Title : Love
& Be Loved
Author : Septiana Lusiantari
Genre : Romance
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Saat ini Ia sedang mengikuti rapat final yang
informal namun sangat penting di restaurant berkelas bersama para karyawan
andalannya. Tapi mengingat sifatnya yang bossy dan menuntut kesempurnaan,
karyawan andalan sekalipun tetap memiliki kesalahan.
"Apa
ini?! Saya sudah peringatkan sebelumnya biaya yang kita perlukan tidak sedikit.
Anggarannya jauh dari target. Revisi lagi!" Protesnya. Karyawan laki-laki
tersebut tak bisa berkutik.
"Jangan
bercanda! Kita akan membangun department store, bukan kuburan. Kenapa mencari lokasi
di plosok." Ia kembali protes ketika karyawan lain memperlihatkan calon
lokasi proyek mereka pada tablet. "Cari tempat kosong di pusat kota.
Segera!" Perintahnya kali ini pada karyawan perempuan.
"M-maaf
Mr. Alvin, tempat yang tersisa di pusat kota adalah jalur hijau, jadi--"
"Terserah!
Saya tidak mau tahu. Cari tempat di kota!" Sanggahnya tidak sabaran.
"Tapi
Mr. Alvin," karyawan lain mencoba membela rekannya. "Semua berkas
sudah rampung, bahkan rekan bisnis kita sudah menyetujui, sudah ditanda tangan."
"Jangan
lupa, perusahaan saya pemegang saham tertinggi di bisnis ini." Elaknya
dengan tenang, tak terbantahkan.
Kemudian
hening. Mr.Alvin sendiri menenangkan dirinya dengan menegak jus yang belum
tersentuh sama sekali.
"Ikuti
perintah saya, jika mau berhasil. Biar saya yang menghadapi rekan bisnis kita
itu." Lanjutnya memecah sunyi. Alvin tahu rekan bisnis yang mereka maksud
adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang publikasi, pemiliknya adalah
Laki-laki pelit yang seharusnya sudah pensiun -begitu menurutnya- karena sudah
berumur. "Atur jadwal pertemuan dengan owner pelit itu, kalau perlu
perwakilannya saja" Ucapnya pada si sekretaris.
"B-baik
Mr.Alvin, tapi..."
"Apalagi?"
"K-kalau
Mr. mau, Mr.Alvin bisa menemuinya sekarang."
"Aku
tidak mau."
"Tapi
aku mau sekarang."
Alvin
menoleh kaget mendengar itu. Suara seorang wanita. Memang seorang wanita yang
berdiri tak jauh darinya. Dengan gaun hitam yang anggun, rambut jatuh...
Tangannya berayun saat berjalan. Dia mendekat dengan percaya diri. Semakin
jelas terlihat pahatan wajahnya yang indah, senyum yang membius. Ketika wanita
itu duduk di sebelahnya dengan anggun, wanginya menyeruak. Oh dewi. Tipikal
wanita anggun yang tenang dan cerdas luar biasa.
"Good
evening Mr.Alvin. Saya Sivia. Untuk sementara saya yang menggantikan owner
pelit itu memimpin perusahaan kami. Karena Papa saya itu sedang tidak
sehat." Sivia tersenyum mematikan.
Alvin
susah menelan ludahnya. Papa?
"Saya
dengar Mr.Alvin tidak setuju dengan semua berkas yang sudah rampung." Ucapnya
anggun. "Sayang sekali, padahal itu sudah jauh dari ekspektasi saya,
karyawan anda luar biasa." Para karyawan Alvin tersenyum bangga dipuji
wanita bersahaja seperti Miss Sivia. "Masalah anggaran, belajarlah menekan
anggaran selagi bisa."
"Dasar
pelit. Persis ayahnya". Cibir Alvin, hanya dalam hati Ia berani.
"Untuk
lokasi proyek, jangan melebihkan, itu bukan di plosok, masih pinggiran kota.
Berpikirlah ke depan, proyek ini mungkin akan menjadi pelopor pembangunan
proyek lain di sana." Sivia tersenyum kembali. "Bisnis itu sama
dengan manusia yang baru lahir tidak langsung dewasa. Bisnis juga butuh waktu
untuk proses penyuksesan. Oh maaf, saya bicara panjang lebar. Jadi bagaimana?
Masih tetap pada pendirian untuk merevisi semuanya?"
Semua
menanti keputusan Alvin yang diam mematung menatap Sivia di hadapannya.
Bagaimana tidak mematung, Ia jarang bisa dibantah. Sementara sekarang, keluar
satu kata pun tidak bisa di hadapan wanita ini.
"Biasanya
saya tidak suka dibantah." Gumamnya. Lalu mengambil bolpoin dan
menandatangani berkas yang telah rampung. Suasana kelegaan antara karyawan
sungguh terasa di sana.
Sivia
berdiri untuk berpamitan, Alvin mengikutinya.
"Saya
harus pulang, owner pelit, oops..maksud saya, Papa saya tidak bisa ditinggal
terlalu lama oleh putrinya." Sivia mengedipkan sebelah matanya menjahili
Alvin yang bermuka merah karena perkataannya.
"Terimakasih
karena sudah membuat saya merubah keputusan lagi."
"Pertimbangan
itu perlu. Membidik sasaran haruslah tepat." Miss Sivia tersenyum simpul
dan menelengkan kepalanya menatap mata Mr.Alvin intens. Kemudian melihat
arlojinya. "Saya rasa meeting kalian cukup sampai di sini dulu. Karyawan
anda sudah lelah, anda juga pasti lelah kan." Dengan gerakan tidak diduga
Miss Sivia merapikan kerah kemeja hitam Mr. Alvin yang sedikit berantakan.
"Selamat malam." Pamitnya melambaikan tangan pada karyawan Alvin.
Meninggalkan mereka.
Meninggalkan
Alvin yang terbujur kaku.
"Whoaaa
Miss Sivia cantik nyaaaaaa. Aku betah bekerja kalau boss nya seperti dia."
Celetuk salah seorang karyawan laki-laki Alvin. Menyentakkan Alvin dari
keterpakuannya pada sosok yang baru pergi.
"Tidak
ingin dipecat kan? Jangan macam-macam kalau begitu!"
Miss
Sivia. He will keep in the mind.
>>>>><<<<<
Alvin
kecanduan. Miss Sivia adalah candu baginya. Berhasrat ingin bertemu lagi dan
lagi, setelah pertemuan awal di meeting tempo hari. Mr.Alvin akhirnya dapat
mencuri waktu di setumpuk kesibukannya atas proyek barunya, demi memenuhi rasa
candunya.
Kantor
perusahaan yang dipimpin Sivia memang tidak semegah kantornya, tetapi segala
furniture serba cozy dan canggih. Sayang Alvin kurang beruntung, karena yang
ditemuinya bukan pesona Miss Sivia. Justru pria paruh baya. Ayah Sivia! “Hm.
Alvin. Tumben bisa mampir. Silahkan duduk.” Ia sangat malas bertemu pria ini,
membosankan menurutnya, tapi kepalang tanggung jika pergi. “Sebentar, saya
pesankan minum.”
Sementara
Ayah Sivia menghubungi OB , Alvin memperhatikan sekeliling ruangan. Yang
menarik perhatiannya adalah frame berukuran besar di salah satu dinding. Foto
Sivia dan Ayahnya tampak akrab. Seperti sulit dipisahkan. Tiba-tiba Ia resah.
“Saya kira pasti ada keperluan penting, jika tidak, tidak mungkin anda
menyempatkan kesini hanya untuk bertemu si owner pelit, bukan begitu?” Papa
Sivia tersenyum miring. Nah ini!
Sivia!
Ia menggeram. Gadis itu tukang adu juga. Jika tau owner pelit ini tidak
memiliki puteri dengan pesona dewi, Ia akan lebih berhati-hati berbicara.
“Oh.
Sebenarnya saya hanya ingin mengucapkan terimakasih pada puteri anda, Miss
Sivia. Karena sudah membantu saya mengambil keputusan.”
Papa
Sivia memandang Alvin tajam. “Hanya itu? Nanti saya sampaikan. Ada lagi?”
Tuhan!
Pria ini! Alvin meggerutu dalam hati. “Itu saja. Boleh saya tau di mana Sivia?
Dia tidak memimpin perusahaan lagi?”
“Itu
untuk sementara, saya sedang tidak sehat saat itu. Dia punya kesibukan lain di
butiknya.”
Alvin
menyerah. “Kalau begitu, saya pamit sekarang.” Ia sudah berdiri untuk pamit
ketika ada yang masuk ke ruangan.
“Papaa…”
Itu dia! Alvin menoleh dan ada Sivia yang sama seperti di awal, anggun dengan
kemeja biru mudanya dan rok putih bermotif bunga biru. Rambut halusnya
bergoyang ketika mendekat. Padu padan yang catchy. “Oh, rupanya ada tamu.”
Sivia mencium pipi sang Ayah.
“Iya.
Alvin memberi laporan tentang proyek.” Sahut Ayah Sivia berbohong, membuat
Alvin melotot. Kenapa Papa Sivia terkesan mengumbar aura permusuhan!
“Oh
begitu. Seharusnya tidak perlu repot sampai datang kemari Mr.Alvin.” Alvin
melengos. Laporan proyek? Bahkan seharusnya perusahaan Alvin tidak perlu
melakukan itu, karena perusahaannya pemegang saham tertinggi. “Apa Mr.Alvin
sedang buru-buru? Saya ingin lunch dengan Papa, kalau mau Mr.Alvin bisa
bergabung.”
Tentu
saja mau –tapi jika tanpa owner pelit itu-.
“Maaf,
tapi saya harus balik ke kantor.” Sahut Alvin rela tidak rela.
“Papa
juga tidak bisa Sivia. Ada jadwal medical check up siang ini. Bahkan sudah
ditunggu supir di lobi.” Ayah Sivia mengcup kening puterinya. “Maaf ya. Mungkin
nanti malam.” Lalu dia pamit. “Saya harus pergi Alvin. Lain kali kalau tidak
terlalu penting, tidak perlu ke sini.”
Lagi-lagi
Alvin menggerutu.
“Papa
memang begitu. Baginya waktu sangat berharga. Tapi dia baik.” Sivia terkekeh.
Alvin
menaikkan sebelah alisnya. Kemudian tersenyum tipis. “Tidak apa kalau
balasannya seperti ini. Kita bertemu lagi” Suaranya berubah dalam. “Jadi makan
siang?” Ia mendekat.
“Tapi
tadi anda bilang harus ke kantor.”
“Tidak
setelah Papa anda tidak jadi ikut.”
Sivia.
Tiba-tiba Ia merasa gugup berada satu ruangan hanya berdua dengan Mr.Alvin.
Apalagi lelaki ini berusaha mempersempit jarak di antara mereka. Dan…merengkuh
pinggangnya!
“A-alvin.”
Sivia gugup. Alvin merasa puas. Sivia memanggilnya tanpa embel-embel ‘Mr’.
Sekarang keadaan berbalik. Wanita ini terintimidasi olehnya. Padahal di
pertemuan awal Alvinlah yang bertekuk lutut dengan segala pesonanya.
“Makan
siang?” Lebih terdengar seperti bisikan tak terbantah.
“Baiklah.
Tapi, lepas dulu.”
“Apanya?”
“Tanganmu.
Kau memeluk pinggangku!”
“Aku?
Memelukmu?” Alvin semakin puas melihat rona di wajah Sivia.
“Mr.Alvin.
Jangan bercanda! Lepaskan saya” Alvin menyerah.
Sivia
kembali ke sikap formalnya, itu berarti Ia serius. “Kita makan di resto dekat
sini saja.” Kata Sivia jutek, menenggelamkan kegugupannya. Sial! Sivia tidak
akan terintimidasi jika saja Alvin tidak datang dengan penampilan fresh nya
yang arogan. Tidak seperti awal bertemu, lelaki itu bertampang kusut dan lelah
karena rencana proyeknya.
Alvin
tidak keberatan dengan ide Sivia. “Oke.” Lalu Ia kembali menjulurkan sebelah
tangannya merengkuh pinggang Sivia untuk berjalan bersama. Tapi tidak berhasil
karena Sivia memelototinya. Dan keluar ruangan terlebih dahulu.
Bahaya!
Ia yakin akan semakin kecanduan setelah ini!
>>>>><<<<<
Semenjak
makan siang pertama mereka tempo hari, kedua orang karir ini jadi sering
bertemu. Sekalian membahas hal-hal perlu untuk proyek mereka yang telah
berjalan 4 bulan. Itu artinya selama itu pula Alvin dan Sivia telah berteman.
Merasa cocok satu sama lain untuk mengistilahkan hubungan mereka berdua sebagai
teman. Setidaknya begitu.
Kini
Sivia kembali memegang kendali atas perusahaan Ayahnya, seutuhnya. Karena
keadaan Ayahnya yang butuh istirahat maksimal. Sivia sendiri yang meminta,
tanpa keberatan.
“Bagaimana
kondisi Papa mu? Sudah membaik?”
“Sudah.”
Sahut Sivia setelah menelan makanannya.
“’Sebenarnya
Papa mu sakit apa?” Alvin penasaran.
“Lemah
jantung.”
Alvin
menyudahi makannya, menatap lurus Sivia. Ia tidak bosan melihat lalu
mendeskripsi wujud dewi dengan kandungan candu, seperti Sivia. Gadis dewasa di
hadapannya memakai blazer wanita berwarna putih gading, rok cokelat polos
dengan sedikit motif batik melingkar di bagian bawahnya. Dan berhubung mereka
tidak dalam lingkungan kantor, Sivia melepas blazernya dan menampakkan t-shirt
hitam polos. Kulit tangannya mulus, dengan jam tangan kecil melingkar di
pergelangannya. Jemarinya yang cantik sedang menggenggam minuman. Dewi, bukan?
“Kau
sangat menyayangi Papa mu, ya?” Alvin melihat senyum kembali terkembang di
wajah Sivia.
“Sangat.”
Berhenti sejenak. “Meskipun beliau bukan ayah kandungku.”
Apalagi
ini?!
“Maksudmu?”
Alvin bertanya kaget bercampur antusias.
“Iya.
Papa bukan ayah kandung ku.” Sivia tetap tersenyum. “Aku bukan anak yang
diinginkan, begitu aku mengenal dunia dan lingkungan, aku sudah ada di panti
asuhan.” Kejutan baru. Alvin menyimak dengan baik. “Sampai kemudian ketika aku
umur, kalau tidak salah 8 tahun, Papa dan mendiang Mama datang mengadopsiku.”
Sivia melanjutkan karena Alvin hanya diam. “Papa dan Mama sulit mendapat
keturunan, maka itu dia mengadopsiku. Tidak lama, Mama akhirnya mengandung.
Kami sekeluarga senang, sampai pada akhirnya Mama pendarahan dan..tidak
selamat.” Suara Sivia tercekat diujung kalimatnya, tapi mencoba tersenyum juga.
“Papa
sangat terpukul, aku tahu. Semenjak itu dia memusatkan perhatian untukku,
karena hanya aku yang dimiliki. Begitu sebaliknya, aku sangat menyayangi Papa.
Tidak heran kalau kami dekat.” Sivia tertawa kecil.
“Pantas
saja.” Alvin mencibir, membuat Sivia tertawa lagi.
Dandelion.
Begitu saja Alvin mengumpamakan Sivia kali ini. Jenis tumbuhan unik, indah,
kuat, dengan tangkai kecil, dan bulu halus yang ringan mudah terbawa angin,
lalu bisa tumbuh di mana saja membuat kehidupan baru. Seperti Sivia yang tampak
bahagia dengan hidupnya sekarang, meski mengatahui dia tidak diinginkan
terlahir.
“Aku
sangat menyayangi Papa, Alvin. Aku..apapun yang dimintanya pasti aku turuti.”
Berbeda dengan tadi, mata Sivia berubah muram saat menyatakan kesanggupannya. Ada
apalagi?
Argh!
4 bulan mengenal Sivia, tidak cukup membawa Alvin dalam arti ‘kenal’ yang
sesungguhnya. “Ya. Memang seharusnya begitu. Tuan putri menuruti perintah Raja
nya.” Alvin bermaksud bergurau, hamun Sivia hanya tersenyum..kecut?
“Alvin!
Hei! Kau Alvin Jonathan bukan? Astaga benar!” Tiba-tiba saja seorang perempuan
menepuk pundak Alvin.
“Zevana?”
“Iya
aku. Apa kabarmu?” Tanyanya melakukan cium sapaan di pipi. “Terlihat baik-baik
saja sepertinya. Ya ampun! Kau makin tampan, tau begini aku tidak lari darimu,
Alvin.”
Bawel!
Alvin menggerutu kesal. Tambah kesal karena melihat Sivia malah tampak tidak
perduli.
“Oh,
Alvin. Apa ini kekasihmu?” Merasa disinggung, Sivia menghiraukan mereka juga.
“Bukan.
Aku teman bisnis nya. Perkenalkan, Sivia.” Sivia mengulurkan tangan sopan, dan
keduanya berkenalan.
“Zevana.
Aku kira kau kekasih Alvin. Mengingat jaman sekolah dia sungguh player. Dan
entah beruntung atau sial, aku salah satu mantannya. Tapi aku tidak menyesal.
Ya kau lihat kan, Alvin sangat tampan dan berkelas.” Si Zevana tertawa renyah,
berniat mengambil tempat duduk di sebelah Alvin, sebelum ponselnya berdering.
Dengan tidak rela perempuan itu harus berpamitan setelah sambungan berakhir.
“Alvin, aku harus pergi. Jujur aku ingin bernostalgia tentang kita. Mungkin
lain waktu… Dan Sivia, aku pamit ya.”
Setelah
‘penyela kebersamaan’ itu pergi. Sivia juga memutuskan menyudahi acara makan
siang. “Player, uh?”. Sindirnya sambil terkikik. “Sebaiknya kita kembali ke
kantor.” Lalu Ia bangkit berdiri.
“Dia
berlebihan. Aku tidak separah kata player itu sendiri.” Alvin membela diri.
“Ya
ampun Alvin. Jangan sungkan. Seperti aku perduli saja. Itu urusanmu dan dia di
masa kebersamaan kalian.” Dan Sivia mendahului Alvin keluar resto.
Alvin,
dia sendiri tidak mengerti. Tapi Ia tidak suka mendengar gagasan ‘Sivia tidak
perduli’ , karena itu menyentil ego lelakinya.
Maka,
ketika dilihatnya Sivia sudah membuka pintu mobilnya. Sekejap mata Ia
menjangkau dan membanting pintu mobil agar tertutup hingga menimbulkan bunyi
blam yang tidak terkontrol. Mengagetkan Sivia tentunya.
“Pergi
begitu saja? Jealous?”
“Spekulasi
sepihak, Mr.Alvin?” Tetap saja debar jantungnya tidak bisa dibohongi.
“Jangan
percayakan tentang aku yang player, kalau begitu.”
“Sudah
aku bilang, aku tidak perduli.” Sahut Sivia santai, sedikit senyum. “Aku
mengenal kau yang sekarang sebagai Mr.Alvin, raja bisnis, teman, bukan player.”
Sivia melanjutkan. Selangkah mendekati Alvin, menytntuhkan jemarinya di kerah
kemeja Alvin. “Jadi, boleh aku masuk ke mobil dan pulang?”
Alvin
tidak bisa melarang, karena kesadarannya hilang. Kembali lagi setelah bunyi
mesin mobil Sivia menjauh.
Hei!
Ia berjanji akan menjebak gadis Dandelion itu dalam pernikahan! Harus!
>>>>><<<<<
Alvin
menghadiri pesta pernikahan anak rekan bisnisnya. Acara telah berlangsung
selama satu jam lebih. Tandanya selama itu pula Ia tidak berhenti mengagumi
sosok gadis yang selama ini memenuhi pikirannya. Sivia yang juga menghadiri
acara tersebut, berdiri di sana dengan cantiknya. Dress abu abu dengan bagian
depan tidak mencapai lutut namun bagian belakangnya memanjang -seperti pinguin-
menyempurnakan penampilannya. Jangan lupakan stileto hitamnya meski tidak
terlalu berlebihan tingginya, tetap saja mempercantik sepasang kaki milknya.
Ujung rambut lembutnya dibuat seperti tentakel. Kesemuanya, memecah konsentrasi
Alvin yang sedang terlibat obrolan dengan undangan lainnya sesama businessman.
Apalagi
dilihatnya Sivia mengobrol santai, berbaur dengan para undangan, juga sesekali
tertawa. Alvin suka dengan tawa yang merdu nan anggun itu. Ketika Ia masih
dalam keterpesonaannya, rupanya Sivia mendadak menoleh dan pandangan mereka
bersibobrok. Sivia memberikan senyum, seraya menaikkan gelas kacanya mengajak
Alvin bersulang jarak jauh.
Bersulang
jarak jauh? Itu ide buruk. Alvin bergegas permisi lalu mendekati Sivia.
“Bersulang akan lebih baik sampai ada bunyi denting gelas kaca.” Bisiknya pada
Sivia. “Dan hanya berdua…” Alvin menggiring Sivia menjauh dari kerumunan pesta.
“Lalu
kita bersulang untuk apa?” Tanya Sivia heran. “Pernikahan Steve dan Agatha agar
awet, begitu?”
“Boleh.
Tapi aku punya ide lebih baik. Bersulang untuk kita saja, proyek dan bisnis
yang kita tangani bersama.”
“Ah
iya. Semoga proyek dan bisnis yang kita tangani bersama berjalan lancar.”
Mereka benar-benar bersulang, hanya berdua, untuk berdua.
“Tentu
saja lancar. Kau tidak lupa siapa pemimpinnya kan?”
“Berhenti
menjadi arogan, Alvin.”
“Tidak
ada alasan untuk berhenti. Dengan arogan sekalipun aku tetap bisa mendapatkan
apa yang aku mau. No exception.”
“Teori
dari mana itu. Tidak semua bisa kau dapatkan.”
“Kata
siapa? Bahkan saat ini aku berencana mendapatkan sesuatu, seseorang tepatnya.”
Alvin tersenyum penuh arti.
“Oh
ya? Semoga beruntung kalau begitu.” Sivia menyemangati. Tak urung hatinya
merasa was-was juga.
Setelah
tema arogan berujung, keduanya bungkam. Menikmati sisa minuman mereka dalam
gelas, sambil memandangi kerumunan pesta. Semua undangan hadir bersama
pasangan. Begitupun Sivia, pasangannya adalah Ayahnya sendiri yang turut hadir,
hanya saja beliau memilih duduk di ruang jamuan makan malam. Daripada berdiri
di ballroom yang kini beralih fungsi menjadi lantai dansa.
“Aku
bersedia menjadi teman dansa mu kalau kau ingin berdansa.” Tawar Alvin masih
antusias mengamati pasangan-pasangan yang berdansa.
“Aku
tidak ingin.”
“Tapi
matamu mendamba pasangan-pasangan di sana yang sedang berdansa.” Tanpa
menunggu, Alvin meletakkan gelasnya dan gelas Sivia di meja terdekat lalu
merengkuh Sivia dalam posisi dansa yang nyaman.
