Jumat, 28 Juni 2013

Mr. Alvin’s


Title : Love & Be Loved
Genre : Romance
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others


Saat ini Ia sedang mengikuti rapat final yang informal namun sangat penting di restaurant berkelas bersama para karyawan andalannya. Tapi mengingat sifatnya yang bossy dan menuntut kesempurnaan, karyawan andalan sekalipun tetap memiliki kesalahan.

"Apa ini?! Saya sudah peringatkan sebelumnya biaya yang kita perlukan tidak sedikit. Anggarannya jauh dari target. Revisi lagi!" Protesnya. Karyawan laki-laki tersebut tak bisa berkutik.

"Jangan bercanda! Kita akan membangun department store, bukan kuburan. Kenapa mencari lokasi di plosok." Ia kembali protes ketika karyawan lain memperlihatkan calon lokasi proyek mereka pada tablet. "Cari tempat kosong di pusat kota. Segera!" Perintahnya kali ini pada karyawan perempuan.

"M-maaf Mr. Alvin, tempat yang tersisa di pusat kota adalah jalur hijau, jadi--"

"Terserah! Saya tidak mau tahu. Cari tempat di kota!" Sanggahnya tidak sabaran.

"Tapi Mr. Alvin," karyawan lain mencoba membela rekannya. "Semua berkas sudah rampung, bahkan rekan bisnis kita sudah menyetujui, sudah ditanda tangan."

"Jangan lupa, perusahaan saya pemegang saham tertinggi di bisnis ini." Elaknya dengan tenang, tak terbantahkan.

Kemudian hening. Mr.Alvin sendiri menenangkan dirinya dengan menegak jus yang belum tersentuh sama sekali.

"Ikuti perintah saya, jika mau berhasil. Biar saya yang menghadapi rekan bisnis kita itu." Lanjutnya memecah sunyi. Alvin tahu rekan bisnis yang mereka maksud adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang publikasi, pemiliknya adalah Laki-laki pelit yang seharusnya sudah pensiun -begitu menurutnya- karena sudah berumur. "Atur jadwal pertemuan dengan owner pelit itu, kalau perlu perwakilannya saja" Ucapnya pada si sekretaris.

"B-baik Mr.Alvin, tapi..."
"Apalagi?"
"K-kalau Mr. mau, Mr.Alvin bisa menemuinya sekarang."
"Aku tidak mau."

"Tapi aku mau sekarang."

Alvin menoleh kaget mendengar itu. Suara seorang wanita. Memang seorang wanita yang berdiri tak jauh darinya. Dengan gaun hitam yang anggun, rambut jatuh... Tangannya berayun saat berjalan. Dia mendekat dengan percaya diri. Semakin jelas terlihat pahatan wajahnya yang indah, senyum yang membius. Ketika wanita itu duduk di sebelahnya dengan anggun, wanginya menyeruak. Oh dewi. Tipikal wanita anggun yang tenang dan cerdas luar biasa.

"Good evening Mr.Alvin. Saya Sivia. Untuk sementara saya yang menggantikan owner pelit itu memimpin perusahaan kami. Karena Papa saya itu sedang tidak sehat." Sivia tersenyum mematikan.

Alvin susah menelan ludahnya. Papa?

"Saya dengar Mr.Alvin tidak setuju dengan semua berkas yang sudah rampung." Ucapnya anggun. "Sayang sekali, padahal itu sudah jauh dari ekspektasi saya, karyawan anda luar biasa." Para karyawan Alvin tersenyum bangga dipuji wanita bersahaja seperti Miss Sivia. "Masalah anggaran, belajarlah menekan anggaran selagi bisa."

"Dasar pelit. Persis ayahnya". Cibir Alvin, hanya dalam hati Ia berani.

"Untuk lokasi proyek, jangan melebihkan, itu bukan di plosok, masih pinggiran kota. Berpikirlah ke depan, proyek ini mungkin akan menjadi pelopor pembangunan proyek lain di sana." Sivia tersenyum kembali. "Bisnis itu sama dengan manusia yang baru lahir tidak langsung dewasa. Bisnis juga butuh waktu untuk proses penyuksesan. Oh maaf, saya bicara panjang lebar. Jadi bagaimana? Masih tetap pada pendirian untuk merevisi semuanya?"

Semua menanti keputusan Alvin yang diam mematung menatap Sivia di hadapannya. Bagaimana tidak mematung, Ia jarang bisa dibantah. Sementara sekarang, keluar satu kata pun tidak bisa di hadapan wanita ini.

"Biasanya saya tidak suka dibantah." Gumamnya. Lalu mengambil bolpoin dan menandatangani berkas yang telah rampung. Suasana kelegaan antara karyawan sungguh terasa di sana.

Sivia berdiri untuk berpamitan, Alvin mengikutinya.

"Saya harus pulang, owner pelit, oops..maksud saya, Papa saya tidak bisa ditinggal terlalu lama oleh putrinya." Sivia mengedipkan sebelah matanya menjahili Alvin yang bermuka merah karena perkataannya.

"Terimakasih karena sudah membuat saya merubah keputusan lagi."

"Pertimbangan itu perlu. Membidik sasaran haruslah tepat." Miss Sivia tersenyum simpul dan menelengkan kepalanya menatap mata Mr.Alvin intens. Kemudian melihat arlojinya. "Saya rasa meeting kalian cukup sampai di sini dulu. Karyawan anda sudah lelah, anda juga pasti lelah kan." Dengan gerakan tidak diduga Miss Sivia merapikan kerah kemeja hitam Mr. Alvin yang sedikit berantakan. "Selamat malam." Pamitnya melambaikan tangan pada karyawan Alvin. Meninggalkan mereka.

Meninggalkan Alvin yang terbujur kaku.

