Title : Love
& Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others
Ketika
sinar matahari sudah berkali-kali mencoleknya, memperingatkan agar segera
bangun dan beralih dari buaian alam mimpi, Alvin justru semakin mengetatkan
selimut tebalnya. Membiarkan –teman tidurnya- itu membelit dan membungkus
raganya yang entah mengapa terasa menggigil. Nampaknya Ia demam.
Hembus
nafasnya terasa hangat, cenderung panas. Matanya basah karena berembun. Belum
lagi pelipisnya serasa berdentam-dentam, pusing yang teramat dahsyat. Alvin
mengernyit ketika meraba bagian keningnya dan mendapati suhu tubuhnya di atas
normal.
“Papiii…”
Secuil tenaga untuk sekedar bergumam saja Ia tidak punya, saat suara malaikat
kecil rutin menyapanya di pagi hari. “Papi belum bangun? Ya ampun Papi panas,
Pap sakit?”
“Via,
kamu berangkat sama Pak Oji atau opa ya.” Titah Alvin lemah, Cherivia sudah
lengkap dengan seragam dan tasnya.
“Papi
tidak ke kantor?” Alvin menggeleng. “Via juga tidak sekolah, Via di sini sama
Papi. Tunggu Pap, Via ambil obat.” Cherivia mengecup bibir dan pucuk hidung
Papinya lalu terbirit ke luar kamar. Alvin tidak punya tenaga untuk membantah.
Ia hanya butuh tidur dan istirahat.
Kenapa berita pernikahan
Sivia esok hari begitu menghisap tenaganya…
==================
Layaknya
ibu lainnya, begitu mendapat telpon dari kediaman Alvin –Bik Santi- yang
mengabarkan Cherivia jatuh sakit, Sivia minta izin pada Gabriel karena tidak
bisa mengikuti Gladi resik pernikahan. Tentu saja Ia mengkhawatirkan Cherivia
dan bergegas ke kediaman Alvin. Untungnya Gabriel memahaminya.
Hati
Sivia menghangat dan sedikit gentar ketika rumah bertingkat dua yang elegan
sudah terpampang di hadapannya. Ia akan masuk ke wilayah teritorial Alvin.
Jantung Sivia berdetak lebih kencang seperti abg yang akan menghadiri dating
pertamanya, apalagi ketika mengingat kejadian kemarin. Kejadian saat bagaimana
lembut dan hangat bibir Alvin menempel sempurna di miliknya.
Aku ke sini untuk
menjenguk Cherivia. Tegasnya dalam hati.
Sedikit
ragu Ia memasuki zona kediaman Alvin. Dan rupanya tanpa ditunggu lama, pintu
rumah sudah terbuka. Cherivia, putri kecil kecintaannya menyambutnya dengan
berbinar.
“Mami
datang.” Seperti sudah seharusnya Sivia merendahkan tubuhnya untuk memeluk
Cherivia.
Tunggu. Apa tadi? Mami?
“Mami?”
Ulang Sivia ragu-ragu.
“Iya.
Ibu guru Sivia itu ternyata Mami nya Via, Papi yang bilang.” Pengakuan Cherivia
sukses membuat Sivia mematung. “Via kangen Mami.” Jemari mungil Cherivia terulur
membelai pipinya dengan ringan. Sungguh menggetarkan kalbu Sivia.
“Mami
juga kangen Via.” Insting Sivia cukup baik berjalan, menciumi jemari Cherivia.
Lalu kemudian baru Ia tersadar saat telapak tangan si Via kecil menempel di
pipinya. “Katanya Via sakit? Tapi kenapa tidak panas? Via baik-baik aja?”
Cherivia
menggeleng malu-malu. “Via sehat, Mam. Yang sakit itu Papi, Mam.”
Hah?
“Via
minta Maminya ke sini buat jenguk Papinya. Tapi Mama takutnya kamu nggak akan
mau datang untuk itu, jadi Mama minta Bik Santi sedikit berbohong.” Itu Mama
Alvin, ada juga Papa Alvin.
“Mama,
Pa…”
“Kamu
udah di sini, jenguk Alvin sebentar saja. Mau ya, Vi?”
Selalu
saja hati Sivia terenyuh kalau sudah Mama dan Papa mertuanya dulu meminta
dengan wajah penuh kasih seperti itu.
===================
Memang
dari dulu Bik Santi sudah jatuh hati pada Sivia, jadi ketika Sivia berkunjung,
wanita pruh baya itu turut menyambut dengan hangat. Kini Bik Santi yang dengan
senang hati mengantar Sivia sampai depan pintu cokelat gelap, pintu kamar
Alvin.
“Sudah
lama saya tidak lihat non Sivia, sekarang tambah cantik. Maaf ya non, saya tadi
bohong di telpon.”
“Iya.
Nggak apa-apa Bik.” Sivia tersenyum memaklumi.
“Silahkan
masuk, Non.”
