia. Dan, mereka berpandangan. Berbicara melalui mata. Dan mulai yakin untuk berbicara kepada Alvin dan Sivia. Empat mata.

Geges Gestya Bannisa

Senyum Sivia mendadak buyar.
“Jadi.. selama ini apakah ada yang asli dari sikap kamu ke aku, Vin?” Tanya Sivia getir.
“Gak. See? Gue udah bilang. Gue taruhan sama anak-anak buat ngedeketin lo.” Alvin berusaha tak perduli dan acuh.
Sivia menutup mulutnya erat, berusaha menahan histeris yang hampir keluar. Tapi mata tidak bisa berbohong. Air matanya keluar, suaranya tercekat ditenggorokan. Alvin membuang pandangannya ke arah kaca mobilnya. Tak kuat melihat Sivia menangis.
Alvin tetap melajukan mobilnya di tengah kegelapan malam yang berselimutkan bintang dan bulan. Keheningan itu dipecahkan oleh cuap-cuap penyiar radio. Sampai tiba intro lagu mellow mengalun lembut memenuhi mobil. Lagu yang mewakilkan perasaan keduanya. Ada Cinta.
Sivia menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis. Tak perduli kesakitannya. Kenapa saat gue udah bisa move ondari Gabriel, lo ngeginiin gue Vin? Sakit. Kenapa lo norehin luka yang lebih dalam di luka yang belum kering sepenuhnya Vin? Kenapa gue harus tertipu atas senyum manis lo Vin? Kenapa?

Sivia merasakan dadanya sesak. Mencoba menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Sampai ia tenang, begitu terus. Alvin yang focus ke jalan menghelakan nafas pelan, lalu menyumpah kepada dirinya sendiri di dalam hati.
Tiba-tiba Sivia merasakan handphonenya bergetar. Ia melihat nomor yang meneleponnya, unknown. Mungkinkah orang tuanya yang sedang berada di luar negeri?
“Hallo.” Sivia mendekatkan handphonenya ketelinga.
Allo ma Cherie!” Sivia tercengang. Ia tak mungkin melupakan suara ini gak mungkin. Ini suaranya..
Who’s speaking?” Sivia mencoba bertanya.
Ia’s Boy speaking” suara disana menjawab dengan riangnya, tak memperdulikan suara getir Sivia. Hanya 1 orang yang memanggilnya Ia. Hanya satu. Gabriel.
Allo? Ia! This is me!! Gabriel Stevent! You remember me don’t you?” suara disana terdengar lagi setelah Sivia tak bersuara untuk beberapa detik.
of..of course. How are you?” Sivia gugup. Grammar berantakan. Pertanyaan formal.
I’m fine!! Really fine! Ia. Aku bakal ke Indonesia besok!! Mungkin lusa bakal nyampe!! Surprise!!” suara diujung telepon itu menjawab. Sivia? Jangan ditanya. Pucat pasi. Kalau Gabriel pulang berarti..
Ia.. are you O.K?” suara Gabriel memecahkan konsentrasi Sivia.
I’m ..I’m ok. But I have to go. Bye.” Ujar Sivia gugup.
It’s okay. I miss you! Bye.”
KLIK
Wait, miss you? MISS YOU? WHAT THE…
Sivia menutup flat handphonenya, lalu terduduk lemas, menatap jendela disampingnya. Alvin mencoba membuka percakapan.
“Siapa Vi?” Tanya Alvin sambil melirik Sivia.
“Gak perlu buat lo tau.” Ketus Sivia tanpa menoleh.
Alvin menghela nafas. Sivia berkutat dengan pikirannya. Dilemma menyerang. Seakan ada dua sisi yang bertabrakan didalam hati dan pikirannya.
Sisi satu(1)nya berkata : “Udahlah. Terima aja Gabriel. He’s cute. He’s handsome. He’s got everything you want. Dia sempurna buat kamu. Kamu cocok banget sama dia. Daripada Alvin? Tega-teganya dia jadiin kamu taruhan.”
Tapi sisi sua(2)nya berkata : “Alvin aja. Dia kayaknya tulus kok cuma kita yang mandangnya gimana. Dia pasti punya alasan kenapa dia mempermainkan kamu. Kenapa harus kamu? Itu berarti kamu menarik. Kamu punya daya tarik sendiri. Gak kayak Gabriel. Tega-teganya dia ninggalin kamu setelah dia lulus gitu aja tanpa ngasitau kamu.”
Otak dan hatinya sibuk bertempur. Membuatnya terlalu lelah. Lelah dalam hidup. Lelah dalam laut emosinya sendiri. Lelah karena pikirannya sendiri. Tak lama, Sivia sudah terlelap meringkuk di kursi mobil Alvin.

Aulia Mutia

Rintik-rintik itu datang lagi, sama seperti 2 tahun lalu saat ia pergi, pergi bersama semua kebahagiannya.
Ia hanya termenung kala besi besar itu (ex: pesawat) mulai menjauh dari tempatnya semula yang membawa cinta dan segenap kebahagiannya ...
"Uhhh!" gadis itu menggeleng kala mengingat kejadian itu yang berhasil membuat titik titik air yang hampir membasahi wajahnya terlempar kesana kemari, "Udah dua tahun ya? Ga kerasa banget," gumamnya kecil yang diakhirinya oleh tertawaan kecil dari bibir mungilnya, tapi mengingat ia hampir menunggu lama untuk orang yang amat dicintainya gadis cantik tersebut kembali murung namun kala hujan kembali lebatnya dengan perlahan tapi pasti gadis cantik tersebut mengangkat tangannya sekaligus mengangkat sedikit wajahnya kearah langit sambil terpejam, gadis cantik yang memiliki lesung pipi itu tersenyum kala tetesan air hujan itu menerpa wajah mulusnya "Hihi," sesekali iya tertawa kecil merasakan geli diwajahnya.
"Masih suka mainhujan-hujanan nona Sivia?" suara khas itu terdengar ditelinga gadis cantik yang ternyata bernama sivia, gadis itu hafal betul dengan suara tersebut.
"Kau sudah pulang? Tuan Alvin Jonathan?" tanya gadis chubby itu sambil tetap menikmati tetesan-tetesan air hujan.
"Hemm. Bisakah kau berhenti dulu main hujannya? Nampaknya kau tidak rindu padaku nona Sivia" tanya pemuda jangkung yang ternyata bernama alvin. Dengan cepat sivia memeluk lelaki itu.
"Aku sangat merindukanmu Alv," lirih sivia yang masih betah memeluk Alvin.
"Aku juga siv. Tak terasa waktu sudah dua tahun ya? Dan kau masih saja senang bermain hujan," kata Alvin dingin tapi ia mempererat pelukannya pada gadis yang telah iatinggalkan selama 2 tahun itu.