"Whoaaa Miss Sivia cantik nyaaaaaa. Aku betah bekerja kalau boss nya seperti dia." Celetuk salah seorang karyawan laki-laki Alvin. Menyentakkan Alvin dari keterpakuannya pada sosok yang baru pergi.

"Tidak ingin dipecat kan? Jangan macam-macam kalau begitu!"

Miss Sivia. He will keep in the mind.


>>>>><<<<<


Alvin kecanduan. Miss Sivia adalah candu baginya. Berhasrat ingin bertemu lagi dan lagi, setelah pertemuan awal di meeting tempo hari. Mr.Alvin akhirnya dapat mencuri waktu di setumpuk kesibukannya atas proyek barunya, demi memenuhi rasa candunya.

Kantor perusahaan yang dipimpin Sivia memang tidak semegah kantornya, tetapi segala furniture serba cozy dan canggih. Sayang Alvin kurang beruntung, karena yang ditemuinya bukan pesona Miss Sivia. Justru pria paruh baya. Ayah Sivia! “Hm. Alvin. Tumben bisa mampir. Silahkan duduk.” Ia sangat malas bertemu pria ini, membosankan menurutnya, tapi kepalang tanggung jika pergi. “Sebentar, saya pesankan minum.”

Sementara Ayah Sivia menghubungi OB , Alvin memperhatikan sekeliling ruangan. Yang menarik perhatiannya adalah frame berukuran besar di salah satu dinding. Foto Sivia dan Ayahnya tampak akrab. Seperti sulit dipisahkan. Tiba-tiba Ia resah. “Saya kira pasti ada keperluan penting, jika tidak, tidak mungkin anda menyempatkan kesini hanya untuk bertemu si owner pelit, bukan begitu?” Papa Sivia tersenyum miring. Nah ini!

Sivia! Ia menggeram. Gadis itu tukang adu juga. Jika tau owner pelit ini tidak memiliki puteri dengan pesona dewi, Ia akan lebih berhati-hati berbicara.
“Oh. Sebenarnya saya hanya ingin mengucapkan terimakasih pada puteri anda, Miss Sivia. Karena sudah membantu saya mengambil keputusan.”

Papa Sivia memandang Alvin tajam. “Hanya itu? Nanti saya sampaikan. Ada lagi?”

Tuhan! Pria ini! Alvin meggerutu dalam hati. “Itu saja. Boleh saya tau di mana Sivia? Dia tidak memimpin perusahaan lagi?”

“Itu untuk sementara, saya sedang tidak sehat saat itu. Dia punya kesibukan lain di butiknya.”

Alvin menyerah. “Kalau begitu, saya pamit sekarang.” Ia sudah berdiri untuk pamit ketika ada yang masuk ke ruangan.

“Papaa…” Itu dia! Alvin menoleh dan ada Sivia yang sama seperti di awal, anggun dengan kemeja biru mudanya dan rok putih bermotif bunga biru. Rambut halusnya bergoyang ketika mendekat. Padu padan yang catchy. “Oh, rupanya ada tamu.” Sivia mencium pipi sang Ayah.

“Iya. Alvin memberi laporan tentang proyek.” Sahut Ayah Sivia berbohong, membuat Alvin melotot. Kenapa Papa Sivia terkesan mengumbar aura permusuhan!

“Oh begitu. Seharusnya tidak perlu repot sampai datang kemari Mr.Alvin.” Alvin melengos. Laporan proyek? Bahkan seharusnya perusahaan Alvin tidak perlu melakukan itu, karena perusahaannya pemegang saham tertinggi. “Apa Mr.Alvin sedang buru-buru? Saya ingin lunch dengan Papa, kalau mau Mr.Alvin bisa bergabung.”

Tentu saja mau –tapi jika tanpa owner pelit itu-.
“Maaf, tapi saya harus balik ke kantor.” Sahut Alvin rela tidak rela.

“Papa juga tidak bisa Sivia. Ada jadwal medical check up siang ini. Bahkan sudah ditunggu supir di lobi.” Ayah Sivia mengcup kening puterinya. “Maaf ya. Mungkin nanti malam.” Lalu dia pamit. “Saya harus pergi Alvin. Lain kali kalau tidak terlalu penting, tidak perlu ke sini.”

Lagi-lagi Alvin menggerutu.

“Papa memang begitu. Baginya waktu sangat berharga. Tapi dia baik.” Sivia terkekeh.

Alvin menaikkan sebelah alisnya. Kemudian tersenyum tipis. “Tidak apa kalau balasannya seperti ini. Kita bertemu lagi” Suaranya berubah dalam. “Jadi makan siang?” Ia mendekat.

“Tapi tadi anda bilang harus ke kantor.”

“Tidak setelah Papa anda tidak jadi ikut.”

Sivia. Tiba-tiba Ia merasa gugup berada satu ruangan hanya berdua dengan Mr.Alvin. Apalagi lelaki ini berusaha mempersempit jarak di antara mereka. Dan…merengkuh pinggangnya!

“A-alvin.” Sivia gugup. Alvin merasa puas. Sivia memanggilnya tanpa embel-embel ‘Mr’. Sekarang keadaan berbalik. Wanita ini terintimidasi olehnya. Padahal di pertemuan awal Alvinlah yang bertekuk lutut dengan segala pesonanya.

“Makan siang?” Lebih terdengar seperti bisikan tak terbantah.

“Baiklah. Tapi, lepas dulu.”

“Apanya?”

“Tanganmu. Kau memeluk pinggangku!”

“Aku? Memelukmu?” Alvin semakin puas melihat rona di wajah Sivia.

“Mr.Alvin. Jangan bercanda! Lepaskan saya” Alvin menyerah.