“Iya,
Bik. Eh tunggu Bik,” Sivia menahan Bik Santi sesaat, hanya untuk bertanya,
“Alvin udah makan?”
“Keluar
kamar aja belum, Non dari tadi.”
Sivia
tampak berpikir sebentar. “Buatin nasi goreng satu ya, Bik. Tapi pakai margarin
kalau ada.” Bik Santi menyanggupi, kemudian permisi dengan mengulum senyum
penuh arti.
Mau
tidak mau, Sivia harus memasuki kamar ini…
Setalah
berhasil membuka pintu, perlahan Ia melangkah ke dalamnya. Suasana kamar
seorang lelaki dewasa yang jantan begitu terasa, mendominasi ruangan. Sivia
mendesah resah, ini pertama kali memasuki kamar Alvin. Saat mereka masih
tinggal bersama pun belum pernah sama sekali. Mereka kan pisah kamar…
Sivia
menggelengkan kepala, berusaha menghenyakkan pikiran lancangnya.
Nah,
itu dia. Seonggok manusia yang terkapar rapat di balik selimut, di atas ranjang
lebar. Sivia semakin mendekat lagi hati-hati. Tidur Alvin pun seperti gelisah.
Ada kerutan samar di dahinya, nafasnya teratur tetapi temponya agak cepat.
Bahkan Sivia dapat merasakan radiasi kalor dari tubuh Alvin. Dan benar saja,
suhu tubuh Alvin di atas normal. Sivia membuktikan dengan punggung tangannya
sendiri.
Sivia
segera menjauhkan tangannya, karena lagi-lagi tubuh Alvin bergerak. Kemudian
mata lelaki itu membuka perlahan.
“Sivia…?”
“Hai.
Selamat pagi.” Sivia mencoba menghalau kegugupannya.
“Kamu
di sini?” Pelan-pelan Alvin mencoba duduk, bersender di kepala ranjang.
Sivia
mengangkat bahu cuek. “Seperti yang kamu lihat. Aku ditelpon Bik Santi, katanya
Cherivia sakit. Setelah sampai sini, taunya Via sehat, Papinya yang sakit.”
Ekspresi
Alvin saat itu tak tergantikan. Kesal, malu, kaget bercampur senang.
“Maaf,
aku nggak tau Via berbuat begitu.”
“Bukan
Via sepenuhnya. Mama sama Papa kamu juga.”
“Ahh,
maaf, Vi.” Ucap Alvin nampak bersyukur atas kejahilan keluarganya. “Jadi
merepotkan. Kamu nggak kerja?”
Sivia
menoleh sana-sini untuk mencari tempat duduk yang mungkin tersedia di kamar
ini, tapi tidak menemukannya. Alvin yang menyadari itu, memberi isyarat agar
Sivia duduk di ranjangnya. Sivia tidak keberatan, lalu memposisikan dirinya di
sebelah Alvin, menghadap lelaki itu.
“Aku
izin sehari. Kak Gabriel yang memaksa, dia bilang harus ada persiapan sebelum
hari H.”
“Hari
H?” Alvin mendadak lupa. “Oh, pernikahan itu.” Sahutnya tak bersemangat.
Memalingkan muka karena Sivia menatap nya intens.
Lalu
hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Di
waktu sudah menemukan bahan pembicaraan, keduanya saling tegur bersamaan.
“Kamu
duluan, Vi.” Alvin mempersilahkan Sivia.
“Aku,..
engg, tadi Cherivia panggil aku dengan Mami. Kamu beri tau dia yang
sebenarnya?”
“Iya,
Sivia. Kamu tidak keberatan kan? Tapi Cherivia terlalu kecil bisa paham keadaan
kita, dia merengek agar kamu tinggal bersama di sini. Bersama Mami dan Papi
nya.”
Di
akhir ucapan Alvin, pandangan mereka bersibobrok. Oh, sungguh! Apa keadaan
tidak bisa dipermudah sehingga mereka bisa berucap rindu dan cinta satu sama
lain?
“Kamu
tenang aja, aku bisa atasi itu. Perlahan Cherivia pasti mengeri keadaan.” Ucap
Alvin. Jangan sampai Ia sendiri yang terlihat mendambakan Sivia bisa tinggal
serumah lagi dengannya, layaknya keluarga bahagia.
“Ya.”
Sivia bergumam. Rasanya pita suara di tenggorokan sengaja diikat mati, suaranya
lemah.
Tepat
ketika itu, Bik Santi datang membawa nampan dengan sepiring nasi goreng
beraroma harum dan air mineral. Wanita paruh baya itu tampak salah tingkah, maka
Ia bergegas pamit keluar.
“Kamu
belum sarapan kan? Habiskan ini dulu, setelah itu minum obat.”
“Sebenernya
aku tidak berniat makan apapun.” Namun, di bawah tatapan mengintimidasi Sivia,
-seperti isteri yang memarahi suaminya- Alvin jadi menurut, menyuap nasi goreng
sendok demi sendok.
Sambilan
menunggu Alvin menghabiskan sarapan, Sivia berjalan ke sebelah kanan ruangan.