Aulia Mutia

Senyum yang menenangkan kala kita melihat wanita yang tengah asik membaca novel itu, ditemani segelas minuman jus strawberry yang setia menunggunya beserta handsfree yang dengan setia mengalunkan lagu lagu yang hanya si cantik itu yang tau.
"Manis," gumam pria tampan yang masih saja betah memperhatikan gadis chubby di tengah taman yang –masih– betah membaca novelnya, hampir setiap hari gadis chubby itu datang ke taman tersebut dan setiap hari juga pria tampan itu –masih– dengan setia menunggu atau memperhatikan diam-diam gadis chubby tersebut dari jauh atau tepatnya gedung kampusnya.
"Masih setia, Mas?" tanya seseorang yang mengagetkan pria tampan itu
"Eh. Ah lo, Yo" kaget dan kesal pria tampan itu
"Haha. Al, Al sampe kapan lo mau terus ngeliatin dia, samperin lah," jelas Rio yang mengatakan kata dia dengan menunjuk wanita chubby itu dengan dagunya
"Nanti sajalah Yo,aku masih ragu," lirih pria yang dipanggil Al itu, tepatnya Alvin
"Tapi sampe kapan lo mau terus nunggu, Al?"
"Entah lah, yang jelas gue masih ragu aja." terang Alvin sambil terus memandang gadis chubby itu
"Yowes, mending masuk kelas yok," ajak Rio yang dianggukin oleh Alvin.
Hari ini, sama seperti kemarin, gadis itu kembali diposisinya kemarin, hanya style dan cover novelnya saja yang berbeda dan Alvin juga masih pada posisinya yang kemarin, tapi tiba-tiba hati Alvin mencelos kala wanita yang selalu ia perhatikan didatangi oleh seorang pria berstyle sama sepertinya menutup mata sang gadisnya dan membuat gadis itu menoleh sambil tersenyum amat bahagia dan mereka duduk berdua di kursi taman yang cukup untuk tiga orang tersebut sambil asik tertawa bersama.
"Namanya Sivia Alv, Sivia Azizah tepatnya" terang sosok yang sudah ada didekat Alvin –Rio.
Alvin masih serius memperhatikan adegan yang mengiris hatinya itu.
"Dan cowo itu namanya Cakka, Cakka Kawekas. Mereka baru jadian 3 hari lalu, lo keduluan Alv,"lanjut Rio.
Alvin tersenyum meremehkan, meremehkan dirinya sendiri tepatnya, yang terlalu PENGECUT.
"Ga semudah itu gue bakal nyerah, Yo," terang Alv sambil meninggalkan Rio yang masih bersandar di balkon gedung kampusnya, Rio hanya memandangi punggung Alvin yang mulai menjauhinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda ia tak mengerti dengan pola pikir sahabatnya itu


Lusiantari Septiana

–PENCOPET HATI–
Di hiruk pikuk pasar malam, Alvin menatap gusar pada Sivia –sahabatnya dari jaman SMA dulu– yang sedang berdiridi dekat seorang bapak-bapak. Mereka mengobrol, lalu dengan kelihaiannya entah bagaimana Sivia sudah menyelipkan tangannya pada kantong celana bapak tersebut dan mencopet dompet tebalnya. Gadis itu lalu pergi dengan santai setelah mengucapkan sesuatu pada bapak-bapak tersebut yang tidak sadar atas perlakuan Sivia.
Tapi Ia tahu, Alvin tahu bahwasanya Sivia adalah gadis baik, gadis baik-baik. Dia hanya kehilangan keputusasaan pasca kepergian ayahnya dan ibunya yang menelantarkannya demi menikah lagi dengan duda kaya. Gadis itu sudah menanggung beban berat dari jaman SMA. Tapi, bukan berarti Alvin menyetujui apa yang sedang dilihatnya kini.
Alvin langsung mengikuti ke mana Sivia pergi. Rupanya Sivia mencari mangsa selanjutnya, dan berhasil. Diikutinya lagi Sivia yang kali ini keluar area pasar malam, mencari tempat sepi untuk mengecek hasil buruannya.
"Vi?!"
Sivia yang kaget ada Alvin, memekik heran.
"Alvin?! Kamu di sini juga?" Ada nada geli di suaranya. "Mencari hiburan juga?" Sivia tersenyum menggoda sahabatnya itu.
"Berhenti bekerja itu, Vi. Masih banyak pekerjaan yang lebih layak."
Sivia mengendus kesal. Topik ini lagi.
"Aku hanya tamat SMA. Aku bisa kerja apa supaya bisa cepat dapat uang. Hanya ini... Kamu tau itu, Vin.""
"Siapa yang tau apa yang terjadi nanti. Bagaimana kalau kamu kepergok?"
"Sudahlah! Jangan ikut campur. Kalau aku berhenti, di mana aku cari kerja? Memang kamu mau menanggung hidupku, ha?!"
"Aku punya jabatan tinggi di perusahaan. Tentu saja, aku akan menanggung hidupmu. Sampai kamu tidak hidup lagi." Jawab Alvin cuek, dengan tatapan intensnya.
"Ck! Mana ada orang baik sepertiitu. Kamu pasti mau imbalan kan? Katakan imbalannya?!"
Alvin tidak langsung menjawab. Lama. Sampai Sivia berpikir untuk pergi. Tapi kemudian terhenti oleh ucapan Alvin.
"Jadi istriku, itu imbalannya"
Sivia tersentak, jantungnya berpacu diluar normal. Sivia menatap Alvin menelaah kata-katanya. Dan yang Ia temukan hanya ketulusan dan kesungguhan.

Lusiantari Septiana
-Not Acting-
"Jangan pergii!!!" Sungguh pilu teriakan Sivia yang memenuhi kamar rumah sakit. Menangisi sosok di hadapannya, sosok putih pucat, dingin, tak bergerak, tak bernyawa. Sosok itu telah pergi, tanpa bisa kembal. "Vin.." Lirihnya dengan getar lara. "Bagaimana dengan bayi kita." Sivia mengelus perutnya pelan yang sudah terlihat menonjol. "Bangun Alvin, lihat anak kita tumbuh, Alvin!! hiks..." Terus menangis, menjerit. Dipeluknya raga kaku suaminya itu erat-erat. Penuh emosi.
"Cut! Oke Good acting! Break sebentar, nanti lanjut scene terakhir!"
Setelah itu para pekerja di balik layar dalam ruangan bergerak sesuai porsi kerja masing-masing. Sivia sendiri melepas properti yang diselipkan diperutnya ketika berakting sebagai ibu hamil muda yang kehilangan suaminya. Suami. Ia melihat sosok itu, Alvin –partner kerjanya di satu film– masih tiduran santai di ranjang sambil mendengarkan lagu dari I-phonenya. Alvin memang begitu, actor berbakat yang terkenal bossy. Menyebalkan!
“Sivia, ada Sion datang.” Sivia mengangguk mengerti pada sistennya. Lalu berdiri merapikan penampilannya demi menemui gebetan barunya –bintang iklan.
“Ke mana?” Sivia tidak jadi beranjak ketika mendengar suara Alvin menyapanya.
“Menemui Sion, dia datang.” Jawab Sivia riang. Riang karena tidak biasa Alvin ingin tau urusannya.
“Bintang iklan itu? Ck! Jangan temui dia lagi. Ingat, kau isteriku!” Sivia memutar bola matanya.
“Hanya di film Alvin. Itupun ditinggal suaminya karena sakit-sakitan. Huh! Menyedihkan sekali Sivia yang di sana.”
Seketika itu juga Alvin bangkit dari posisi santainya, meloloskan selimut sehingga mengekspos tubuhnya yang hanya bertelanjang dada kuat dan sehat. Berkacak pinggang di hadapan Sivia menyampaikan pesan ‘seperti ini kau bilang sakit-sakitan’. Tidak lupa dengan seringaian iblisnya.
“M-mau apa?” Sivia gugup sudah pasti. Alvin menjawabnya dengan cepat menyentuhkan bibirnya pelan pada bibir Sivia sekejap.Tidak memungkiri wajah Sivia merah merona.
“Sivia! Alvin! Masih break jangan acting duluuu” Pekik laki-laki nyentrik –asisten Alvin– membuat kru lainnya memandang mereka. Sivia sendiri menjauh dari Alvin, salah tingkah. Alvin terkekeh puas.
Well. Nanti aku kirim undangan, kalian datang ke pernikahan kami, sebulan lagi.” Ujar Alvin santai merangkul Sivia. Kru lainnya bersorak heran kaget senang. Sivia…lebih dari sekedar terkejut.
Ditatapnya Alvin yang membalas menatapnya dengan tatapan ‘jangan katakan kau menolak’. Sivia sendiri menjawabnya dengan tatapan ‘siapa yang sanggup menolak…seorang Alvin’.