Sivia kembali ke sikap formalnya, itu berarti Ia serius. “Kita makan di resto dekat sini saja.” Kata Sivia jutek, menenggelamkan kegugupannya. Sial! Sivia tidak akan terintimidasi jika saja Alvin tidak datang dengan penampilan fresh nya yang arogan. Tidak seperti awal bertemu, lelaki itu bertampang kusut dan lelah karena rencana proyeknya.

Alvin tidak keberatan dengan ide Sivia. “Oke.” Lalu Ia kembali menjulurkan sebelah tangannya merengkuh pinggang Sivia untuk berjalan bersama. Tapi tidak berhasil karena Sivia memelototinya. Dan keluar ruangan terlebih dahulu.

Bahaya! Ia yakin akan semakin kecanduan setelah ini!


>>>>><<<<<
 

Semenjak makan siang pertama mereka tempo hari, kedua orang karir ini jadi sering bertemu. Sekalian membahas hal-hal perlu untuk proyek mereka yang telah berjalan 4 bulan. Itu artinya selama itu pula Alvin dan Sivia telah berteman. Merasa cocok satu sama lain untuk mengistilahkan hubungan mereka berdua sebagai teman. Setidaknya begitu.

Kini Sivia kembali memegang kendali atas perusahaan Ayahnya, seutuhnya. Karena keadaan Ayahnya yang butuh istirahat maksimal. Sivia sendiri yang meminta, tanpa keberatan.

“Bagaimana kondisi Papa mu? Sudah membaik?”
“Sudah.” Sahut Sivia setelah menelan makanannya.
“’Sebenarnya Papa mu sakit apa?” Alvin penasaran.
“Lemah jantung.”

Alvin menyudahi makannya, menatap lurus Sivia. Ia tidak bosan melihat lalu mendeskripsi wujud dewi dengan kandungan candu, seperti Sivia. Gadis dewasa di hadapannya memakai blazer wanita berwarna putih gading, rok cokelat polos dengan sedikit motif batik melingkar di bagian bawahnya. Dan berhubung mereka tidak dalam lingkungan kantor, Sivia melepas blazernya dan menampakkan t-shirt hitam polos. Kulit tangannya mulus, dengan jam tangan kecil melingkar di pergelangannya. Jemarinya yang cantik sedang menggenggam minuman. Dewi, bukan?

“Kau sangat menyayangi Papa mu, ya?” Alvin melihat senyum kembali terkembang di wajah Sivia.
“Sangat.” Berhenti sejenak. “Meskipun beliau bukan ayah kandungku.”

Apalagi ini?!

“Maksudmu?” Alvin bertanya kaget bercampur antusias.

“Iya. Papa bukan ayah kandung ku.” Sivia tetap tersenyum. “Aku bukan anak yang diinginkan, begitu aku mengenal dunia dan lingkungan, aku sudah ada di panti asuhan.” Kejutan baru. Alvin menyimak dengan baik. “Sampai kemudian ketika aku umur, kalau tidak salah 8 tahun, Papa dan mendiang Mama datang mengadopsiku.” Sivia melanjutkan karena Alvin hanya diam. “Papa dan Mama sulit mendapat keturunan, maka itu dia mengadopsiku. Tidak lama, Mama akhirnya mengandung. Kami sekeluarga senang, sampai pada akhirnya Mama pendarahan dan..tidak selamat.” Suara Sivia tercekat diujung kalimatnya, tapi mencoba tersenyum juga.

“Papa sangat terpukul, aku tahu. Semenjak itu dia memusatkan perhatian untukku, karena hanya aku yang dimiliki. Begitu sebaliknya, aku sangat menyayangi Papa. Tidak heran kalau kami dekat.” Sivia tertawa kecil.

“Pantas saja.” Alvin mencibir, membuat Sivia tertawa lagi.

Dandelion. Begitu saja Alvin mengumpamakan Sivia kali ini. Jenis tumbuhan unik, indah, kuat, dengan tangkai kecil, dan bulu halus yang ringan mudah terbawa angin, lalu bisa tumbuh di mana saja membuat kehidupan baru. Seperti Sivia yang tampak bahagia dengan hidupnya sekarang, meski mengatahui dia tidak diinginkan terlahir.

“Aku sangat menyayangi Papa, Alvin. Aku..apapun yang dimintanya pasti aku turuti.” Berbeda dengan tadi, mata Sivia berubah muram saat menyatakan kesanggupannya. Ada apalagi?

Argh! 4 bulan mengenal Sivia, tidak cukup membawa Alvin dalam arti ‘kenal’ yang sesungguhnya. “Ya. Memang seharusnya begitu. Tuan putri menuruti perintah Raja nya.” Alvin bermaksud bergurau, hamun Sivia hanya tersenyum..kecut?

“Alvin! Hei! Kau Alvin Jonathan bukan? Astaga benar!” Tiba-tiba saja seorang perempuan menepuk pundak Alvin.

“Zevana?”

“Iya aku. Apa kabarmu?” Tanyanya melakukan cium sapaan di pipi. “Terlihat baik-baik saja sepertinya. Ya ampun! Kau makin tampan, tau begini aku tidak lari darimu, Alvin.”

Bawel! Alvin menggerutu kesal. Tambah kesal karena melihat Sivia malah tampak tidak perduli.

“Oh, Alvin. Apa ini kekasihmu?” Merasa disinggung, Sivia menghiraukan mereka juga.

“Bukan. Aku teman bisnis nya. Perkenalkan, Sivia.” Sivia mengulurkan tangan sopan, dan keduanya berkenalan.