Ia menyibak tirai cokelat lalu mengikatnya ke samping. Mengizinkan cahaya
matahari masuk ke ruangan. Rupanya di balik tirai ada pintu kaca sebagai
pembatas ruangan dan balkon.
Apa
yang dikerjakan Sivia tidak luput dari perhatian Alvin, dan Ia mengernyit kala
mengingat bahwa sebentar lagi Sivia akan biasa melakukan itu di kamar suaminya.
“Kamu
menyimpan obat penurun demam?”
Salvin
tersentak, Sivia bertanya tiba-tiba sudah duduk di dekatnya lagi. “Aku tidak
biasa menyimpan obat, tapi tadi Via membawakan obat, ada di laci meja.” Alvin
menyudahi sarapan yang bersisa seperempatnya lagi.
“Sarapannya
nggak habis, jadi obatnya harus diminum.”
Lagi-lagi
Alvin patuh. Dia bisa apa kalau sudah ditatap Sivia seperti itu. Tatapan Sivia
benar-benar menghujam denyut nadinya, membuat aliran darahnya tersumbat sesaat.
“Obatnya
akan bereaksi nanti, semoga demam kamu turun.” Jeda sesaat. Sivia melirk
arlojinya gelisah. “Aku harus pulang, Alvin. Aku pamit sekarang ya.”
“Sekarang?”
Alvin tidak rela. “Oke, baiklah. Biar aku antar kamu ke pintu depan.”
“Sudah
sehat ya?” Tanya Sivia skeptis. Gantian Sivia yang jengah. Melihat Alvin mampu
berdiri sendiri menopang tubuhnya. Ya
Tuhan! Lelaki ini, sakit-sakit begini masih saja tetap tampan!
“Sedikit
membaik. Terimakasih ya.” Keberanian yang entah muncul darimana, Alvin mencium
kening Sivia dengan hati-hati. “Ayo ke bawah.”
Dan
Sivia pun mengikuti Alvin, dengan debar jantung yang berirama semau dag dig
dug…
===================
“Mami
pulang sekarang?” Ketara sekali wajah kecewa Cherivia, ketika mengantar Sivia
sampai pintu depan.
“Kapan-kapan
Mami ke sini lagi.”
“Kenapa
Mam nggak tinggal di sini aja, sama Via sama Papi? Mam nggak sayang kita?”
Sungguh
Sivia tidak terpikir untuk menjawab apa. Ia menoleh ke Alvin seolah meminta
pertolongan.
“Via
sayang, Papi kan udah bilang, Sivia memang Mami nya Via, tapi bukan Mami nya
Papi.”
Secepat
kilat Sivia menyeka butiran air mata yang lancang menetes tanpa peringatan,
semasih Alvin memfokuskan pandangan pada Cherivia.
“Mami
sayang Via kok.” Sivia mencium putrinya penuh kasih. “Lekas sembuh, Vin.
Sampaikan salam buat Mama dan Papa.”
“Hm.
Sampai jumpa besok.”
“Besok?”
Sivia membeo.
“Ya.
Aku diundang Gabriel di hari pernikahan besok.”
“Diundang
Gabriel?” Membeo lagi.
“Ya.
Kamu tidak keberatan kan kalau aku dan Via datang?”
“Ti-tidak.
Tapi… kenapa Gabriel—” Sivia menelan lagi potongan kalimatnya. “Engg.. tidak
jadi.” Sela nya. “Aku pamit ya.” Sekali lagi Sivia menganggukkan kepala dengan
sopan.
==================
“Papi
bohong!!! Via nggak mau ikut besokk!!”
“Via
nggak mau lihat Mami? Besok Mami pakai baju kayak barbie.” Bujuk Alvin.
“Mami
nggak boleh sama Oom Gabriel. Via nggak mauu!! Papi jangan kasih Mami nikah
Pappp!!!”
Ini
tidak pernah dibayangkan Alvin sebelumnya. Malaikat kecilnya sekarang menangis
sejadi-jadinya. Meringkuk di sudut ranjang memeluk boneka pandanya.
“Kalau
aja Papi bisa, Via.” Alvin melembut. Merengkuh Via kecil di pangkuannya.
“Mami
nggak sayang sama kita ya, Pap.” Cherivia yang menangis sesenggukan, tapi Alvin
yang merasakan sesak.
“Siapa
bilang? Mami sayang Via, sangat sayang.”
“Tapi
Mam nggak sayang Papi…”
Selebihnya
Alvin membiarkan Cherivia menangis, sampai membasahi bajunya sekalipun.
====================
Tidak
semua masa lalu harus dilupakan, sebagian bertakdir menjadi jembatan ke masa
depan…
^_^
^_^
Sejak
awal hari, Alvin melakukan aktivitas dengan tak bersemangat. Undangan
pernikahan Gabriel dan Sivia tepat hari Minggu, sehingga tidak bisa beralasan
‘sibuk bekerja’ untuk menghindari undangan itu.