Hamima Nur Hanifah

Judul: Kejutan
Sivia sedang terlelap di atas ranjangnya begitu suara ketukan dari arah jendela kamar tiba-tiba mengagetkannya. Ia tersentak kaget dan menarik selimutnya hingga menutupi leher jenjangnya karena ketakutan. Tangannya menggapai-gapai saklar lampu dan menyalakannya. Ia melirik jam beker berbentuk angsa yang bertengger di atas meja riasnya, kemudian mendelik hampir tidak percaya. Ini jam dua belas malam kurang seperempat.
Dan suara ketukan itu mengagetkannya lagi.
Tiba-tiba layar ponselnya yang disilent itu menyala. Sivia segera menyambar benda itu dan mendapati sebuah pesan masuk tanpa nama terpampang di sana.
'Aku ada di luar. Di balkon kamarmu.'
Sivia semakin mengerutkan alis tebalnya tidak mengerti. Karena penasaran, ia menyingkap selimut dan melangkah mendekati pintu yang terhubung ke luar balkon kamarnya.
Samar-samar dilihatnya sesosok tubuh yang mengenakan jemper hitam dengan penutup kepala sedang membelakangi tubuhnya. Sivia sempat begidik ngeri sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Kamu siapa?"
Sosok itu tetap diam. Yang bisa Sivia lihat hanya bahunya yang naik turun seirama nafasnya yang teratur. Sosok itu kemudian membalikkan tubuhnya hati-hati.
"Alvin!"
Sivia terperangah tidak percaya. Laki-laki itu hanya mengangkat bibirnya, tersenyum. Di tangannya terdapat sebuah kue berbentuk lingkaran yang dihiasi lilin-lilin kecil dengan kobaran api berjumlah 17. Membuat Sivia bisa melihat dengan jelas muka Alvin karena cahaya lilin yang menerpa wajah laki-laki itu.
"Tiup ya?"
Sivia hanya mengangguk mengiyakan. Mulutnya sudah bersiap ingin meniup lilin-lilin itu sebelum Alvin berdehem mengagetkan Sivia.
"Make a wish dulu."
Lagi-lagi Sivia mengangguk. Ia kemudian memejamkan matanya dan merapal kata-kata di bibir kecilnya yang bergerak-gerak. Alvin tersenyum lagi. Hatinya membuncah bahagia bisa sedekat ini dengan Sivia.
"Udah!"
"Tiup!"
Sivia meniup lilin-lilin berjumlah 17 itu dan bertepuk tangan begitu semua lilin telah mati. Kali ini tidak ada penerangan di antara mereka, hanya ada sinar rembulan yang meremang-remang.
"Kamu kenapa baru ngasih kejutan di jam segini?"
Alvin meletakkan kuenya di atas meja dekat pintu, kemudian menyenderkan diri pada pilar balkon. "Setelah ini ada lagi yang ngasih ucapan selamat ulang tahun ke kamu?"
Sivia menggeleng.
"Aku orang terakhirnya?"
"Kayanya,"
Alvin melirik jam tangannya. "Ini udah jam dua belas lebih satu menit. Itu artinya, aku adalah orang terakhir yang ngucapin ke kamu."
Sivia tersenyum mendengar jawaban Alvin. Ia paham maksud dari perkataan laki-laki di sebelahnya. Sivia kemudian menjejeri Alvin, memeluk lengannya, dan menyenderkan kepala di atas bahu Alvin.
"Terimakasih ya."

Hamima Nur Hanifah
Judul: Jaket
Alvin melepaskan jaket hitam yang melekat ditubuhnya seketika, kemudian menyerahkannya kepada Sivia yang hanya menggunakan kaos pendek dan celana panjang. Alvin baru saja menghadiri acara pertemuan dengan teman-teman SMPnya, sementara Sivia sendiri sengaja ia ajak untuk menemaninya selama beberapa jam lamanya. Dan kini, Alvin akan mengantarkan Sivia pulang begitu tahu pekatnya malam sudah menghiasi langit.
"Kamu aja yang make."
Kening Alvin mengerut mendengar perintah Sivia. Laki-laki yang menggunakan handband di pergelangan tangan kirinya itu kemudian meraih tangan Sivia dan meletakkan jaketnya di atas genggaman tangan kecil itu. "Aku nyuruh kamu yang make. Bukan aku."
"Kenapa aku?" tanya Sivia sambil mengangkat jaket milik Alvin.
"Kamu cuma pakai kaos lengan pendek. Aku nggak bisa ngebiarin kalau kamu harus naik motor dalam kondisi kedinginan."
"Tapi kamu juga pakai kaos lengan pendek. Bahannya lebih tipis malah daripada aku!"
Alvin mengacak rambutnya kesal, "Tapi aku cowok. Dan kamu cewek."
"Emang kenapa kalau kamu cowok dan aku cewek? Mentang-mentang cowok itu kuat dan cewek itu lemah?"
"Please... Bukan begitu maksud aku. Udah deh, aku cuma nyuruh kamu makai jaket ini aja. Apa salahnya?"
Sivia menaruh kedua tangan di pinggangnya, kemudian menatap Alvin dengan gemas. "Salah! Di sini yang nyetir motor itu kamu! Bukan aku! Yang di depan itu kamu! Bukan aku! Aku kan masih ada penghalangnya,yaitu punggung kamu! Nah kamu? Berhadapan langsung dengan angin!"
"Viaaa," Alvin meletakkan tangannya diatas bahu Sivia, kemudian menatap gadis itu lurus-lurus. "Apapun alasannya. Aku mau kamu pakai jaket ini. Yang bawa kamu pergi itu aku, jadi aku harus bertanggung jawab. Pakai ya?"
"Nggak mau!"
Alvin menegakkan tubuhnya, matanya berkilat-kilat menahan emosi. Tapi ia sendiri berusaha untuk mengontrolnya, minimal tidak meluap di depan gadis kecilnya.
Laki-laki bermata sipit itu kemudian merampas jaket yang berada di genggaman Sivia, kemudian memakaikan pada tubuhnya sendiri dengan paksa. Ia mengambil helm yang tersampir pada kaca spion, kemudian dipakainya. Dengan sekali gerakan kepala, Alvin menyuruh Sivia untukmemboncengnya. Deru sport merahnyamembahana begitu distarter. Motornya kemudian melaju merayapi jalan raya yang sedang dipadati arus lalu lintas.
Belum ada satu kilometer Alvin mengendarai, tiba-tiba ia menepikan motornya, dan mematikan mesin. Sivia yang keheranan kemudian turun diikuti oleh Alvin.
"Kenapa?" tanya Sivia menatap Alvin keheranan. "Bannya bocor? Kempes? Bensinnya habis?"
Tanpa dikoor lagi, laki-laki itu lalu melepaskan jaketnya dan memakaikan dengan paksa ke tubuh mungil Sivia. Membuat gadis itu awalnya ingin memberontak, tapi sia-sia, laki-laki di depannya ini terlalu kokoh.
"Pakai, atau aku nggak akan nganterin kamupulang!"
Setelah berkata demikian, mau tidak mau Siviaakhirnya menurut juga. Ia menyeret resleting jaket hingga dadanya, kemudian kembali duduk di balik Alvin, memeluk punggung yang hanya dilapisi kaos tipisitu.

