Sabtu, 20 Juli 2013

Love & Be Loved [2]




Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
 



Sudah beranjak malam. Alvin belum berniat untuk kembali ke rumahnya untuk sekedar berbenah diri. Kemeja nya masih sama ketika dia di kantor tadi. Ia ingin menantikan sampai Sivia siuman…
Keinginannya terkabul. Tubuh Sivia bergerak lemah, bulu-bulu matanya –yang baru disadarinya lentik nan indah- mengerjap. Kemudian mata Sivia membuka, menampakkan bola mata hitam beningnya. Menatap Alvin heran.
“Kamu sudah siuman?”
Sivia hanya menggumam. Dia mencoba untuk duduk.
“Tetap berbaring, kamu masih lemah.” Sivia terlihat bingung, tetapi menurut juga.
“Aku…” Alvin menunggu Sivia melanjutkan kalimatnya. Namun kalimatnya tetap menggantung, yang ada justru Sivia tiba-tiba meraba perutnya dengan dahi mengkerut.
=================
Sivia tersadar, ini di ruangan sebuah rumah sakit. Dan…ada Alvin?
“Kamu sudah siuman?”
Ia belum menemukan suaranya untuk menjawab, hanya bergumam. Lalu mencoba untuk duduk.
“Tetap berbaring, kamu masih lemah.” Sivia mengernyit. Apakah ini Alvin suaminya yang tidak perdulian itu? Kenapa sekarang sifatnya berbalik?
“Aku…” Tiba-tiba Ia teringat. Tadi pagi Ia merendam diri. Kenyataan bahwa ada nyawa di dalam tubuhnya membuatnya shock. Ia panik dan tidak siap. Itu semua akibat pemaksaan Alvin. Bukan ini yang Ia inginkan… Tiba-tiba Ia meraba perutnya.
“Ini semua gara-gara kamu. Seandainya saat itu kamu tidak—“ Ia tercekat.
“Vi… aku senang ada dia.” Alvin melirik perut Sivia.
“Tolong keluar, aku mau sendiri.”
Pengusiran halus.
Karena Sivia memang butuh kesendirian untuk merenung, memutuskan.
====================
Keadaan Sivia semakin membaik keesokan harinya. Wajahnya tenang, tenang yang menyimpan sesuatu, tinggal tunggu kapan dikeluarkan. Alvin memiliki firasat buruk terhadap itu. Meski demikian, secara keseluruhan Sivia sudah pulih. Hari ini sudah bisa ke rumah setelah medical check up sekali lagi siang nanti.
Penampilan Alvin sendiri lebih layak ketimbang hari sebelumnya. Walaupun lingkar hitam bernanung di bawah matanya.
“Selamat pagi, Sivia. Gimana keadaan kamu?” Mertuanya tiba.
Hati Sivia menghangat, sudah lama Ia mendamba kasih sayang hangat dari sosok orang tua.
“Baik, Ma.” Sivia mencoba tersenyum.
“Kandungan kamu?” Papa mertuanya yang bertanya.
Ia melirik Alvin sebentar, sialnya Alvin juga meliriknya. Jadilah Ia salah tingkah sendiri.
“Baik juga, Pa.”
“Syukurlah. Mama bawa buah-buah segar. Kamu mau apa? Apel?”
Sivia mengangguk kaku. Sungguh baik Mama dan Papa mertuanya ini. Apakah Ia sanggup menyampaikan keputusan yang telah diambilnya malam kemarin? Harus. Karena apabila tidak, Sivia tidak yakin dapat melanjutkan semuanya.
“Ehm… Ma, Pa.” Gugahnya. “Via mau menyampaikan sesuatu.”
Meski namanya tidak disebut, Alvin memaku perhatiannya pada Sivia lekat-lekat, penuh antisipasi.
“Ada apa?” Mama Alvin tersenyum lembut.
“Sebenernya, Via dan Alvin…”
“Iya. Kami sudah mendengar, Bik Santi tidak keberatan menceritakannya. Kamu mau memaafkan Alvin?”
Sivia melirik Alvin takut-takut. Lelaki itu hanya menunduk.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Alvin tidak salah. Perasaan tidak bisa dipaksa, kan.” Sivia merasakan, Alvin menatapnya. “Makanya, Via mengambil keputusan lebih baik kami berpisah. Kalian tenang saja, Via akan menjaga kandungan ini sampai lahir. Dan setelah itu, anak ini akan tinggal bersama kalian.”
Hening.
====================
