Jumat, 26 Juli 2013

Love & Be Loved [6] END


Title : Love & Be Loved
Author : Anonim
Genre : Romance, Married Life
Cast : Alvin Jonathan, Sivia Azizah and others


Ketika sinar matahari sudah berkali-kali mencoleknya, memperingatkan agar segera bangun dan beralih dari buaian alam mimpi, Alvin justru semakin mengetatkan selimut tebalnya. Membiarkan –teman tidurnya- itu membelit dan membungkus raganya yang entah mengapa terasa menggigil. Nampaknya Ia demam.
Hembus nafasnya terasa hangat, cenderung panas. Matanya basah karena berembun. Belum lagi pelipisnya serasa berdentam-dentam, pusing yang teramat dahsyat. Alvin mengernyit ketika meraba bagian keningnya dan mendapati suhu tubuhnya di atas normal.
“Papiii…” Secuil tenaga untuk sekedar bergumam saja Ia tidak punya, saat suara malaikat kecil rutin menyapanya di pagi hari. “Papi belum bangun? Ya ampun Papi panas, Pap sakit?”
“Via, kamu berangkat sama Pak Oji atau opa ya.” Titah Alvin lemah, Cherivia sudah lengkap dengan seragam dan tasnya.
“Papi tidak ke kantor?” Alvin menggeleng. “Via juga tidak sekolah, Via di sini sama Papi. Tunggu Pap, Via ambil obat.” Cherivia mengecup bibir dan pucuk hidung Papinya lalu terbirit ke luar kamar. Alvin tidak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya butuh tidur dan istirahat.
Kenapa berita pernikahan Sivia esok hari begitu menghisap tenaganya…
==================
Layaknya ibu lainnya, begitu mendapat telpon dari kediaman Alvin –Bik Santi- yang mengabarkan Cherivia jatuh sakit, Sivia minta izin pada Gabriel karena tidak bisa mengikuti Gladi resik pernikahan. Tentu saja Ia mengkhawatirkan Cherivia dan bergegas ke kediaman Alvin. Untungnya Gabriel memahaminya.
Hati Sivia menghangat dan sedikit gentar ketika rumah bertingkat dua yang elegan sudah terpampang di hadapannya. Ia akan masuk ke wilayah teritorial Alvin. Jantung Sivia berdetak lebih kencang seperti abg yang akan menghadiri dating pertamanya, apalagi ketika mengingat kejadian kemarin. Kejadian saat bagaimana lembut dan hangat bibir Alvin menempel sempurna di miliknya.
Aku ke sini untuk menjenguk Cherivia. Tegasnya dalam hati.
Sedikit ragu Ia memasuki zona kediaman Alvin. Dan rupanya tanpa ditunggu lama, pintu rumah sudah terbuka. Cherivia, putri kecil kecintaannya menyambutnya dengan berbinar.
“Mami datang.” Seperti sudah seharusnya Sivia merendahkan tubuhnya untuk memeluk Cherivia.
Tunggu. Apa tadi? Mami?
“Mami?” Ulang Sivia ragu-ragu.
“Iya. Ibu guru Sivia itu ternyata Mami nya Via, Papi yang bilang.” Pengakuan Cherivia sukses membuat Sivia mematung. “Via kangen Mami.” Jemari mungil Cherivia terulur membelai pipinya dengan ringan. Sungguh menggetarkan kalbu Sivia.
“Mami juga kangen Via.” Insting Sivia cukup baik berjalan, menciumi jemari Cherivia. Lalu kemudian baru Ia tersadar saat telapak tangan si Via kecil menempel di pipinya. “Katanya Via sakit? Tapi kenapa tidak panas? Via baik-baik aja?”
Cherivia menggeleng malu-malu. “Via sehat, Mam. Yang sakit itu Papi, Mam.”
Hah?
“Via minta Maminya ke sini buat jenguk Papinya. Tapi Mama takutnya kamu nggak akan mau datang untuk itu, jadi Mama minta Bik Santi sedikit berbohong.” Itu Mama Alvin, ada juga Papa Alvin.
“Mama, Pa…”
“Kamu udah di sini, jenguk Alvin sebentar saja. Mau ya, Vi?”
Selalu saja hati Sivia terenyuh kalau sudah Mama dan Papa mertuanya dulu meminta dengan wajah penuh kasih seperti itu.
===================
Memang dari dulu Bik Santi sudah jatuh hati pada Sivia, jadi ketika Sivia berkunjung, wanita pruh baya itu turut menyambut dengan hangat. Kini Bik Santi yang dengan senang hati mengantar Sivia sampai depan pintu cokelat gelap, pintu kamar Alvin.
“Sudah lama saya tidak lihat non Sivia, sekarang tambah cantik. Maaf ya non, saya tadi bohong di telpon.”
“Iya. Nggak apa-apa Bik.” Sivia tersenyum memaklumi.