Hamima NurHanifah

Judul: Silent Hell
Sivia sudah bisa merasakan ada sosok lain yangdiam-diam tengah memperhatikannya. Tatapan tajamnya jelas mengarah lurus kearahnya. Begitu menohok, membuat gadis dengan lesung pipinya itu merasa risih. Melalui ekor matanya, Sivia bisa tahu laki-laki yang duduk tepat di belakangnyabeberapa kali mendengus dan mengetuk-ngetukkan jemari ke mejanya sendiri. Dan Sivia mengabaikan itu semua, tetap berkonsentrasi pada catatan rumus-rumus Matematika yang sedang ia salin dari papan tulis.
Sivia tersentak begitu ia mendongakkan kepalanya, Alvin telah berdiri di depannya persis, menghalangi pandangan matanya dari papan tulis. Sivia berdecak tidak suka, kemudian berusaha melihat papan tulis dengan melongokkan kepalanya dari tubuh Alvin, tapi laki-laki itu juga keras kepala, nampaknya ia ingin membuat asap mengepul dari kepala Sivia, dengan menghalangi pandangan gadis itu kemanapun Sivia bergerak.
"Minggir! Aku masih nyatat catatan di papan tulis!"
Alvin melirik papan tulis, kemudian mengalihkan perhatiannya lagi ke arah Sivia. Ditatapnya gadis itu lurus-lurus, kemudian Alvin menyangga tangannya di atas meja Sivia. "Bisa ngomong juga?"
Sivia mengacuhkannya. Ia kemudian membuka lembaran-lembaran bukunya asal, mencari kegiatan lain untuk menghindari tatapan tajam Alvin.
"Lo kenapa sih?"
Gadis itu masih tetap diam. Bahkan hingga Alvin mendekatkan wajahnya ke arah Sivia. Gadis itu tetap tidak berjingkat.
"Ck! Bingung gue sama lo! Kenapa diem terus sih dari kemarin? Gue salah apa?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Alvin, Sivia malah menyorat-nyoret lembaran bukunya abstrak. Melampiaskan segala emosi pada kertas polos itu.
"Via!"
Alvin bahkan sudah menggebrak mejanya keras. Tapi sama sekali tidak digubris oleh Sivia. Membuat laki-laki itu nampak putus asa.
"SIVIA AZIZAH!"
Sivia mendongakkan kepalanya, menatap manik mata Alvin yang tengah menatapnya balik. Dalam sekali sentakan, Sivia bangkit dari duduknya, menjajari tubuh Alvin yang menjulang melebihi tingginya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sivia pergi meninggalkan Alvin keluar kelasnya.

Nina Namira

"Hayooooo, ngapain lo bengong ngeliatin anak kelas 7 yang lagi pramuka?? Ciee," kata Ify mengagetkanku.
"Sarap lo Fy, kaget tau, lo mau bikin gue jantungan ha?-_-" kataku.
"Hehe, mangap Vi mangap. Lo lagingeliatin siapa sih emangnya?"
"Maap Ify maap ! Bukan mangap-_-, gue lagi ngeliatin cowok yang itu tuh! Cakep juga yah kalo diliat-liat:3"
"Oh gitu yah? Maap yak, gue kanlupa :3 , aciat ciatttt, cieeee ;;) . Dia kan yang waktu itu duduk sebelaha nsama deva waktu kita uts kemaren! Kalo ga salah namanya ... Aduh siapa yah ?gue lupa deh-_-" kata Ify
"Yehh-_-"
Namaku Sivia Permata, sekarang aku duduk di kelas 8 di Smp Harapan Bunda. Sekarang, aku masih ada di sekolah karena harus latihan untuk lomba PMR, dan kebetulan anak kelas 7 sedang ada latihan pramuka di lapangan. Mereka diwajibkan semuanya mengikuti ekskul itu, untungnya waktu aku kelas 7 ga diwajibkan:3 hihihi, kasian juga yah ;p
Oh iya, sekarang aku lagi ngapalin materi lomba di depan kelas sambil ngeliatin anak pramuka.
Hah? Kelas? Oh iyah! Waktu UTS kan aku kelasnya disini!
"Lah Fy? Bukannya kita waktu UTS di kelas ini yah?" Kataku sambil menunjuk sebuah kelas.
"Oh iya! Eh itu masih ada nama-nama yang ada di kelas ini! Gue cariin deh nama tu anak! Deva.. Deva.. Deva..Nah ini dia! Disebelahnya.. Nah! Alvin Perdana! Namanya Alvin, Vi!" kata Ify sambil melihat kertas yang ditempel dikaca kelas itu.
"Alvin Perdana yah? Hmm"
"Ify, Siviaa!! Ayo kumpul, kita latihan lagii" kata shilla

Seva Permata

Alvin bersandar di tembok dengan melipatk edua tangannya di dada. Matanya menatap bosan ke depan. Sudah 1 jam—lebih dari 1 jam, mungkin?—Alvin terjebak di—ehm—pesta promnight—yang diadakan di sekolahnya 2 tahun sekali—dan Alvin sendiri lebih suka menyebut pesta ini dengan sebutan ‘Neraka Jahannam’. Lihat saja. Ada banyak siswa-siswi—beberapa di antaranya adalah temannya sendiri—sedang berdansa. Ada juga yang hanya sekedar mengobrol bersama teman—Alvin tidak keberatan denganitu. Tapi, bagi Alvin yang tidak pernah mengenal cinta, ini semua tidak masuk akal. Apa sih enaknya berdansa seperti itu dengan pasangan?
Alvin mengambil ponselnya lalu menghubungi sahabatnya yang entah berada dimana sekarang. “Lo dimana? Buruan balik deh. Gue ngga betah.”
“Bentar. Gue lagi ngobrol sama gebetan gue,” suara di sana menyahut. Lalu, sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Cakka—sahabat Alvin—membuat Alvin mendengus kesal. Tidak ada pilihan lain selain menunggu sahabatnya itu. Alvin bisa saja meninggalkan Cakka sendirian, tapi sahabatnya itu tidak membawa mobil alias nebeng Alvin.
Alvin memandang sekitar, lalu matanya menangkap seorang gadis yang tengah berbincang bersama teman-temannya. Alvin memandang cara gadis itu berbicara, tersenyum, dan tertawa. Mungkin Alvin terkena syndrom love at the first sight?
Entah apa yang membuat Alvin berjalan mendekati gadis itu—yang tengah berjalan mendekati meja penuh minuman. Alvin berdiri di sebelah gadis itu.
“Nama?”
Gadis itu menoleh dan mengernyitkan dahinya bingung. “Nama lo?” ulang Alvin.
“Sivia,” jawab gadis itu ragu.
Alvin mengangguk, lalu mengambil salah satu minuman di atas meja itu. “Dan... lo siapa?” tanya Sivia, berusaha mencari tau siapa laki-laki yang tiba-tiba bertanya namanya.
Alvin menyeringai. “Seseorang yang tertarik sama lo, maybe?”

Seva Permata

Alvin berjalan melewati koridor di sekolahnya, berniat ke tempat parkir untuk mengambil motornya. Langkah Alvin terhenti ketika mendengar suara isak tangis. Dia melirik kesamping kanannya dan dia melihat seorang gadis tengah menangis di pinggir lapangan basket.
Awalnya Alvin berusaha tidak peduli, tetapi ketika dia menyadari bahwa gadis yang sedang menangis itu Sivia, Alvin merasa marah. Marah kepada siapapun—atau apapun—yang membuat gadis itu menangis.
“Kenapa lo?” tanyaCakka ketika melihat Alvin berdiri diam sambil menatap lapangan basket.
Alvin diam saja. Dan Cakka mengerti bahwa sahabatnya itu sedang mengkhawatirkan Sivia—gadis yang disukainya sejak acara promnight satu minggu lalu.
Alvin berjalan mendekati Sivia, tetapi langkahnya ditahan oleh Cakka.
“Lo mau ngapain?” tanya Cakka.
“Minggir lo,” desis Alvin seraya menyingkirkan tangan Cakka yang menahan bahunya. “Gue harus tau siapa—atau apa—yang udah bikin dia nangis.”
Cakka menahan bahu Alvin kembali. “Apaan sih?!” bentak Alvin.
“Denger, Vin. Lebih baik lo jangan tanya apapun ke Sivia. Kalau dia udah siap, dia pasti bakal cerita sama lo, bakal ngasih tau siapa—atau apa—yang bikin dia nangis. But now, she just needs a shoulder to cry on,” ujar Cakka seraya tersenyum tipis.
Alvin tertegun. Benar kata Cakka.
Alvin berjalan mendekati Sivia yang masih menangis. Dia duduk di samping Sivia lalu merangkul bahunya, merengkuh tubuh mungil itu ke pelukannya.
I am here,” bisiknya pelan, membiarkan Sivia mengeluarkan semuanya lewat airmata.