Masalah
Cherivia, semenjak mengetahui bahwa Mami nya benar-benar tidak bisa tinggal
bersama dengannya, malaikat kecil itu berdiam diri tak seaktif biasanya. Memang
kalau sedang tidak dalam mood Cherivia
pasti memilih diam tidak bersuara, persis Alvin.
“Alvin,
liat putrimu, cantik kan?”
Alvin
yang sedang melamun sambilan mematut bayangannya di cermin, menoleh ke pintu
kamarnya yang terbuka. Mama nya masuk kamar menggandeng Via kecil yang memang
tampak seperti malaikat kecil dengan gaun putih berhiaskan pita khas anak-anak.
Rambutnya tergerai indah, dengan hiasan bunga kecil di bagian samping. Cantik,
refleksi Sivia.
“Mirip
princess. Siapa dulu Papinya.” Diusapnya pipi Cherivia, sedikit merayu agar mau
tersenyum.
Alvin
sendiri memilih kemeja berwarna biru tipis cenderung putih, dipadukan setelan
jas dan celana kain hitam. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya. Hanya
saja, pada dasarnya Ia sudah memiliki nilai tambah di fisik nya yang
proporsional, belum lagi tampangnya yang tampan tapi angkuh.
“Kita
berangkat sekarang ya Ma.”
“Hati-hati,
Vin.” Mama Alvin menyentuh kain halus jas hitam Alvin, memberi sentuhan kasih.
Tersenyum dengan tatapan nanar.
“I’m oke, Mom. Trust
me.” Seolah meyakinkan Alvin mencium punggung
tangan Mamanya.
Dengan
begitu Mama Alvin hanya bisa percaya pada putra satu-satunya, dan mengantar
Alvin dan Cherivia ke lantai bawah sampai pintu depan.
“Sampaikan
salam Papa untuk Sivia, Vin.” Begitu ucap Papa Alvin yang datang dari arah
dapur.
“Nanti
Alvin sampaikan.”
==================
Sampai
di lokasi acara dihelat.
Rupanya
bukan sebuah pernikahan yang mewah nan megah. Pernikahan Alvin dan Sivia dulu
malah lebih jauh mewah dan terkesan disiapkan jauh-jauh hari. Pernikahan yang
sedang dihadiri Alvin saat ini adalah pernikahan sederhana, tapi penuh
kehangatan. Digelar disebuah taman yang luas terbuka, pas dengan cuaca hari
cerah.
Dekorasinya
dipenuhi bebungaan putih, menambah kesan suci. Belum lagi patung-patung berupa
malaikat putih menghiasi bagian tengah kolam air mancur. Bunyi gemericik air
nya sebagai ucapan selamat datang bagi para undangan. Kursi-kursi dengan
dilapisi kain satin putih sudah ditata rapi pada bagian kanan dan kirinya,
hanya dipisah dengan taburan mahkota mawar putih dan lilin yang sengaja
didesain begitu.
Alvin
menghela nafasnya ketika berjalan memasuki area pernikahan digelar. Dari sekian
banyak undangan, tak ada satupun yang kiranya Alvin kenal. Tapi tetap saja ada
beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, dengan tatapan ‘Pangeran darimana
ini?’ atau ‘Yang kecil itu anaknya?’
“Papi..”
Tangan kecil Cherivia mengeratkan pegannya pada tangan kokoh Alvin. Via kecil
nampaknya sama resahnya dengannya.
“Di
sana ada tempat kosong. Ayo…” Lantas Alvin memutuskan bahwa Ia tidak boleh
kabur mendadak. Jadi Alvin memilih kursi kosong di barisan tengah. Kebetulan Ia
dan Cherivia mendapat di bagian tepi, bersebelahan dengan jalur iringan
pengantin akan berjalan ke altar nanti. Mereka berdua duduk, tanpa berniat
mengobrol satu sama lain.
Baik
Alvin maupun Cherivia, seolah sedang menunggu bom waktu. Tik tik tik tik…
Kali
ini sedikit berbeda. Bom waktu digantikan dengan musik alunan dari violinist
yang menandakan acara sebentar lagi dimulai. Undangan berubah hening dan
semuanya berdiri seketika, tat kala pengantin pria sudah berada di posisinya
yang pas, di altar. Menunggu iringan pengantin wanita yang berjalan mendekat
dihujani tatapan kagum para undangan.
Saat
ini akan terjadi juga, Alvin tau itu.
Dengan
jarak cukup jauh begini saja Alvin dapat melihat pengantin wanitanya berjalan
anggun dengan gaun pengantin putih yang menjuntai, terseret ketika berjalan.
Diiringi beberapa bridesmaid berseragam
gaun putih tetapi membiru kebagian bawah. Wajah cantik pengantin wanita
tersembunyi dibalik kain putih transparan. Tetapi Alvin bisa menebak senyum
bahagia yang terkembang di wajah Sivia. Apakah mungkin sama dengan senyum
ketika menikah dengan dirinya, atau malah lebih bahagia…? Pemikiran itu menohok
ulu hatinya. Kalau saja dulu Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan…
Alvin
menahan nafas ketika iringan pengantin semakin mendekat. Malahan lagi-lagi Ia
merasakan tangannya diremas kuat-kuat oleh Cherivia.