“Silahkan masuk, Non.”
“Iya, Bik. Eh tunggu Bik,” Sivia menahan Bik Santi sesaat, hanya untuk bertanya, “Alvin udah makan?”
“Keluar kamar aja belum, Non dari tadi.”
Sivia tampak berpikir sebentar. “Buatin nasi goreng satu ya, Bik. Tapi pakai margarin kalau ada.” Bik Santi menyanggupi, kemudian permisi dengan mengulum senyum penuh arti.
Mau tidak mau, Sivia harus memasuki kamar ini…
Setalah berhasil membuka pintu, perlahan Ia melangkah ke dalamnya. Suasana kamar seorang lelaki dewasa yang jantan begitu terasa, mendominasi ruangan. Sivia mendesah resah, ini pertama kali memasuki kamar Alvin. Saat mereka masih tinggal bersama pun belum pernah sama sekali. Mereka kan pisah kamar…
Sivia menggelengkan kepala, berusaha menghenyakkan pikiran lancangnya.
Nah, itu dia. Seonggok manusia yang terkapar rapat di balik selimut, di atas ranjang lebar. Sivia semakin mendekat lagi hati-hati. Tidur Alvin pun seperti gelisah. Ada kerutan samar di dahinya, nafasnya teratur tetapi temponya agak cepat. Bahkan Sivia dapat merasakan radiasi kalor dari tubuh Alvin. Dan benar saja, suhu tubuh Alvin di atas normal. Sivia membuktikan dengan punggung tangannya sendiri.
Sivia segera menjauhkan tangannya, karena lagi-lagi tubuh Alvin bergerak. Kemudian mata lelaki itu membuka perlahan.
“Sivia…?”
“Hai. Selamat pagi.” Sivia mencoba menghalau kegugupannya.
“Kamu di sini?” Pelan-pelan Alvin mencoba duduk, bersender di kepala ranjang.
Sivia mengangkat bahu cuek. “Seperti yang kamu lihat. Aku ditelpon Bik Santi, katanya Cherivia sakit. Setelah sampai sini, taunya Via sehat, Papinya yang sakit.”
Ekspresi Alvin saat itu tak tergantikan. Kesal, malu, kaget bercampur senang.
“Maaf, aku nggak tau Via berbuat begitu.”
“Bukan Via sepenuhnya. Mama sama Papa kamu juga.”
“Ahh, maaf, Vi.” Ucap Alvin nampak bersyukur atas kejahilan keluarganya. “Jadi merepotkan. Kamu nggak kerja?”
Sivia menoleh sana-sini untuk mencari tempat duduk yang mungkin tersedia di kamar ini, tapi tidak menemukannya. Alvin yang menyadari itu, memberi isyarat agar Sivia duduk di ranjangnya. Sivia tidak keberatan, lalu memposisikan dirinya di sebelah Alvin, menghadap lelaki itu.
“Aku izin sehari. Kak Gabriel yang memaksa, dia bilang harus ada persiapan sebelum hari H.”
“Hari H?” Alvin mendadak lupa. “Oh, pernikahan itu.” Sahutnya tak bersemangat. Memalingkan muka karena Sivia menatap nya intens.
Lalu hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Di waktu sudah menemukan bahan pembicaraan, keduanya saling tegur bersamaan.
“Kamu duluan, Vi.” Alvin mempersilahkan Sivia.
“Aku,.. engg, tadi Cherivia panggil aku dengan Mami. Kamu beri tau dia yang sebenarnya?”
“Iya, Sivia. Kamu tidak keberatan kan? Tapi Cherivia terlalu kecil bisa paham keadaan kita, dia merengek agar kamu tinggal bersama di sini. Bersama Mami dan Papi nya.”
Di akhir ucapan Alvin, pandangan mereka bersibobrok. Oh, sungguh! Apa keadaan tidak bisa dipermudah sehingga mereka bisa berucap rindu dan cinta satu sama lain?
“Kamu tenang aja, aku bisa atasi itu. Perlahan Cherivia pasti mengeri keadaan.” Ucap Alvin. Jangan sampai Ia sendiri yang terlihat mendambakan Sivia bisa tinggal serumah lagi dengannya, layaknya keluarga bahagia.
“Ya.” Sivia bergumam. Rasanya pita suara di tenggorokan sengaja diikat mati, suaranya lemah.
Tepat ketika itu, Bik Santi datang membawa nampan dengan sepiring nasi goreng beraroma harum dan air mineral. Wanita paruh baya itu tampak salah tingkah, maka Ia bergegas pamit keluar.
“Kamu belum sarapan kan? Habiskan ini dulu, setelah itu minum obat.”
“Sebenernya aku tidak berniat makan apapun.” Namun, di bawah tatapan mengintimidasi Sivia, -seperti isteri yang memarahi suaminya- Alvin jadi menurut, menyuap nasi goreng sendok demi sendok.