“Zevana. Aku kira kau kekasih Alvin. Mengingat jaman sekolah dia sungguh player. Dan entah beruntung atau sial, aku salah satu mantannya. Tapi aku tidak menyesal. Ya kau lihat kan, Alvin sangat tampan dan berkelas.” Si Zevana tertawa renyah, berniat mengambil tempat duduk di sebelah Alvin, sebelum ponselnya berdering. Dengan tidak rela perempuan itu harus berpamitan setelah sambungan berakhir. “Alvin, aku harus pergi. Jujur aku ingin bernostalgia tentang kita. Mungkin lain waktu… Dan Sivia, aku pamit ya.”

Setelah ‘penyela kebersamaan’ itu pergi. Sivia juga memutuskan menyudahi acara makan siang. “Player, uh?”. Sindirnya sambil terkikik. “Sebaiknya kita kembali ke kantor.” Lalu Ia bangkit berdiri.

“Dia berlebihan. Aku tidak separah kata player itu sendiri.” Alvin membela diri.

“Ya ampun Alvin. Jangan sungkan. Seperti aku perduli saja. Itu urusanmu dan dia di masa kebersamaan kalian.” Dan Sivia mendahului Alvin keluar resto.

Alvin, dia sendiri tidak mengerti. Tapi Ia tidak suka mendengar gagasan ‘Sivia tidak perduli’ , karena itu menyentil ego lelakinya.

Maka, ketika dilihatnya Sivia sudah membuka pintu mobilnya. Sekejap mata Ia menjangkau dan membanting pintu mobil agar tertutup hingga menimbulkan bunyi blam yang tidak terkontrol. Mengagetkan Sivia tentunya.

“Pergi begitu saja? Jealous?”

“Spekulasi sepihak, Mr.Alvin?” Tetap saja debar jantungnya tidak bisa dibohongi.

“Jangan percayakan tentang aku yang player, kalau begitu.”

“Sudah aku bilang, aku tidak perduli.” Sahut Sivia santai, sedikit senyum. “Aku mengenal kau yang sekarang sebagai Mr.Alvin, raja bisnis, teman, bukan player.” Sivia melanjutkan. Selangkah mendekati Alvin, menytntuhkan jemarinya di kerah kemeja Alvin. “Jadi, boleh aku masuk ke mobil dan pulang?”

Alvin tidak bisa melarang, karena kesadarannya hilang. Kembali lagi setelah bunyi mesin mobil Sivia menjauh.

Hei! Ia berjanji akan menjebak gadis Dandelion itu dalam pernikahan! Harus!


>>>>><<<<<
 

Alvin menghadiri pesta pernikahan anak rekan bisnisnya. Acara telah berlangsung selama satu jam lebih. Tandanya selama itu pula Ia tidak berhenti mengagumi sosok gadis yang selama ini memenuhi pikirannya. Sivia yang juga menghadiri acara tersebut, berdiri di sana dengan cantiknya. Dress abu abu dengan bagian depan tidak mencapai lutut namun bagian belakangnya memanjang -seperti pinguin- menyempurnakan penampilannya. Jangan lupakan stileto hitamnya meski tidak terlalu berlebihan tingginya, tetap saja mempercantik sepasang kaki milknya. Ujung rambut lembutnya dibuat seperti tentakel. Kesemuanya, memecah konsentrasi Alvin yang sedang terlibat obrolan dengan undangan lainnya sesama businessman.

Apalagi dilihatnya Sivia mengobrol santai, berbaur dengan para undangan, juga sesekali tertawa. Alvin suka dengan tawa yang merdu nan anggun itu. Ketika Ia masih dalam keterpesonaannya, rupanya Sivia mendadak menoleh dan pandangan mereka bersibobrok. Sivia memberikan senyum, seraya menaikkan gelas kacanya mengajak Alvin bersulang jarak jauh.

Bersulang jarak jauh? Itu ide buruk. Alvin bergegas permisi lalu mendekati Sivia. “Bersulang akan lebih baik sampai ada bunyi denting gelas kaca.” Bisiknya pada Sivia. “Dan hanya berdua…” Alvin menggiring Sivia menjauh dari kerumunan pesta.

“Lalu kita bersulang untuk apa?” Tanya Sivia heran. “Pernikahan Steve dan Agatha agar awet, begitu?”

“Boleh. Tapi aku punya ide lebih baik. Bersulang untuk kita saja, proyek dan bisnis yang kita tangani bersama.”

“Ah iya. Semoga proyek dan bisnis yang kita tangani bersama berjalan lancar.” Mereka benar-benar bersulang, hanya berdua, untuk berdua.

“Tentu saja lancar. Kau tidak lupa siapa pemimpinnya kan?”

“Berhenti menjadi arogan, Alvin.”

“Tidak ada alasan untuk berhenti. Dengan arogan sekalipun aku tetap bisa mendapatkan apa yang aku mau. No exception.”

“Teori dari mana itu. Tidak semua bisa kau dapatkan.”

“Kata siapa? Bahkan saat ini aku berencana mendapatkan sesuatu, seseorang tepatnya.” Alvin tersenyum penuh arti.

“Oh ya? Semoga beruntung kalau begitu.” Sivia menyemangati. Tak urung hatinya merasa was-was juga.

Setelah tema arogan berujung, keduanya bungkam. Menikmati sisa minuman mereka dalam gelas, sambil memandangi kerumunan pesta. Semua undangan hadir bersama pasangan. Begitupun Sivia, pasangannya adalah Ayahnya sendiri yang turut hadir, hanya saja beliau memilih duduk di ruang jamuan makan malam. Daripada berdiri di ballroom yang kini beralih fungsi menjadi lantai dansa.

“Aku bersedia menjadi teman dansa mu kalau kau ingin berdansa.” Tawar Alvin masih antusias mengamati pasangan-pasangan yang berdansa.

“Aku tidak ingin.”

“Tapi matamu mendamba pasangan-pasangan di sana yang sedang berdansa.” Tanpa menunggu, Alvin meletakkan gelasnya dan gelas Sivia di meja terdekat lalu merengkuh Sivia dalam posisi dansa yang nyaman.