“Lihat
nanti, Mami Via pasti kayak barbie.” Ucap Alvin menatap anaknya. Sedihnya,
Cherivia malah menjatuhkan air mata. Alvin mengusap air matanya lalu menunduk
mengecup pucuk kepala Cherivia. Dan mau tidak mau, fokusnya kembali pada Sivia.
Ya
Tuhan! Jantung Alvin seolah lepas, lolos jatuh ke bawah, tat kala pengantin
wanita tepat berlalu di hadapannya. Bahkan mengumbar senyum terpusat padanya.
Alvin akui dia sangat cantik! Tapi demi Tuhan, itu bukan kecantikan yang
dimiliki Sivia nya.
Apa
Ia telah melewatkan sesuatu?
“Pap,
Mami mana? Itu bukan Mami.”
Iya
benar kata Cherivia, itu bukan Mami nya. Bukan Sivia. Otak cerdas Alvin cukup
berpikir cepat, Ia menoleh ke Gabriel yang berdiri gagah di depan altar. Seolah
tau yang terjadi, Gabriel tersenyum terpusat padanya, penuh arti. Sama seperti
yang dilakukan pengantin wanita tadi.
“Pap,
itu bukan Mami.” Gugah Via kecil sekali lagi mengundang perhatian hadirin
lainnya.
Leher
Alvin seolah tak bertulang. Ia menyapu seluruh hadirin, tiap sudut tempat. Sekarang apalagi ini? Di mana Sivia nya?
“Hei,
kalian mencari siapa, hm?”
Alvin
menoleh cepat ke sebelahnya. Dan menemukan apa yang dicarinya sejak tadi, sejak
dulu.
“Sivia…”
“Mami!”
“Hai
princess, cantik sekali hari ini.”
“Mam
juga cantik / Papi, ini Mami.”
Ya
Alvin juga melihat itu Sivia. Cuma Alvin masih butuh mencerna apa-apa saja yang
disaksikannya kasat mata. Takut jika sekali kedip saja, semuanya hilang. Takut
jika Sivia yang duduk di sebelahnya hanya fatamorgana, lalu sekejap mata
kembali lagi berdiri di depan altar.
Namun
itu semua terbukti nyata, saat tangan lembut Sivia menyentuh dan menggenggam
tangannya. Dan berbisik, “I’m here”.
Dan
segenap gejolak yang bertumbuk, tumpah ruah dalam seulas senyum penuh kelegaan.
===================
Keduanya
sengaja melupakan keadaan sekitar mereka. Yang mereka tau adalah hanya ada
mereka berdua di sini. Bergerak ringan, seringan bulu. Sinkron dengan alunan
gesek biola yang mencapai nada harmonisasi yang pas. Mereka berdansa ibarat dua
merpati yang bercengkarama di dahan cemara. Entahlah, mereka -Alvin dan Sivia-
bahkan terlalu indah jika dibandingkan dengan merpati.
Terlalu
banyak yang ingin diungkap satu sama lain. Tapi rindu lebih mendominasi minta
dilunasi. Jadi, hanya bertatap pandang dalam posisi dansa romansa begini sudah
lebih dari cukup.
“Kenapa
bisa berpikiran hari ini pernikahan aku dan Gabriel, hm?” Sivia mengulum senyum
nya. Merasa satu sama atas pertanyaan Alvin tempo hari, yang sempat Ia kira
sudah beristeri.
“Siapapun
yang ada di posisiku pasti berpikir sama. Kalian dekat dan berkomunikasi
membahas pernikahan. Dan satu lagi, kenapa Gabriel mu itu malahan mengundang
aku ke sini, bukannya bilang saja yang sebenarnya kalau bukan menikah
denganmu.” Kata Alvin setengah gusar.
“Ternyata
itu ide jahil Kak Gabriel, aku juga baru diberitau dia tentang pemikiranmu itu
tadi, Alvin. Makanya kemarin aku heran kenapa Kak Gabriel mengundang kamu.
Kalian bahkan baru bertemu sekali.”
Malu-malu
Sivia mulai menceritakannya. “Aku ini salah satu bridesmaid nya Kak Agatha,
pengantin wanitanya. Lihat gaunku sekarang kan.” Ya, Alvin menelusuri Sivia
dari atas kebawah. Cantik sempurna dengan gaun putih lalu membiru di bagian
bawah, seragam bridesmaid tadi. “Tapi aku ceroboh, high heels ku patah dan
kakiku terkilir. Tidak lucu kalau aku jalan pincang diliatin semua orang.”
***
“Makanya hati-hati,
Via. Yaudah, kamu duduk di deretan undangan aja tidak apa-apa ya, nggak lucu
juga kalau bridesmaid jalannya pincang. Ada Alvin juga anakmu di sana.”