Sambilan menunggu Alvin menghabiskan sarapan, Sivia berjalan ke sebelah kanan ruangan. Ia menyibak tirai cokelat lalu mengikatnya ke samping. Mengizinkan cahaya matahari masuk ke ruangan. Rupanya di balik tirai ada pintu kaca sebagai pembatas ruangan dan balkon.
Apa yang dikerjakan Sivia tidak luput dari perhatian Alvin, dan Ia mengernyit kala mengingat bahwa sebentar lagi Sivia akan biasa melakukan itu di kamar suaminya.
“Kamu menyimpan obat penurun demam?”
Salvin tersentak, Sivia bertanya tiba-tiba sudah duduk di dekatnya lagi. “Aku tidak biasa menyimpan obat, tapi tadi Via membawakan obat, ada di laci meja.” Alvin menyudahi sarapan yang bersisa seperempatnya lagi.
“Sarapannya nggak habis, jadi obatnya harus diminum.”
Lagi-lagi Alvin patuh. Dia bisa apa kalau sudah ditatap Sivia seperti itu. Tatapan Sivia benar-benar menghujam denyut nadinya, membuat aliran darahnya tersumbat sesaat.
“Obatnya akan bereaksi nanti, semoga demam kamu turun.” Jeda sesaat. Sivia melirk arlojinya gelisah. “Aku harus pulang, Alvin. Aku pamit sekarang ya.”
“Sekarang?” Alvin tidak rela. “Oke, baiklah. Biar aku antar kamu ke pintu depan.”
“Sudah sehat ya?” Tanya Sivia skeptis. Gantian Sivia yang jengah. Melihat Alvin mampu berdiri sendiri menopang tubuhnya. Ya Tuhan! Lelaki ini, sakit-sakit begini masih saja tetap tampan!
“Sedikit membaik. Terimakasih ya.” Keberanian yang entah muncul darimana, Alvin mencium kening Sivia dengan hati-hati. “Ayo ke bawah.”
Dan Sivia pun mengikuti Alvin, dengan debar jantung yang berirama semau dag dig dug…
===================
“Mami pulang sekarang?” Ketara sekali wajah kecewa Cherivia, ketika mengantar Sivia sampai pintu depan.
“Kapan-kapan Mami ke sini lagi.”
“Kenapa Mam nggak tinggal di sini aja, sama Via sama Papi? Mam nggak sayang kita?”
Sungguh Sivia tidak terpikir untuk menjawab apa. Ia menoleh ke Alvin seolah meminta pertolongan.
“Via sayang, Papi kan udah bilang, Sivia memang Mami nya Via, tapi bukan Mami nya Papi.”
Secepat kilat Sivia menyeka butiran air mata yang lancang menetes tanpa peringatan, semasih Alvin memfokuskan pandangan pada Cherivia.
“Mami sayang Via kok.” Sivia mencium putrinya penuh kasih. “Lekas sembuh, Vin. Sampaikan salam buat Mama dan Papa.”
“Hm. Sampai jumpa besok.”
“Besok?” Sivia membeo.
“Ya. Aku diundang Gabriel di hari pernikahan besok.”
“Diundang Gabriel?” Membeo lagi.
“Ya. Kamu tidak keberatan kan kalau aku dan Via datang?”
“Ti-tidak. Tapi… kenapa Gabriel—” Sivia menelan lagi potongan kalimatnya. “Engg.. tidak jadi.” Sela nya. “Aku pamit ya.” Sekali lagi Sivia menganggukkan kepala dengan sopan.
==================
“Papi bohong!!! Via nggak mau ikut besokk!!”
“Via nggak mau lihat Mami? Besok Mami pakai baju kayak barbie.” Bujuk Alvin.
“Mami nggak boleh sama Oom Gabriel. Via nggak mauu!! Papi jangan kasih Mami nikah Pappp!!!”
Ini tidak pernah dibayangkan Alvin sebelumnya. Malaikat kecilnya sekarang menangis sejadi-jadinya. Meringkuk di sudut ranjang memeluk boneka pandanya.
“Kalau aja Papi bisa, Via.” Alvin melembut. Merengkuh Via kecil di pangkuannya.
“Mami nggak sayang sama kita ya, Pap.” Cherivia yang menangis sesenggukan, tapi Alvin yang merasakan sesak.
“Siapa bilang? Mami sayang Via, sangat sayang.”
“Tapi Mam nggak sayang Papi…”
Selebihnya Alvin membiarkan Cherivia menangis, sampai membasahi bajunya sekalipun.
====================
Tidak semua masa lalu harus dilupakan, sebagian bertakdir menjadi jembatan ke masa depan…
^_^ ^_^
Sejak awal hari, Alvin melakukan aktivitas dengan tak bersemangat. Undangan pernikahan Gabriel dan Sivia tepat hari Minggu, sehingga tidak bisa beralasan ‘sibuk bekerja’ untuk menghindari undangan itu.