“Kau pemaksa.” Tutur Sivia dengan pipi bersemu.

Alvin tidak menanggapi. “Kau biasa tampil begini kalau ke pesta?”

“Iya. Ini style ku.”
Alvin nampak menimbang akan menyahut apa. Sementara tubuh mereka tetap mengkuti alunan piano instrument How Deep Is Your Love.

“Terlalu cantik, Sivia.”

“Apa?”

“Terlalu cantik. Kau sudah mendengarnya. Kalau kau milikku, aku akan memberi label di dahimu. Banyak mata lelaki yang memburumu, kau tahu.”

Sivia tertawa. “Sayang ya, aku bukan milikmu. Jadi label itu tidak perlu.”

“Begitu ya?” Pandangan Alvin pada Sivia tak terbaca mudah. Menyebabkan Sivia resah sendiri di dalam sana. Merasa ngilu dan…memilih memalingkan wajahnya.

“Sivia..” Saat kembali menoleh, wajah Alvin terlalu dekat. Sivia tidak bodoh untuk mengetahui bahwa Alvin akan menciumnya.

“A-alvin,” Segera Sivia menahan Alvin dengan tangannya. “Ada Papa menuju ke sini.”

“Maaf menginterupsi kegiatan kalian sebentar.” Ujar Ayah Sivia.

Alvin dan Sivia serta merta memisahkan jarak mereka. Dan Alvin mencoba tersenyum, seolah bersikap mengasikkan di hadapan Ayah Sivia. Ia harus melakukannya jika ingin mendapatkan seseorang seperti dikatakannya. Karena orang itu…Sivia.

“Sivia, Papa baru dikabarkan, Mario sudah mendarat di Indonesia. Dan dia sedang menyusul kemari.” Sivia mengangguk mengerti. “Hm. Bersikaplah sewajarnya.”
Sambung Ayahnya dalam bisikan pada Sivia bersamaan melirik Alvin.

“Iya, Pa.” Sivia mengerti maksudnya. Lalu Ayah Sivia pergi darisana.

“Siapa Mario, Sivia?” Alvin baru bisa menyuarakan rasa penasarannya.

Sivia memandang Alvin, kemudian tersenyum kecil. “Oh, ya ampun. Sepertinya aku lupa cerita ya, Alvin.”

“Siapa Mario?” Ulang Alvin tidak sabaran.

“Mario tunanganku, calon suamiku. Kalau tidak ada halangan kita akan menikah akhir tahun ini.” Tutur Sivia dengan lugas, tersenyum lagi.

“Kau bilang apa? Calon suami?” Alvin berdecak. “Jangan bercanda!” Tiba-tiba emosi. “Kau baru menceritakannya?” Lebih terdengar seperti tudingan kesal.

“Memang kenapa? Tenang saja, kau yang pertama akan mendapat undangannya. Karena kau temanku.” Sivia bertutur dalam nada bercandanya, seolah tidak menyadari perubahan suasana hati Alvin. Berusaha tidak perduli mungkin…

“Jangan pernah kirim surat undangan itu!” Bentak Alvin. Sivia mundur selangkah. “Kenapa baru menceritakannya?! Kau tahu, aku berencana mendapatkanmu, kau orang yang kumaksud! Sivia kau…argh” Suaranya hilang tertelan, kemudian Alvin berbalik untuk pergi.

Sivia masih melihat punggung Alvin menjauh dalam ketergesaan. Menghilang di balik kerumunan. Hal yang diresahkannya terjadi juga… Seharusnya saat telah mengambil keputusan, Ia tidak boleh bermain-main.

“Alvin…” Terpaksa maskaranya luntur, oleh sebulir air dari matanya.
“Hei dear. Kenapa menangis? Merindukanku?”
“Mario?...”
“Iya aku. Kau merindukan ku sampai menangis begini? Seperti abg saja.” Mario memeluknya. Sivia tidak mungkin menolak ‘tunangannya’ kan.
Jadilah, Alvin yang ternyata belum benar-benar pergi menyaksikan itu.

Ternyata ucapan Sivia benar. ‘Tidak semua bisa kau dapatkan’ Ia…Alvin Jonathan tidak bisa mendapatkan seorang Sivia. Itu pengecualiannya.
“Sial!”


>>>>><<<<<
 

“Mendiang Mama ingin Papa menjaga kamu.”
“Papa belum pernah minta sesuatu dari kamu, Papa hanya minta satu hal saja.”
“Papa mohon, menikahlah dengan Mario, Sivia.”
“Benar katamu, Mario memang masih berhubungan saudara dengan kita, tapi Mario tidak punya hubungan darah denganmu.”
“Hanya ini cara terbaik bagi Papa, kesejahteraan dan jaminan hidup baik kamu, Papa yakin ini jalannya. Menikahlah dengan Mario, dia pria baik berpendidikan. Papa bisa menjaga kamu melalui dia.”

Sivia mengurut pelipisnya pelan. Sekelebat penuturan Ayah angkatnya beberapa bulan lalu teringat kembali. Tentu saja Sivia tidak bisa berkata tidak saat itu. Bagaimana perasaanmu ketika Sang Ayah memohon padamu? Apalagi saat itu Ia memang ‘menaruh perhatian’ pada Mario. Sepupunya yang acap kali ditemui jika ada acara keluarga.

Memang benar Mario pria baik, berpendidikan, jenius. Mario sudah melahirkan beberapa software baru, dan digandeng perusahaan Negara-negara lain, tidak heran jika Mario jarang di Indonesia. Tapi kali ini Mario akan berlama di Indonesia, selain waktu pernikahannya dengan Mario yang dekat, Mario memutuskan akan mengenal Sivia lebih dalam sebagai calon istrinya.