“Ah iya Kak! Aku lupa tanya itu. Kenapa Kakak
undang mereka?!”
“Karena Alvin mu itu
berpikir aku sama kamu ini calon suami isteri yang akan nikah hari ini.”
“Hah?”
“Iya. Entahlah dia
dapet gagasan darimana. Kamu belum cerita kalau kita sekarang kakak beradik?”
Sivia menggeleng. “Pantes Sivia. Waktu Alvin cium kamu di rumah, muka dia kayak
kikuk gitu ke aku, mungkin dikira aku cemburu.”
Cerita Gabriel,
tiba-tiba mencerahkan suasana hati Sivia.
“Hei, kenapa
senym-senyum?”
“Nggak apa-apa, Kak.
Terimakasih Kak Gabriel, I love you. Semoga langgeng sama Kak Agatha.”
***
“Dan
selamat kalian sukses buat aku merinding hari ini.”
Sivia
terkekeh lucu. “Memang aku banyak ambil bagian di pernikahan ini,” Sivia
mendekatkan wajahnya ke telinga Alvin, membisikkan sesuatu. “Kak Gabriel dan
Kak Agatha sebenarnya kurang mendapat restu, terutama dari orang tua Kak
Gabriel.”
Mata
Alvin melebar kaget, lebih karena sensasi geli gara-gara bisikan Sivia. “Ini
juga pernikahan yang buru-buru, karena Kak Gabriel takut Kak Agatha berubah
pikiran dan menyerah dengan hubungan mereka. Sebagai adik angkat yang baik, aku
membantu Kak Gabriel mempersiapkan ini semua, saat semua sudah seratus persen
baru Kak Gabriel menyatakan niatnya untuk melamar Kak Agatha, jadi Bunda dan
Ayah tidak mungkin menghalangi.”
“Jadi
kamu benar adik angkat Gabriel ya?”
“Iya.
Memangnya aku belum pernah cerita kalau dulu kami memang tetangga dekat? Bunda
dan Ayah seperti orang tua ku juga, Vin.”
“Itu
sebabnya orang tua Gabriel baik ke kamu. Bukan karena kamu calon menantu ya?”
“Bukanlah.”
Dan Sivia mengakhiri penjelasannya.
Mereka
kembali larut dalam nuansa romans milik berdua.
“Kenapa
malah diem? Katakan sesuatu, Alvin.”
Alvin
mendenguskan tawanya. “Banyak, Vi. Banyak yang ingin aku sampaikan.”
“Salah
satu untuk saat ini.”
Alvin
tampak berpikir sejenak. Dan seolah mendapat ide brilian, matanya mengerling.
“Bukan
maksud gombal, tapi memang hari ini dandanan kamu tidak berlebihan.”
“Oh
ini, aku tidak sempat make up. Kakiku
kesakitan tadi.” Sivia tersenyum di akhir kalimat. Kemudian sedikit terlonjak
sebab tanpa peringatan Alvin mengetatkan tangannya yang sedari tadi melingkar
di pinggangnya.
“Bagus.
Karena aku khawatir bisa merusak make up
mu.” Itu kalimat terakhir sebelum Alvin mempertemukan bibir mereka, tanpa
permisi.
Ternyata
dengan begitu, lebih tersalurkan luapan rindu yang sungguh mengendap sekian
lamanya. Hanya mereka yang merasakannya. Letupan-letupan rindu menjelma
kecupan-kecupan kecil.
Ketika
berakhir, keduanya malah terkekeh.
“How was that?”
“Curang.”
Protes Sivia. Wajahnya bersungut, mengingatkan Alvin pada Cherivia kalau sedang
ngambek.
“Sivia,
mmm.. mungkin ini terdengar melankolis, tapi aku ada sesuatu.” Segera Alvin
merogoh saku jasnya, mumpung ingat. Sebuah benda berkilauan tergeletak di atas
telapak tangan Alvin. Sivia tentu masih ingat jelas itu apa. Cincin
pernikahannya yang sempat ditinggalkan…
Untuk
keduakalinya, Alvin menyematkan cincin yang sama pada jari manis Sivia. Bedanya
kali ini penuh cinta, penuh harapan-harapan indah ke depannya. Bukannya asal
memasangkan seperti yang dilakukannya dulu.
“Kembali
lagi, Vi. Kembali ke rumah.”
Ada
sorot yang tidak terartikan di mata Sivia. Lantas Ia mengangguk setuju, disusul
sebulir air matanya yang terlalu sensitif dengan suasana. Selanjutnya Ia
mendapati raganya sudah direngkuh Alvin.
“Sivia…”
Alvin mendesah lega. Sekarang, sampai kapanpun itu, Sivia sudah dan akan selalu
terjangkau olehnya.
“Apa
kita akan menikah lagi?” Tanya Sivia polos, mendongak untuk melihat wajah
Alvin. Sialnya, itu dijadikan kesempatan bagi Alvin mencuri satu kecupan
singkat dari Sivia.