Seva Permata

Sivia menangis ketika menyadari dia dalam bahaya. Ada sekitar.. satu.. dua.. tiga... tiga preman yang berusaha merebut tasnya. Sivia bisa saja menyerahkan tas itu kepada mereka. Tapi di dalam tas itu ada kertas tugas sekolahnya, album foto—yang berisi fotonya dengan Alvin, dan barang-barang berharga lain—menurut Sivia lebih berharga dari uang sekalipun.
Sivia menyesal ketika menolak tawaran Alvin untuk mengantarnya pulang. Bukannya tidak mau sih, tapi sudah 2 hari ini Sivia melancarkan aksi ngambeknya kepada Alvin.
Dan lihatlah karma yang didapatkannya. Sivia tadi tidak langsung pulang. Dia pergi ke toko accessoris yang letaknya tidak jauh dari sekolahnya. Dan Sivia berada di toko itu sampai jam 5. Dan saat sedang menunggu taksi, preman-preman itu mendekatinya dan berusaha mengambil tasnya. Sepertinya preman-preman itu sangat ditakuti oleh warga sekitar. Terbukti dari beberapa orang yang memilih berpura-pura tidak melihat kejadian itu.
Sivia benar-benar sudah pucat dan lemas.
BUGGH! BRUKK!
Seorang laki-laki memukul salah satu preman. Dan bersamaan dengan itu, Sivia terjatuh. Mungkin karena dia sudah benar-benar lemas. Dia menangis, karena efek ketakutan yang masih dirasakannya dan karena bersyukur ada yang menyelamatkannya.
“Via?”
Sivia mendongak ketika mengenali suara itu. “Alvin?” Suara Sivia terdengar parau. Dan nafas Sivia tercekat ketika menyadari memang Alvin-lah yang menyelamatkannya. Dan mata Sivia melebar ketika melihat darah keluar dari lengan Alvin.
“Alvin, tangan lo?”
Alvin menggeleng dan tersenyum, berusaha menenangkan Sivia bahwa dia tidak apa-apa. “Lo ngga papa,Vi?” tanyanya tanpa memperdulikan sakit dan perih yang dirasakan oleh lengannya.
Sivia mengangguk lalu menghambur ke dalam pelukan Alvin. “Kok lo bisa ada di sini?” tanya Sivia lirih.
Alvin menghela napasdan mengusap rambut Sivia dengan sayang. “Gue juga ngga tau. Tiba-tiba gue punya perasaan ngga enak dan ngga tau kenapa gue punya insting kalau lo ada disini,” ujar Alvin. “Ikatan batin mungkin?”

Seva Permata

“Ada masalah apa dikantor, hmm?” tanya Sivia begitu Alvin memasuki kamar mereka. Sivia berdiri dihadapan Alvin, lalu melepaskan jas yang dipakai Alvin.
Alvin melonggarkan dasiyang dipakainya, lalu berjalan perlahan menuju sofa di kamar itu. Dia sedikit membanting tubuhnya ke atas sofa.
“Pemasukan perusahaan menurun.”
Sivia mendekati Alvin lalu duduk di sampingsuaminya itu. “Kok bisa?”
“Tadinya kami mau meluncurkan produk baru. Tapi ngga tau gimana perusahaan lain—saingan perusahaan kami—meluncurkan produk yang hampir sama. Baik dari segi nama, bahan, dan lainnya. Dan mereka meluncurkannya lebih cepat dari kami,” ujar Alvin sambil memijat keningnya. Kepalanya benar-benar pusing.
Sivia menarik kepala Alvin sehingga wajah Alvin menghadapnya. Dengan perlahan, dia mengusap-usap dahi Alvin yang berkerut, membuat kerutan di dahi Alvin perlahan menghilang.
“Aku bingung, Vi.Bisa-bisa Papa ngerasa kecewa karena aku ngga bisa ngejaga perusahaannya dengan baik,” Alvin mendesah pelan.
“Kamu pasti bisa menyelesaikan masalah ini, asal kepala kamu tetap dingin,” ujar Sivia lembut.
You’re Alvin Jonathan. I know that you can do it. You can solve your problem.”
Alvin tersenyum tipis, lalu memeluk Sivia. “Aku tahu. Aku tahu emang Cuma kamu yang bisa bikin aku ngerasa tenang. Yang bikin aku ngerasa yakin. I’m so happy to be with you.”
“Hmm... If you have any problems, you can share with me. I’m always be there. For you.”

Diani Ayua Isti

“Aku mencintaimu.” kata Alvin tegas sambil mengeratkan pelukan possesive-nya di pinggang Sivia.
Sivia memutar bola matanya jengah. “Kau sudah menatakan hal yang sama lebih dari 100 kali selama satu jam full.” dengus Sivia kesal namun tidak menolak pelukan possessive Alvin yang membuat tubuhnya semakin merapat dengan tubuh kekar suaminya itu.
“Terus kenapa? Apa ada yang salah atau kau tidak suka mendengarnya?.” Tanya Alvin dengan nada penuh kecewa.
“Bukan begitu, hanya saja aku…”
“Hanya saja kau bosan mendengarku mengatakan cinta?” Alvin mengintrupsi mulut Sivia yang akan melanjutkan perkataannya. Dikecupnya bibir Sivia dengan lembut, hanya mengecupnya singkat karena setelah itu ia menatap manik-manik mata Sivia yang masih dalam pelukan possesive-nya.
“Aku mencintaimu.” katanya lagi–terdengar seperti gumaman tak jelas. Entah kenapa semakin ia menatap mataSivia maka semakin terlena juga ia mengatakan cintanya yang tidak akan pernah habis.
“Berhentilah mengatakan cinta.” balas Sivia dingin. Alvin tersentak mendengarnya. “Dari sejam yang lalu kau mengatakan cinta dan tidak pernah berhenti untuk mendengar balasanku. Aku juga ingin didengarkan dan aku juga ingin membalas kata cintamu.” kata Sivia dalam sekali tarikan nafas. kali ini Alvin langsung melotot mendengar perkataan Sivia. ternyata dari tadi ia telah berbuat egois pada istrinya.
“Aku mencintaimu.” kata Alvin lagi, kali ini ia menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan untuk membuat jeda.
“Aku juga mencintaimu.” Sivia menarik sudut bibirnya –rasanya lega bisa membalas kata cinta suaminya. Alvin juga ikut tersenyum mendengar balasan kata cintanya dari Sivia. Mereka sama-sama tersenyum dan kembali melakukan aksi mereka –saling mengatakan cinta sepanjang malam. seperti tidak ada kerjaan lain saja, Dasar pengantin baru!!!