Tidak ada kata ‘iya’ atau ‘setuju’ secara gamblang dari pihak Alvin ataupun mertuanya. Mereka diam, dan Sivia tidak menyia-nyiakan ‘diam’ itu sebagai persetujuan. Dengan penawaran: Sivia tinggal bersama kedua orang tua Alvin. Awalnya Sivia berniat mencari tempat tinggal sendiri, tetapi orang tua Alvin mengkhawatirkan kesehatannya. Jadilah tawaran itu diterima. Sebab Ia tidak tertahankan dan tidak terbayangkan kalau harus tinggal seatap dengan Alvin lagi.
Meskipun sedikit meleset dari rencana, yaah Sivia menurut juga. Ia harus menghabiskan kurang lebih sembilan bulan lamanya –lagi- hidup di lingkup keluarga Alvin. Ia takut… takut tidak bisa melepas ketergantungannya pada lelaki itu. Maka Ia berlaku antisipatif, menarik garis tebal untuk membatasi.
Awalnya sembilan bulan dipikirnya lama. Tapi jika berjalan aman-aman saja terasa lebih cepat.
Sivia benar-benar menjaga pola hidupnya dengan apik, demi menjaga kehidupan lain dalam tubuhnya. Menuruti semua nasehat-nasehat dari Mama atau Dr. Ify. Menjaga kesehatan makan, check up rutin ke dokter.
Kepada Ify dan Rio, temannya, Ia merasa sudah saatnya jujur mengenai kehidupan nya yang sebenarnya. Di luar dugaan temannya itu hanya tersenyum lembut mengatakan bahwa apapun keputusan Sivia, semoga itu berujung baik. Ada sedikit sesal sih saat Ify mengucapkan itu, Sivia merasakannya.
Mama dan Papa Alvin sungguh memperhatikannya dengan tulus. Sivia tidak sampai hati sebenarnya atas keputusan ini. Beberapa kali Ia memergoki Mama Alvin menatapnya penuh kasih dengan air mata yang menggenang di pelupuk. Pada akhirnya Sivia mencoba untuk tidak tergoyahkan.
Mengenai Alvin… entah apa yang ada di otak lelaki itu. Menjadi penuh keperdulian dan perhatian secara mendadak, meskipun atmosfirnya terasa canggung. Jika tidak sibuk, dia menyempatkan diri mengantar Sivia ke dokter. Bahkan rajin menginap paling tidak sekali dalam tujuh hari. Parahnya, menjelang bulan- bulan akhir, Alvin datang menggeret koper besar. Dan turut serta tinggal bersama kedua orang tuanya.
Tidak dipungkiri perasaan Sivia mendesir sejuk hangat. Tetapi Ia memperingatkan diri sendiri, bahwa perlakuan Alvin tidak lebih karena menginginkan anaknya. Tidak lebih. Alvin pernah mengatakan senang atas kehadiran nyawa baru itu kan? Ya, pasti itu. Memang apa yang kamu harapkan Sivia?
=================
Suatu malam, saat makan malam bersama, dengan semangat Sivia duduk menghadap meja makan. Ia mulai mengambil makanannya. Ia merasa sungguh lapar, dan begitu mendamba memakan sup buatan Mama Alvin. Kepulan uap hangat dari sup menggugah selera makannya. Kemudian langsung melahapnya. Sesuap dua suap, selera makannya lenyap. Rasa supnya tidak seenak tampilannya.
“Kenapa, Via?”
“Tidak apa-apa, Via sudah kenyang, Ma.”
“Kenyang bagaimana? Belum habis setengahnya.” Sivia Cuma menggeleng dan meneguk air putih.
“Kamu sendiri yang minta dibuatin sup, kan?” Itu suara di seberang meja, suara dalam Alvin. Sivia mengangkat bahunya malas.
“Ada yang kurang sama supnya?” Tanya Papanya.
“Hm. Rasanya tidak seenak aromanya.” Sahutnya dengan nada penyesalan pada Mamanya. Beruntung Mama Alvin tidak tersinggung, malahan tersenyum maklum.
“Kamu mau makan yang lain?” Sivia menggeleng pada Mama mertuanya. “Masa kamu tidak makan malam. Nanti sakit.” Sivia menggeleng lagi.
“Kamu harus makan. Tunggu di sini.” Ucap Alvin tegas, kemudian dia bangkit ke dapur.