Masalah Cherivia, semenjak mengetahui bahwa Mami nya benar-benar tidak bisa tinggal bersama dengannya, malaikat kecil itu berdiam diri tak seaktif biasanya. Memang kalau sedang tidak dalam mood Cherivia pasti memilih diam tidak bersuara, persis Alvin.
“Alvin, liat putrimu, cantik kan?”
Alvin yang sedang melamun sambilan mematut bayangannya di cermin, menoleh ke pintu kamarnya yang terbuka. Mama nya masuk kamar menggandeng Via kecil yang memang tampak seperti malaikat kecil dengan gaun putih berhiaskan pita khas anak-anak. Rambutnya tergerai indah, dengan hiasan bunga kecil di bagian samping. Cantik, refleksi Sivia.
“Mirip princess. Siapa dulu Papinya.” Diusapnya pipi Cherivia, sedikit merayu agar mau tersenyum.
Alvin sendiri memilih kemeja berwarna biru tipis cenderung putih, dipadukan setelan jas dan celana kain hitam. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya. Hanya saja, pada dasarnya Ia sudah memiliki nilai tambah di fisik nya yang proporsional, belum lagi tampangnya yang tampan tapi angkuh.
“Kita berangkat sekarang ya Ma.”
“Hati-hati, Vin.” Mama Alvin menyentuh kain halus jas hitam Alvin, memberi sentuhan kasih. Tersenyum dengan tatapan nanar.
“I’m oke, Mom. Trust me.” Seolah meyakinkan Alvin mencium punggung tangan Mamanya.
Dengan begitu Mama Alvin hanya bisa percaya pada putra satu-satunya, dan mengantar Alvin dan Cherivia ke lantai bawah sampai pintu depan.
“Sampaikan salam Papa untuk Sivia, Vin.” Begitu ucap Papa Alvin yang datang dari arah dapur.
“Nanti Alvin sampaikan.”
==================
Sampai di lokasi acara dihelat.
Rupanya bukan sebuah pernikahan yang mewah nan megah. Pernikahan Alvin dan Sivia dulu malah lebih jauh mewah dan terkesan disiapkan jauh-jauh hari. Pernikahan yang sedang dihadiri Alvin saat ini adalah pernikahan sederhana, tapi penuh kehangatan. Digelar disebuah taman yang luas terbuka, pas dengan cuaca hari cerah.
Dekorasinya dipenuhi bebungaan putih, menambah kesan suci. Belum lagi patung-patung berupa malaikat putih menghiasi bagian tengah kolam air mancur. Bunyi gemericik air nya sebagai ucapan selamat datang bagi para undangan. Kursi-kursi dengan dilapisi kain satin putih sudah ditata rapi pada bagian kanan dan kirinya, hanya dipisah dengan taburan mahkota mawar putih dan lilin yang sengaja didesain begitu.
Alvin menghela nafasnya ketika berjalan memasuki area pernikahan digelar. Dari sekian banyak undangan, tak ada satupun yang kiranya Alvin kenal. Tapi tetap saja ada beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, dengan tatapan ‘Pangeran darimana ini?’ atau ‘Yang kecil itu anaknya?’
“Papi..” Tangan kecil Cherivia mengeratkan pegannya pada tangan kokoh Alvin. Via kecil nampaknya sama resahnya dengannya.
“Di sana ada tempat kosong. Ayo…” Lantas Alvin memutuskan bahwa Ia tidak boleh kabur mendadak. Jadi Alvin memilih kursi kosong di barisan tengah. Kebetulan Ia dan Cherivia mendapat di bagian tepi, bersebelahan dengan jalur iringan pengantin akan berjalan ke altar nanti. Mereka berdua duduk, tanpa berniat mengobrol satu sama lain.
Baik Alvin maupun Cherivia, seolah sedang menunggu bom waktu. Tik tik tik tik…
Kali ini sedikit berbeda. Bom waktu digantikan dengan musik alunan dari violinist yang menandakan acara sebentar lagi dimulai. Undangan berubah hening dan semuanya berdiri seketika, tat kala pengantin pria sudah berada di posisinya yang pas, di altar. Menunggu iringan pengantin wanita yang berjalan mendekat dihujani tatapan kagum para undangan.
Saat ini akan terjadi juga, Alvin tau itu.
Dengan jarak cukup jauh begini saja Alvin dapat melihat pengantin wanitanya berjalan anggun dengan gaun pengantin putih yang menjuntai, terseret ketika berjalan. Diiringi beberapa bridesmaid berseragam gaun putih tetapi membiru kebagian bawah. Wajah cantik pengantin wanita tersembunyi dibalik kain putih transparan. Tetapi Alvin bisa menebak senyum bahagia yang terkembang di wajah Sivia. Apakah mungkin sama dengan senyum ketika menikah dengan dirinya, atau malah lebih bahagia…? Pemikiran itu menohok ulu hatinya. Kalau saja dulu Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan…
Alvin menahan nafas ketika iringan pengantin semakin mendekat. Malahan lagi-lagi Ia merasakan tangannya diremas kuat-kuat oleh Cherivia.