DianiAyua Isti
*hari pertama*Sms*
Alvin : aku merindukanmu
Sivia: kau sudah mengirim pesan yang sama lebih dari 20 kali selama 7 jam terakhir.
Alvin: itu karena aku merindukanmu, Sivia
Sivia: aku tahu, tapi ini baru hari pertama kau di LA dan kau sudah mengirim kata rindu lebih dari 20 kali, kau GILA!
Alvin: aku gila karena aku merindukanmu
Sivia: terserahmu, yang jelas kau masih 6 hari lagi disana dan jangan bertingkah macam-macam!
Alvin: Aku tidak macam-macam Sivia, aku hanya merindukanmu.
Sivia: -_-lanjutkan pekerjaanmu, jangan mengirim pesan lagi.
Alvin: tak mau! Aku merindukanmu.
Sivia tidak membalas sms Alvin lagi. Suaminya itu memang keterlaluan cerewetnya. Mengingat waktu malam pertama mereka, Alvin mengatakan kata “aku mencintaimu” sebanyak lebih dari 100 kali dalam kurun waktu 1 jam full tanpa berhenti, sekarang suaminya malah berulah lagi dengan mengatakan “Aku merindukanmu” melalui sms sebanyak-banyaknya. Padahal Alvin  baru kemarin berangkat ke LA untuk menghandle cabang perusahaan barunya disana. Dan masih ada 6 hari lagi yang akan dilewatinya di LA tanpa Sivia, membuat Sivia tidak bisa berfikir apa yang akan terjadi sebelum 6 hari tersebut.
*hari kedua*Sms*
25 New massage from ‘My Honey’
Alvin : aku merindukanmu
Sivia: tak bisakah kau berhenti mengirim pesan dengan kata-kata yang sama?
Alvin: Aku sangat merindukanmu
Sivia: Aku juga merindukanmu sayang, tapi jangan seperti ini, kau focus saja pada pekerjaanmu.
Alvin: tak bisa!!! Aku sangat merindukanmu.
Sivia: jangan bertingkah seperti anak kecil!
Alvin: aku tak peduli, Aku merindukanmu.
Sivia tidak membalasnya. ia sangat kesal menghadapi tingkah kekanak-kanakan suaminya itu. Sivia sendiri sudah kehabisan akal untuk menghadapinya, jadi biarkan saja! kalau diladeni suaminya itu akan terus bertingkah dan mengirim lebih banyak sms lagi dengan kata “Aku merindukanmu.
*hari ketiga*Sms*
Alvin : Aku merindukanmu
Sivia: Aku tidak peduli!
Alvin: sebentar lagi aku akan mati karena terus merindukanmu
Sivia: kalau begitu aku akan menyiapkan calon suami baru.
Alvin: Sivia aku benar-benar akan mati karena merindukanmu
Sivia: DASAR GILA!!!
Alvin: SIVIA SAYANG!!! AKU MERINDUKANMU.
*hari keempat*
Sivia memacu langkahnya di koridor rumah sakit. Ia baru saja sampai di LA setelah mendengar kabar kalau Alvin masuk rumah sakit. Sivia tidak habis fikir kenapa suaminya itu bisa sakit hanya karena merindukannya. ck-_- benar-benar menyebalkan. Ia akan memaki suaminya setelah ini.
Sivia membuka pintu ruang rawat Alvin dengan tergesa. Ia sudah siap memaki suaminya jika saja ia tidak melihat laki-laki itu sedang terlelap sambil mengigau manyebut namanya dengan nada lirih. Sivia mendekat, hatinya terenyuh mendengar namanya terus disebut-sebut.
“Aku disini.” bisiknya pelan sambil membelai rambut Alvin dengan lembut.
Kelopak mata Alvin mengerjap beberap kali sebelum benar-benar terbuka, menampilkan mata sayunya yang langsung menatap manik-manik mata sivia. “Sivia… aku merindukanmu.”
“Aku juga merindukanmu sayang.”

Indri Novia Kusuma

Brukk...
Minuman botol yang digenggam Sivia meluncur dengan mulusnya jatuh ke bawah.
Matanya memanas melihat apa yang terjadi di depan matanya, tanpa aba-aba air bening di pelupuk matanya tak ragu lagi begitu sajameluncur dengan isakan tangis kecilnya.
"kalian berdua selama ini... " ucapan Via berhenti, ia yang tidak kuat melihat kejadian itupun langsung pergi berlari sekencang mungkin .
--------
"Fy , kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku tau kita sahabat udah lama, dan aku nggak bisa nahan perasaan aku ke kamu Fy," ucap Alvin seraya menggengam kedua tangan perempuan yang ada didepannya.
"Tapi, Vin aku nggak mungkin pacaran sama kamu. Kita sahabatan, Vin. Aku nggak mau kalau persahabatan kita hancur karena ini!!" Ify Tersenyum lembut.
"Tapi, kalau kita coba kan gak apa-apa Fy."
"Oke, tapi aku fikir dulu."
"Mikirnya jangan lama-lama ya Fy."
Tangan mereka masih bertautan dan tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihatnya.
-----------
"Kak, mereka berdua punya hubungan apa sih kak?" ucap Via menahan tangisnya.
"Kakak nggak tau, setau aku mereka masih sahabatan seperti 3 tahun yang lalu," Jelas Kak Tasya.
"Oh , gitu ya ? "
"Udahlah , kakak juga sempet kagum sama kamu. kalau kamu gak percaya , tanya aja langsung ke orangnya !!" ucap Kak tasya setelah itu pergi begitu saja.
-----
"Cie , PJ dong pj," ledek Shilla.
"Emang siapa yang jadian Shil?" tanyaVia
“Tuh si AlFy."
"AlFy?"
"Iya Alvin-Ify."
Tubuh Via sekita membeku , dadanya terasa sesak ,tenggorokannya tercekap.
"Shil, Vin, Fy gue pergi dulu ya. oh iyajangan lupa traktir-traktirnya ya," Via masih sempat-sempatnya membuat lelucon yang membuat dadanya semakin sesak. Via pun berlari sambil sesekali terisak .
“Via kenapa?" tanya Ify.
"Gak tau," balas Shilla mengangkat bahu.
"Maaf, Via. Gue terlalu egois, maaf udah buat lo selalu kecewa," batin Alvin. tanpa terasa hati kecil nya mempunyai Rasa sayang yang sungguh hebat .

Indri Novia Kusuma

Seorang wanita terisak menangis, tangannya memegang selembar foto yaitu seorang pria yang selama ini baru berbulan-bulan sudah mengisi harinya.
Pria itu adalah sahabatnya sendiri.
"Aku tau Vin kita baru beberapa bulan bersahabat."
"Aku tau kau dan dia lebih dahulu bersahabat."
"Dan Aku tau ... " Ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya .
"Kamu berubah Vin, kamu bukan dulu yang dulu aku kenal "Batinnya. Ia menangis dan pada akhirnya lelah mengeluarkan air bening dari pelupuk matanya , ia pun tertidur.
-------
"Maaf Vi, aku ngehindarin kamu. Maaf, aku tau gimana kecewanya kamu," ia memejamkan matanya dan membayangkan bagaimana ia berada di posisi seorang gadis sahabatnya.
"Suatu saat kamu pasti tau Vi, mengapa aku ngehindarin kamu," ia melanjutkan kembali kata-katanya.
Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya, hidungnya mengeluarkan banyak cairan berwarna merah. Ia pun menyentuh darahnya.
"Ya Tuhan kuatkan aku Tuhan. Aku kuat. Aku mohon jangan sekarang,” dan pada akhirnya ia kehilangan kesadaran sepenuhnya
-----
"Lo pikir lo doang yang kehilangan dia, gue juga. Lo mending masih bisa merasakan kebahagiaan sama dia sedangkan gue? Gue ngerasain apa hah?" Via merasakan sekujur tubuhnya lemas dan gemetar. Ia tidak menyangka dia telah pergi secepatnya.
Dia tidak akan kembali.
Dia sudah tiada.
Dan tidak akan ada yang bisa menggantikan senyum manisnya dan ucapan "KEEP STRONG" disaat jadwal ia harus Kemo .
Sedangkan Ify, ia menangis mendengar ucapan Via.
"Vi semoga dirimu disanakan baik-baik saja untuk selamanya. disini aku kan selalu rindukan dirimu . Wahai sahabatku" Via pun menerima surat dari Alvin untuknya yaitu potongan dari lagu tersebut.
Ia memejamkan matanya berharap ini hanyalah sebuah mimpi, tapi semua ini kenyataan.

Uut Utary WulanSarry

PLAK!
Suara tamparan itu terdengar cukup keras ketika tangan seorang pemuda berwajah oriental menyentuh pipi kanan gadis cantik berpipi chubby yang ada di sebelahnya.