Sivia mengikuti apapun yang dilakukan Alvin dengan pandangan matanya. Entah apa yang dilakukan di dapur. Yang pasti dia sedang memasak. Apa yang dimasak? Memangnya bisa?
Tidak lama Alvin kembali dengan nampan dan mangkok mengepulkan uap hangat. Tiba-tiba Sivia merasa lapar dua kali lipat dari sebelumnya.
“Aku buatin sup baru. Ini harus dimakan.” Itu perintah.
“Pemaksa.” Sempat-sempatnya Sivia mencibir. Ujung-ujungnya menuruti perintah juga.
Jadi benar Alvin memasak. Memasak sup untuknya hingga Sivia jadi tergelitik untuk mencicipi sup buatan Alvin yang lebih terlihat seperti resep gagal jadi itu. Kemudian Ia mulai menyendok suapan pertama setelah meniupnya dulu. Satu sendok diterima lidahnya dengan baik. Berlanjut suapan-suapan berikutnya hingga isinya tandas. Sivia lantas meneguk air putihnya lagi dan mendesah puas. Kenyang.
“Via mau istirahat.” Ucapnya dan menuju kamar.
Sementara di ruang makan…
“Mama baru tau kamu bisa masak, Vin.”
“Daripada Via nggak makan sama sekali.”
Kemudian Papanya mengambil inisiatif mencicipi kuah sup buatan Alvin yang sedikit tersisa, karena penasaran tadi melihat Sivia makan dengan lahapnya.
“Padahal Sup buatan kamu hambar.” Ujar Papanya setelah membandingkan dengan sup buatan isterinya yang jauh lebih layak disebut sup.
Mama Alvin terkikik. “Efek yang bikin, mungkin. Via jadi lahap.”
Lucunya. Alvin merasa seperti abg yang digoda sedang kasmaran. Pipinya merona tanpa izin.
======================
Di malam lain…
Sudah lewat tengah malam, Sivia belum tidur. Rasanya memang tidak mengantuk sama sekali. Matanya masih segar. Tetap saja begadang bukan hal baik untuknya saat ini. Ia sudah membaca novel atau majalah agar matanya lelah dan pada akhirnya terpejam, tapi gagal. Biasanya juga tidak seperti ini.
Ia putuskan untuk ke bawah. Membuat segelas susu hangat mungkin bisa mengantarnya ke rasa kantuk. Pelan-pelan Ia menuruni tangga, tidak ingin membuat kegaduhan malam-malam. Pijakan terakhirnya di anak tangga paling bawah Ia berhenti, ruang keluarga masih terang benderang. Oh rupanya Alvin belum tidur juga. Asik menonton televisi yang menyiarkan pertandingan sepak bola. Tidak mau mengganggu Sivia lanjut melangkah ke dapur.
“Belum tidur?”
Untung Sivia sudah awas Alvin akan memergokinya, jadi Ia tidak terlalu terkejut.
“Kalau sudah, aku tidak mungkin di sini.” Jawabnya acuh tak acuh sembari mengaduk susu.
Tidak ada percakapan lagi.
Sivia merasa aneh pada dirinya sendiri. Ia jadi lebih berani menyahuti kata-kata Alvin. Dan itu membuatnya terlihat seperti anak kecil manja yang merengek.
Sivia bermaksud kembali ke kamarnya. Namun justru mematung di dapur. Ia terlanjur terpaku melihat Alvin dari sana. Ia tahu calon mantan suaminya itu tampan, tapi tidak sadar kalau hanya dari samping begini juga bisa tampan. Ketampanan Alvin membuatnya mengatuk seketika.
Tanpa dikendali, Sivia yang menggenggam segelas susu hangatnya ragu-ragu mendekat. Kemudian menghempaskan dirinya di sofa, tepat di sebelah Alvin.
“Tidak ke kamar?”
“Kenapa? Aku tidak boleh di sini?”
“Bukan gitu… ya sudahlah.”
Sivia meminum susunya dalam diam hingga menyisakan sedikit. Dan kemudian Ia diserang kantuk yang amat sangat.
“Aku mengantuk Alvin, bisa kecilin volume tv nya?”
Selanjutnya Ia memposisikan dirinya dengan nyaman ke senderan sofa. Lantas, seperti sebuah magnet, kepalanya terkulai nyaman begitu saja di pundak Alvin. Tertidur pulas.
==================