“Kau
pemaksa.” Tutur Sivia dengan pipi bersemu.
Alvin
tidak menanggapi. “Kau biasa tampil begini kalau ke pesta?”
“Iya.
Ini style ku.”
Alvin
nampak menimbang akan menyahut apa. Sementara tubuh mereka tetap mengkuti
alunan piano instrument How Deep Is Your Love.
“Terlalu
cantik, Sivia.”
“Apa?”
“Terlalu
cantik. Kau sudah mendengarnya. Kalau kau milikku, aku akan memberi label di
dahimu. Banyak mata lelaki yang memburumu, kau tahu.”
Sivia
tertawa. “Sayang ya, aku bukan milikmu. Jadi label itu tidak perlu.”
“Begitu
ya?” Pandangan Alvin pada Sivia tak terbaca mudah. Menyebabkan Sivia resah
sendiri di dalam sana. Merasa ngilu dan…memilih memalingkan wajahnya.
“Sivia..”
Saat kembali menoleh, wajah Alvin terlalu dekat. Sivia tidak bodoh untuk
mengetahui bahwa Alvin akan menciumnya.
“A-alvin,”
Segera Sivia menahan Alvin dengan tangannya. “Ada Papa menuju ke sini.”
“Maaf
menginterupsi kegiatan kalian sebentar.” Ujar Ayah Sivia.
Alvin
dan Sivia serta merta memisahkan jarak mereka. Dan Alvin mencoba tersenyum,
seolah bersikap mengasikkan di hadapan Ayah Sivia. Ia harus melakukannya jika
ingin mendapatkan seseorang seperti dikatakannya. Karena orang itu…Sivia.
“Sivia,
Papa baru dikabarkan, Mario sudah mendarat di Indonesia. Dan dia sedang
menyusul kemari.” Sivia mengangguk mengerti. “Hm. Bersikaplah sewajarnya.”
Sambung
Ayahnya dalam bisikan pada Sivia bersamaan melirik Alvin.
“Iya,
Pa.” Sivia mengerti maksudnya. Lalu Ayah Sivia pergi darisana.
“Siapa
Mario, Sivia?” Alvin baru bisa menyuarakan rasa penasarannya.
Sivia
memandang Alvin, kemudian tersenyum kecil. “Oh, ya ampun. Sepertinya aku lupa
cerita ya, Alvin.”
“Siapa
Mario?” Ulang Alvin tidak sabaran.
“Mario
tunanganku, calon suamiku. Kalau tidak ada halangan kita akan menikah akhir
tahun ini.” Tutur Sivia dengan lugas, tersenyum lagi.
“Kau
bilang apa? Calon suami?” Alvin berdecak. “Jangan bercanda!” Tiba-tiba emosi.
“Kau baru menceritakannya?” Lebih terdengar seperti tudingan kesal.
“Memang
kenapa? Tenang saja, kau yang pertama akan mendapat undangannya. Karena kau
temanku.” Sivia bertutur dalam nada bercandanya, seolah tidak menyadari
perubahan suasana hati Alvin. Berusaha tidak perduli mungkin…
“Jangan
pernah kirim surat undangan itu!” Bentak Alvin. Sivia mundur selangkah. “Kenapa
baru menceritakannya?! Kau tahu, aku berencana mendapatkanmu, kau orang yang
kumaksud! Sivia kau…argh” Suaranya hilang tertelan, kemudian Alvin berbalik
untuk pergi.
Sivia
masih melihat punggung Alvin menjauh dalam ketergesaan. Menghilang di balik
kerumunan. Hal yang diresahkannya terjadi juga… Seharusnya saat telah mengambil
keputusan, Ia tidak boleh bermain-main.
“Alvin…”
Terpaksa maskaranya luntur, oleh sebulir air dari matanya.
“Hei
dear. Kenapa menangis? Merindukanku?”
“Mario?...”
“Iya
aku. Kau merindukan ku sampai menangis begini? Seperti abg saja.” Mario
memeluknya. Sivia tidak mungkin menolak ‘tunangannya’ kan.
Jadilah,
Alvin yang ternyata belum benar-benar pergi menyaksikan itu.
Ternyata
ucapan Sivia benar. ‘Tidak semua bisa kau dapatkan’ Ia…Alvin Jonathan tidak
bisa mendapatkan seorang Sivia. Itu pengecualiannya.
“Sial!”
>>>>><<<<<
“Mendiang
Mama ingin Papa menjaga kamu.”
“Papa
belum pernah minta sesuatu dari kamu, Papa hanya minta satu hal saja.”
“Papa
mohon, menikahlah dengan Mario, Sivia.”
“Benar
katamu, Mario memang masih berhubungan saudara dengan kita, tapi Mario tidak
punya hubungan darah denganmu.”
“Hanya
ini cara terbaik bagi Papa, kesejahteraan dan jaminan hidup baik kamu, Papa
yakin ini jalannya. Menikahlah dengan Mario, dia pria baik berpendidikan. Papa
bisa menjaga kamu melalui dia.”
Sivia
mengurut pelipisnya pelan. Sekelebat penuturan Ayah angkatnya beberapa bulan
lalu teringat kembali. Tentu saja Sivia tidak bisa berkata tidak saat itu.
Bagaimana perasaanmu ketika Sang Ayah memohon padamu? Apalagi saat itu Ia
memang ‘menaruh perhatian’ pada Mario. Sepupunya yang acap kali ditemui jika
ada acara keluarga.
Memang
benar Mario pria baik, berpendidikan, jenius. Mario sudah melahirkan beberapa
software baru, dan digandeng perusahaan Negara-negara lain, tidak heran jika
Mario jarang di Indonesia. Tapi kali ini Mario akan berlama di Indonesia,
selain waktu pernikahannya dengan Mario yang dekat, Mario memutuskan akan
mengenal Sivia lebih dalam sebagai calon istrinya.
Semua
akan menjadi lebih mudah, andai saja Sivia tidak menggantikan posisi Ayahnya di
perusahaan. Menyebabkan pertemuannya dengan seorang raja bisnis yang tampan di
restaurant tempo hari. Berlanjut pertemuan-pertemuan sengaja ataupun tidak.
Berbuah pada hubungan pertemanan yang manis. Lalu…
Lalu
ada suatu saat di mana Ia merasa lepas bercerita tentang hidup sebenarnya pada
Alvin. Saat di mana Ia ingin berteriak pada gadis-gadis jangan memperhatikan
Alvin jika mereka sedang bersama, seolah dia miliknya. Saat di mana secuil rasa
kesal muncul karena hadirnya mantan kekasih Alvin yang menyebalkan. Saat di
mana merasa lumpuh oleh sentuhannya dalam posisi berdansa. Saat Ia merasakan
resah… Berhari-hari semenjak pesta Ia tidak bertemu Alvin lagi.
Ya
Tuhan. Ternyata setelah ditelaah, ini murni jatuh cinta.
“Miss
Sivia,” Sivia menoleh pada setengah badan sekretarisnya yang muncul di balik
pintu. “Ada tamu.” Tuturnya dengan wajah merona.
“Persilahkan
dia masuk.” Sahutnya lesu. Sivia sedang malas menerima tamu.
Bunyi
hentakan sepatu maskulin yang mahal memenuhi ruangannya. Sivia terperanjat,
heran, sekaligus senang melihat tamunya.
“Al—Mr.Alvin?”
Pantas saja sekretarisnya tadi bertingkah layaknya remaja.
“Long
time no see.” Sahut Alvin santai disertai senyumnya. “Aku ingat kau suka
cokelat, jadi ya hanya terpikirkan membawa ini. Aku letakkan di sini ya.” Alvin
meletakkan parsel sedang dengan ragam cokelat di atas meja tamu. “Boleh aku
duduk.”
Sivia
mengangguk kikuk. Situasi macam apa ini. Terakhir kali bertemu Alvin, lelaki
itu luar biasa murka dan kecewa karena status bertunangan Sivia. Sampai
melontarkan perasaannya pada Sivia meski secara tersirat. Sekarang dia, Alvin
datang tiba-tiba dengan santai dan ketenangan seperti biasa.
Sivia
merasa sesak, beraneka ragam sesak. Semacam gejolak.
“Apa
Mr.Alvin ingin membicarakan tentang proyek?” Tanya Sivia ragu.
Alvin
terkekeh. “Apa aku boleh ke sini hanya untuk urusan proyek, dan tolong jangan
bicara seformal itu. Kau tidak lupa kita berteman?” Selanjutnya Alvin
mengisyaratkan agar Sivia ikut duduk di sofa tamu di sebelahnya. “Sivia,” Alvin
mengarahkan Sivia agar berhadapan dengannya. “Malam di pesta itu, aku di luar
kontrol...” Sivia menyadari suara Alvin melemah.
Tidak
ada percakapan lanjutan, mereka hening dalam tatap mata yang bersahutan.
Membaca, mencari, membongkar. Dan yang ditemukan hanya…rindu.
“Ehm,”
Sivia mengalihkan tatapannya. “Iya. Aku sudah duga.” Jawabnya lesu.
Sunyi
lagi, sampai Alvin memulai. “Well, Sivia. Aku memang men—maksudku, aku tertarik
padamu. Mungkin aku akan maju, kalau saja tidak ada tunanganmu.”
Suasana
canggung terasa lagi. Mereka sama-sama merasa kelu untuk sekedar berucap barang
sepatah kata. “Sudahlah. Sebenernya aku ke sini ingin menawarkan bantuan. Kita
masih berteman kan. Aku akan perkenalkan kau dengan kenalanku yang memiliki
wedding organizer terbaik. Kau bisa memintanya membuat pernikahanmu nanti
berkesan. Bagaimana?”
Ketika
Alvin menoleh untuk minta persetujuan, yang ditemukan adalah sepasang mata
bening Sivia yang berembun, serta tatapannya yang, entah… Hingga satu tetes air
dari matanya tak tertahan lagi.
“Hei,
kenapa menangis?” Alvin membujuk. “Ayolah Sivia. Pernikahan itu hal yang
menyenangkan, atau—“
“Tidak
jika kau akan menikah dengan orang yang tidak kau cintai.”
Mata
Alvin berkilat. Perasaannya was-was penuh antisipasi. Dan Alvin berusaha
menguasai diri. “Bukan waktunya untuk bercanda Sivia—“
“Papa
yang menginginkan pernikahan ini, Alvin..” Sivia menyanggah. “Mario kemenakan
Papa, otomatis sepupuku. Papa mengira bahwa aku akan sejahtera, bahagia kelak
nanti jika menikahi Mario, padahal—“ Suaranya tercekat. “Bukan ini.. bukan dia
yang aku suka, yang aku mau jadi pendampingku..” Mencegah isak tangisnya pecah,
Sivia menggigiti bibir bawahnya. “Tapi aku bisa apa Alvin. Papa yang memohon.
Papa yang membesarkan aku…Kau mengerti maksudku.”
“Sshh..”
Tugas Alvin menenangkan Sivia, dalam pelukannya. Sivia benar-benar tenang di
pelukan Alvin. Aroma tubuh Alvin, aftershave dan keringatnya berpadu menjadi
aroma yang menenangkan. Tidak perduli seberapa basah kemeja Alvin oleh air
matanya. Jujur saja, dengan berita ini, Alvin senang dan sedih di saat
bersamaan. “Beri tahu aku siapa yang kau inginkan jadi pendampingmu? Biar aku
yang bawakan orangnya ke sini.” Alvin berniat menghibur Sivia dengan
candaannya.
“Bodoh!”
Gumaman yang keras, Alvin mendengarnya.
“Hei.