“Awww…..” Sivia (gadischubby) merintih sambil mengelus pipinya.
PLAK!
Untuk yang kedua kalinya Alvin (pacar Sivia) mendaratkan tangannya di pipi Sivia. Namun untuk yang kali ini di pipi sebelah kiri.
“Awww….” Sivia kembali mengelus pipinya. Pipinya terasa sangat panas. Secara otomatis gadis tersebut menoyor kepala sang pacar. “Sakit bego. Lo kira gue apa? Lo tampar gue seenak jidat lo!” Sivia melotot.
“Tapi kan Via, di pipi lo itu tadi ada….”
“Ada apa? ada apa?” Ujar Sivia gak nyantai.
“Iya tadi di pipi lo itu ada ini” kata Alvin sambil menunjukkan sesuatu yang telah menjadi korban kekejaman tangannya.
“Pantesan aja ni pipi gue jadi gatel kayak gini” Sivia menggaruk pipinya. “tapi gak usah pake kekerasan juga kali. kan bisa tu NYAMUK diusir aja kagak usah ditabok guenya,” Sivia membelakangi Alvin.
“Yah… kok ngambek sih… Via gak seru nih. Maafin gue deh Via,” Mohon Alvin.
“Kagak. kalo gue tahu bakal kayak gini, kagak mau gue kencan di taman. BANYAK NYAMUK pipi gue jadi KORBANnya deh..” kata sivia sambil membalikan badannya hingga kembali menghadapAlvin..
“Janji deh Via, ini kencan terakhir kita di tam....” Alvin melihat nyamuk kembali hinggap di kening Sivia kemudian..
PLAK!
“ALVIN GILAAAAAAA………”Sivia mengejar Alvin yang telah kabur meninggalkannya.

Uut Utary WulanSarry

Alvin memarkirkan ninja merahnya di sebuah rumah sederhana. Rumah tersebut kelihatannya banyak sekali penghuninya. Terbukti di seluruh penjuru halaman rumah tersebut penuh oleh anak-anak yang sedang asyik bermain sesuai dengan permainan yang kelompok mereka mainkan. Padahal ini sudah hampir jam 8 malam. Kalau di rumahnya barujam 6 aja udah kayak kuburan. Sepi! Gelak tawa mereka membuat rumah tersebut lebih hidup dibandingkan rumahnya yang luas namun hanya dihuni oleh dirinya dan seorang pembantu.
“Hey, Al. Tumben kesini. Ada apa Al?” sapa Sivia. Alvin menghampiri Sivia kemudian mereka duduk di teras bagian depan rumah tersebut.
“Maaf ya Vi aku malem-malem datang kesini. gak ada apa-apa sih, pengen tau rumah kamu aja. Jadi ini rumah kamu Vi?” Tanya Alvin.
“Gak apa-apa kok Al. Iya rumah aku di sini semenjak aku umur 2 tahun. Waktu aku dan orang tuaku kecelakaan. Tapi sayang mereka sudah pergi jauh untuk selamanya.”
“Kenapa kamu gak bilangkalau kamu tinggal dipanti asuhan ini Vi? Tunggu dulu, berarti kamu sudah…” Alvin menghitung jari tangannya. “15 tahun dong tinggal disini. Emangnya gak ada orang tua yang….”
“hehe…. Ya gitu deh Al. Udah gede gini mana ada yang mau ngadopsi aku. Waktu aku kecil banyak orang tua yang datang ke sini, tapi aku gak pernah mendapatkan satupun dari mereka. Padahal aku juga mau lo Al merasakan lagi bagaimana punya orangtua.” Kata Sivia yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Vi…” Alvin menggenggam tangan Sivia. “Bagaimana kalau aku aja yang ngadopsi kamu?” Sivia mengkerutkan keningnya. “Jadi pacar aku Vi” lanjut Alvin.
Sivia mengangguk. “Iyaaku mau Al” Alvin pun merangkul pundak Sivia.
“Ciiiieeeeee Kak Via udah punya pacar” Koor anak-anak yang menonton adegan alvia.
“Udah deh siapa yang pacaran. Kalian masuk aja udah malem” Suruh Via.
“Bunda….. Kak Via udah punya pacar sekarang” kata anak yang berambut gondrong sambil masuk ke rumah dan di susul yang lainnya. Sivia dan Alvin saling pandang kemudian Alvin mencium kening Sivia dan membawa Sivia kedalam dekapannya.
“Makasih Al” lirih Sivia.

Uut Utary WulanSarry

“Vi, kita jalan-jalan yuk?”
“Ya udah kamu jemput aku ya…”
“Oke! Kamu siap-siap, satu jam lagi aku kesana.”
KLIK! Sambungan telpon terputus.
1 jam kemudian.
“Siap Vi? Ayo kita berangkat.”
“Lets go!” Kata Via setelah duduk tenang di Ninja Alvin. “Pelan-pelan aja ya Vin” Sivia berpegangan pada jaket Alvin. Alvin mengangguk lalu menjalankan motornya.
“Ya ampun ni anak kenapa pegangannya disitu mulu sih?”kata Alvin dalam hati. Alvin pun tersenyum.
1 detik
2 detik
3 detik
“ya” Alvin mengangguk-angguk seakan tau apa yang akan terjadi akibat kejahilannya. Otomatis Sivia memeluk Alvin.
“ALVIN…… PELAN-PELAN DONG JANGAN NGEBUT. AKU TAKUT VIN….”teriak Sivia sambil mengencengkan pelukannya.
“Apa Vi? jangan pelan-pelan. Oke sayang..” Alvin kembali menjalankan motornya diatas normal.
“ALVIIIIINNNNNN………….” Suara Sivia semakin kencang. Kini laju motor Alvin pun kembali normal.
“Nah kalau dari tadi kamu pegangannya disini aku gak bakalan ngerjain kamu dulu.” Alvin menyimpan tangannya di atas tangan Via yang melingkar di pinggang Alvin. “Jangan dilepas ya.” Sivia mengangguk.
“Kamu kan tinggal bilang Vin. jadi gak perlu bikin jantung aku kayak yang mau copot.”
“Emang kamu mau nurutin apa yang aku mau?”
“kenapa enggak?”
“Janji ya?” Alvin menghentikan motornya lalu menyuruh Via turun.
“Kok berhenti disini Vin. ini kan gak ada orang.” kata Sivia yang mulai heran dan bingung. Bukannya menjawab Alvin malah mendekatkan tubuhnya ke tubuh sivia. Sivia mundur, mundur, semakin mundur. namun sayang, tubuhnya kepentok motor Alvin. Alvin semakin mempersempit jarak mereka lalu memiringkan wajahnya ke wajah Sivia. sivia merasa takut. Tubuhnya pun mulai merasakan aliran darah yang begitu cepat. Dengan cepat sivia memalingkan wajahnya.
“Vin, ka…ka..kamu ma..mau nga..nga….pa..in Vin?” Sivia mendorong bahu Alvin.
“Hahaha…hahaha…..Katanya mau nurutin apa yang aku mau. Tapi kok ditolak mentah mentah.”
“Tapi kan maksud aku bukan itu Alvin” Muka Sivia memerah.
“Lalu mau apa dong? mau yang lebih dari ini? mana pipinya pake merah segala lagi.” goda Alvin
“is Alvin apaan sihh….”Sivia menutupi wajahnya oleh kedua tangannya karena malu.
“Udah jangan dipikirin .lagian aku hanya bercanda kok. kamu nanggepinnya serius.” Alvin kembali menaiki motornya. “Ayo kita lanjutin lagi perjalanannya.”Lanjut Alvin. Sivia menuruti saja apa yang di bilang Alvin tanpa bersuara.