Alvin tau ada yang tidak biasa pada Sivia. Dia jadi lebih berani padanya. Berani menyahuti, membantah, dan berani tidak mengacuhkan. Ia sadar saat sedang menonton bola, Sivia memperhatikannya dari dapur. Kemudian sekarang wanita ini sudah tertidur bersandar seenaknya di pundaknya.
Tapi Alvin tidak merasa keberatan sama sekali.
Apakah tanpa disadarinya, cinta mulai bertumbuh padanya untuk Sivia…?
Tidak. Jangan dulu. Jangan terlalu dini menyimpulkan. Alvin masih perlu menyelami dan menelaah semuanya. Bagaimana jika rasa ini hanya manifestasi dari rasa penyesalan dan bersalahnya saja…?
Dengan perlahan Ia membawa Sivia ke kamar. Udara malam di luar tidak baik untuk kesehatan.
==================
Saat di pagi hari…
Sivia tidur sangat lelap, padahal seingatnya Ia susah tidur semalam. Ia mencoba beranjak dari ranjang. Tapi tiba-tiba terpekik.
“Hei bangun!” Bentaknya pada seseorang yang menggeliatkan badannya di sebelah Sivia. “Alvin bangun! Siapa yang suruh kamu tidur di sini!” Gugahnya lagi memukul lengan Alvin gemas.
“Via…” Suara Alvin khas suara orang bangun tidur.
“Kenapa tidur di sini?!”
“Semalam kamu juga tertidur di sofa, di pundak ku. Aku bawa ke kamar daripada kamu masuk angin, yaa aku terlalu ngantuk untuk balik ke kamar.” Jelasnya. Meski alasan terakhir sungguh klise.
“Terserah.” Tidak ada gunanya menghiraukan Alvin pagi-pagi. Sivia lekas beranjak ke kamar mandi.
“Sivia… apa tidak ada niat merubah keputusan?” Tanya Alvin pelan, tidak menyia-nyiakan kesempatan bertanya.
Sivia yang sudah di depan pintu kamar mandi, tanpa perlu repot-repot menoleh, menjawab dengan pasti.
“Tidak, terimakasih.”
“Demi anak kita…”
Tahan. Karena Sivia merasa matanya memanas. Hanya demi bayinya?
“Ini anakmu. Dan tetap tidak. Aww—“
“Sivia?!”
Alvin berubah panik karena Sivia merintih kesakitan pada perutnya.
====================
Rumah itu sekarang didominasi oleh tangisan bayi perempuan yang cantik, lucu. Tidak perduli pagi, siang, senja, malam, sesekali pasti terdengar tangisannya. Seolah sebagai tanda selamat datang baginya sendiri.
Semua penghuni rumah itu bahagia tentu saja. Membuka tangan lebar-lebar menyambut kehadiran si kecil. Masih dijuluki si kecil karena belum diberi nama. Umurnya baru seminggu. Tetapi karena dia memang anak yang sehat jadi nampak menggemaskan.
Ada sedikit pengecualian bagi Alvin. Ia bahagia sekaligus resah. Ada sesuatu buruk yang menantinya, Ia tahu itu. Yang pasti ada hubungannya dengan Sivia, dan si kecil…
===================
Suatu pagi yang berawan, Alvin sudah dibangunkan oleh tangisan bayi yang kuat. Ia sudah terbiasa seminggu ini. Pagi-pagi memang si kecil terbangun dan menangis, lalu kemudian terdiam lagi setelah digendong sang ibu.
Sekarang ada yang berbeda, karena tangisan si kecil belum juga berhenti.
Mau tidak mau Alvin terbangun dan menuju kamar Sivia. Di box, si kecil masih menangis khas bayi dan Ia tidak menemukan Sivia di sana. Mungkin di kamar mandi. Sebelum melangkah ke kamar mandi untuk memastikan, mata Alvin menyapu sesuatu berkilauan di atas meja.
Alisnya bertautan ketika melihat itu adalah sebuah cincin. Cincin pernikahan milik jari manis Sivia. Tanpa bisa dikendalikan, jantungnya berperang meresahkan. Diraihnya cincin itu, dan di bawahnya ada sebuah memo berisikan tiga kata. ‘Terima kasih Alvin’. Hanya itu. Hanya itu cukup memperjelas sesuatu. Sivia serius dengan keputusannya. Dia pergi.
Tangisan si kecil mengembalik lamunannya. Ia membawa si kecil dalam gendongannya, penuh kasih.