Semua akan menjadi lebih mudah, andai saja Sivia tidak menggantikan posisi Ayahnya di perusahaan. Menyebabkan pertemuannya dengan seorang raja bisnis yang tampan di restaurant tempo hari. Berlanjut pertemuan-pertemuan sengaja ataupun tidak. Berbuah pada hubungan pertemanan yang manis. Lalu…

Lalu ada suatu saat di mana Ia merasa lepas bercerita tentang hidup sebenarnya pada Alvin. Saat di mana Ia ingin berteriak pada gadis-gadis jangan memperhatikan Alvin jika mereka sedang bersama, seolah dia miliknya. Saat di mana secuil rasa kesal muncul karena hadirnya mantan kekasih Alvin yang menyebalkan. Saat di mana merasa lumpuh oleh sentuhannya dalam posisi berdansa. Saat Ia merasakan resah… Berhari-hari semenjak pesta Ia tidak bertemu Alvin lagi.

Ya Tuhan. Ternyata setelah ditelaah, ini murni jatuh cinta.

“Miss Sivia,” Sivia menoleh pada setengah badan sekretarisnya yang muncul di balik pintu. “Ada tamu.” Tuturnya dengan wajah merona.

“Persilahkan dia masuk.” Sahutnya lesu. Sivia sedang malas menerima tamu.

Bunyi hentakan sepatu maskulin yang mahal memenuhi ruangannya. Sivia terperanjat, heran, sekaligus senang melihat tamunya.

“Al—Mr.Alvin?” Pantas saja sekretarisnya tadi bertingkah layaknya remaja.

“Long time no see.” Sahut Alvin santai disertai senyumnya. “Aku ingat kau suka cokelat, jadi ya hanya terpikirkan membawa ini. Aku letakkan di sini ya.” Alvin meletakkan parsel sedang dengan ragam cokelat di atas meja tamu. “Boleh aku duduk.”

Sivia mengangguk kikuk. Situasi macam apa ini. Terakhir kali bertemu Alvin, lelaki itu luar biasa murka dan kecewa karena status bertunangan Sivia. Sampai melontarkan perasaannya pada Sivia meski secara tersirat. Sekarang dia, Alvin datang tiba-tiba dengan santai dan ketenangan seperti biasa.

Sivia merasa sesak, beraneka ragam sesak. Semacam gejolak.

“Apa Mr.Alvin ingin membicarakan tentang proyek?” Tanya Sivia ragu.

Alvin terkekeh. “Apa aku boleh ke sini hanya untuk urusan proyek, dan tolong jangan bicara seformal itu. Kau tidak lupa kita berteman?” Selanjutnya Alvin mengisyaratkan agar Sivia ikut duduk di sofa tamu di sebelahnya. “Sivia,” Alvin mengarahkan Sivia agar berhadapan dengannya. “Malam di pesta itu, aku di luar kontrol...” Sivia menyadari suara Alvin melemah.

Tidak ada percakapan lanjutan, mereka hening dalam tatap mata yang bersahutan. Membaca, mencari, membongkar. Dan yang ditemukan hanya…rindu.

“Ehm,” Sivia mengalihkan tatapannya. “Iya. Aku sudah duga.” Jawabnya lesu.

Sunyi lagi, sampai Alvin memulai. “Well, Sivia. Aku memang men—maksudku, aku tertarik padamu. Mungkin aku akan maju, kalau saja tidak ada tunanganmu.”

Suasana canggung terasa lagi. Mereka sama-sama merasa kelu untuk sekedar berucap barang sepatah kata. “Sudahlah. Sebenernya aku ke sini ingin menawarkan bantuan. Kita masih berteman kan. Aku akan perkenalkan kau dengan kenalanku yang memiliki wedding organizer terbaik. Kau bisa memintanya membuat pernikahanmu nanti berkesan. Bagaimana?”

Ketika Alvin menoleh untuk minta persetujuan, yang ditemukan adalah sepasang mata bening Sivia yang berembun, serta tatapannya yang, entah… Hingga satu tetes air dari matanya tak tertahan lagi.

“Hei, kenapa menangis?” Alvin membujuk. “Ayolah Sivia. Pernikahan itu hal yang menyenangkan, atau—“

“Tidak jika kau akan menikah dengan orang yang tidak kau cintai.”

Mata Alvin berkilat. Perasaannya was-was penuh antisipasi. Dan Alvin berusaha menguasai diri. “Bukan waktunya untuk bercanda Sivia—“

“Papa yang menginginkan pernikahan ini, Alvin..” Sivia menyanggah. “Mario kemenakan Papa, otomatis sepupuku. Papa mengira bahwa aku akan sejahtera, bahagia kelak nanti jika menikahi Mario, padahal—“ Suaranya tercekat. “Bukan ini.. bukan dia yang aku suka, yang aku mau jadi pendampingku..” Mencegah isak tangisnya pecah, Sivia menggigiti bibir bawahnya. “Tapi aku bisa apa Alvin. Papa yang memohon. Papa yang membesarkan aku…Kau mengerti maksudku.”

“Sshh..” Tugas Alvin menenangkan Sivia, dalam pelukannya. Sivia benar-benar tenang di pelukan Alvin. Aroma tubuh Alvin, aftershave dan keringatnya berpadu menjadi aroma yang menenangkan. Tidak perduli seberapa basah kemeja Alvin oleh air matanya. Jujur saja, dengan berita ini, Alvin senang dan sedih di saat bersamaan. “Beri tahu aku siapa yang kau inginkan jadi pendampingmu? Biar aku yang bawakan orangnya ke sini.” Alvin berniat menghibur Sivia dengan candaannya.

“Bodoh!” Gumaman yang keras, Alvin mendengarnya.

“Hei. Kenapa mengataiku?” Alvin memisahkan pelukannya. Menatap Sivia tidak terima dikatai ‘bodoh’ tanpa sebab.

“Karena kau masih bertanya yang jawabannya adalah dirimu sendiri.” Svia menghela nafas dalam-dalam. “Aku mau kau—“

“Sivia...” Dan Alvin sudah memeluknya lagi. Lebih erat. “Kenapa baru sekarang?”

“Apa harus aku yang mengakui pertama?”

“Setidaknya aku tidak dibuat menerka-nerka, dan ternyata kau sudah bertunangan. Akan menikah akhir tahun.”

“Sekarang aku harus bagaimana Alvin? Kita harus gimana?” Masih dalam posisi dipeluk dan memeluk, Sivia mendongak untuk melihat ke mata Alvin, sayangnya pucuk kepalanya membentur dagu Alvin membuat lelaki itu meringis.

“Bisa tidak jangan bahas itu sekarang, aku cukup frustasi tidak bertemu seminggu ini.” Alvin kembali mengetatkan pelukannya. “I love you.” Bisiknya sebelum mengecup pucuk hidung Sivia.

Sivia tersenyum kecil. Sejenak melupakan permasalahan besarnya. Seandainya bisa selamanya seperti ini. Rasanya Ia ingin menangis, memikirkan kemungkinan kecil untuk membatalkan pernikahan. Ia menghirup udara dalam-dalam merekam aroma Alvin, lalu menghembuskannya dengan berat.

Dunia tidak adil.

“Sivia!”

Dan ketenangan Alvin Sivia diinterupsi seseorang yang sudah berdiri tenang di tengah ruangan, dengan ekspresi tidak tertebak.

“M-mario…?”


>>>>><<<<<
 

“Papa sudah dengar dari Mario. Dan Papa kecewa.” Datar, dan tajam begitu intonasi yang ditekankan Ayah Sivia, pada putri semata wayangnya. Putri yang sama sekali tidak pernah dianggap anak adopsi.

Sivia meringis dalam batin. Sejujurnya Ia tidak tahan untuk tidak menitikkan sebulir air mata saja. Tapi Ia tahu diri, Ia memiliki kesalahan dalam situasi ini. Betapa sakitnya ketika orang yang menyayanginya dan disayanginya sepenuh hati, mengatakan kekecewaan, bahkan tanpa memandangnya. Ayahnya berdiri di seberang ruangan kerja, memunggunginya, menatap lukisan mendiang Mama. Sementara Sivia duduk di sofa dengan hati kusut, meski di sebelahnya ada Alvin turut menemani. Mereka berdua bagaikan menghadiri sidang dengan status tersangka. Bukan bagaikan lagi, ini memang sidang.

“Kamu dibesarkan untuk menjadi orang berkomitmen dengan keputusan yang kamu ambil, bukan gegabah dan plin-plan.” Hati Sivia semakin teriris. Ya Tuhan, kenapa pula Mario harus mengadu.

“Papa…” Lirih serak suaranya. Pada akhirnya setetes air mata tak tertahan juga. Alvin menggenggam tangannya menyalurkan ketenangan.

Di seberang ruangan terdengar helaan nafas Ayahnya. “Mempertimbangkan sesuatu itu penting, kamu lebih mahir dalam hal itu. Saat kamu setuju untuk menikah, itu berarti pertimbangan kamu sudah matang. Papa cukup kecewa, kamu plin-plan dengan keputusan kamu.”

“Aku akan tetap menikah akhir tahun ini, jika itu yang Papa mau.” Sivia menyerah.

"Sivia?!” Bahkan menghindari tatapan mata Alvin yang terheran-heran.

“Begitu?” tanya Ayahnya skeptis. Demi melihat keseriusan pada putri nya, Sang Ayah membalikkan badan juga. Berjalan mendekat dan ikut duduk di bagian sofa terpisah. Namun tetap dengan ketegangan wajah yang tidak bisa ditawar. “Kalau itu keputusan kamu, kamu bisa menjamin setelah kamu menikah, tidak akan menjalin affair dengan Alvin, di belakang Mario?”

Sivia menunduk dalam-dalam. Tidak terpikirkan untuk menjawab apa. Pertanyaan skeptis Ayahnya telah menohok hati Sivia begitu telak sampai berbekas. Tidak tahukah Papanya bahwa Ia mencintai Alvin, hanya ingin Alvin yang menjadi pendampingnya kelak.

“Pak Presdir, maaf sebelumnya. Mungkin maksud--“

"Dan kamu Alvin. Di luar sana ada banyak wanita yang bisa kamu dekati, yang bisa kamu rayu. Kalau hanya ingin bermain-main, coret nama putri saya dari daftar incaran kamu.”

Dicerca seperti itu, justru menyentakkan ego Alvin sebagai lelaki. Tidak tahukah pria paruh baya ini bahwa Alvin bersungguh-sungguh pada putrinya.

“Saya heran kenapa kamu mendekati putri saya, yang bahkan sudah bertunangan.” Ayah Sivia bangkit berdiri, menyamankan posisinya dengan kedua tangan dalam saku celana, lagi-lagi memunggungi Alvin dan Sivia yang tercengang.

Alvin melepas genggamannya pada Sivia, dan ikut berdiri. Wajahnya mengeras, matanya penuh emosi dan tekad. “Saya tidak akan melakukannya jika saya tidak mencintai Sivia. Sivia tidak bercerita tentang pertunangannya sebelumnya. Kalaupun sekarang saya sudah mengetahuinya, saya tidak berhenti, karena saya tahu Sivia juga mencintai saya.”

Hening yang tidak sebentar.