Kamila Basit III

“Aaarrrgghhhh..” Aku menggeram frustasi. Mengacak rambutku penuh emosi. Melempar dan melayangkan apapun yang ada didekatku. Emosiku benar-benar berada ditingkat paling atas. Gadis itu seperti nuklir yang menyebarkan racun dan meluluhlantakkan segalanya. Ia benar-benar membuatku geram. Ia membuatku membisu. Ia mengunci segala pergerakanku. Ia.. ia membuatku benar-benar gila.
How can I do my revenge if her blue eyes, hypnotic me?
Perempuan itu bernama, Sivia Valenza. Aku benci dengannya. Sangat!
Karenanya ayahku meninggal. Karenanya aku menjadi tulang punggung keluargaku saat ini. Karenanya, aku dan Ibuku jatuh miskin sebab ayahku meninggal. Karenanya semua ini terjadi..
Ibuku bilang, Gadis itu mengaku tak sengaja menabrak ayahku. Ia mengaku bahwa pandangannya kosong saat menyetir kala itu. Ia benar-benar-benar menyesal. Namun, apa arti itu semua? Penyesalan? Apa penyesalannya mampu membuat ayahku hidup kembali? No. Big No.
Apalagi, aku tak ada saat ayahku meninggal. Aku berada di Duseldrof dan baru tiba 2 hari setelah pemakaman ayahku. Hal itu yang semakin membuatku dendam..
Sudah satu bulan belakangan ini, aku berencana membunuhnya dengan hal yang lebih kejam. Aku ingin membuatnya mati. Mati konyol. Hahaha.
Ta..tapi.. semua yang awalnya kuanggap mudah..semua yang telah kurencanakan dengan apik dan matang, seketika buyar kala pandanganku bertumbuk pada Matanya. Mata yang begitu indah. Ya, sesederhana itu.
FlashbackOn. .
Bruk ‘Aww..’
Aku membungkuk hendak menolong gadis yang sempat kutabrak dengan ransel hitamku. Ia mengulurkan tangannya lantas menjadikan telapak tanganku sebagai tumpuan atas berat badannya. Aku yang tidak siap, hampir saja membuatnya terjatuh kembali. Namun dengan sigap, tangan kananku menahan punggungnya yang sudah terdorong kebelakang. Aku menahan punggungnya kuat. Seketika, pandangan kami bertemu. Aku menelan ludahku gemetar. Matanya! Matanya begitu indah. Blue eyes.
“Eh..” ia tersadar lantas dengan cepat memperbaiki posisi badannya.
“Maaf. Aku tidak sengaja,” kataku pelan. Masih terhipnotis dengan matanya.
“Tidak apa-apa.. kalau begitu, aku pergi dulu,” ujarnya memasang senyum. Maniss..
“Tunggu sebentar.. siapa namamu?” tanyaku mencegat langkahnya.
Ia kembali tersenyum. “Namaku Via, Sivia Valenza.”
APA?! D..dia? jadi ini orangnya? Y..ya aku menemukannya. Aku menemukan objek yang membuatku pindah ke sekolah ini. Aku menemukannya dengan begitu mudah. Tuhan seakan menyetujui rencanaku. Awal yang baik.
Tapi, apa aku tega membuat mata indah itu tertutup untuk selama-lamanya?.

Kamila Basit III

Gadis ini terus berlari. Semakin jauh dan jauh. Ia terus memacu langkahnya. Membawa kesedihan dan kekecewaan akan suatu hal. Air matanya tak henti mengalir. Hanya satu tujuannya, agar Pria yang tengah mengejarnya itu tak dapat menangkapnya. Dadanya terasa sesak. Sesak yang benar-benar membuatnya tak bisa bernafas.
Ia tak peduli dengan sorotan-soratan aneh yang menatap kearahnya. Ia tak peduli teriakan-teriakan orang yang menyuruhnya menepi karena hujan yang terus turun dengan deras. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Yang jelas, Hatinya terluka. Itu saja.
Ia merasakan debuman langkah itu semakin dekat. Kontan ia juga semakin mempercepat larinya meskipun ia sadar, ia mulai terseok. Dan Jeezz.. Sebuah tangan kekar dan besar meraih bahunya dan menarik tubuhnya untuk masuk kedalam sebuah tubuh lain yang ia yakini ada dihadapannya saat ini. Dan ia juga bisa dengan jelas merasakan bahwa ada satu tangan yang merambah punggungnya dan mengusapnya berulang kali.

Tunggu. Siapa yang memeluknya?. Tubuh siapa yang berada dihadapannya saat ini?. Siapa yang mendekapnya?.
“lo kenapa lari, sih? Lo harus denger penjelasan gue dulu, Vi” Suara itu. Suara itu! Suara itu adalah suara desahan yang sangat ia kenal.
“ngga ada yang perlu dijelasin, Al.. semua udah jelas.. lo bakalan pergi ninggalin gue.. lo jahat tau ngga? Lo jahat..” gumam Sivia memukul-mukul dada bidang Alvin dengan lemah. Alvin semakin mempererat dekapannya.
“Hey.. gue ngga akan selamanya stay di Aachan. Gue bakalan balik begitu kuliahnya udah kelar..” ucap Alvin pelan.
“tapi Al..”
Alvin melepaskan dekapannya. Memandang Sivia dengan sorotan matanya yang teduh. “gue pasti bakalan balik, dan itu demi lo..” tutur Alvin lantas mengecup kedua kelopak mata Sivia dengan hangat. Mengecupnya dengan penuh makna.
Sivia mengangguk. Alvin pasti akan kembali. Ia tidak pernah berbohong padanya..

Kamila Basit III

Pria bermata karamel itu mengernyit, memicingkan kelopak matanya hingga menimbulkan kerutan kecil didahi. Dia merapatkan hoodie abu-abu yang menyelimuti tubuhnya sekarang, dengan satu lenting rokok beraroma nikotin bertengger disalah satu sudut bibirnya. Ada aroma tembakau yang terbakar, menimbulkan asap tipis menyerupai kabut keluar dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Alvin menarik ekspresi datarnya, berusaha menebak-nebak lantas menarik sikap tubuhnya menjadi serius saat melihat seorang wanita berambut sebahu, berbadan mungil muncul dihadapannya.
“hari ini, kau pake berapa gram?” tanya wanita itu sedikit sinis. Alvin mengernyit.
“bisa kau lihat.. aku hanya menghisap nikotin ini..” ucap Alvin sedikit tidak terima. “harus berapa kali aku bilang, bahwa aku sudah tidak pernah mengonsumsi barang-barang itu lagi, Kid!?” lanjutnya frustasi. Ia membuang rokok yang sempat terjepit diantara jemarinya, lantas mengacak rambutnya frustasi. “trust me, please. Please kid. Please!” timpalnya lagi memohon.
Sivia menggigit bibir bawahnya keras. Entah kenapa, ia ragu. Ia tak tau harus bagaimana. Alvin beranjak mendekati Sivia. Memegang pundak kekasihnya dengan tegas. “trust me, okey?” bisiknya tepat dihadapan Sivia. Sivia memejamkan matanya. Tak kuasa dengan hambusan nafas Alvin yang beraroma margarita. Sivia menggeleng. Ia ingin pria ini berubah seutuhnya. Segalanya. Ia ingin Alvin menjauhi semua ini. Semuanya. Rokok, Tequila, drugs. Semuanya! Semuanya tanpa tersisa sedikitpun.
“ikutlah rehabilitasi, Alv” hanya itu kata yang mampu keluar dari bibir ranumnya. Seketika Alvin tersenyum masam. Ia sudah hafal dengan kalimat ini. Sivia sudah mengucapkannya beribu-ribu kali. Dan mungkin, ini saat yang tepat. Ini saatnya ia harus mengikuti apa yang diinginkan Sivia. Ya.
okey. I will” tutur Alvin miris. “but please promise that you’ll still wait me ‘till I’m free..” pinta Alvin. nada suaranya begitu memelas. Ia menatap iris mata Sivia yang selalu membuatnya nyaman.
Of course Alv..I promise you, dearest” ucap Siviaberjanji. Senyum lega merekah sempurna dibibirnya. Alvin ikut tersenyum kembali lalu kemudian memeluk Sivia dengan eratnya.
thanks, Kiddy. Thanks! I love you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar