Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Sudah
beranjak malam. Alvin belum berniat untuk kembali ke rumahnya untuk sekedar
berbenah diri. Kemeja nya masih sama ketika dia di kantor tadi. Ia ingin
menantikan sampai Sivia siuman…
Keinginannya
terkabul. Tubuh Sivia bergerak lemah, bulu-bulu matanya –yang baru disadarinya
lentik nan indah- mengerjap. Kemudian mata Sivia membuka, menampakkan bola mata
hitam beningnya. Menatap Alvin heran.
“Kamu
sudah siuman?”
Sivia
hanya menggumam. Dia mencoba untuk duduk.
“Tetap
berbaring, kamu masih lemah.” Sivia terlihat bingung, tetapi menurut juga.
“Aku…”
Alvin menunggu Sivia melanjutkan kalimatnya. Namun kalimatnya tetap
menggantung, yang ada justru Sivia tiba-tiba meraba perutnya dengan dahi
mengkerut.
=================
Sivia
tersadar, ini di ruangan sebuah rumah sakit. Dan…ada Alvin?
“Kamu
sudah siuman?”
Ia
belum menemukan suaranya untuk menjawab, hanya bergumam. Lalu mencoba untuk
duduk.
“Tetap
berbaring, kamu masih lemah.” Sivia mengernyit. Apakah ini Alvin suaminya yang
tidak perdulian itu? Kenapa sekarang sifatnya berbalik?
“Aku…”
Tiba-tiba Ia teringat. Tadi pagi Ia merendam diri. Kenyataan bahwa ada nyawa di
dalam tubuhnya membuatnya shock. Ia
panik dan tidak siap. Itu semua akibat pemaksaan Alvin. Bukan ini yang Ia
inginkan… Tiba-tiba Ia meraba perutnya.
“Ini
semua gara-gara kamu. Seandainya saat itu kamu tidak—“ Ia tercekat.
“Vi…
aku senang ada dia.” Alvin melirik perut Sivia.
“Tolong
keluar, aku mau sendiri.”
Pengusiran
halus.
Karena
Sivia memang butuh kesendirian untuk merenung, memutuskan.
====================
Keadaan
Sivia semakin membaik keesokan harinya. Wajahnya tenang, tenang yang menyimpan
sesuatu, tinggal tunggu kapan dikeluarkan. Alvin memiliki firasat buruk
terhadap itu. Meski demikian, secara keseluruhan Sivia sudah pulih. Hari ini
sudah bisa ke rumah setelah medical check
up sekali lagi siang nanti.
Penampilan
Alvin sendiri lebih layak ketimbang hari sebelumnya. Walaupun lingkar hitam
bernanung di bawah matanya.
“Selamat
pagi, Sivia. Gimana keadaan kamu?” Mertuanya tiba.
Hati
Sivia menghangat, sudah lama Ia mendamba kasih sayang hangat dari sosok orang
tua.
“Baik,
Ma.” Sivia mencoba tersenyum.
“Kandungan
kamu?” Papa mertuanya yang bertanya.
Ia
melirik Alvin sebentar, sialnya Alvin juga meliriknya. Jadilah Ia salah tingkah
sendiri.
“Baik
juga, Pa.”
“Syukurlah.
Mama bawa buah-buah segar. Kamu mau apa? Apel?”
Sivia
mengangguk kaku. Sungguh baik Mama dan Papa mertuanya ini. Apakah Ia sanggup
menyampaikan keputusan yang telah diambilnya malam kemarin? Harus. Karena
apabila tidak, Sivia tidak yakin dapat melanjutkan semuanya.
“Ehm…
Ma, Pa.” Gugahnya. “Via mau menyampaikan sesuatu.”
Meski
namanya tidak disebut, Alvin memaku perhatiannya pada Sivia lekat-lekat, penuh
antisipasi.
“Ada
apa?” Mama Alvin tersenyum lembut.
“Sebenernya,
Via dan Alvin…”
“Iya.
Kami sudah mendengar, Bik Santi tidak keberatan menceritakannya. Kamu mau
memaafkan Alvin?”
Sivia
melirik Alvin takut-takut. Lelaki itu hanya menunduk.
“Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Alvin tidak salah. Perasaan tidak bisa dipaksa, kan.”
Sivia merasakan, Alvin menatapnya. “Makanya, Via mengambil keputusan lebih baik
kami berpisah. Kalian tenang saja, Via akan menjaga kandungan ini sampai lahir.
Dan setelah itu, anak ini akan tinggal bersama kalian.”
Hening.
====================
Tidak
ada kata ‘iya’ atau ‘setuju’ secara gamblang dari pihak Alvin ataupun
mertuanya. Mereka diam, dan Sivia tidak menyia-nyiakan ‘diam’ itu sebagai
persetujuan. Dengan penawaran: Sivia tinggal bersama kedua orang tua Alvin.
Awalnya Sivia berniat mencari tempat tinggal sendiri, tetapi orang tua Alvin
mengkhawatirkan kesehatannya. Jadilah tawaran itu diterima. Sebab Ia tidak
tertahankan dan tidak terbayangkan kalau harus tinggal seatap dengan Alvin
lagi.
Meskipun
sedikit meleset dari rencana, yaah Sivia menurut juga. Ia harus menghabiskan
kurang lebih sembilan bulan lamanya –lagi- hidup di lingkup keluarga Alvin. Ia
takut… takut tidak bisa melepas ketergantungannya pada lelaki itu. Maka Ia
berlaku antisipatif, menarik garis tebal untuk membatasi.
Awalnya
sembilan bulan dipikirnya lama. Tapi jika berjalan aman-aman saja terasa lebih
cepat.
Sivia
benar-benar menjaga pola hidupnya dengan apik, demi menjaga kehidupan lain
dalam tubuhnya. Menuruti semua nasehat-nasehat dari Mama atau Dr. Ify. Menjaga
kesehatan makan, check up rutin ke
dokter.
Kepada
Ify dan Rio, temannya, Ia merasa sudah saatnya jujur mengenai kehidupan nya
yang sebenarnya. Di luar dugaan temannya itu hanya tersenyum lembut mengatakan
bahwa apapun keputusan Sivia, semoga itu berujung baik. Ada sedikit sesal sih
saat Ify mengucapkan itu, Sivia merasakannya.
Mama
dan Papa Alvin sungguh memperhatikannya dengan tulus. Sivia tidak sampai hati
sebenarnya atas keputusan ini. Beberapa kali Ia memergoki Mama Alvin menatapnya
penuh kasih dengan air mata yang menggenang di pelupuk. Pada akhirnya Sivia
mencoba untuk tidak tergoyahkan.
Mengenai
Alvin… entah apa yang ada di otak lelaki itu. Menjadi penuh keperdulian dan
perhatian secara mendadak, meskipun atmosfirnya terasa canggung. Jika tidak
sibuk, dia menyempatkan diri mengantar Sivia ke dokter. Bahkan rajin menginap
paling tidak sekali dalam tujuh hari. Parahnya, menjelang bulan- bulan akhir,
Alvin datang menggeret koper besar. Dan turut serta tinggal bersama kedua orang
tuanya.
Tidak
dipungkiri perasaan Sivia mendesir sejuk hangat. Tetapi Ia memperingatkan diri
sendiri, bahwa perlakuan Alvin tidak lebih karena menginginkan anaknya. Tidak
lebih. Alvin pernah mengatakan senang atas kehadiran nyawa baru itu kan? Ya,
pasti itu. Memang apa yang kamu harapkan
Sivia?
=================
Suatu
malam, saat makan malam bersama, dengan semangat Sivia duduk menghadap meja
makan. Ia mulai mengambil makanannya. Ia merasa sungguh lapar, dan begitu
mendamba memakan sup buatan Mama Alvin. Kepulan uap hangat dari sup menggugah
selera makannya. Kemudian langsung melahapnya. Sesuap dua suap, selera makannya
lenyap. Rasa supnya tidak seenak tampilannya.
“Kenapa,
Via?”
“Tidak
apa-apa, Via sudah kenyang, Ma.”
“Kenyang
bagaimana? Belum habis setengahnya.” Sivia Cuma menggeleng dan meneguk air
putih.
“Kamu
sendiri yang minta dibuatin sup, kan?” Itu suara di seberang meja, suara dalam
Alvin. Sivia mengangkat bahunya malas.
“Ada
yang kurang sama supnya?” Tanya Papanya.
“Hm.
Rasanya tidak seenak aromanya.” Sahutnya dengan nada penyesalan pada Mamanya.
Beruntung Mama Alvin tidak tersinggung, malahan tersenyum maklum.
“Kamu
mau makan yang lain?” Sivia menggeleng pada Mama mertuanya. “Masa kamu tidak
makan malam. Nanti sakit.” Sivia menggeleng lagi.
“Kamu
harus makan. Tunggu di sini.” Ucap Alvin tegas, kemudian dia bangkit ke dapur.
Sivia
mengikuti apapun yang dilakukan Alvin dengan pandangan matanya. Entah apa yang
dilakukan di dapur. Yang pasti dia sedang memasak. Apa yang dimasak? Memangnya bisa?
Tidak
lama Alvin kembali dengan nampan dan mangkok mengepulkan uap hangat. Tiba-tiba
Sivia merasa lapar dua kali lipat dari sebelumnya.
“Aku
buatin sup baru. Ini harus dimakan.” Itu perintah.
“Pemaksa.”
Sempat-sempatnya Sivia mencibir. Ujung-ujungnya menuruti perintah juga.
Jadi
benar Alvin memasak. Memasak sup untuknya hingga Sivia jadi tergelitik untuk
mencicipi sup buatan Alvin yang lebih terlihat seperti resep gagal jadi itu.
Kemudian Ia mulai menyendok suapan pertama setelah meniupnya dulu. Satu sendok
diterima lidahnya dengan baik. Berlanjut suapan-suapan berikutnya hingga isinya
tandas. Sivia lantas meneguk air putihnya lagi dan mendesah puas. Kenyang.
“Via
mau istirahat.” Ucapnya dan menuju kamar.
Sementara
di ruang makan…
“Mama
baru tau kamu bisa masak, Vin.”
“Daripada
Via nggak makan sama sekali.”
Kemudian
Papanya mengambil inisiatif mencicipi kuah sup buatan Alvin yang sedikit
tersisa, karena penasaran tadi melihat Sivia makan dengan lahapnya.
“Padahal
Sup buatan kamu hambar.” Ujar Papanya setelah membandingkan dengan sup buatan
isterinya yang jauh lebih layak disebut sup.
Mama
Alvin terkikik. “Efek yang bikin, mungkin. Via jadi lahap.”
Lucunya.
Alvin merasa seperti abg yang digoda sedang kasmaran. Pipinya merona tanpa
izin.
======================
Di
malam lain…
Sudah
lewat tengah malam, Sivia belum tidur. Rasanya memang tidak mengantuk sama
sekali. Matanya masih segar. Tetap saja begadang bukan hal baik untuknya saat
ini. Ia sudah membaca novel atau majalah agar matanya lelah dan pada akhirnya
terpejam, tapi gagal. Biasanya juga tidak seperti ini.
Ia
putuskan untuk ke bawah. Membuat segelas susu hangat mungkin bisa mengantarnya
ke rasa kantuk. Pelan-pelan Ia menuruni tangga, tidak ingin membuat kegaduhan
malam-malam. Pijakan terakhirnya di anak tangga paling bawah Ia berhenti, ruang
keluarga masih terang benderang. Oh rupanya Alvin belum tidur juga. Asik
menonton televisi yang menyiarkan pertandingan sepak bola. Tidak mau mengganggu
Sivia lanjut melangkah ke dapur.
“Belum
tidur?”
Untung
Sivia sudah awas Alvin akan memergokinya, jadi Ia tidak terlalu terkejut.
“Kalau
sudah, aku tidak mungkin di sini.” Jawabnya acuh tak acuh sembari mengaduk
susu.
Tidak
ada percakapan lagi.
Sivia
merasa aneh pada dirinya sendiri. Ia jadi lebih berani menyahuti kata-kata
Alvin. Dan itu membuatnya terlihat seperti anak kecil manja yang merengek.
Sivia
bermaksud kembali ke kamarnya. Namun justru mematung di dapur. Ia terlanjur
terpaku melihat Alvin dari sana. Ia tahu calon mantan suaminya itu tampan, tapi
tidak sadar kalau hanya dari samping begini juga bisa tampan. Ketampanan Alvin
membuatnya mengatuk seketika.
Tanpa
dikendali, Sivia yang menggenggam segelas susu hangatnya ragu-ragu mendekat.
Kemudian menghempaskan dirinya di sofa, tepat di sebelah Alvin.
“Tidak
ke kamar?”
“Kenapa?
Aku tidak boleh di sini?”
“Bukan
gitu… ya sudahlah.”
Sivia
meminum susunya dalam diam hingga menyisakan sedikit. Dan kemudian Ia diserang
kantuk yang amat sangat.
“Aku
mengantuk Alvin, bisa kecilin volume tv nya?”
Selanjutnya
Ia memposisikan dirinya dengan nyaman ke senderan sofa. Lantas, seperti sebuah
magnet, kepalanya terkulai nyaman begitu saja di pundak Alvin. Tertidur pulas.
==================
Alvin
tau ada yang tidak biasa pada Sivia. Dia jadi lebih berani padanya. Berani
menyahuti, membantah, dan berani tidak mengacuhkan. Ia sadar saat sedang
menonton bola, Sivia memperhatikannya dari dapur. Kemudian sekarang wanita ini
sudah tertidur bersandar seenaknya di pundaknya.
Tapi
Alvin tidak merasa keberatan sama sekali.
Apakah
tanpa disadarinya, cinta mulai bertumbuh padanya untuk Sivia…?
Tidak.
Jangan dulu. Jangan terlalu dini menyimpulkan. Alvin masih perlu menyelami dan
menelaah semuanya. Bagaimana jika rasa ini hanya manifestasi dari rasa
penyesalan dan bersalahnya saja…?
Dengan
perlahan Ia membawa Sivia ke kamar. Udara malam di luar tidak baik untuk
kesehatan.
==================
Saat
di pagi hari…
Sivia
tidur sangat lelap, padahal seingatnya Ia susah tidur semalam. Ia mencoba
beranjak dari ranjang. Tapi tiba-tiba terpekik.
“Hei
bangun!” Bentaknya pada seseorang yang menggeliatkan badannya di sebelah Sivia.
“Alvin bangun! Siapa yang suruh kamu tidur di sini!” Gugahnya lagi memukul
lengan Alvin gemas.
“Via…”
Suara Alvin khas suara orang bangun tidur.
“Kenapa
tidur di sini?!”
“Semalam
kamu juga tertidur di sofa, di pundak ku. Aku bawa ke kamar daripada kamu masuk
angin, yaa aku terlalu ngantuk untuk balik ke kamar.” Jelasnya. Meski alasan
terakhir sungguh klise.
“Terserah.”
Tidak ada gunanya menghiraukan Alvin pagi-pagi. Sivia lekas beranjak ke kamar
mandi.
“Sivia…
apa tidak ada niat merubah keputusan?” Tanya Alvin pelan, tidak menyia-nyiakan
kesempatan bertanya.
Sivia
yang sudah di depan pintu kamar mandi, tanpa perlu repot-repot menoleh,
menjawab dengan pasti.
“Tidak,
terimakasih.”
“Demi
anak kita…”
Tahan.
Karena Sivia merasa matanya memanas. Hanya
demi bayinya?
“Ini
anakmu. Dan tetap tidak. Aww—“
“Sivia?!”
Alvin
berubah panik karena Sivia merintih kesakitan pada perutnya.
====================
Rumah
itu sekarang didominasi oleh tangisan bayi perempuan yang cantik, lucu. Tidak
perduli pagi, siang, senja, malam, sesekali pasti terdengar tangisannya. Seolah
sebagai tanda selamat datang baginya sendiri.
Semua
penghuni rumah itu bahagia tentu saja. Membuka tangan lebar-lebar menyambut
kehadiran si kecil. Masih dijuluki si kecil karena belum diberi nama. Umurnya
baru seminggu. Tetapi karena dia memang anak yang sehat jadi nampak
menggemaskan.
Ada
sedikit pengecualian bagi Alvin. Ia bahagia sekaligus resah. Ada sesuatu buruk
yang menantinya, Ia tahu itu. Yang pasti ada hubungannya dengan Sivia, dan si
kecil…
===================
Suatu
pagi yang berawan, Alvin sudah dibangunkan oleh tangisan bayi yang kuat. Ia
sudah terbiasa seminggu ini. Pagi-pagi memang si kecil terbangun dan menangis,
lalu kemudian terdiam lagi setelah digendong sang ibu.
Sekarang
ada yang berbeda, karena tangisan si kecil belum juga berhenti.
Mau
tidak mau Alvin terbangun dan menuju kamar Sivia. Di box, si kecil masih
menangis khas bayi dan Ia tidak menemukan Sivia di sana. Mungkin di kamar mandi. Sebelum melangkah ke kamar mandi untuk
memastikan, mata Alvin menyapu sesuatu berkilauan di atas meja.
Alisnya
bertautan ketika melihat itu adalah sebuah cincin. Cincin pernikahan milik jari manis Sivia. Tanpa bisa dikendalikan,
jantungnya berperang meresahkan. Diraihnya cincin itu, dan di bawahnya ada
sebuah memo berisikan tiga kata. ‘Terima
kasih Alvin’. Hanya itu. Hanya itu cukup memperjelas sesuatu. Sivia serius
dengan keputusannya. Dia pergi.
Tangisan
si kecil mengembalik lamunannya. Ia membawa si kecil dalam gendongannya, penuh
kasih.