“Baiklah.” Jeda sebentar sebelum Ayah Sivia melempar bom nya. “Dengar, suka atau tidak kamu tetap menikah akhir tahun ini Sivia. Papa sudah siapkan semuanya jauh-jauh hari. Semua yang baik untuk kamu. Dan yang terbaik pasti mahal. Kamu tahu kan kalau Papa tidak suka kerugian. Jadi pernikahan tidak dibatalkan.” Ciri pelit dari pria berumur ini mencuat juga.

Mendengar itu, Sivia membelalakan matanya. Dan Alvin berdecak kesal.

Beginikah akhir mereka?

“Dan Alvin,” Mendengar namanya disebut, Alvin menoleh. Ayah Sivia balik badan memandangnya terpusat. “Silahkan ajak orang tua kamu kemari jika ada waktu.”

Alvin mengerutkan alis tidak paham.

“Jika memang kamu ingin menikahi Sivia, lakukan dengan benar. Lakukan prosesi lamaran seperti pada umumnya, sebelum membawa Sivia ke altar.”

Alvin dan Sivia saling pandang. Sedikit tidaknya mereka menangkap sesuatu di sini, sebuah perestuan kah?

“M-maksud Papa …?”

“Memangnya apa yang bisa Papa lakukan, kalau ternyata kamu juga menyukai Alvin. Menikah dengan dia akhir tahun ini, Sivia.”

Sivia yang hanya duduk lesu dari awal, mendekati Ayahnya dan memeluk seerat yang Ia bisa. Tertawa di sela tangis harunya.

“Papa, terimakasih. Dan Sivia minta maaf…”

“Hm. Tapi Papa memang merasa kecewa, Sivia. Anggap ini pelajaran untuk kamu nanti. Jangan gegabah mengambil keputusan.”

“Memangnya aku bisa menolak kalau Papa memohon seperti itu.”

“Jika kamu selalu melibatkan perasaan dalam bertindak, kamu sendiri tidak menemui kebahagiaan.” Sivia mendapat kecupan di puncak kepalanya dari Sang Ayah. “Lagipula Papa tidak tahu, ternyata putri Papa ini bisa jatuh cinta juga dengan lelaki seperti dia. Apa yang Alvin lakukan sampai kamu jatuh juga?” Ayah Sivia bertutur santai seolah yang dibicarakannya tidak ada di sana. Malahan Alvin berdiri dengan gemas dikatakan seperti itu.

Sebenarnya restunya tulus atau tidak?! Alvin menggerutu.

“Papa!” Sivia memperingatkan. Diliriknya Alvin yang masih berdiri kesal, tapi juga terpancar kelegaan.

Sivia melepas pelukannya, ada yang ingin ditanyakan. "Bagaimana dengan Mario?"

"Dia patah hati tentu saja. Dia juga bersungguh menyukaimu. Tapi Mario berbesar hati."

"Semoga dia bisa menemukan yang lebih baik dari aku ya, Pa." Ucap Sivia tulus.

“Iya.. Sudah sana, dia menunggumu.” Ayah Sivia menggidikan dagunya ke Alvin. “Alvin, jaga permata saya.”

“Nothing is above her.” Sahut Alvin. Bersamaan ketika Sivia menuju ke arahnya. Alvin tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk langsung membawa Sivia di dekapannya. “Are you happy?”

“As long as with you.”

Mata Sivia yang tadi berair, kini berbinar. Alvin tidak tahan jika tidak mengecupnya. Keningnya. Matanya. Pipinya. Hidungnya. Dan yang terakhir untuk yang teristimewa. Alvin menyeringai. Bibirnya.

Sivia terbelalak. Ini ciuman pertama mereka!

Setelah selesai, dilihatnya wajah Sivia yang memerah masih dengan kekagetannya. Alvin tersenyum geli. Oh! Dan jangan lupakan masih ada satu orang lagi di antara mereka.

“Astaga. Kalian bisa cari tempat, jangan lupa masih ada Papa di sini.” Alhasil Sivia salah tingkah. Sementara Alvin santai dengan tampang tidak berdosa. Hitung-hitung pembalasan atas perkataan Ayah Sivia tadi.

“Usul yang bagus. Sivia, ayo pergi dari sini. Permisi Pak Presdir.”

“Alvin!” Bentak Sivia. Tapi Ia tidak berontak ketika tangannya ditarik paksa oleh Alvin. *(-_-)*

Mereka sedang menuruni tangga melingkar rumah Sivia, setelah keluar dari ruangan kerja milik Ayahnya di lantai dua. “Alvin, jangan heran jika nanti Papa berubah pikiran dan tidak merestui kita.”

Alvin menghentikan langkahnya. “Tidak mungkin. Papa mu ingin kau bahagia. Dan kebahagiaanmu hanya ada di Alvin.”

Sivia memutar bola matanya. “Overconfident, Mr.Alvin?!”

Alvin tertawa. Kenapa wanita dewi di hadapannya ini, yang biasanya anggun bisa menjadi semenggemaskan begini. Ia punya rencana lain daripada meladeni Sivia membahas kepercayaandirinya.

“Mungkin kita bisa jadi trend-setter”

“Apanya?” Tanya Sivia tidak mengerti.

“Melanjutkan yang tertunda, di tangga?”

“Alvin! Jangan lagi…”

Sivia menahan Alvin agar tidak mendekat. Sekali tadi saja sudah membuat Sivia kehilangan detak jantungnya sebentar.

Tapi, seperti Alvin perduli saja.

- END -

3 komentar:

  1. Gak pernah bosen baca nya diulang2 (y) ayoookkk kak lusi terus berkarya:D kak ika posttt lagi yg banyak ff nya wkwkwk

    BalasHapus
  2. huaaaa keren keren kerennnn pake banget banget bangettt :D

    BalasHapus
  3. bacanya disini berasa bgt ya, pas ada bg foto alvia

    BalasHapus