Di titik ini, Ia baru merasa yang namanya jatuh cinta, karena Ia merasa kehilangan…
=================
=================
Ketika hidup harus tetap berlanjut, berbekal potongan masa lalu…
^_^ ^_^
Langit jingga mengisyaratkan bahwa senja akan berganti petang. Pun kicau burung sore turut serta mempertegas satu hari ini akan berakhir. Itu berarti pegawai perkantoran swasta ada yang baru berbondong-bondong pulang.
Sebuah mobil hitam mewah berbelok dan memasuki pelataran parkir kediamannya. Dari pintu kemudi, keluarlah seorang pria yang jangan diragukan lagi ketampanannya. Sebelah tangannya menjinjing tas laptop. Wajah lelah sepulang kantor terpatri jelas.
a l v i n
“Papi……”
“Hei princess….”
Sengaja Alvin merendahkan badan untuk mepermudah gadis kecil yang memanggilnya tadi dengan semangat naik ke gendongannya.
“Papi pulangnya lama lagi. Yang jemput Via tadi jadinya Pak Oji lagi.” Pak Oji supir Alvin merangkap tukang antar jemput gadis kecilnya kalau Ia sibuk.
“Maaf ya. Besok Papi pulang cepet deh.”
“Janji ya, Pap.”
“Oke. Sudah makan?”
“Belum.”
“Mau makan di luar?”
“Mauuuu ayo ayo.”
 Dengan begitu saja Alvin ikut merasa senang. Padahal tadi Ia lelah. Lelahnya terbayar lunas melihat gadisnya girang seperti itu. Sampai menghujaninya dengan ciuman-ciuman. Si gadis kecil cantik yang lucu, bernama Cherivia Jonathan.
==================
“Pap…”
Alvin mengalihkan pandangannya dari tablet ke kepala Cherivia yang menyembul di balik pintu kamar.
“Hei…” Ia memberi isyarat pada kesayangannya untuk masuk. “Belum tidur?”
“Kalau sudah Via nggak mungkin ke sini.” Sahutnya santai sembari memposisikan diri di pangkuan Papinya.
Seketika Alvin menautkan alisnya heran. Jawaban anak sematawayangnya ini mengingatkannya pada seseorang.
“Pap, kenapa kita pindah ke sini?”
Alvin dan Cherivia memang terbilang baru seminggu sebagai penduduk kota ini. Alvin menerima tawaran Papanya untuk memimpin cabang perusahaan yang masih dalam tahap berkembang di kota ini. Perusahaan membutuhkannya, jadi tidak ada alasan untuk menolak -makanya Alvin sering pulang telat belakangan ini-. Jadilah Alvin mengikutsertakan putri kesayangannya juga Bik Santi, abdi lamanya. Mereka menetap untuk jangka waktu belum ditentukan.
“Papi kan sudah bilang ada pekerjaan di sini. Kenapa? Via tidak suka di sini?”
“Suka Pap. Via suka sekolah baru Via.” Alvin mulai menyekolahkan Cherivia dari TK kecil. “Temen-temen dan ibu gurunya baik-baik.”
“Bagus dong kalau gitu.”
“Tapi nanti kalau Mam pulang, ke rumah di sana gimana?”
Ah ya. Alvin belum memiliki kesanggupan memberitahu yang sebenarnya Bahwa mungkin saja Maminya tidak akan pulang kembali. Dengan alibi Mami sibuk bekerja di tempat jauh.
“Mam pasti tau harus ke mana kalau mau mencari Via.”
Cherivia mendongak menatap Papi tampannya. “Bener ya Pap. Via pengen ketemu Mam, Via kangen.”
“Hm. Papi juga.”
Dan itu jujur.




TBC....


NB : ANH khusus buat story yang ini -karena anonim-, ditunggu komentar kalian yaaa, bisa komentar disini atau ke acc official (@AlviaNHofficial) atau ke acc admin (@ikaclorys) -_-v makaseee.. Salam ANH <3

4 komentar:

  1. Gak bisa nahan air mata, padahal uda ditahan2 tp tetep aja nangis, *semogagakbatalpuasa* wkwk nyesekkkkkk ini aaaaaaaa bener2 miris jadi anaknya huaaa alv dulu jahat sih, nyesel kan lo! Cepet cari sivia kali jgn diem aja gtu gak kasian apa sama anak lo (۳ ˚Д˚)۳ kak ikaaaaa mauu lagi lanjutin ._.vvv

    BalasHapus
  2. dan mau ceritanya cepet dilanjut .-.

    BalasHapus