“Lihat nanti, Mami Via pasti kayak barbie.” Ucap Alvin menatap anaknya. Sedihnya, Cherivia malah menjatuhkan air mata. Alvin mengusap air matanya lalu menunduk mengecup pucuk kepala Cherivia. Dan mau tidak mau, fokusnya kembali pada Sivia.
Ya Tuhan! Jantung Alvin seolah lepas, lolos jatuh ke bawah, tat kala pengantin wanita tepat berlalu di hadapannya. Bahkan mengumbar senyum terpusat padanya. Alvin akui dia sangat cantik! Tapi demi Tuhan, itu bukan kecantikan yang dimiliki Sivia nya.
Apa Ia telah melewatkan sesuatu?
“Pap, Mami mana? Itu bukan Mami.”
Iya benar kata Cherivia, itu bukan Mami nya. Bukan Sivia. Otak cerdas Alvin cukup berpikir cepat, Ia menoleh ke Gabriel yang berdiri gagah di depan altar. Seolah tau yang terjadi, Gabriel tersenyum terpusat padanya, penuh arti. Sama seperti yang dilakukan pengantin wanita tadi.
“Pap, itu bukan Mami.” Gugah Via kecil sekali lagi mengundang perhatian hadirin lainnya.
Leher Alvin seolah tak bertulang. Ia menyapu seluruh hadirin, tiap sudut tempat. Sekarang apalagi ini? Di mana Sivia nya?
“Hei, kalian mencari siapa, hm?”
Alvin menoleh cepat ke sebelahnya. Dan menemukan apa yang dicarinya sejak tadi, sejak dulu.
“Sivia…”
“Mami!”
“Hai princess, cantik sekali hari ini.”
“Mam juga cantik / Papi, ini Mami.”
Ya Alvin juga melihat itu Sivia. Cuma Alvin masih butuh mencerna apa-apa saja yang disaksikannya kasat mata. Takut jika sekali kedip saja, semuanya hilang. Takut jika Sivia yang duduk di sebelahnya hanya fatamorgana, lalu sekejap mata kembali lagi berdiri di depan altar.
Namun itu semua terbukti nyata, saat tangan lembut Sivia menyentuh dan menggenggam tangannya. Dan berbisik, “I’m here”.
Dan segenap gejolak yang bertumbuk, tumpah ruah dalam seulas senyum penuh kelegaan.
===================
Keduanya sengaja melupakan keadaan sekitar mereka. Yang mereka tau adalah hanya ada mereka berdua di sini. Bergerak ringan, seringan bulu. Sinkron dengan alunan gesek biola yang mencapai nada harmonisasi yang pas. Mereka berdansa ibarat dua merpati yang bercengkarama di dahan cemara. Entahlah, mereka -Alvin dan Sivia- bahkan terlalu indah jika dibandingkan dengan merpati.
Terlalu banyak yang ingin diungkap satu sama lain. Tapi rindu lebih mendominasi minta dilunasi. Jadi, hanya bertatap pandang dalam posisi dansa romansa begini sudah lebih dari cukup.
“Kenapa bisa berpikiran hari ini pernikahan aku dan Gabriel, hm?” Sivia mengulum senyum nya. Merasa satu sama atas pertanyaan Alvin tempo hari, yang sempat Ia kira sudah beristeri.
“Siapapun yang ada di posisiku pasti berpikir sama. Kalian dekat dan berkomunikasi membahas pernikahan. Dan satu lagi, kenapa Gabriel mu itu malahan mengundang aku ke sini, bukannya bilang saja yang sebenarnya kalau bukan menikah denganmu.” Kata Alvin setengah gusar.
“Ternyata itu ide jahil Kak Gabriel, aku juga baru diberitau dia tentang pemikiranmu itu tadi, Alvin. Makanya kemarin aku heran kenapa Kak Gabriel mengundang kamu. Kalian bahkan baru bertemu sekali.”
Malu-malu Sivia mulai menceritakannya. “Aku ini salah satu bridesmaid nya Kak Agatha, pengantin wanitanya. Lihat gaunku sekarang kan.” Ya, Alvin menelusuri Sivia dari atas kebawah. Cantik sempurna dengan gaun putih lalu membiru di bagian bawah, seragam bridesmaid tadi. “Tapi aku ceroboh, high heels ku patah dan kakiku terkilir. Tidak lucu kalau aku jalan pincang diliatin semua orang.”