“Buat
apa? Kita tidak pernah bercerai sama sekali.”
“Aku
kira kamu dengan sudah membereskan semuanya ke pengadilan.”
“Pikiran
macam apa itu?”
“Bukannya
itu yang kamu mau?”
“Bisa
tidak berhenti membahas yang dulu, itu membuat aku merasa bersalah.”
“Aku
yang salah dari awal, Vin. Udah lancang jatuh cinta sama kamu.”
“Stop
Sivia, jangan bahas itu lagi.”
“Nggak
perlu merasa bersalah, aku tidak merasa dirugikan pernah menjadi bagian di
hidup kamu dulu, Alvin. Walaupun kurang menyenangkan.”
“Sivia!”
Alvin mulai gusar, pasalnya Sivia entah sengaja atau bagaimana, membuatnya
kembali merasa bersalah atas kelakuannya di masa lalu. Sivia malahan tertawa
tanpa dosa.
“Mami,
Papi…”
Sivia
jadi salah tingkah. Cherivia muncul tiba-tiba. Ia segera melepas kedua tangannya
yang melingkar nyaman di bahu Alvin. Jangan
katakan Ia dan Alvin sudah diperhatikan si gadis kecil, Cherivia dari tadi?
“Mami
pulang ya, di rumah tinggal sama Via, sama Papi juga.”
Baru
kali ini Sivia mengangguk mantap atas permintaan anaknya.
“Aku
bingung siapa sebenarnya pengantin di sini, kenapa kalian yang sangat mesra?”
Gabriel bersama isterinya, Agatha, menghampiri keluarga kecil milik Alvin. “Ini
Agatha, Vin. Isteri aku yang sebenarnya.”
Wajah
Alvin memerah karena perkataan Gabriel.
“Hai
Alvin, salam kenal.”
“Salam
kenal. Aku doakan pernikahan kalian bertahan.”
“Terimakasih.
Dan aku juga ingatkan, Sivia resmi adik angkatku. Kalau kamu bersungguh ingin
dia kembali, tolong dijaga dan hormati. Yaah, kalian lebih berpengalaman
masalah itu.”
“Aku
mengerti.” Alvin menyanggupi, seraya mengecup pelipis Sivia di sebelahnya.
==================
Ada
perayaan kecil untuk menyembut berita bahagia atas kembalinya Sivia ke rumah.
Rumah yang dimaksud adalah yang di dalamnya terdapat orang-orang yang dicintai
begitupun sebaliknya. Mama dan Papa Alvin paling bersemangat dengan ini. Mereka
menyiapkan makan malam spesial untuk merayakannya. Sivia jadi merasa
tersanjung.
“Mama
percaya ini takdir, Mama dan Papa jauh-jauh berkunjung kesini, taunya ada
kejadian seperti ini. Jangan pergi lagi, Via.”
Sivia
bingung harus menjawab apa.
“Tempat
kamu memang di sini, bersama kami.” Sambung Papa Alvin. Pria paruh baya itu,
baru menampakkan senyum nya setelah sekian lama hilang. Ia sungguh jatuh hati
pada Sivia. Merasa lengkap dan pas bergabung menjadi bagian keluarganya.
“Ma,
Pa, berhubung Sivia punya keluarga baru, keluarga angkat yang dijemput Sivia di
bandara saat itu, Alvin punya rencana untuk mengundang mereka makan malam kalau
ada waktu baik.”
“Yaa,
kami setuju. Secepatnya sebelum kami pulang.”
“Papi,
berarti undang Oom Gabriel sama Tante Agatha juga yaa…”
“Via
mau?” Tawar Alvin, memulai negoisasi. “Papi akan undang mereka, tapi nanti
malam Via tidurnya sama oma dan opa ya.”
Sivia
yang daritadi cuma diam menyimak, tiba-tiba batuk-batuk kesulitan menelan
makanan. Bertambah kesal karena Alvin justru menertawakannya secara frontal.
=================
“Welcome
home.” Bisik Alvin seraya memberi kecupan ringan di pipi Sivia. Sivia terkejut,
karena sebelumnya Ia melamun menghadap pintu kaca, memandangi langit malam,
dari kamar Alvin, -kamar mereka.
Sivia
berbalik lalu menaikkan alisnya. “Daritadi juga udah di rumah.” Komentarnya.
“Baru
ingat ngucapin.” Balas Alvin cuek.
Selanjutnya
mereka hanya saling pandang.
“Apa?”
Tanya Alvin, menyadari Sivia ingin mengatakan sesuatu.
“Aku
nggak berani membayangkan hari ini sebelumnya. Terimakasih, Alvin.”
“Seharusnya
kalau sudah ada ikatan suci, kata terimakasih dan maaf tidak berlaku lagi. Itu
memang sudah seharusnya.”
Sivia
tertawa ringan. “So wise. Belajar
darimana?”