Kenapa mengataiku?” Alvin memisahkan pelukannya. Menatap Sivia tidak terima
dikatai ‘bodoh’ tanpa sebab.
“Karena
kau masih bertanya yang jawabannya adalah dirimu sendiri.” Svia menghela nafas
dalam-dalam. “Aku mau kau—“
“Sivia...”
Dan Alvin sudah memeluknya lagi. Lebih erat. “Kenapa baru sekarang?”
“Apa
harus aku yang mengakui pertama?”
“Setidaknya
aku tidak dibuat menerka-nerka, dan ternyata kau sudah bertunangan. Akan
menikah akhir tahun.”
“Sekarang
aku harus bagaimana Alvin? Kita harus gimana?” Masih dalam posisi dipeluk dan
memeluk, Sivia mendongak untuk melihat ke mata Alvin, sayangnya pucuk kepalanya
membentur dagu Alvin membuat lelaki itu meringis.
“Bisa
tidak jangan bahas itu sekarang, aku cukup frustasi tidak bertemu seminggu
ini.” Alvin kembali mengetatkan pelukannya. “I love you.” Bisiknya sebelum
mengecup pucuk hidung Sivia.
Sivia
tersenyum kecil. Sejenak melupakan permasalahan besarnya. Seandainya bisa
selamanya seperti ini. Rasanya Ia ingin menangis, memikirkan kemungkinan kecil
untuk membatalkan pernikahan. Ia menghirup udara dalam-dalam merekam aroma
Alvin, lalu menghembuskannya dengan berat.
Dunia
tidak adil.
“Sivia!”
Dan
ketenangan Alvin Sivia diinterupsi seseorang yang sudah berdiri tenang di
tengah ruangan, dengan ekspresi tidak tertebak.
“M-mario…?”
>>>>><<<<<
“Papa
sudah dengar dari Mario. Dan Papa kecewa.” Datar, dan tajam begitu intonasi
yang ditekankan Ayah Sivia, pada putri semata wayangnya. Putri yang sama sekali
tidak pernah dianggap anak adopsi.
Sivia
meringis dalam batin. Sejujurnya Ia tidak tahan untuk tidak menitikkan sebulir
air mata saja. Tapi Ia tahu diri, Ia memiliki kesalahan dalam situasi ini.
Betapa sakitnya ketika orang yang menyayanginya dan disayanginya sepenuh hati,
mengatakan kekecewaan, bahkan tanpa memandangnya. Ayahnya berdiri di seberang
ruangan kerja, memunggunginya, menatap lukisan mendiang Mama. Sementara Sivia
duduk di sofa dengan hati kusut, meski di sebelahnya ada Alvin turut menemani.
Mereka berdua bagaikan menghadiri sidang dengan status tersangka. Bukan
bagaikan lagi, ini memang sidang.
“Kamu
dibesarkan untuk menjadi orang berkomitmen dengan keputusan yang kamu ambil,
bukan gegabah dan plin-plan.” Hati Sivia semakin teriris. Ya Tuhan, kenapa pula
Mario harus mengadu.
“Papa…”
Lirih serak suaranya. Pada akhirnya setetes air mata tak tertahan juga. Alvin
menggenggam tangannya menyalurkan ketenangan.
Di
seberang ruangan terdengar helaan nafas Ayahnya. “Mempertimbangkan sesuatu itu
penting, kamu lebih mahir dalam hal itu. Saat kamu setuju untuk menikah, itu
berarti pertimbangan kamu sudah matang. Papa cukup kecewa, kamu plin-plan
dengan keputusan kamu.”
“Aku
akan tetap menikah akhir tahun ini, jika itu yang Papa mau.” Sivia menyerah.
"Sivia?!”
Bahkan menghindari tatapan mata Alvin yang terheran-heran.
“Begitu?”
tanya Ayahnya skeptis. Demi melihat keseriusan pada putri nya, Sang Ayah
membalikkan badan juga. Berjalan mendekat dan ikut duduk di bagian sofa
terpisah. Namun tetap dengan ketegangan wajah yang tidak bisa ditawar. “Kalau
itu keputusan kamu, kamu bisa menjamin setelah kamu menikah, tidak akan
menjalin affair dengan Alvin, di belakang Mario?”
Sivia
menunduk dalam-dalam. Tidak terpikirkan untuk menjawab apa. Pertanyaan skeptis
Ayahnya telah menohok hati Sivia begitu telak sampai berbekas. Tidak tahukah
Papanya bahwa Ia mencintai Alvin, hanya ingin Alvin yang menjadi pendampingnya
kelak.
“Pak
Presdir, maaf sebelumnya. Mungkin maksud--“
"Dan
kamu Alvin. Di luar sana ada banyak wanita yang bisa kamu dekati, yang bisa
kamu rayu. Kalau hanya ingin bermain-main, coret nama putri saya dari daftar
incaran kamu.”
Dicerca
seperti itu, justru menyentakkan ego Alvin sebagai lelaki. Tidak tahukah pria
paruh baya ini bahwa Alvin bersungguh-sungguh pada putrinya.
“Saya
heran kenapa kamu mendekati putri saya, yang bahkan sudah bertunangan.” Ayah
Sivia bangkit berdiri, menyamankan posisinya dengan kedua tangan dalam saku
celana, lagi-lagi memunggungi Alvin dan Sivia yang tercengang.
Alvin
melepas genggamannya pada Sivia, dan ikut berdiri. Wajahnya mengeras, matanya
penuh emosi dan tekad. “Saya tidak akan melakukannya jika saya tidak mencintai
Sivia. Sivia tidak bercerita tentang pertunangannya sebelumnya. Kalaupun
sekarang saya sudah mengetahuinya, saya tidak berhenti, karena saya tahu Sivia
juga mencintai saya.”
Hening
yang tidak sebentar.
“Baiklah.”