***
“Makanya hati-hati, Via. Yaudah, kamu duduk di deretan undangan aja tidak apa-apa ya, nggak lucu juga kalau bridesmaid jalannya pincang. Ada Alvin juga anakmu di sana.”
 “Ah iya Kak! Aku lupa tanya itu. Kenapa Kakak undang mereka?!”
“Karena Alvin mu itu berpikir aku sama kamu ini calon suami isteri yang akan nikah hari ini.”
“Hah?”
“Iya. Entahlah dia dapet gagasan darimana. Kamu belum cerita kalau kita sekarang kakak beradik?” Sivia menggeleng. “Pantes Sivia. Waktu Alvin cium kamu di rumah, muka dia kayak kikuk gitu ke aku, mungkin dikira aku cemburu.”
Cerita Gabriel, tiba-tiba mencerahkan suasana hati Sivia.
“Hei, kenapa senym-senyum?”
“Nggak apa-apa, Kak. Terimakasih Kak Gabriel, I love you. Semoga langgeng sama Kak Agatha.”
***
“Dan selamat kalian sukses buat aku merinding hari ini.”
Sivia terkekeh lucu. “Memang aku banyak ambil bagian di pernikahan ini,” Sivia mendekatkan wajahnya ke telinga Alvin, membisikkan sesuatu. “Kak Gabriel dan Kak Agatha sebenarnya kurang mendapat restu, terutama dari orang tua Kak Gabriel.”
Mata Alvin melebar kaget, lebih karena sensasi geli gara-gara bisikan Sivia. “Ini juga pernikahan yang buru-buru, karena Kak Gabriel takut Kak Agatha berubah pikiran dan menyerah dengan hubungan mereka. Sebagai adik angkat yang baik, aku membantu Kak Gabriel mempersiapkan ini semua, saat semua sudah seratus persen baru Kak Gabriel menyatakan niatnya untuk melamar Kak Agatha, jadi Bunda dan Ayah tidak mungkin menghalangi.”
“Jadi kamu benar adik angkat Gabriel ya?”
“Iya. Memangnya aku belum pernah cerita kalau dulu kami memang tetangga dekat? Bunda dan Ayah seperti orang tua ku juga, Vin.”
“Itu sebabnya orang tua Gabriel baik ke kamu. Bukan karena kamu calon menantu ya?”
“Bukanlah.” Dan Sivia mengakhiri penjelasannya.
Mereka kembali larut dalam nuansa romans milik berdua.
“Kenapa malah diem? Katakan sesuatu, Alvin.”
Alvin mendenguskan tawanya. “Banyak, Vi. Banyak yang ingin aku sampaikan.”
“Salah satu untuk saat ini.”
Alvin tampak berpikir sejenak. Dan seolah mendapat ide brilian, matanya mengerling.
“Bukan maksud gombal, tapi memang hari ini dandanan kamu tidak berlebihan.”
“Oh ini, aku tidak sempat make up. Kakiku kesakitan tadi.” Sivia tersenyum di akhir kalimat. Kemudian sedikit terlonjak sebab tanpa peringatan Alvin mengetatkan tangannya yang sedari tadi melingkar di pinggangnya.
“Bagus. Karena aku khawatir bisa merusak make up mu.” Itu kalimat terakhir sebelum Alvin mempertemukan bibir mereka, tanpa permisi.
Ternyata dengan begitu, lebih tersalurkan luapan rindu yang sungguh mengendap sekian lamanya. Hanya mereka yang merasakannya. Letupan-letupan rindu menjelma kecupan-kecupan kecil.
Ketika berakhir, keduanya malah terkekeh.
“How was that?”
“Curang.” Protes Sivia. Wajahnya bersungut, mengingatkan Alvin pada Cherivia kalau sedang ngambek.
“Sivia, mmm.. mungkin ini terdengar melankolis, tapi aku ada sesuatu.” Segera Alvin merogoh saku jasnya, mumpung ingat. Sebuah benda berkilauan tergeletak di atas telapak tangan Alvin. Sivia tentu masih ingat jelas itu apa. Cincin pernikahannya yang sempat ditinggalkan…
Untuk keduakalinya, Alvin menyematkan cincin yang sama pada jari manis Sivia. Bedanya kali ini penuh cinta, penuh harapan-harapan indah ke depannya. Bukannya asal memasangkan seperti yang dilakukannya dulu.
“Kembali lagi, Vi. Kembali ke rumah.”
Ada sorot yang tidak terartikan di mata Sivia. Lantas Ia mengangguk setuju, disusul sebulir air matanya yang terlalu sensitif dengan suasana. Selanjutnya Ia mendapati raganya sudah direngkuh Alvin.
“Sivia…” Alvin mendesah lega. Sekarang, sampai kapanpun itu, Sivia sudah dan akan selalu terjangkau olehnya.
“Apa kita akan menikah lagi?” Tanya Sivia polos, mendongak untuk melihat wajah Alvin. Sialnya, itu dijadikan kesempatan bagi Alvin mencuri satu kecupan singkat dari Sivia.