“Pengalaman
masa lalu.”
Sivia
memastikan, mencari-cari. Ya. Sivia menemukan kesungguhan di sana. Di mata
Alvin, -suaminya.
Gara-gara
disibukkan menemukan kesungguhan Alvin, Sivia tersadar ketika jemarinya
dirangkum rapat-rapat. Dan Ia tidak bodoh untuk menyadari kalau lagi-lagi Alvin
akan mencuri ciumannya.
Sivia
membiarkannya, bahkan ikut larut terbawa suasana. Suasana yang sempat Ia
dambakan, lalu dikubur dalam-dalam lagi. Takut terlalu tinggi berkhayal.
Ingatan-ingatan bagaimana awal mengenal pria yang berada tepat di hadapannya
ini, menjalani hari-hari kelamnya dulu, menghadapi hari-hari selanjutnya yang
sepi. Semuanya silih berganti seperti potongan-potongan film yang diputar acak.
Namun semua rasanya imbang kalau balasannya seperti ini.
“Mam, Pap…”
Suara
Cherivia menginterupsi aktivitas keduanya. Mereka berusaha bersikap biasa.
Di
arah pintu, Cherivia seperti biasa membawa boneka pandanya berjalan gontai
dengan pakaian tidur bermotif bunga-bunga.
“Kenapa
ke sini lagi? Pap kan udah bilang malam ini Via tidur sama oma dan opa.”
“Via
mau tidur sama Mami Papi. Opa tidurnya berisik, dia mendengkur.” Rengeknya.
“Iya,
Via tidur di sini aja. Ayo, besok harus bangun pagi dan sekolah.” Cherivia yang
memang sudah mengantuk bahkan sempat tertidur bersama oma dan opanya, menurut
patuh pada Mami nya.
Jangan
tanyakan Alvin, karena Ia paling merasa dirugikan saat ini. Lihat saja postur tubuhnya,
berkacak pinggang kelewat kesal.
“Pap
nggak ngantuk? Ayo tidur.”
Anak itu tidak merasa
bersalah sama sekali!
“Vin,”
Sivia ikut menegur.
“Ya
ya.”
“Selamat
tidur, Pap, Mam.” Setelah mencium kedua orang tuanya, Cherivia menyamankan
dirinya di antara mereka berdua dan segera jatuh tidur.
Alvin
tidak berhenti memandangi Cherivia yang sudah tertidur dan Sivia yang membelai
lembut puncak kepala malaikat kecil mereka, tetapi matanya masih segar.
“Sivia?”
“Hm.”
Sivia menjawab sekenanya, karena jujur saja Ia belum mengantuk.
“Segera
berkemas, aku berencana membawa kamu mungkin ke Toronto barang dua atau tiga
hari.”
“Hah?”
“Ini
perintah. Kita pergi berdua. Via biar disini dengan oma opanya.”
“Tapi,
Alvin—”
“Pap,
mau ke mana? Via ikut yaa.”
Alvin
tersentak. Rasanya tadi si kecil sudah terlelap. “Via belum tidur??”
“Mam
sama Pap berisik sih.” Sivia membekap mulutnya demi menahan kekehannya.
“Papp,
Via ikut yaa. Via juga mau ke sana. Apa nama tempatnya tadi, Pap?”
“Toronto.”
Sahut Alvin datar.
“Ya.
Via ikut ke sana ya. Kita jalan-jalan bertiga.”
“Iya
iya, Via pasti ikut kok. Ya kan Pap?” Balas Sivia semakin menahan kekehannya.
“Iya
terserah. Udah tidur sekarang semuanya. Papi juga ngantuk.” Alvin beringsut
menghadap ke tepi, selanjutnya menarik selimut sebatas leher. Masih didengarnya
kekehan kecil Sivia.
Alvin
jadi jengah, Ia menoleh untuk sekedar memperingatkan.
“Kamu
tawananku seumur hidup, Sivia. Cuma mau mengingatkan itu, paham kan?”
Dengan
begitu suasana di ruangan kembali menyepi. Sivia menelan kekehannya lagi.
Senyum miring kemenangan Alvin yang mengambil alih suasana kali ini.
E N D
Kok uda end? Cepet amat--" gak nyangka udah end aja ._.v awal2 syedih:'3 eh pas akhir2 ngakak sendiri sama si cherivia gangguin papi maminya mulu huahahahhahaaha dasar anak kecil (ˇ▼ˇ)-c<ˇ_ˇ) sian deh si alv gak bisa mesra2an berdua sama sivia:b siapapun authornya, ditunggu next story lagiiiiiiii:D ini kerennnnn!!! Apalagi genre married life, suka (ʃƪ˘ﻬ˘)
BalasHapuskerenn kerennn ^^
BalasHapusampuuunnn deh ini keren pake bangettt.... genrenyasuka marriage life....
BalasHapusnumpang nitipin link gue yaa..kalau mau berkunjung juga boleh..
obat kista tradisional.
obat pelangsing herbal.
thanks before sis..