Di
titik ini, Ia baru merasa yang namanya jatuh cinta, karena Ia merasa
kehilangan…
=================
=================
Ketika
hidup harus tetap berlanjut, berbekal potongan masa lalu…
^_^
^_^
Langit
jingga mengisyaratkan bahwa senja akan berganti petang. Pun kicau burung sore
turut serta mempertegas satu hari ini akan berakhir. Itu berarti pegawai
perkantoran swasta ada yang baru berbondong-bondong pulang.
Sebuah
mobil hitam mewah berbelok dan memasuki pelataran parkir kediamannya. Dari
pintu kemudi, keluarlah seorang pria yang jangan diragukan lagi ketampanannya.
Sebelah tangannya menjinjing tas laptop. Wajah lelah sepulang kantor terpatri
jelas.
a
l v i n
“Papi……”
“Hei
princess….”
Sengaja
Alvin merendahkan badan untuk mepermudah gadis kecil yang memanggilnya tadi
dengan semangat naik ke gendongannya.
“Papi
pulangnya lama lagi. Yang jemput Via tadi jadinya Pak Oji lagi.” Pak Oji supir
Alvin merangkap tukang antar jemput gadis kecilnya kalau Ia sibuk.
“Maaf
ya. Besok Papi pulang cepet deh.”
“Janji
ya, Pap.”
“Oke.
Sudah makan?”
“Belum.”
“Mau
makan di luar?”
“Mauuuu
ayo ayo.”
Dengan begitu saja Alvin ikut merasa senang.
Padahal tadi Ia lelah. Lelahnya terbayar lunas melihat gadisnya girang seperti
itu. Sampai menghujaninya dengan ciuman-ciuman. Si gadis kecil cantik yang
lucu, bernama Cherivia Jonathan.
==================
“Pap…”
Alvin
mengalihkan pandangannya dari tablet ke kepala Cherivia yang menyembul di balik
pintu kamar.
“Hei…”
Ia memberi isyarat pada kesayangannya untuk masuk. “Belum tidur?”
“Kalau sudah Via nggak mungkin ke
sini.” Sahutnya santai sembari memposisikan diri di pangkuan Papinya.
Seketika
Alvin menautkan alisnya heran. Jawaban anak sematawayangnya ini mengingatkannya
pada seseorang.
“Pap,
kenapa kita pindah ke sini?”
Alvin
dan Cherivia memang terbilang baru seminggu sebagai penduduk kota ini. Alvin
menerima tawaran Papanya untuk memimpin cabang perusahaan yang masih dalam
tahap berkembang di kota ini. Perusahaan membutuhkannya, jadi tidak ada alasan
untuk menolak -makanya Alvin sering pulang telat belakangan ini-. Jadilah Alvin
mengikutsertakan putri kesayangannya juga Bik Santi, abdi lamanya. Mereka
menetap untuk jangka waktu belum ditentukan.
“Papi
kan sudah bilang ada pekerjaan di sini. Kenapa? Via tidak suka di sini?”
“Suka
Pap. Via suka sekolah baru Via.” Alvin mulai menyekolahkan Cherivia dari TK
kecil. “Temen-temen dan ibu gurunya baik-baik.”
“Bagus
dong kalau gitu.”
“Tapi
nanti kalau Mam pulang, ke rumah di sana gimana?”
Ah
ya. Alvin belum memiliki kesanggupan memberitahu yang sebenarnya Bahwa mungkin
saja Maminya tidak akan pulang kembali. Dengan alibi Mami sibuk bekerja di
tempat jauh.
“Mam
pasti tau harus ke mana kalau mau mencari Via.”
Cherivia
mendongak menatap Papi tampannya. “Bener ya Pap. Via pengen ketemu Mam, Via
kangen.”
“Hm.
Papi juga.”
Dan itu jujur.TBC....
NB : ANH khusus buat story yang ini -karena anonim-, ditunggu komentar kalian yaaa, bisa komentar disini atau ke acc official (@AlviaNHofficial) atau ke acc admin (@ikaclorys) -_-v makaseee.. Salam ANH <3
Gak bisa nahan air mata, padahal uda ditahan2 tp tetep aja nangis, *semogagakbatalpuasa* wkwk nyesekkkkkk ini aaaaaaaa bener2 miris jadi anaknya huaaa alv dulu jahat sih, nyesel kan lo! Cepet cari sivia kali jgn diem aja gtu gak kasian apa sama anak lo (۳ ˚Д˚)۳ kak ikaaaaa mauu lagi lanjutin ._.vvv
BalasHapusdan mau ceritanya cepet dilanjut .-.
BalasHapusLanjutt dums~~~
BalasHapusAhh kasian anak alvia :'(
BalasHapus