“Buat apa? Kita tidak pernah bercerai sama sekali.”
“Aku kira kamu dengan sudah membereskan semuanya ke pengadilan.”
“Pikiran macam apa itu?”
“Bukannya itu yang kamu mau?”
“Bisa tidak berhenti membahas yang dulu, itu membuat aku merasa bersalah.”
“Aku yang salah dari awal, Vin. Udah lancang jatuh cinta sama kamu.”
“Stop Sivia, jangan bahas itu lagi.”
“Nggak perlu merasa bersalah, aku tidak merasa dirugikan pernah menjadi bagian di hidup kamu dulu, Alvin. Walaupun kurang menyenangkan.”
“Sivia!” Alvin mulai gusar, pasalnya Sivia entah sengaja atau bagaimana, membuatnya kembali merasa bersalah atas kelakuannya di masa lalu. Sivia malahan tertawa tanpa dosa.
“Mami, Papi…”
Sivia jadi salah tingkah. Cherivia muncul tiba-tiba. Ia segera melepas kedua tangannya yang melingkar nyaman di bahu Alvin. Jangan katakan Ia dan Alvin sudah diperhatikan si gadis kecil, Cherivia dari tadi?
“Mami pulang ya, di rumah tinggal sama Via, sama Papi juga.”
Baru kali ini Sivia mengangguk mantap atas permintaan anaknya.
“Aku bingung siapa sebenarnya pengantin di sini, kenapa kalian yang sangat mesra?” Gabriel bersama isterinya, Agatha, menghampiri keluarga kecil milik Alvin. “Ini Agatha, Vin. Isteri aku yang sebenarnya.”
Wajah Alvin memerah karena perkataan Gabriel.
“Hai Alvin, salam kenal.”
“Salam kenal. Aku doakan pernikahan kalian bertahan.”
“Terimakasih. Dan aku juga ingatkan, Sivia resmi adik angkatku. Kalau kamu bersungguh ingin dia kembali, tolong dijaga dan hormati. Yaah, kalian lebih berpengalaman masalah itu.”
“Aku mengerti.” Alvin menyanggupi, seraya mengecup pelipis Sivia di sebelahnya.
==================
Ada perayaan kecil untuk menyembut berita bahagia atas kembalinya Sivia ke rumah. Rumah yang dimaksud adalah yang di dalamnya terdapat orang-orang yang dicintai begitupun sebaliknya. Mama dan Papa Alvin paling bersemangat dengan ini. Mereka menyiapkan makan malam spesial untuk merayakannya. Sivia jadi merasa tersanjung.
“Mama percaya ini takdir, Mama dan Papa jauh-jauh berkunjung kesini, taunya ada kejadian seperti ini. Jangan pergi lagi, Via.”
Sivia bingung harus menjawab apa.
“Tempat kamu memang di sini, bersama kami.” Sambung Papa Alvin. Pria paruh baya itu, baru menampakkan senyum nya setelah sekian lama hilang. Ia sungguh jatuh hati pada Sivia. Merasa lengkap dan pas bergabung menjadi bagian keluarganya.
“Ma, Pa, berhubung Sivia punya keluarga baru, keluarga angkat yang dijemput Sivia di bandara saat itu, Alvin punya rencana untuk mengundang mereka makan malam kalau ada waktu baik.”
“Yaa, kami setuju. Secepatnya sebelum kami pulang.”
“Papi, berarti undang Oom Gabriel sama Tante Agatha juga yaa…”
“Via mau?” Tawar Alvin, memulai negoisasi. “Papi akan undang mereka, tapi nanti malam Via tidurnya sama oma dan opa ya.”
Sivia yang daritadi cuma diam menyimak, tiba-tiba batuk-batuk kesulitan menelan makanan. Bertambah kesal karena Alvin justru menertawakannya secara frontal.
=================
“Welcome home.” Bisik Alvin seraya memberi kecupan ringan di pipi Sivia. Sivia terkejut, karena sebelumnya Ia melamun menghadap pintu kaca, memandangi langit malam, dari kamar Alvin, -kamar mereka.
Sivia berbalik lalu menaikkan alisnya. “Daritadi juga udah di rumah.” Komentarnya.
“Baru ingat ngucapin.” Balas Alvin cuek.
Selanjutnya mereka hanya saling pandang.
“Apa?” Tanya Alvin, menyadari Sivia ingin mengatakan sesuatu.
“Aku nggak berani membayangkan hari ini sebelumnya. Terimakasih, Alvin.”
“Seharusnya kalau sudah ada ikatan suci, kata terimakasih dan maaf tidak berlaku lagi. Itu memang sudah seharusnya.”
Sivia tertawa ringan. “So wise. Belajar darimana?”
“Pengalaman masa lalu.”