Jeda sebentar sebelum Ayah Sivia melempar bom nya. “Dengar, suka atau tidak
kamu tetap menikah akhir tahun ini Sivia. Papa sudah siapkan semuanya jauh-jauh
hari. Semua yang baik untuk kamu. Dan yang terbaik pasti mahal. Kamu tahu kan
kalau Papa tidak suka kerugian. Jadi pernikahan tidak dibatalkan.” Ciri pelit
dari pria berumur ini mencuat juga.
Mendengar
itu, Sivia membelalakan matanya. Dan Alvin berdecak kesal.
Beginikah
akhir mereka?
“Dan
Alvin,” Mendengar namanya disebut, Alvin menoleh. Ayah Sivia balik badan
memandangnya terpusat. “Silahkan ajak orang tua kamu kemari jika ada waktu.”
Alvin
mengerutkan alis tidak paham.
“Jika
memang kamu ingin menikahi Sivia, lakukan dengan benar. Lakukan prosesi lamaran
seperti pada umumnya, sebelum membawa Sivia ke altar.”
Alvin
dan Sivia saling pandang. Sedikit tidaknya mereka menangkap sesuatu di sini,
sebuah perestuan kah?
“M-maksud
Papa …?”
“Memangnya
apa yang bisa Papa lakukan, kalau ternyata kamu juga menyukai Alvin. Menikah
dengan dia akhir tahun ini, Sivia.”
Sivia
yang hanya duduk lesu dari awal, mendekati Ayahnya dan memeluk seerat yang Ia
bisa. Tertawa di sela tangis harunya.
“Papa,
terimakasih. Dan Sivia minta maaf…”
“Hm.
Tapi Papa memang merasa kecewa, Sivia. Anggap ini pelajaran untuk kamu nanti.
Jangan gegabah mengambil keputusan.”
“Memangnya
aku bisa menolak kalau Papa memohon seperti itu.”
“Jika
kamu selalu melibatkan perasaan dalam bertindak, kamu sendiri tidak menemui
kebahagiaan.” Sivia mendapat kecupan di puncak kepalanya dari Sang Ayah.
“Lagipula Papa tidak tahu, ternyata putri Papa ini bisa jatuh cinta juga dengan
lelaki seperti dia. Apa yang Alvin lakukan sampai kamu jatuh juga?” Ayah Sivia
bertutur santai seolah yang dibicarakannya tidak ada di sana. Malahan Alvin
berdiri dengan gemas dikatakan seperti itu.
Sebenarnya
restunya tulus atau tidak?! Alvin menggerutu.
“Papa!”
Sivia memperingatkan. Diliriknya Alvin yang masih berdiri kesal, tapi juga
terpancar kelegaan.
Sivia
melepas pelukannya, ada yang ingin ditanyakan. "Bagaimana dengan
Mario?"
"Dia
patah hati tentu saja. Dia juga bersungguh menyukaimu. Tapi Mario berbesar
hati."
"Semoga
dia bisa menemukan yang lebih baik dari aku ya, Pa." Ucap Sivia tulus.
“Iya..
Sudah sana, dia menunggumu.” Ayah Sivia menggidikan dagunya ke Alvin. “Alvin,
jaga permata saya.”
“Nothing
is above her.” Sahut Alvin. Bersamaan ketika Sivia menuju ke arahnya. Alvin
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk langsung membawa Sivia di
dekapannya. “Are you happy?”
“As
long as with you.”
Mata
Sivia yang tadi berair, kini berbinar. Alvin tidak tahan jika tidak
mengecupnya. Keningnya. Matanya. Pipinya. Hidungnya. Dan yang terakhir untuk
yang teristimewa. Alvin menyeringai. Bibirnya.
Sivia
terbelalak. Ini ciuman pertama mereka!
Setelah
selesai, dilihatnya wajah Sivia yang memerah masih dengan kekagetannya. Alvin
tersenyum geli. Oh! Dan jangan lupakan masih ada satu orang lagi di antara
mereka.
“Astaga.
Kalian bisa cari tempat, jangan lupa masih ada Papa di sini.” Alhasil Sivia salah
tingkah. Sementara Alvin santai dengan tampang tidak berdosa. Hitung-hitung
pembalasan atas perkataan Ayah Sivia tadi.
“Usul
yang bagus. Sivia, ayo pergi dari sini. Permisi Pak Presdir.”
“Alvin!”
Bentak Sivia. Tapi Ia tidak berontak ketika tangannya ditarik paksa oleh Alvin.
*(-_-)*
Mereka
sedang menuruni tangga melingkar rumah Sivia, setelah keluar dari ruangan kerja
milik Ayahnya di lantai dua. “Alvin, jangan heran jika nanti Papa berubah
pikiran dan tidak merestui kita.”
Alvin
menghentikan langkahnya. “Tidak mungkin. Papa mu ingin kau bahagia. Dan
kebahagiaanmu hanya ada di Alvin.”
Sivia
memutar bola matanya. “Overconfident, Mr.Alvin?!”
Alvin
tertawa. Kenapa wanita dewi di hadapannya ini, yang biasanya anggun bisa
menjadi semenggemaskan begini. Ia punya rencana lain daripada meladeni Sivia
membahas kepercayaandirinya.
“Mungkin
kita bisa jadi trend-setter”
“Apanya?”
Tanya Sivia tidak mengerti.
“Melanjutkan
yang tertunda, di tangga?”
“Alvin!
Jangan lagi…”
Sivia
menahan Alvin agar tidak mendekat. Sekali tadi saja sudah membuat Sivia
kehilangan detak jantungnya sebentar.
Tapi,
seperti Alvin perduli saja.
- END -
- END -
Gak pernah bosen baca nya diulang2 (y) ayoookkk kak lusi terus berkarya:D kak ika posttt lagi yg banyak ff nya wkwkwk
BalasHapushuaaaa keren keren kerennnn pake banget banget bangettt :D
BalasHapusbacanya disini berasa bgt ya, pas ada bg foto alvia
BalasHapus