Sivia memastikan, mencari-cari. Ya. Sivia menemukan kesungguhan di sana. Di mata Alvin, -suaminya.
Gara-gara disibukkan menemukan kesungguhan Alvin, Sivia tersadar ketika jemarinya dirangkum rapat-rapat. Dan Ia tidak bodoh untuk menyadari kalau lagi-lagi Alvin akan mencuri ciumannya.
Sivia membiarkannya, bahkan ikut larut terbawa suasana. Suasana yang sempat Ia dambakan, lalu dikubur dalam-dalam lagi. Takut terlalu tinggi berkhayal. Ingatan-ingatan bagaimana awal mengenal pria yang berada tepat di hadapannya ini, menjalani hari-hari kelamnya dulu, menghadapi hari-hari selanjutnya yang sepi. Semuanya silih berganti seperti potongan-potongan film yang diputar acak. Namun semua rasanya imbang kalau balasannya seperti ini.
 “Mam, Pap…”
Suara Cherivia menginterupsi aktivitas keduanya. Mereka berusaha bersikap biasa.
Di arah pintu, Cherivia seperti biasa membawa boneka pandanya berjalan gontai dengan pakaian tidur bermotif bunga-bunga.
“Kenapa ke sini lagi? Pap kan udah bilang malam ini Via tidur sama oma dan opa.”
“Via mau tidur sama Mami Papi. Opa tidurnya berisik, dia mendengkur.” Rengeknya.
“Iya, Via tidur di sini aja. Ayo, besok harus bangun pagi dan sekolah.” Cherivia yang memang sudah mengantuk bahkan sempat tertidur bersama oma dan opanya, menurut patuh pada Mami nya.
Jangan tanyakan Alvin, karena Ia paling merasa dirugikan saat ini. Lihat saja postur tubuhnya, berkacak pinggang kelewat kesal.
“Pap nggak ngantuk? Ayo tidur.”
Anak itu tidak merasa bersalah sama sekali!
“Vin,” Sivia ikut menegur.
“Ya ya.”
“Selamat tidur, Pap, Mam.” Setelah mencium kedua orang tuanya, Cherivia menyamankan dirinya di antara mereka berdua dan segera jatuh tidur.
Alvin tidak berhenti memandangi Cherivia yang sudah tertidur dan Sivia yang membelai lembut puncak kepala malaikat kecil mereka, tetapi matanya masih segar.
“Sivia?”
“Hm.” Sivia menjawab sekenanya, karena jujur saja Ia belum mengantuk.
“Segera berkemas, aku berencana membawa kamu mungkin ke Toronto barang dua atau tiga hari.”
“Hah?”
“Ini perintah. Kita pergi berdua. Via biar disini dengan oma opanya.”
“Tapi, Alvin—”
“Pap, mau ke mana? Via ikut yaa.”
Alvin tersentak. Rasanya tadi si kecil sudah terlelap. “Via belum tidur??”
“Mam sama Pap berisik sih.” Sivia membekap mulutnya demi menahan kekehannya.
“Papp, Via ikut yaa. Via juga mau ke sana. Apa nama tempatnya tadi, Pap?”
“Toronto.” Sahut Alvin datar.
“Ya. Via ikut ke sana ya. Kita jalan-jalan bertiga.”
“Iya iya, Via pasti ikut kok. Ya kan Pap?” Balas Sivia semakin menahan kekehannya.
“Iya terserah. Udah tidur sekarang semuanya. Papi juga ngantuk.” Alvin beringsut menghadap ke tepi, selanjutnya menarik selimut sebatas leher. Masih didengarnya kekehan kecil Sivia.
Alvin jadi jengah, Ia menoleh untuk sekedar memperingatkan.
“Kamu tawananku seumur hidup, Sivia. Cuma mau mengingatkan itu, paham kan?”
Dengan begitu suasana di ruangan kembali menyepi. Sivia menelan kekehannya lagi. Senyum miring kemenangan Alvin yang mengambil alih suasana kali ini.



E N D

3 komentar:

  1. Kok uda end? Cepet amat--" gak nyangka udah end aja ._.v awal2 syedih:'3 eh pas akhir2 ngakak sendiri sama si cherivia gangguin papi maminya mulu huahahahhahaaha dasar anak kecil (ˇ▼ˇ)-c<ˇ_ˇ) sian deh si alv gak bisa mesra2an berdua sama sivia:b siapapun authornya, ditunggu next story lagiiiiiiii:D ini kerennnnn!!! Apalagi genre married life, suka (ʃƪ˘ﻬ˘)

    BalasHapus
  2. ampuuunnn deh ini keren pake bangettt.... genrenyasuka marriage life....





    numpang nitipin link gue yaa..kalau mau berkunjung juga boleh..
    obat kista tradisional.
    obat pelangsing herbal.
    thanks before sis..

    BalasHapus